BUKU EMPAT - SEKOLAH TERBANG

Mystery & Detective Completed 9676

BUKU EMPAT

SEKOLAH TERBANG

BAB 72

Antarkan aku pulang.

Kelihatan jelas bahwa Max sulit mengucapkan kata-kata itu. Permohonan yang keluar dari mulutnya tersebut terdengar begitu pasrah, tapi aku tahu yang sebenarnya tidak begitu. Kami tidak bisa cukup cepat keluar dari Motel Six.

Kami melesat di Interstate dengan kecepatan 128 kilometer per jam, lalu lebih, berharap semoga tidak diberhentikan polisi patroli jalan raya karena ngebut.

Kami pergi ke Sekolah, bukan?

Aku duduk di belakang bersama Max. Dia tampak ketakutan, jadi kupeluk erat-erat. Di lenganku aku dapat merasakan jantungnya berdebar kencang sekali. Max yang malang. Dia cuma anak kecil. Terlibat dalam masalah yang jauh lebih besar daripada yang bisa kami pahami.

Kubelai dia sambil berbicara, berharap omonganku dapat menghibur dan menenangkan bocah berusia sebelas tahun. Kuceritakan pada Max aku tumbuh di peternakan sapi di utara Wisconsin dan bertanya apakah dia pernah melihat sapi hidup.

"Kami tidak memelihara sapi di Sekolah," katanya. "Tapi aku sering melihatnya di TV."

Kuberitahu dia tentang sekumpulan kecil sapi Holstein kami, yang memiliki lidah lengket dan mata berair. Aku bahkan ingat nama-nama dan kepribadian mereka. Max tidak dapat menyembunyikan rasa ingin tahunya saat aku bercerita tentang Blossom Dearie, Nellie Foot-Foot, Please Louise, dan sapi jantan kami, Kool Kat.

Kuberitahu dia bagaimana saudaraku Carole Anne dan aku bangun pukul 05.00 untuk membantu ayahku; dan bagaimana kami memandikan sapisapi di musim panas dan menyalakan kipas angin supaya mereka tetap merasa sejuk. Tapi bagaimana kami memerah susu dari sapi-sapi tersebutlah yang betul-betul menarik perhatiannya.

Max berseru keras ketika aku menceritakan kegembiraan memerah susu pagi-pagi. Aku suka sekali mendengarnya tertawa. Tawanya sangat riang dan selalu membuatku tersenyum. Max sangat menikmati dunia yang baru sekarang dapat dinikmatinya. Lagi pula, tertawa membuat pikiran kami teralih dari segala hal yang tengah terjadi.

Aku mengarang cerita konyol tentang sapi cokelat yang menghasilkan susu rasa cokelat. Kit nimbrung. "Ceritakan soal sapi peppermint padanya," katanya dan mengedipkan sebelah mata.

"Kalian berdua sama-sama sudah gila," kata Max pada kami. "Tapi menyenangkan kok. Aku suka. Aku suka bersama kalian di sini."

"Kami juga suka bersamamu," kataku.

"Aku juga," Kit mengangguk setuju.

Jeep melaju menembus kegelapan dini hari. Aku sedang asyik berpikir, berpura-pura, Hei, mungkin ini cuma acara jalan-jalan biasa- ketika tubuh Max menegang. Dia mencondongkan badan ke kursi dan kaca depan mobil.

Lalu dia menunjuk jalan kecil sempit yang menghilang ke balik bukit batu. "Belok sini, Kit."

"Dari mana kau tahu?" aku bertanya. Aku bukan meragukan Max, aku cuma penasaran. Aku cukup yakin dia belum pernah melewati jalan ini. Aku tinggal di dekat sini, dan kurasa aku tidak pernah menyusuri jalan itu.

Max mengangkat bahu, kemudian menatap mataku dalam-dalam. Dia bisa sesaat tersenyum, lantas tiba-tiba berubah jadi sangat intens dan serius. "Tidak bisakah kau merasakan di mana letak pertanian tempatmu tinggal dulu?"

"Letaknya jauh dari sini," jawabku. "Aku butuh peta untuk menemukannya."

"Aku merasakan letak Sekolah," kata Max. "Aku tahu persis di mana lokasinya. Dalam benakku aku bisa melihat jalan menuju ke sana." Aku memahami apa yang dikatakannya, dan perasaanku terguncang. Tenggorokanku serasa tercekik. Seperti burung merpati, kucing piaraan, dan binatang-binatang bermigrasi yang dapat menemukan tempat asal mereka berkat navigasi inersia atau entah apa namanya, Max bagai punya radar untuk menuntunnya pulang!

BAB 73

"Berhenti," katanya sebelum Kit betul-betul berbelok.

Kit menuruti permintaannya. Ada sesuatu dalam suara Max yang tak bisa diabaikan.

"Sekarang, dengarkan aku baik-baik," katanya. "Kalian tidak boleh maju lebih jauh dari ini. Jika mereka menangkap kalian, kupikir mereka akan membunuh kalian berdua. Aku serius."

"Ini persoalan yang sangat serius," Kit berkata padanya. "Dan itulah sebabnya kami ikut denganmu, gadis kecil. Senjata ini bukan mainan," katanya dan menunjukkan sepucuk senjata pada Max. Senjata itu semiotomatis dan tampak mematikan.

"Aku harus ikut, Max. Itu tugasku. Itu alasan aku datang ke Colorado ini."

"Aku juga tidak mau pergi," kataku pada Max. "Aku tidak mau meninggalkan kau dan Kit. Tak akan."

Max akhirnya mengangguk. Dia tidak suka perkembangan situasi ini, namun tahu kami tidak bakal mau menyingkir. Apa pun yang terjadi, kami akan tetap bersama.

Kit membelokkan kemudi dan kami keluar

dari jalan besar, yang sebetulnya sama sekali tidak besar. Sekarang kami berada di jalan yang bernama Under Mountain Pass, jalan kecil berkelok-kelok yang meliuk-liuk di kaki Rockies. Sekolah berada di suatu tempat di sana. Max tampak yakin soal hal itu. "Belok kanan," perintah Max tiba-tiba. "Setelah itu kau bisa menurunkan aku."

"Itu tidak akan terjadi, Max," kata Kit ber-keras. "Kita sudah membicarakannya." "Kau kepala batu sekali, Kit."

"Sama denganmu."

Jalanan makin jelek dan akhirnya menjadi alur tanah yang tidak memiliki tanda-tanda ten-tang arah mana yang harus kami ambil-tidak ada patokan baik berupa rambu maupun bangunan. Tapi daerah ini sepi dan menyeramkan, cocok untuk lokasi tempat semacam Sekolah. Setiap kelokan di jalan merupakan tantangan bagi kemampuan mengemudi Kit. Berbagai pasang mata memandangi kami. Kijang dan makhluk-makhluk hutan lain dengan bijaksana menunggu sebelum berlari

kencang ke sisi seberang. Saat kami mengemudi makin lama makin tinggi ke atas pegunungan, Max akhirnya mulai bicara tentang tempat asalnya. "Sekolah pindah beberapa kali saat aku tumbuh besar. Aku tahu lokasinya pernah di negara bagian Massachusetts, lalu California sebelum kami pindah kemari. Aku bersekolah setiap hari, dan mula-mula rasanya asyik. Guruku bernama Mrs. Beattie. Dia dokter juga, tapi katanya kami tidak usah memanggilnya dengan gelar itu. Dia sangat menyayangi Matthew dan aku, dan kami

menyayanginya. Kami jenius pada tes Stanford-Binet. Namun kami dilarang merasa bangga karena pintar, atau karena bisa terbang. Kami dibuat untuk jadi seperti itu. Kami cuma spesimen lab."

Aku mendengar napas Max terengah. Digenggamnya tanganku begitu kuat sehingga tanganku nyaris mati rasa. Meskipun Max tadi menyuruh kami kembali, aku tahu dia tidak bersungguh-sungguh. Dia terlalu ketakutan untuk melakukan ini sendirian.

"Turunkan aku," katanya, tiba-tiba mencengkeram bagian atas lenganku. "Aku harus keluar. Harus! Kumohon, Kit? Sekarang juga! Aku janji tidak akan terbang pergi. Sumpah."

Aku mengulurkan tangan dan menekan lengan Kit. Pria itu mengerem mobil di bahu sempit jalan.

Kami bagai di negeri antah berantah-dikelilingi pohon-pohon fir tinggi dan batu-batu tajam, dan derik keras jangkrik.

Kubuka pintu Jeep, dan Max bergegas melewatiku dan keluar.

Dia cepat dan atletis, dan sangat kuat untuk ukuran anak seusianya.

Hampir semua yang dilakukannya begitu menakjubkan untuk diobservasi.

Aku berdoa semoga dia tidak terbang dan meninggalkan kami. Max naik ke atap Jeep. Kami mendengar langkah kakinya berdentamdentam di atas kami. Lalu bunyi menderu keras ketika dia mengepakngepakkan sayap.

"Apa yang dilakukannya?" tanya kami, hampir serentak.

Lalu dia terbang meninggalkan Jeep dan melesat di udara. Gampang sekali.

"Oh, Tuhan," bisik Kit. Kata-katanya persis dengan yang ada di benakku.

"Lihatlah dia. Lihatlah. Kuharap kita bisa menyusulnya."

"Harus. Gerakkan benda ini."

Kit menyalakan mesin. Menginjak pedal gas. Jeep meluncur dari bahu jalan lalu melaju di tengah, memanjat pegunungan yang terjal. Kami mengikuti arah terbang Max, setidaknya berusaha melakukannya. Kujulurkan kepalaku keluar jendela seperti anak kecil. Begitu juga Pip. Aku tak bisa mengalihkan pandangan mataku dari sayap Max yang berwarna putih dan biru-perak ketika dia terbang mendahului kami. Udara sejuk menyapu wajahku. Aku merasa seperti terbang juga. Yang jelas jiwaku serasa melayang.

Jeep meluncur di terowongan gelap panjang yang disebabkan deretan pinus lebat dan pepohonan fir yang menjulang. Max menikung ke kiri, menyusuri jalan kecil lain. Jalan yang ini terbuat dari tanah sepenuhnya dan sangat tidak rata.

Kami mengikuti Max pulang. Kami mempercayainya sehingga rela mempertaruhkan nyawa kami.

BAB 74

Sekolah tutup. Dia dapat merasakannya di lidahnya-amat sangat pahit dan getir. Dia dapat merasakannya, bagai racun mematikan yang mengalir di pembuluh darahnya.

Max mendadak meluncur ke tanah. Jeep berdecit berhenti di belakangnya. Frannie dan Kit buru-buru keluar. Pip berlari berputarputar. Biasanya anjing itu bisa membuatnya tersenyum, mengikik senang.

Tapi sekarang tidak.

"Ada apa, Sayang?" seru Frannie. Dia selalu sangat peduli, dan tidak pernah sok berkuasa.

Max merasa seolah ada tali melilit pinggangnya dan dia dengan mantap, tak kenal ampun, ditarik ke dalam. Dia bisa merasakan ketegangan luar

biasa di leher dan bahunya, menjalar hingga ke tulang dada. Dia pulang. Dia dengan suka rela kembali ke Sekolah. Lalu mungkin semua rahasia akan terbongkar-dan dia bisa bebas.

Dan mungkin juga tidak!

Max memutuskan untuk tetap menapak tanah selama beberapa saat. Berjalan barangkali lebih aman. Frannie dan Kit berjalan bergegasgegas tepat di belakangnya.

Max tidak menoleh ke belakang, tidak perlu.

Dia bisa mendengar paru-paru mereka bekerja keras menghirup udara, darah terpompa di jantung mereka. Max merasa ketakutan mereka makin memuncak. Akhirnya, mereka akan melihat yang sebenarnya.

Melihatnya langsung. Max berdoa semoga mereka siap menghadapi ini.

Tiba-tiba, Max berhenti!

Dia melihat pembatas fisik antara kebebasan barunya dan hidup lamanya-pagar kawat berduri itu. Pemandangan itu membuatnya menggigil, mendatangkan banjir kenangan mengerikan. Max dapat membayangkan Paman Thomas, penjaga-penjaga lain yang menyeramkan itu, dan perutnya jadi mual. Dia nyaris muntah saat itu juga.

Sekolah sudah tutup. Dia nyaris sampai di sana. Rasanya Sekolah seakan mengawasinya mendekat, menunggunya, menertawakannya karena kembali.

Pagar kawat yang dihubungkan dengan rantai itu tingginya tiga meter dan puncaknya dipasangi kawat berduri setajam silet. Di baliknya ada segala hal yang diketahui, disayangi, dan dibencinya sepenuh hatinya.

Dia pernah melihat orang-orang memarkir truk-truk di Sekolah.

Mungkin mereka sudah pergi semua sekarang.

Sebuah papan tanda dari logam putih berbunyi: DILARANG KERAS MASUK INI BANGUNAN PEMERINTAH. YANG MASUK TANPA IZIN AKAN DITEMBAK.

Max menoleh pada Frannie dan Kit. "Kita sudah sampai."

BAB 75

Max balas menatap kami, matanya yang berwarna hijau membelalak takut.

"Mereka tidak main-main," katanya. "Beberapa orang yang masuk tanpa izin telah ditembak betulan, percayalah padaku. Kalian masih bisa mundur. Menurutku sebaiknya kalian pergi saja." "Kami takkan meninggalkanmu," tukas Kit.

Pip menyalak dan berputar-putar dalam lingkaran kecil di luar pagar. Tiba-tiba dua ekor Doberman muncul dari kejauhan. Mereka menampakkan gigi mereka, menyalak dan menggeram.

Kit menarikku menjauh dari pagar saat semburan air liur akibat salakan marah keluar dari mulut Doberman-Doberman itu.

Aku merasa bulu kudukku meremang. Dan bukan hanya karena anjinganjing tersebut. Sebetulnya, kedua anjing itu malah tidak terlalu meresahkanku.

Pagar kawat, kawat berduri, dan anjing-anjing penjaga di tengah hutan memang cukup menakutkan, namun melihat kata-kata "Pemerintah AS" berdampingan dengan "Yang Masuk Tanpa Izin Akan Ditembak" membuatku lemas. Kit dan aku hampir bisa dibilang masuk tanpa izin, dan kami tidak mau dituduh melakukan hal itu.

"Inikah Sekolah?" aku bertanya, namun Max tidak mendengar. Dia sibuk menangani Doberman-Doberman itu.

"Bandit, Gomer, ini aku!" serunya nyaring pada anjing-anjing tersebut.

"Stop. Hentikan sekarang jaga! Duduk!"

Hebatnya, salakan dan geraman perlahan-lahan berkurang dan akhirnya berhenti sama sekali. Selanjutnya endusan-endusan curiga. Kemudian salakan gembira ketika anjing-anjing itu kelihatannya mengenali Max. "Jangan khawatir," kata Max pada kami. "Mereka temanku. Mereka cuma menyalak, tidak menggigit kok," kata anak itu sambil nyengir.

"Bisakah kita melewati pagar ini?" tanyaku pada Kit.

Kit sudah hendak menjawab ketika Max memotong omongannya.

"Frannie!" dia menarik-narik lenganku. "Ada yang tidak beres dengan Bandit dan Gomer. Ada yang sangat tidak beres dengan anjing-anjing itu! Tolong, periksa mereka."

Aku bergerak mendekat tapi tidak perlu memeriksa Bandit dan Gomer untuk mengetahui apa yang telah terjadi pada mereka. Bulu hitam mereka tampak suram. Tulang-tulang rusuk mereka bertonjolan, kulit mereka menempel di tulang.

"Mereka kelaparan," aku berkata pada Max.

Pernyataan itu kurang tepat. Anjing-anjing itu mengalami malnutrisi.

Ada bajingan yang membiarkan mereka kelaparan.

Kit kembali setelah memeriksa pagar. "Aku tidak dapat menemukan celah atau titik masuk di pagar kawat ini," dia memberitahu. "Mungkin di bagian lain."

"Kurasa aku bisa menerbangkan kalian berdua ke seberang," kata Max. Pernyataan tersebut demikian tak terduga sehingga aku nyaris tertawa mendengarnya.

"Aku tahu aku sanggup melakukannya. Aku lebih kuat daripada kelihatannya," katanya ngo-tot. Max sama sekali tidak bercanda. "Mustahil," tukas Kit. Kit benar. Tidak mungkin anak perempuan seberat empat puluh kilogram mampu mengangkat orang dewasa yang beratnya dua kali lipat berat badannya sendiri.

"Ya, aku sanggup." Max bersikukuh. "Kau tidak tahu apa yang kaukatakan. Aku tahu kemampuanku."

Aku mendengarkan Max dan berpikir lagi. Aku tidak memperhitungkan faktor stres. Stres memproduksi adrenalin. Dan juga, siapa yang tahu kekuatan seperti apa yang sebenarnya dimiliki Max? "Biar kucoba mengangkatmu dulu," katanya padaku.

"Menurutku itu bukan ide yang bagus, Max."

Anak itu mengangkat bahu. "Baik. Kalau begitu aku terbang sendirian ke seberang."

Aku mencengkeram pagar kawat. Kupanjat setinggi beberapa kaki dan bergelantungan di sana. Kemudian Max menjepit bagian tengah tubuhku

dengan kakinya yang kuat. Dia betul-betul kuat. Ya Tuhan, ini aneh sekali.

Karena Max memegangiku dari belakang, aku jadi merasa seolah punya sayap. Dia mengepak kuat-kuat, lalu kami terbang. Mendadak kami melayang di udara. Setelah itu kami bergerak ke atas.

Aku bisa merasakan embusan angin di sekelilingku. Dingin rasanya di atas perbukitan ini, dan makin lama makin dingin. Sesaat aku melupakan segala hal, perhatianku begitu terfokus pada sensasi melayang di udara dengan cara yang ganjil ini. Selama sepersekian detik aku dapat membayangkan punya sayap sendiri.

Kami naik. Kami melayang selama satu atau dua detik. Lantas kami terbang.

Tidak terlalu jauh, tapi, ya Tuhan yang ada di surga, aku benar-benar terbang.

BAB 76

Max menurunkan aku di bagian dalam wilayah berpagar. Aku mendongak memandang gulungan kawat berduri yang mengerikan dan menggetarkan hati itu. Kucengkeram pagar, kukaitkan jari-jariku di kawatnya, dan menunggu detak jantungku normal kembali. Aku melihat berkeliling dan Max sudah tidak ada.

Dia sudah berada di sisi lain pagar. Max sedang berusaha mengangkat Kit. Kakinya nyaris kurang panjang untuk melingkari tubuh pria itu. Napasnya tersengal-sengal. Kelihatannya mustahil Max bisa mengangkat Kit, tapi tadi pun aku tidak percaya dia sanggup mengangkatku. Aku tak tahu seberapa lama dia sanggup bertahan. Sayapnya mengadukaduk udara, tapi tampaknya dia tidak bisa membuat Kit bergerak dan pindah ke sebelah.

"Max, sudahlah. Dia terlalu berat bagimu," seruku padanya. "Kau bisa terluka."

"Tidak, dia tidak terlalu berat. Aku super kuat kok. Kau tidak punya gambaran seberapa kuat aku, Frannie. Aku dibuat sebagai makhluk yang kuat."

Di sisi lain pagar tempat aku berada, kedua anjing itu bergerak mendekatiku. Sebetulnya, mereka agak terlalu dekat, perasaanku jadi agak tidak tenang juga. Yang betina mengais-ngais tanah, bergerakgerak gelisah. Mata yang jantan kecil dan basah, dan anjing itu terpaku sekitar satu meter dari tempatku.

Geraman memperingatkan terdengar dari tenggorokannya. Bibir makhluk itu membuka, menampakkan sederet gigi.

"Oh, hentikan," kataku padanya. "Jangan sok galak begitu." Anjing yang sekadar memperlihatkan gigi dan menggeram sih bisa kutangani. Pandanganku melesat kembali pada Max dan Kit, ke tempat di mana mereka masih bertahan di pagar pembatas. Max akhirnya menjauh, meninggalkan Kit berpegangan di pagar, menempel di sana, mencoba memanjat pagar sampai ke sebelah. Akhirnya Kit jatuh, tapi kondisinya selamat.

"Usaha yang bagus, Manis," seruku pada Max. Tapi aku bisa melihat anak itu gusar. Dia tidak suka gagal. Apakah "mereka" juga membuatnya bersifat seperti itu?

Max segera terbang kembali ke seberang pagar dan bergabung denganku. Dia mengatakan "duduk" dan "anjing baik" pada kedua Doberman. Max bersikap ramah namun tegas pada mereka, dan aku bertanya-tanya dalam hati apakah itu ada hubungannya dengan kaburnya dia.

Kemudian Max bergerak ke utara, menjauhi pagar, makin lama makin cepat, menuju ke suatu tempat.

Aku terpaksa hampir berlari supaya bisa menyusulnya. Hutan mulai menyelubungi jalan

sempit yang kulalui. Aku melewati kumpulan demi kumpulan pohon rimbun yang rasanya tidak ada habis-habisnya dan menutupi pandanganku.

Dinding yang terdiri atas pohon-pohon fir membuka dan menampakkan gerombolan pohon birch yang selanjutnya digantikan kumpulan pohon aspen yang berkilauan bagai tirai manik-manik kaca. Jantungku berdentam-dentam, dan di telingaku terdengar lebih keras daripada suara langkah kaki kami. Tanpa disangka-sangka, jalan berkelok-kelok itu berakhir di tempat terbuka yang bermandikan cahaya matahari. Di hadapan kami berdiri rumah berburu, atau mungkin resort spa, yang bergaya akhir abad ke-19. Di dinding batunya terdapat banyak sekali jendela. Tiang-tiang putih menjulang di pintu masuk. Tanaman menjalar yang lebat menutupi gedung dan tumbuh sampai ke atapnya yang sudah tua.

Kupandang Max. Pupil matanya kecil sekali. Irisnya kelihatan seperti piringan kelabu transparan yang tak bergerak ketika dia terpaku. Aku ingat bahwa pupil mata burung sering berkontraksi jika dalam keadaan tegang.

"Apa ini?" aku bertanya.

"Ini Lab Mutan Buatan Colorado Tengah," katanya. "Sekolah Riset

Genetik. Aku tinggal di sini."

BAB 77

Tidak ada suara sama sekali dari rumah yang aneh dan menyeramkan itu, tempat Max selama ini ditahan, dan apa saja yang telah dialami anak itu di sana, hanya Tuhan yang tahu.

Tidak ada penjaga keamanan, tidak ada mobil atau truk yang diparkir. Tidak ada ancaman bahaya bagi kami. Setidaknya begitulah kelihatannya.

"Terlalu tenang. Amat terlalu tenang," bisik Max. "Mestinya ada penjaga di suatu tempat. Seharusnya kita sudah bisa melihat mereka sejak dari hutan tadi."

"Apa artinya ini, Max?"

"Entahlah. Yang seperti ini belum pernah terjadi."

Max dan aku mengendap-endap di sepanjang pinggir halaman. Dengan cepat kami menyeberang ke salah sisi bangunan, kemudian beringsutingsut menyusuri dinding batu menuju pintu kayu jati di tengah sisi timur. Tidak tampak ada gerakan di balik banyak jendela itu.

Kelihatannya tidak ada orang di sini.

Rasa percaya diriku tumbuh sedikit. Aku menarik napas, lantas

mengulurkan tangan dan

menggenggam kenop pintu dari logam itu. Pintunya terbuka dengan mudah. Kami memasuki bangunan yang aneh ini dan pintunya yang berat menutup di belakang kami.

Bau busuk yang menusuk menyergapku. Aku tahu bau apa itu dan merasa mual

"Ada yang mati," ujar Max.

Dia benar. Bisa dipastikan memang ada yang mati. Ada yang membusuk di dalam gedung ini dan baunya menyengat dan kuat. Kami menutup hidung dan mulut kami dengan tangan. Kami terus berjalan menjauhi pintu depan.

Max berkata, "Kipas anginnya pasti tidak menyala." Dia tidak kelihatan terlalu risau oleh bau ini-oleh kematian.

Aku mengamati seluruh penjuru ruangan untuk mencari kamera keamanan. Aku yakin ada kamera-kamera, entah di mana, namun aku tak bisa menemukannya. Apakah ada yang tengah mengawasi kami sekarang? Aku menduga ruangan kecil tempat kami berada saat ini dulunya digunakan untuk dekonta-minasi. Sikat-sikat berwarna kuning manyala ditumpuk di dalam tong sampah besar dekat pintu. Jas-jas lab digantung di cantelan. Orang-orang tadinya bekerja di sini rupanya. Para ilmuwan, jika mereka boleh menyebut diri mereka begitu. Dokter. Peneliti.

Mereka melakukan berbagai eksperimen ilegal.

Tampak sebuah lemari logam terbuka yang berisi sikat-sikat bersih, dan rak-rak penuh sepatu bersol karet berdiri di samping deretan loker.

Semua loker itu kosong, sudah dibersihkan.

Ya Tuhan, apakah yang kami temukan ini? Tempat seperti apakah ini? Max menunjuk pintu dalam yang menuju ke luar ruangan dan memberi tanda agar aku mengikutinya. Terlintas di benakku bahwa bangunan ini seperti kamp pembantaian Nazi. Mereka menidurkan orang-orang di sini.

Mereka melakukan eksperimen pada manusia.

Kami menyusuri koridor utama yang lebar. Sepatu balet Max tidak menimbulkan bunyi, tapi sepatuku berdecit-decit. Lampu neon panjang berkedip-kedip di langit-langit di atas kami. Koridor dari linoleum berwarna cokelat muda dan biru itu terhampar di hadapan kami dan bersilangan dengan lorong-lorong yang saling memotong.

Kami sampai di area terbuka, luasnya sekitar 4,5 meter persegi. Tempat itu semacam tempat kerja. Di mana kami sekarang?

"Max? Apa ini?"

"Cuma kantor-kantor. Untuk urusan bisnis. Tidak penting. Agak membosankan." "Bisnis apa?"

Dia mengangkat bahu. "Bisnis yang bikin bosan. Kau tahulah, bisnis? Segala perlengkapan yang tadinya ada di bagian gedung yang ini sudah lama disingkirkan. Tidak ada panel kayu, perapian, papan penghias tembok, cuma barisan bilik kerja a ia perkantoran yang kosong melompong. Komputer bertengger di permukaan meja yang terbuat dari baja kelabu kusam. Sebuah teko kopi di atas lemari arsip menarik perhatianku. Teko itu sudah retak, dan gumpalan hitam kental melapisi bagian dasarnya.

Aku mengambil sebuah muk dari meja. Di situ tertulis O.B. 's Coffee. Lingkaran jamur berwarna biru yang mengapung di permukaannya menunjukkan cangkir tersebut setidaknya sudah beberapa hari ada di sana. Di mana O.B.? Siapa O.B.?

Dan apakah yang mati dan membuat gedung ini bau busuk begini? Apakah yang telah terjadi di bangunan yang disebut Sekolah ini? Bisnis macam apa yang dilakukan di tempat yang mengerikan ini? Kulirik Max, tapi dia sudah bergerak lagi. Dia berada di rumah. Max rupanya menganggap segala kengerian dan kegilaan ini sebagai sesuatu yang normal. Suasananya begitu hening sehingga napas normalku sekalipun kedengaran keras. Aku menahan napas dan mendengarkan dengan cermat selama beberapa saat. Aku takut begitu aku berbalik, seseorang akan keluar dan menerjangku dari salah satu ruangan tertutup itu. Tapi tidak ada siapa-siapa.

Max mendorong satu pintu lagi sampai terbuka. Terdengar bunyi klik pelan. Apakah mereka sedang memotret kami? Jantungku masih berdebar-debar. Aku merasa lelah. Semua mulai tampak kabur di mataku. Di mana Kit? Apakah dia baik-baik saja?

"Di sinilah aku bekerja," Max memberitahu. "Tempat ini biasanya penuh dokter."

BAB 78

Kami memasuki ruangan luas yang panjangnya pastilah sekitar 18 meter dan lebarnya 9 meter. Pandanganku menyapu ruang kerja ini, dengan cepat menelaah semua yang ada. Ini laboratorium standar, namun berkualitas, dengan peralatan paling canggih dan sangat mahal. Siapa yang mendanai ini? Siapa yang mensubsidi bisnis ini? Tampak selusin meja kerja bagus. Preparat bertebaran di meja dan permukaan konter. Mi-kroskop-mikroskop mahal disimpan di rak-rak. Aku melihat ada timbangan balok dan beberapa hidrometer. Juga ada beberapa spektograf laser, hood kultur sel, sentrifuse berkecepatan tinggi. Jelaslah, dana yang tersedia untuk membeli segala peralatan tersebut tak terbatas.

Ada nada bangga samar dalam suara Max. "Ini meja kerjaku, Frannie.

Lihatlah. Aku diajar supaya selalu melakukan sesuatu yang bermanfaat.

Jadi aku bekerja. Aku pekerja yang andal."

"Aku yakin begitu, Manis."

Max naik dan duduk dengan bangga di bangku logam tinggi di depan meja itu. Meja kerjanya.

Dinyalakannya lampu neon di atas kepalanya. Di mejanya ada papan kecil bertuliskan: TINKERBELL HIDUP.

Dia menunjukkan padaku bagaimana dia menggunakan pipet kaca untuk memindahkan tetesan-tetesan campuran DNA dari baki cawan kecil ke lempengan medium tumbuh. "Kami mengolah kromosom di sini," dia menjelaskan.

Aku tidak mengenali unit berlapis krom yang ditunjuknya, namun alat itu merupakan model terbaru. Sebelum aku sempat menanyainya lebih lanjut, Max sudah meluncur turun dari bangku.

"Ayo kita pergi," ajaknya. "Masih banyak yang perlu dilihat."

Aku mengikutinya. "Aku tepat di belakangmu."

"Aku tahu. Alat pendengaranku sangat tajam."

"Aku sadar kok. Siapa Tinkerbell?"

Max menoleh padaku. Dia tampak galau. "Bukan siapa-siapa. Dia sudah mati."

Tinkerbell, pikirku. Apakah itu sebutan mereka untuk Max di Sekolah ini? Aku menduga begitu, dan dia tidak menyukai julukannya itu.

Tinkerbell adalah nama labnya, bukan?

Kami melewati ruangan yang lebih kecil yang penuh dengan tangki-tangki kriogenik dari baja mengilap. Apa yang mereka bekukan di sini? Lalu satu ruangan lagi yang bahkan lebih kecil, berisi enam mesin pendiagnosis darah.

Tidak ada satu pun peralatan riset yang sudah ketinggalan zaman di tempat ini. Mereka memiliki dana sangat banyak. Siapa penyokongnya?

Untuk melakukan apa?

"Tikus," ujar Max, sambil menunjuk sebuah ruangan tertutup. "Ini ruangan Miki Tikus. Baunya tidak enak. Tutup hidungmu, Frannie. Aku tidak main-main. Kau sudah kuperingatkan."

Bau kematian tampaknya terpusat di sini. Aku berusaha menahan napas. Aku betul-betul menahan napas, tapi rasanya percuma saja. Aku merasa ingin muntah. Napasku tercekat.

Aku mengintip melalui jendela di pintu dan melihat lemari logam yang tak terhitung jumlahnya, masing-masing berisi selusin rak; masing-

masing rak penuh dengan puluhan kandang plastik. Sejauh mataku memandang tampak rak-rak, ribuan rak itu berisi tikus yang bergelung rapat di atas alas dari kayu cedar.

Ruang Miki Tikus ini bagai film horor yang mencekam, pemandangan paling menyeramkan yang pernah kulihat seumur hidupku. Yang mendekati saja pun tak ada. Wajah Max sekarang tampak memerah. Dia seolah tidak menyadari kehadiranku. Max berbicara sendiri, semua frase itu diucapkannya dengan berdesis, kemampuan bicaranya menyusut menjadi desis frase tanpa arti.

Yang bisa kutangkap cuma "penakut" dan "ditidurkan"

Kami memasuki ruang Tikus. Aku segera melihat bahwa tikus-tikus tersebut bukan binatang lab biasa. Tonjolan-tonjolan daging mencuat dari persendian-persendian yang tak lazim. Di antara tikus-tikus itu ada yang memiliki kaki tambahan dan ciri-ciri aneh.

Tikus secara genetis begitu dekat dengan manusia sehingga terasa agak menakutkan. Delapan puluh lima persen gen tikus identik dengan kita, sehingga itulah sebabnya tikus merupakan binatang yang sempurna untuk percobaan di lab. Itu alasan kau bisa memberi tikus penyakitpenyakit manusia: kanker, penyakit jantung, distrofi otot- dan dari reaksi tubuh tikus mungkin kau bisa tahu cara mengobati penyakitpenyakit manusia tersebut.

Aku menyayangi binatang, dan aku juga dokter yang mengambil manfaat dari riset binatang. Aku dapat beradu argumentasi dengan sengit untuk membela kedua belah pihak menyangkut masalah riset yang menggunakan binatang. Tapi aku tidak dapat mentolerir kekejaman pada binatang. Apa pun alasan perbuatanmu, kau harus bertanggung jawab. Aku mulai menurunkan kandang-kandang itu, mengguncang-guncangnya. "Tidak ada makanan di kandang-kandang ini. Semua binatang ini sudah mati. Bajingan," bisikku.

"Ditidurkan," kata Max. Air mata membasahi matanya.

Pemandangan yang ada di hadapanku sangat menggetarkan hati-si gadis kecil yang cantik menangisi nasib tikus-tikus yang mati.

BAB 79

Max benci kalau dirinya menangis, dia tidak suka menunjukkan kelemahan. Max tidak mau mencurahkan isi hatinya pada Frannie, tapi kontrol dirinya berantakan, emosinya kacau balau, dia ketakutan sendiri dengan pikiran-pikirannya, namun yang paling buruk adalah kemarahan yang dirasakannya. Gejolak amarah yang mengamuk dalam dirinya. Tidak seorang pun boleh melakukan kekejaman seperti ini.

Pancaindranya luar biasa tajam saat ini. Penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan. Dia merasa seperti ini ketika melarikan diri dari Sekolah. Baru saat itulah Max menyadari betapa tajam pancaindranya. Hidungnya mampu membedakan bau kopi hangus, berbagai zat kimia, logam yang panas, dan di suatu tempat di dekat sini-daging yang membusuk.

Semua ini salah. Sangat salah. Bagaimana Harding Thomas dan bangsatbangsat itu tega melakukan ini? Apakah karena dia kabur? Apakah dia telah menyebabkan kematian semua makhluk ini? Oh, kumohon, jangan itu alasannya. Jangan gara-gara aku.

Jarum kedua jam yang berada di atas tangki-tangki kriogenik telah berhenti bergerak, dan itu membuat Max berpikir jangan-jangan waktu juga sudah mati.

Dia terus berjalan. Max memasuki Kantor Kontrol Utama, dan berbagai kilasan kenangan menyerbu benaknya. Kenangan tentang Paman Thomas, tangannya yang besar menyentuh kepala Max. Paman Thomas sering mengingatkan Max bahwa dia "ilmuwan tulus". Dia menyayangi Tinkerbell kecilnya, atau begitulah yang selalu dikatakannya. Max gadis yang sangat pintar. Si Tink kecil yang hebat.

Pembohong! pikir Max. Pembunuh. Bajingan- lebih rendah daripada amuba.

Max merasa ingin meringkuk dan menangis tersedu-sedu. Di mana orang-orang? Paman Thomas dan yang lain-lain? Apakah mereka bersembunyi darinya? Apakah mereka tengah mengawasinya? Mereka

suka sekali mengawasi, lalu melompat keluar dan menangkapmu ketika kau sama sekali tidak menduganya.

Kehidupannya di sini seperti sekolah militer, atau apa yang diketahui

Max tentang sekolah militer. Hari-harinya selalu diatur dan dikontrol. Dia belajar, bekerja, menjalani tes, berolahraga atau menonton TV. Dia tak pernah menerima kasih sayang, dorongan semangat, kepuasan. Dia salah satu spesimen mereka, tapi dia cukup pintar sehingga bisa membuat dirinya berguna. Dan tahu, di lubuk hatinya, bahwa dia bukan spesimen.

Setelah Kantor Kontrol Utama, koridor bercabang dua. Secara otomatis Max belok ke kanan. Dia tahu jalan, hafal setiap inci tempat ini. Dia sanggup menemukan jalan dengan mata tertutup sekalipun. Dua puluh langkah menyusut jadi sepuluh, lalu lima. Siap untuk penghitungan mundur

Dan akhirnya Max sampai di pintu logam berat yang bertulisan Kamar Anak-anak.

Dia mendengar suara di belakangnya dan napasnya berhenti. Otaknya berputar kencang sekali. Max betul-betul mendengarnya-suara langkah kaki. Berlari! Cepat! Lebih dari satu orang datang bergegas-gegas.

Max menoleh pada Frannie, ketakutan tampak jelas di matanya. Bersiaplah untuk menghadapi yang terburuk. Lalu dia tertawa. Suara itu ternyata cuma Kit dan Pip. Betapa leganya. Max bisa bernapas lagi. Dia merasa mereka semua harus bersatu untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.

"Kami berhasil masuk setelah menyusuri pagar dan menemukan jalan," kata Kit sambil terengah-engah.

Max tidak tahu harus berpikir apa. Saat ini dia tak peduli. "Kit, Frannie," katanya. "Lihat kemari. Ini penting. Kumohon. Inilah yang menyebabkan aku kembali."

Max membuka pintu yang menuju Kamar Anak-anak, dan menjerit.

BAB 80

Aku terlonjak kaget.

Apa yang kulihat di balik pintu itu membuatku ingin menjerit juga, dan biarpun terkesan aneh, sekaligus juga membuatku ingin berterima kasih pada Tuhan.

Di hadapanku terbaring empat makhluk kecil di atas selimut kotor di dalam kandang-kandang di Kamar Anak-anak. Anak-anak itu masih hidup dan masing-masing bersayap.

"Peter, Ic, Wendy!" seru Max melengking, sambil berlari mendekati mereka. "Oz!"

"Oh Petey yang malang. Wendy!" teriaknya seraya membuka kandang yang mengurung dua anak itu. Peter dan Wendy berpelukan, meringkuk di pojok, berkedip-kedip karena silau dengan cahaya yang mendadak masuk.

"Kemarilah," panggil Max lembut. "Mendekatlah pada Max." Suara yang keluar dari teng-gorokan mereka nyaris tak terdengar, namun bernada sayang, mirip cicitan burung.

Max pergi ke kandang berikutnya. Dia membuka pintunya. Seorang bocah laki-laki kecil merangkak maju, lalu terhuyung-huyung keluar dari kandang mengerikan itu. "Ic!" kata Max. "Icarus!"

"Aku membawa bala bantuan," Max memberi-tahu anak itu.

"Mana Matthew?" tanya Icarus.

"Aku tidak tahu. Tidak usah kita bicarakan masalah itu sekarang. Apa kabar? Kau baik-baik saja?"

"Cool, "jawab Ic. Akhirnya, dia tersenyum. Menakjubkan.

Anak-anak yang kecil berebutan berusaha mencapai Max. Begitu sampai padanya, mereka memeluknya erat-erat. Mereka saling menyapa, mengeluarkan teriakan-teriakan tinggi melengking. Lalu tangis semua anak-anak burung itu meledak karena lega.

Mereka menangis karena senasib.

Saat aku menolong Max mengeluarkan anak-anak itu dari kandang, perasaanku terguncang. Anak-anak tersebut begitu indah, begitu

memikat. Rasanya seperti menemukan harta tak ternilai di tempat yang sama sekali di luar dugaan. Mereka masing-masing merupakan keajaiban. Kukontrol perasaanku dan ketakjubanku untuk memeriksa anak-anak itu. Mereka mengalami malnutrisi dan dehidrasi, tampaknya hanya itu yang mereka derita. Tidak terlalu buruk, meskipun jika tak segera ditolong nasib mereka akan gawat. Aku berlari ke wastafel dan mengambilkan mereka air, mereka dikurung di sini untuk dibiarkan mati seperti yang lain-lain. Empat anak yang cantik, sengaja ditinggalkan begitu saja sampai mati.

Pandanganku jatuh pada bocah laki-laki yang kelihatannya berusia sekitar tujuh tahun. Sosoknya gempal, sebagian besar berkumpul di tubuh bagian atas. Bulu sayapnya berwarna gelap dan bulu-bulu halus yang berwarna gelap juga menutupi leher dan bahunya, berbaur di garis tumbuh rambut di kepala dengan rambut cokelat kemerahan yang mengilat.

Kulit anak itu lembap, dan wajahnya pucat karena habis menangis. Namun matanya yang bundar besar berbinar-binar dan tidak tampak takut.

"Aku Ozymandias," katanya memperkenalkan diri, sambil mengangkat dagu dengan penuh percaya diri. "Kau siapa? Ilmuwan? Dokter yang menyebalkan?"

"Aku Frannie," kataku, "dan ini kawanku, Kit. Kami datang kemari bersama Max."

"Mereka teman, Oz," Max memberitahu. "Meskipun sulit untuk dipercaya."

"Halo, Oz. Ozymandias." Kit mengulurkan tangan pada anak kecil yang, setelah ragu-ragu sesaat, menyalaminya.

Max mendorong si gadis kecil maju. Anak itu bagai malaikat berpipi kemerahan, usianya kira-kira empat tahun, dengan rambut hitam dipotong bulat dan mata berbentuk almond. Dia memakai terusan tanpa lengan seperti yang dipakai Max saat aku pertama kali melihatnya. Gadis itu mengembangkan sayapnya ke arahku. Sayapnya putih, ujungnya berwarna biru. Indah.

Bulu-bulu sayapnya menimbulkan suara berdesir, seperti rok taffeta yang berputar di sekeliling kaki seorang penari.

"Mama?" dia bertanya, dengan suara yang sangat menyayat hati. "Dia menyebut semua wanita dewasa 'Mama'," Max menerangkan. "Dia tidak pernah punya ibu. Kami semua begitu."

Hatiku langsung bersimpati pada gadis kecil itu. Mataku berkaca-kaca lagi. Takkan pernah aku bisa menjelaskan pada siapa pun apa yang kurasakan saat ini.

"Dia Wendy. Ini Frannie." Max memperkenalkan kami dengan sopan, nyaris formal.

Lalu Wendy berbicara dengan suara lembut dan mencicit. "Kau harus melihat saudara kembarku!"

Dia menunjuk saudara laki-lakinya, Peter, yang nyaris seratus persen mirip dengannya, satu lagi mahakarya.

Seorang anak laki-laki yang lebih tua, hampir seumur Max, tetap menjaga jarak. Rambutnya pirang kelabu halus dan tergerai di sekeliling wajahnya dan mencapai bahunya. Sosoknya langsing, tulang-tulangnya besar dan panjang.

Terlintas di pikiranku bahwa meskipun anak-anak ini sama-sama punya sayap, garis keturunan mereka berbeda. Apakah artinya itu? Pasti penting, tapi aku tidak bisa mengetahuinya.

Aku mengulurkan tangan pada anak laki-laki itu, namun dia mendesis ketika aku menyentuh lengannya. Tentu saja anak itu takut padaku. Bagaimana dia bisa mempercayai seseorang? Bagaimana anak-anak ini bisa mempercayai kami setelah apa yang mereka alami? Setelah ditenangkan Max, barulah bocah kecil bernama Icarus itu memperbolehkan aku mendekatinya. "Aku takkan menyakitimu," kataku padanya.

"Omongan basi," tukasnya. "Mereka semua bilang begitu. Pembohong!" Icarus menyibakkan rambut pirangnya dari wajahnya, dan saat itulah aku melihat iris matanya berwarna kelabu kebiruan. Kupandang Max dan dia memberitahukan apa yang sebetulnya sudah kuketahui. "Icarus buta," katanya.

"Yeah, aku bisa dibilang kue bantat," kata si bocah. "Kami semua begitu."

BAB 81

Kit meninggalkan Frannie dan Max yang menjaga anak-anak yang lebih kecil. Banyak sekali yang ingin diketahuinya mengenai tempat ini. Dia memasuki ruang kerja seorang eksekutif. Kantor ini dulu tempat kerja seseorang berkedudukan tinggi. Sebuah papan bertulisan huruf Helvetica tebal menarik perhatiannya: Jangan berasumsi. Pertanyakan segala hal.

"Aku sudah mengalaminya," dia berbisik.

Kit terus-menerus takut karena memikirkan nasib anak-anak itu, juga nasib Frannie. Ketakutan itu berkembang dengan kecepatan tinggi dalam hatinya. Dia merasa telah diserahi tanggung jawab untuk mengurus sebuah keluarga lagi, untuk memastikan mereka selamat melalui semua ini. Kit menjalankan tanggung jawab tersebut dengan serius, dan itu menakutkannya lebih daripada apa pun.

Diamatinya ruang kerja itu. Tidak ada foto, tidak ada barang-barang sentimental di permukaan meja. Tidak ada benda-benda pribadi yang ditinggalkan.

Kantor siapa ini? Pasti milik seseorang berjabatan penting dalam organisasi ini. Ruangan

ini luasnya sekitar 1,8 meter persegi dengan jendela lebar yang menghadap ke lab. Lantainya tertutup karpet tebal berwarna abu-abu keperakan. Mejanya dari kayu jati tua warna kuning. Di dinding di atasnya ada papan buletin untuk menempelkan catatan. Kertas-kertas di papan itu membuatnya terperangah. Kit menatap berbagai gambar menakjubkan yang dibuat dengan pena dan tinta. Gambar-gambar tersebut menampakkan pengembangan-pengembangan teoretis bagian tubuh dan organ manusia. Siapa pun yang telah membuat gambar-gambar itu pastilah seniman yang sangat hebat, pikirnya. Kit

bergidik. Gelombang dingin menjalari punggungnya. Siapa pun yang membuat gambar-gambar ini-dia ingin jadi Tuhan.

Kit mengambil sebuah amplop manila. Di dalamnya terdapat gambargambar mata dalam bermacam-macam bentuk dengan berbagai ilustrasi penampang, baik membujur maupun melintang.

Da Vinci pasti bangga kalau melihat karya seni ini, pikir Kit. Ada juga rangkaian gambar kaki manusia yang terkesan kompleks. Kaki itu ditampilkan dalam beragam posisi, beberapa membutuhkan fleksibilitas yang menurut Kit mustahil dicapai. Selain itu, ada gambar lengan, jari-jarinya mengembang. Di atas gambar lengan tersebut diletakkan selembar transparansi berisi sketsa lengan baru. Lengan baru? Lengan manusia yang lebih bagus? Ltukah yang ada di hadapanku ini?

Gambar yang baru itu menampilkan otot-otot yang lebih panjang, dan jari-jari yang lebih

streamlined. Gambar tersebut jelas kelihatan merupakan peningkatan dari model lengan yang tadi. Kit tidak suka mengakuinya, namun perasaannya memang tergelitik saat dia melihat gambar itu. Ada kesan seolah seorang desainer sangat berbakat di perusahaan pembuat anggota tubuh sedang membuat sketsa model-model baru untuk musim yang akan datang.

Kit begitu asyik mengamati gambar-gambar tersebut sehingga nyaris tidak melihat kumpulan kunci kecil yang tergantung di paku payung. Kunci-kunci itu sejak tadi ada di hadapannya. Kit begitu bersemangat menyambarnya sehingga papan tempat paku itu menempel nyaris copot dari dinding. Kunci-kunci itu diberi label-label kecil dan rapi. Kunci pertama untuk laci meja kerja. Kit menariknya sedemikian kuat sehingga laci itu terlepas dari meja, segala isinya berserakan di lantai. Dia membungkuk dan memeriksa benda-benda itu: beberapa klip kertas, uang logam, perangko, dan pena-barang-barang yang biasa ada di meja kerja mana pun. Di antara bermacam-macam benda itu ada pisau lipat Swiss Army. Kit mengantonginya. Siapa tahu nanti berguna.

Kunci berikut membuka lemari logam kelabu panjang di samping papan buletin. Di dalam rongga gelap lemari itu terdapat botol-botol ukuran seperempat galon yang kelihatannya disegel rapat.

Kit mengambil botol pertama, yang diberi label "AGE1", dan mengacungkannya ke cahaya.

Dalam cairan berwarna gelap di dalam botol itu mengapung selusin embrio berukuran tak lebih dari sebesar kelereng.

Kit merasa ingin muntah saat itu juga. Di kantor mewah seseorang ini. Dia membuang muka dan mengembuskan napas kuat-kuat. Akhirnya Kit berhasil menenangkan diri sedikit. Dipandanginya lagi embrio-embrio itu.

Manusia, pikirnya. Bayi-bayi kecil yang sudah mati disimpan dalam lemari? Terkutuklah mereka!

Kit menguatkan diri untuk mengamati kepala, jari-jari tangan dan kaki mungil yang melayang-layang dalam cairan itu. Hening dan mati. Isi perutnya juga jadi serasa melayang-layang saking mualnya. Kit kembali meraih ke dalam lemari dan mengeluarkan satu lagi stoples besar. Dengan hati-hati dia memegangnya dengan dua tangan. Stoples yang ini ditulisi "AGE2". Isinya beberapa embrio yang hampir sama dengan yang pertama. AGE3 dan AGE4 serupa dengan stoples pertama. Lemari itu penuh dengan stoples berisi embrio yang demikian mirip sehingga Kit tidak bisa membedakannya.

Diambilnya kunci ketiga dan dimasukkannya ke lubang kunci lemari arsip yang berdiri di kiri meja kerja. Terdengar bunyi klik. Kit menarik laci paling atas.

Di dalamnya tersimpan arsip-arsip yang disusun menurut abjad: memomemo kantor biasa, beberapa draf semacam manuskrip yang belum diberi judul.

Laci tengah berisi majalah-majalah kedokteran

tahun delapan puluhan dan kliping-kliping Der Spiegel, majalah Jerman, dan sebuah kliping dari Times London.

Di bagian belakang laci paling bawah, Kit menemukan buku-buku catatan berisi bermacam-macam formula dan data teknis. Semua itu kelihatan penting, meskipun membuatnya frustrasi karena dia tak bisa memahaminya. Kit memutuskan untuk mengambil beberapa buku catatan yang berukuran kecil.

Ketika membalik-balik halaman-halamannya, Kit merasa bulu kuduknya meremang. Di sini terlalu sepi, terlalu sepi secara keseluruhan. Mengapa lab ini mendadak ditinggalkan? Diabaikan? Mengapa anak-anak setengah burung itu disia-siakan begitu saja?

Embrio-embrio dalam botol-botol itu kelihatannya sudah lama mati. Beberapa gambar tadi telah kuning karena tua. Masing-masing manuskrip dibubuhi keterangan, begitu penuh coretan sehingga timbul kesan si penulis mulai, berhenti, mulai lagi, lalu akhirnya menyerah.

Dan bagaimana hubungan semua ini dengan Max dan keempat anak yang lain? Anak-anak yang mereka temukan terbaring di antara kotoran mereka sendiri, kelaparan dalam kandang? Anak-anak yang mungkin sengaja dibiarkan mati.

Kit mendengar suara di belakangnya dan berbalik. Frannie datang. Kit ingin menceritakan segalanya padanya, sampai tuntas.

"Coba lihat benda-benda menakjubkan ini. Aku ingin tahu pendapatmu."

BAB 82

"Kesombongan mereka menakjubkan. Aku tak bisa membayangkannya," kataku marah. Mataku dengan rakus mengamati gambar-gambar di dinding.

Kit tengah menumpahkan isi satu kotak dokumen ke lantai. Diangkatnya setumpuk kertas untuk menunjukkan padaku apa yang telah ditemukannya.

"Kotak ini penuh gambar dan diagram sayap. Segala macam sayap. Mereka membuat desain di sini. Luar biasa, ya?"

"Lebih tepat dibilang mendesain ulang," kataku, seraya melihat-lihat beberapa gambar yang dibuat dengan cermat. "Pembuat gambar ini jelas bermain-main jadi Tuhan, Kit."

"Pelakunya kelompok dari Boston dan Cam-bridge, bandit-bandit dari MIT. Mereka membuat aturan sendiri. Sejak dulu. Anthony Peyser berpendapat dia di atas kita semua dan juga di atas hukum. Lihatlah ini."

Dia menunjukkan pada Frannie enam memo untuk staf. Di bagian bawah masing-masing halaman tertulis A.P. ...Anthony Peyser.

Aku memutar otak untuk memikirkan apakah

seseorang yang kukenal di daerah ini mungkin ternyata Dr. Peyser. Tak ada nama yang muncul di benakku, padahal aku pernah bertemu dengan sebagian besar dokter medis dan ilmuwan di sini. David mengenal mereka semua. Di mana si Peyser ini bisa menyembunyikan diri?

Mungkinkah ini kantornya? Apakah dia otak di balik misteri ini? Kit duduk di kursi kerja di depan sebuah komputer. Dia sibuk menekan tombol-tombol keyboard dan direktori isi komputer terpampang di layar monitor.

"Aku sudah membuka beberapa file secara acak. Belum pernah sekali pun aku dimintai password. Pintu depan tadi terbuka lebar. Mengapa? Kunci-kunci lemari arsip tergantung di papan buletin dan... Mengapa?"

"Jangan tanya aku. Aku juga tidak tahu. Belum tahu." Tatapanku jatuh pada tumpukan buku catatan yang dibiarkan Kit berserakan di lantai. Siapa pun penulis buku-buku itu sangat andal menggambar. Gambar-gambarnya bukan cuma dibuat dengan akurasi medis tingkat tinggi, tapi juga mengandung unsur seni. Apakah Dr. Anthony Peyser betul-betul pernah bekerja di ruangan ini? Kuduga begitu. A.P. pernah berada di sini.

Aku mengambil sebuah gambar dari tumpukan di hadapanku. Gambar itu menunjukkan seorang anak laki-laki, masih kecil, dengan jantung tumbuh di luar rongga dadanya, jantung yang besar sekali. Kupelajari gambar itu

dengan teliti. Gambar tersebut menunjukkan mengapa pengembangan jaringan begitu sulit. Tidak seorang pun

tahu cara menghentikan pertumbuhan sel begitu prosesnya sudah dimulai.

Namun seandainya pun masalah besar itu berhasil diatasi, pengembangan dari menumbuhkan organ pada binatang lab ke menumbuhkan sayap pada anak manusia tetap saja merupakan lompatan besar. Dan menyangkut Max, dia bukan sekadar punya sayap. Seluruh sistem kardio-pulmonarinya-sistem yang berhubungan dengan jantung dan paru-parunya-sama dengan yang dimiliki bangsa burung, dan itu membuatku menarik kesimpulan bahwa dia diciptakan dari cloth utuh.. Otakku berputar dengan kecepatan maksimum. Kepalaku serasa mau pecah. Dunia tengah dijungkirbalikkan. Seseorang telah menantang segala hal yang selama ini kita percaya dan terima.

Jangan berasumsi. Pertanyakan segala hal. Itulah inti semua ini, bukan? Mengembangkan kehidupan, mengembangkannya sesuai dengan yang diinginkan manusia.

Aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan dahsyat yang sebelum ini tak berani kubayangkan. Seorang anak bersayap mungkin saja merupakan hasil kecelakaan biologis, namun setelah melihat keempat anak lainnya, aku terpaksa menerima kemungkinan bahwa memang ada niat tertentu untuk menciptakan suatu makhluk baru. Dan, atas kuasa Tuhan atau dengan melanggar kuasa Tuhan, seseorang telah berhasil melakukannya. Seseorang telah berhasil berperan sebagai Tuhan Apa yang telah mereka ciptakan?

BAB 83

Kit terus berkutat penuh semangat di depan komputer. Seperti kebanyakan agen-agen berusia muda di Biro, dia pandai menggunakan alat itu. Kit hampir selalu menyukai komputer, dan tidak segan-segan

memanfaatkannya. Dia memunculkan Netscape, lantas membukanya. Di kotak lokasi, dia mengetik- about: global.

Muncullah semua situs yang dalam beberapa bulan terakhir pernah dikunjungi pemakai sebelumnya komputer ini. Kit memeriksa sekilas daftar itu. Dia pernah melakukan pemeriksaan serupa dalam kasus ini sebelum meninggalkan Boston.

Kit masuk ke . Itu ternyata Genebank, tempat yang dikelola pemerintah untuk semua rangkaian genetik yang telah diketahui.

Kit mencari kata-kata kunci yang ditulis dengan huruf-huruf berwarna merah, yang menunjukkan bahwa pemakai sebelumnya komputer ini telah membukanya. Ada beberapa. Dia pergi ke "taxonomy". Di bawah "Taxonomy browser" Kit memilih kata "tree" Lalu dia mengetik "aves" di kotak pencarian.

Apodidae (swift), Laridae (camar), Columbidae (merpati), dan Hirundinidae (srigunting) ternyata pernah diselidiki.

Rencana ini makin jelas.

Kit menutup situs itu dan kembali ke daftar about: global. Selanjutnya, dia masuk ke situs Cold Spring Harbor Laboratory. Dia mengotak-atik beberapa entry, lantas mencoba DSHL publi-cations-Genome Research. Kit masuk ke edisi September 1997, setelah itu dia bingung lagi. Si pemakai sebelumnya membuka makalah tentang Sapi Belgian Blue dan Piedmontese Berotot Ganda.

Sapi? Kit berhenti mengetik dan merenungkan entry aneh itu. "Frannie. Coba kemari sebentar," panggil Kit tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

Ditunjukkannya pada wanita itu apa yang dari tadi dilakukannya, lantas artikel terakhir yang ditemukannya. "Untuk apa seseorang dari sini mengecek artikel tentang sapi ini? Kau memahaminya?"

"Sedikit," jawab Frannie. Dibacanya artikel itu sampai habis, lalu dibacanya lagi bagian-bagian kunci. Frannie merenungkan apa yang baru

saja dibacanya. "Bajingan," katanya akhirnya. "Kurasa aku mengerti. Akan kuterangkan sebuah teori kasar padamu." Kit mengangguk dan mendengarkan.

"Artikel ini tentang gen sapi yang telah dimutasi. Penelitiannya dimulai dua belas tahun yang lalu. Seseorang menghasilkan otot ganda di dada sapi-sapi itu. Jadi begini teorinya. Kit, menurutku dengan cara inilah mereka bisa membuat otot-otot dada Max cukup besar untuk menyangga sayap dan juga mengangkat berat tubuhnya. Ini merupakan bagian dari bagaimana mereka menciptakan anak itu."

BAB 84

Kami memeriksa file-file komputer itu beberapa menit lagi, namun tidak menemukan hal-hal yang menarik. Jadi Kit dan aku lantas meneruskan memeriksa Sekolah. Kesombongan dan amoralitas para ilmuwan yang bekerja di sini menghina segala hal yang selama ini kupercaya. Aku ingin menemukan salah seorang dari "mereka" dan mencekik orang itu dengan tanganku sendiri.

Kupandang papan logam di pintu terkunci di depan kami, di situ tertulis:

YANG TIDAK BERKEPENTINGAN DILARANG MASUK. Jadi tentu

saja, Kit menendangnya sampai lepas dari engsel. "Kita sekarang berkepentingan," katanya.

Seketika itu juga kami disambut dering alarm yang meraung-raung di dalam ruangan dan di koridor. Kami berjalan ke dalam. Bau menyengat kotoran manusia menyerbu kami bagai kabut busuk. Kegelapan di dalam ruangan berkurang karena tracer berwarna terang yang berupa garis lurus di monitor-monitor video yang tidak kelihatan.

Aku menemukan sakelar dan menyalakan lampu-lampu di langit-langit.

Selama bertahun-tahun mengobati binatang, aku sudah pernah melihat hal-hal yang sangat buruk: binatang yang dipukuli, ditinggalkan, disiksa.

Namun tak pernah aku dihadapkan pada sesuatu yang semengerikan ini. Yang mendekati pun tidak.

Kami berada di dalam semacam bangsal perawatan intensif pediatri. Ruangan ini selain penuh dengan perlengkapan penunjang hidup yang masih baru dan mengilat, juga berisi sekitar sepuluh tempat tidur bayi.

Semua peralatan masih baru dan mahal.

Pelan-pelan aku menggeleng. Pemandangan yang ada di hadapanku ini tak mungkin benar-benar ada. Kutahan air mataku, tapi susah sekali rasanya.

Kupandang Kit. Wajahnya telah memucat.

Di dalam tempat tidur-tempat tidur itu berbaring anak-anak yang telah meninggal maupun yang tengah sekarat. Ke mana pun aku memandang, aku melihat anak-anak yang mengalami gagal paru-paru, jantung, dan ginjal. Bunyi nyaring elektronis itu dimaksudkan untuk memberitahu personel medis tentang adanya masalah, yang saat ini bisa dibilang sudah total. Kantong-kantong infus yang telah kosong, ventilator dan mesin dialisis yang mati. Pasien-pasien mungil itu berlepotan muntah dan tinja.

Aku akhirnya menjerit. Aku tak bisa berhenti menjerit. Kit mengulurkan tangan dan memelukku. Aku menarik napas panjang berkali-kali, sampai akhirnya bisa menenangkan diri.

"Kita harus melakukan sesuatu untuk mereka," bisikku. "Kita tak boleh meninggalkan mereka

dan membiarkan mereka mati seperti ini. Aku tidak bisa melakukan itu."

"Aku tahu, aku tahu," Kit balas berbisik. "Kita lakukan sebisa kita,

Frannie."

Ruangan itu dicat kuning pucat, dengan kertas dinding bergambar kartun binatang-binatang lucu di sepanjang bagian atas dinding. Kartun itu membuat suasana tambah buruk-jauh lebih buruk. Papan flanel di samping kulkas penuh dengan gambar krayon, dan gambar kartun wajahwajah tersenyum ditempelkan secara acak di dinding. Wajah-wajah tersenyum itu bagai meremas hatiku. Meremas hatiku sampai kering. Kukuatkan diriku untuk melihat tempat tidur yang paling dekat. Di sana, seorang bayi perempuan telanjang berusia beberapa bulan menggeliat

dan melambai-lambaikan tangan kecilnya yang sempurna. Bayi mungil itu tak berwajah, mukanya rata.

Selang makanan dimasukkan ke perutnya yang kecil, namun kantong makanan itu kosong. Dengan lembut kuletakkan tanganku di puncak kepalanya. Garis hijau di monitor detak jantung bergerak lebih cepat.

Dia menyadari kehadiranku.

"Halo, Sayang," aku berbisik. "Halo, gadis kecil yang manis." Kubuka kulkas, lalu pintu-pintu lemari. Ku-singkirkan gulungan perban, tabung, dan alat suntik, namun tidak ada makanan di mana pun. Dengan perasaan putus asa yang makin memuncak, aku berlari ke tempat tidur berikut. Bayi laki-laki di situ sudah meninggal dan membusuk. Dia memiliki kepala sebesar bola voli dan otot-otot anak berumur empat atau lima tahun. "Betapa malang nasibmu."

Kucabut kabel dari monitor, kulepaskan kateter dari kepala makhluk kecil itu. Kututupi wajahnya dengan selimut.

Tempat tidur ketiga berisi anak yang sudah meninggal juga, bayi berusia satu tahun dengan bentuk tubuh seperti anak kecil lainnya-tapi anak yang ini kulitnya pecah-pecah. Kecepatan tumbuh kulitnya tidak sama dengan kecepatan tumbuh badannya.

Kelopak mata anak ini terbalik, dan matanya yang hampa dan menonjol menatapku. Aku tak bisa membayangkan kesakitan yang dirasakannya sebelum kematiannya, kemungkinan karena sep-sis, infeksi. Tempat tidur keempat ditempati kembar siam berusia setahun yang dempet di pinggang. Yang seorang telah meninggal, dan karena mereka berbagi banyak organ, yang satu lagi pun akan segera meninggal. Kusentuh lembut pipi sejuk si anak yang masih hidup dan matanya membuka.

"Hai, Sayang. Halo."

Tidak ada yang bisa kulakukan untuk menolong si kembar yang masih hidup, tak seorang pun dapat melakukan apa-apa tanpa obat-obatan. Aku sekarang tersedu-sedu ketika mendatangi tempat tidur satu per satu.

Selang dialisis yang tadinya dihubungkan dengan mesin pencuci darah sekarang terjuntai di sepanjang tepi tempat tidur bayi yang berisi makhluk kecil berwajah monyet. Anak itu kekurangan gizi, mengalami dehidrasi, dalam keadaan koma.

Ke mana pun aku memandang, tampak anak-anak yang rasanya mustahil ada di dunia ini. Dan mereka semua tak sempurna. Jika aku benar, tragedi yang paling menyedihkan adalah bahwa anak-anak ini dikembangkan dari zigot manusia normal. Mereka seharusnya bisa menjadi anak-anak normal, namun mereka telah dimutasi. Berbagai eksperimen yang menggunakan manusia telah dilakukan di dalam ruangan ini berulang kali.

Kit berjalan dari satu tempat tidur ke tempat tidur lain, melepas kabel listrik dan slang. Hanya itu yang dapat kami lakukan. Tiba-tiba Max berdiri di lab di samping kami. Aku takut dengan reaksinya. Aku ingin melindungi Max dari ini, namun sudah terlambat. Sorot matanya sedih, tapi memahami keadaan. "Mereka menidurkan bayi-bayi itu," bisiknya. "Mereka berbuat begitu pada anak-anak yang tak sempurna, yang cacat. Mereka selalu melakukan itu. Sekarang kau tahu."

Mereka! Siapa pun mereka-aku amat sangat membenci orang-orang itu. Tinjuku mengepal erat di samping tubuhku.

"Kita sebaiknya keluar dari sini sekarang juga," kata Kit. "Mereka harus kembali kemari setidaknya satu kali lagi. Mereka tak mungkin meninggalkan semua ini begitu saja, ada risiko ketahuan."

Kupandang Kit. "Atau ada saksi."

BAB 85

Max, anak-anak yang lain, Kit, dan aku bergegas-gegas menembus hutan pohon fir yang menjulang tinggi seakan kami sedang bermain petak umpet yang aneh. Kami jadi "mangsa". "Mereka" akan segera mengejar kami. Kami adalah saksi kejahatan-kejahatan mengerikan, yang di antaranya adalah pembunuhan.

Ironisnya, pegunungan dan hutan di sekeliling kami tampak begitu indah. Cahaya matahari berwarna kelabu muda, dihiasi bintik-bintik warnawarna lain. Burung bluejay dan phoebe ramai berkicau. Dedaunan berdesir dan melambai ditiup angin yang samar-samar berbau pinus. Namun perjalanan ini sebetulnya sama mengerikannya dengan perjalanan menuju neraka. Kami mengetahui kebenaran yang mengerikansetidaknya sebagian dari kebenaran tersebut.

Anak-anak asyik bersiul, dan demi Tuhan aku tak tahu apa sebabnya. Max kelihatannya jadi pemimpin mereka dan sejauh ini dia melakukan tugasnya dengan baik.

Aku menoleh pada Kit. "Mengapa mereka bersiul?"

Kit menggeleng. "Tidak tahu."

Max menjerit. "Mereka datang! Penjaga keamanan! Para pemburu!

Percayalah padaku. Lari lebih kencang! Kabur dari sini! Ayo lari semua!" Kusambar anak yang paling dekat denganku- Wendy-dan kugendong dia menyusuri jalan setapak sempit yang menuju ke tengah hutan. Kit memegang Icarus, si bocah kecil buta, yang begitu ketakutan sehingga mau saja ikut dengannya. Kit mengeluarkan senjatanya, berwarna gelap dan menakutkan, tapi juga menenangkan perasaan. "Wendy, lihai? Peter berseru pada saudara perempuannya. "Lihat ke atas!" Anak itu terpaku di tanah, terpesona melihat Max terbang melesat tinggi ke udara.

Tak peduli sudah berapa kali aku melihatnya terbang, aku selalu saja terperangah kalau melihat pemandangan menakjubkan dan luar biasa itu. Aku tahu bagaimana perasaan Peter, tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk terkagum-kagum.

Aku berteriak, "Peter! Ayo ke sini! Sekarang juga! Cepat!" Sambil terus memeluk erat Wendy, kugendong bocah itu juga. Mereka berpegangan kuat-kuat padaku. Mereka tidak terlalu berat, tapi tidak bisa juga dibilang enteng.

Aku menemukan tempat persembunyian sementara di semak-semak. Bunyi letusan senjata api menggelegar di sekeliling kami. Di batang pohon besar di dekat kami tampak menganga sebuah lubang gelap.

Kuangkat kedua anak kecil itu lagi dan berlari terhuyung-huyung secepat yang kubisa.

Aku menoleh ke belakang tepat pada saat Max turun dari pohon dan mendarat di kepala salah satu pria yang tengah menembak. Orang itu mengenakan pakaian kamuflase cokelat-hijau, seperti kebanyakan pemburu dan penjelajah area sini. Max menimpa laki-laki itu dengan kekuatan luar biasa. Ditimpa beban seberat empat puluh kilogram yang jatuh dari ketinggian tiga sampai lima meter rasanya sama seperti dijatuhi lemari besi.

Bunyi tulang berderak! Aku mendengarnya. Pria yang menggeliat-geliat itu berteriak karena amat kesakitan. Aku tidak merasa kasihan padanya. Lama keadaan sunyi kembali, tapi rasanya sama menakutkannya dengan keributan dan suara letusan senjata yang menggema tadi. Berapa jumlah orang yang mengejar kami? Di mana mereka? Lalu Kit menjatuhkan diri dalam posisi menembak. Senjata semiotomatisnya meletus sekali. Satu penjaga lagi terkapar, seperti pohon tumbang. Pria itu memegangi bahunya. Aku merasa mual. Aku saksi. Kami semua saksi.

Tanah di bawah sepatu hiking-ku mendadak bergetar. Ledakan itu kuat sekali dan mengguncang semua pohon, semak, dan bahkan tanah hutan sendiri. Kami nyaris terjungkal akibat getarannya.

Udara di sekeliling kami bagai terbelah. Hutan mendadak terasa sangat panas dan berderak-derak, lalu aku mencium bau asap dan jantungku serasa nyaris copot.

Kebakaran.

Dengan suara menggemuruh, dua kijang melesat melewati kami. Burungburung terbang berbondong-bondong. Hutan mendadak hidup akibat binatang-binatang yang ketakutan, dan manusia-manusia yang lebih ketakutan lagi.

"Sekolah!" jerit Max. "Asalnya dari Sekolah."

"Itu tadi suara bom," Kit berteriak padaku. "Mereka menghilangkan bukti. Mereka membakar tempat itu. Terus bergerak! Terus jalan! Tak ada yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan bangunan itu." Kami mengumpulkan anak-anak, menyuruh mereka terus berjalan. Kami terpeleset, jatuh, dan terseok-seok menuruni lereng bukit menuju

sebuah lembah kecil. Lalu kami dengan susah payah memanjat sisi bukit di seberangnya. Kemudian menuruni sisi sebaliknya. Kami berlari sampai tenaga kami habis, setelah itu kami kembali berlari.

Lima anak kecil, dua orang dewasa-tujuh saksi.

BAB 86

Kami akhirnya berhenti untuk beristirahat dan bersembunyi di bawah formasi batu yang tampak primitif. Kami kelelahan, mata kami terbelalak, mulut kami ternganga, dan kami tak sanggup bicara. Keberhasilan kecil kami barusan cuma kemenangan jeda sesaat. Kami telah berhasil meninggalkan beberapa bajingan penjaga keamanan, tapi setelah ini apa?

Lima menit berlalu-sepuluh menit-tidak ada yang muncul di belakang kami. Setidaknya, belum.

Kit memanjat pohon yang tinggi dan bercabang banyak untuk mengintai. Dia naik dan turun dengan sigap, dan aku terkesan dengan kelincahannya. Kit memang penuh dengan kejutan.

"Kulihat tidak ada yang mengikuti kita," dia melaporkan. "Tapi itu tidak terlalu penting. Mereka tahu perjalanan kita masih jauh dan berat karena membawa anak-anak."

Max berada di sampingku, menepuk-nepuk lenganku dengan sikap mendesak. "Biar kuajar mereka terbang," katanya. "Itu pelajaran yang mudah bagi mereka, Frannie. Aku harus melakukannya. Mereka akan lebih aman, lebih terhindar dari para penjaga itu. Aku begitu." Malam sebentar lagi akan turun, dan aku cemas dan ketakutan memikirkan nasib anak-anak. Aku tidak tahu bagaimana kami semua bisa melakukan perjalanan ini dengan selamat dalam kegelapan. Sebelum hari

ini, aku selalu menganggap hutan sebagai tempat yang aman. Sekarang, tidak lagi.

"Tidak lama lagi kegelapan akan datang," aku berkata pada Max. Aku tak ingin membuatnya takut, namun kuharap dia mengerti maksudku. "Tidak apa-apa kok," katanya. "Ada bulan. Kumohon percayalah padaku. Aku punya insting tepat tentang hal-hal semacam ini. Selain itu, kami kan lebih bisa melihat dalam gelap daripada kalian." Aku sangat terkesan pada Max. Baru beberapa hari yang lalu dia menjerit-jerit saat berusaha keluar dari jala kami. Sekarang dia telah mengambil alih tanggung jawab atas teman-teman kecilnya. Aku percaya pada pendapatnya, instingnya.

Max merasa sudah saatnya dia mendorong burung-burung kecil itu keluar dari sarang. Dia mungkin benar tentang hal itu. Pasti akan menakjubkan untuk menyaksikannya.

Terbang untuk pertama kalinya!

BAB 87

Kami berkumpul di puncak bukit batu yang mencuat keluar di atas lembah seperti rak. Bulan bersinar terang di atas kepala kami. Bulan tampak kemilau, bagai lampu gantung kristal pada pembukaan Phantom of the Opera. Malam ini indah, meskipun terasa menakutkan karena situasi berbahaya yang kami hadapi.

"Begini cara melakukannya," ujar Max pada yang lain-lain dengan suara tegas. "Mulainya dari kepala kalian. Kirim pikiranmu ke atas dan keluar dari tubuhmu. Setelah itu biarkan sayapmu yang beraksi. Malam ini akan asyik. Kita akan terbang melewati bulan, seperti di film E.T Kalian ingat adegan itu?"

"Cool!" seru Icarus. "Aku E.T.! Akulah sang pahlawan. Itu panggilan jiwaku!"

Anak-anak lain membelalak sebal, namun tidak ada yang membantah Icarus. Aku bisa melihat bahwa anak-anak itu sangat baik dan su-portif

terhadap satu sama lain. Mereka memiliki insting regu-atau mungkin kelompok.

Kupandang batu bergurat-gurat yang berada sekitar 4,5 meter dari tanah itu. Batu tersebut cukup tinggi untuk dijadikan landas lompatan

bagi orang yang sudah biasa terbang, tapi jika anak-anak yang lebih kecil itu tidak bisa melakukannya, mereka bisa-bisa akan cidera. Aku menahan napas sedikit. Tapi aku percaya kok pada Max. "Perhatikan aku!"katanya pada anak-anak yang lain. "Lakukan persis seperti yang kulakukan."

Mula-mula, dia mengepak-ngepakkan sayapnya di tempat. Kemudian, ketika ada angin bertiup ke arah kami-Max melangkah begitu saja melewati batu.

"Wow!" seru anak-anak lain serentak. "Hebat, Max! Wooow! Asyik sekali!"

Sesaat, Max melayang santai di udara. Dia menunduk untuk memastikan semua mata memandangnya. Anak-anak itu sih jelas tak berkedip memandangnya. Lalu dia melesat ke tempat yang lebih tinggi. Max terbang menuju puncak pepohonan, dan pemandangan itu sangat menakjubkan. Bulu kudukku meremang. Kakiku terasa lemas. Tapi aku tak mau ketinggalan saat-saat luar biasa seperti ini, apa pun yang terjadi.

Menggunakan akal sehatnya, atau insting, Max sengaja tidak berbuat macam-macam. Tidak ada akrobat dan pamer kemampuan. Dengan anggun dia terbang berputar, lantas turun lagi untuk menemui yang lainlain.

"Aku bisa kok melakukannya," Peter menyombongkan diri dan menonjolkan dagu dan dadanya. "No problema. Tidak ada masalah." "Kalau begitu, aku juga bisa," balas Wendy. "Aku sudah menunggu kesempatan untuk terbang seumur hidupku."

"Aku terbang dalam semua mimpiku, siang dan malam," Icarus berkata pada kami. Mereka begitu manis dan baik pada satu sama lain. Bagaimana ada orang yang tega berniat untuk menyakiti mereka?

"Sebaiknya kalian biarkan aku duluan," kata Oz, seraya mendorong si kembar ke samping.

"Tidak, aku!" tukas Peter ngotot, tidak mau menyingkir.

"Ke sini, Peter," kata Max, tegas. "Aku akan selalu mendampingimu, setiap saat. Jangan macam-macam, bandit! Sini!" "Uuuh! Dia marah? ejek Peter, dan men-julingkan mata. "Kuhitung sampai tiga, lalu kita lompat bersama," kata Max pada mereka. "Ada yang keberatan? OK, jangan banyak protes."

Aku berdiri persis di belakang anak-anak itu. Sebetulnya, aku ingin bilang, "Habis ini, aku ya?" Aku juga ingin terbang. Perasaanku diliputi keinginan untuk melakukan hal yang sekarang terasa mungkin itu. Sekarang bulan purnama, dan aku bisa melihat dengan sangat jelas. Anak-anak itu mendadak lompat dari batu, kelima-limanya. Bersamasama.

"Lihatlah," bisik Kit. "Uh-oh." Dengan lembut Kit meremas jari-jari tanganku.

Aku terkesiap. Peter! Gerakan-gerakan awalnya, seperti yang sudah bisa diduga, serbaragu. Lalu dia meluncur begitu saja ke bawah, terjun bebas! "Hei... tolooong!" teriaknya.

Max melesat ke bawahnya.

Dengan sigap disambarnya bagian bawah tubuh Peter dan bocah itu pun mengepak-ngepakkan sayapnya makin lama makin kuat. Peter mengerahkan segenap kemampuannya.

"Tekan udaranya ke bawah" kata Max dengan nada mendesak. "Tekan udaranya supaya menyingkir." Max mengajarinya. "Rileks, Peter. Jangan tegang. Kau diciptakan untuk melakukan ini!"

Mendengar perkataan itu, Peter melayang. Max telah memberinya dorongan semangat. Bocah itu tampak seperti mengapung, lantas naik dengan mantap. Anak-anak yang lain tidak ada masalah. Langit berwarna

biru keunguan dan merupakan latar belakang yang menakjubkan untuk pertunjukan terbang ini.

"Ya Tuhan, Frannie," kata Kit di sampingku. "Tidak seorang pun pernah melihat pemandangan seperti ini. Tidak juga ilmuwan-ilmuwan sinting itu."

"Lihatlah bagaimana mereka terbang!"

Tidak ada kecelakaan. Anak-anak tersebut terbang seolah sudah bertahun-tahun melakukannya. Max kelihatannya memberi mereka instruksi-instruksi sederhana: cara berbelok dan mengerem. Mereka di hutan tadi bersiul, dan mereka sekarang juga melakukannya.

"Suuu-it Suuu-it."

Mula-mula aku tidak menangkap maksud mereka. Sekarang aku mengerti bahwa siulan itu merupakan cara agar Icarus bisa melihat.

"Suuu-it."

Bersama-sama anak-anak itu melayang melintasi jurang yang dalam dan menakutkan. Mereka berputar dan membentuk angka delapan di

udara. Aku tak bisa bernapas saat menonton mereka unjuk kebolehan.

Max berseru, "Aku di sini, Ic."

Icarus bersiul, lalu dia berbicara. Suaranya bergema di udara malam.

"Aku merasakan kau. Aku merasa kau bergerak di udara!"

Dan walaupun tempat ini agak terlalu gelap untuk bisa melihat wajahnya dengan jelas, aku berani bersumpah bahwa Icarus nyengir lebar sekali.

BAB 88

Aku menangkupkan kedua tanganku sehingga berbentuk corong dan berteriak jelas dan keras pada Max. "Sudah waktunya turun. Oke, Max?

Sekarang juga."

Aku lega ketika melihat dia mengibas-ngibaskan sayap dan dengan tegas memerintahkan skuadron mininya untuk mendarat. Satu per satu

mereka menapak bumi, kaki-kaki kecil menginjak tanah, diikuti tawa

nyaring dan seruan kegembiraan murni yang rasanya cuma bisa dirasakan dan ditunjukkan anak-anak.

Sebetulnya, aku merasa bersalah karena telah memerintah mereka. Aku tahu bagaimana masalah disiplin selalu dicekoki ke benak mereka. Tapi aku harus melakukannya. Kami masih belum aman di hutan ini. Sama sekali. Pria-pria bersenjata akan segera datang, jika saat ini mereka belum berada di dekat kami.

Kupeluk mereka semua, bahkan Pip pun melonjak-lonjak kegirangan. Tapi tidak ada waktu untuk berlama-lama menikmati peristiwa luar biasa ini. Temperatur udara turun dengan cepat, seperti yang biasa terjadi di pegunungan pada akhir

musim panas. Kit tidak ingin membuat api unggun dan dia benar, sayangnya. Kami akan jauh lebih aman tanpa api unggun. Tapi kami juga jadi sangat kedinginan.

Kami menemukan tempat yang lumayan terlindungi di bawah beberapa batu besar. Kami singkirkan batu-batu kecil dan ranting-ranting yang berserakan di situ dan membersihkan sebuah tempat yang datar untuk tidur.

Kami juga menumpuk dedaunan dan potongan-potongan kayu untuk memperoleh kehangatan di malam hari. Anak-anak membungkus tubuh mereka dengan sayap.

"Besok kita akan berada di tempat yang lebih enak," aku berkata pada mereka. "Mungkin di rumahku." Dan mungkin juga tidak.

"Kau berjanji?" tanya Oz.

Aku ingin menjanjikan padanya kue dadar dengan sirup dan bergelasgelas susu yang boleh diminumnya. Aku ingin menjanjikan tempat tidur sungguhan tanpa jeruji dan kehidupan bahagia sampai akhir. Tapi aku tak tahu apa yang akan terjadi pada kami, dua puluh menit ke depan sekalipun.

"Tidurlah," kataku pada mereka. Kuletakkan tanganku di kepala Oz. "Selamat bermimpi indah, oke?"

Oz mencibir sinis padaku, dan aku tak bisa menyalahkannya. Aku telah memberinya harapan, bukan janji. Aku berdiri di atasnya saat dia bergabung dengan kumpulan anak-anak setengah burung lainnya. Tubuh mereka penuh luka gores dan lebam dan aku tak punya apa-apa untuk mengobati mereka. Selembar perban saja tak ada. Aku bahkan tidak punya selimut lusuh untuk menghangatkan tubuh mereka. Kugigit bibirku supaya tidak bergetar saat Max mulai berdoa. Anakanak lain ikut berdoa dan menambahkan nama-nama ke daftar orangorang yang mereka mintakan berkah dari Tuhan. Aku tidak mengenali nama-nama tersebut-kecuali nama Mrs. Beattie-tidak tahu apakah mereka binatang atau manusia, masih hidup atau sudah mati. Begitu banyak sejarah anak-anak ini yang belum kuketahui.

Max berkata, "Dan Tuhan, berkatilah Frannie dan Kit, teman-teman baik kami. Dan berkati juga Pip kecil, sahabat berkaki empat kami." Siapa yang telah mengajari anak-anak ini berdoa di tempat busuk itu? Apakah ini pengaruh Mrs. Beattie? Apakah ini insting? Aku bertanyatanya dalam hati apakah Tuhan mendengarkan doa mereka. Anak-anak istimewa ini membutuh-kanNya, berada di bawah perlindunganNya. Ini masalah filosofis yang rumit, dan sebaiknya kuserahkan saja pada para ahli teologi.

Begitu yang lain-lain sudah tidur, Max datang dan duduk bersama Kit dan aku. Kit bertanya padanya untuk kelima puluh kalinya soal Sekolah. Dia ingin tahu siapa orang-orang yang bekerja di sana. Max masih menyebut orang-orang itu sebagai mereka. Dia takut pada Sekolah secara keseluruhan. Selama bertahun-tahun anak itu diajar supaya tidak buka mulut.

Kit terus mendesaknya, membujuknya.

"Mereka bisa-bisa akan menidurkan kami," kata Max akhirnya. "Mereka tidak main-main."

"Bagaimana kau tahu itu, Max?" aku bertanya.

Aku berharap, berdoa, bahwa dia akan menceritakan semacam dongeng menyeramkan; semacam versi kisah Dr. Frankenstein tentang "Tunggu sampai ayahmu pulang."

"Mereka membunuh skitter di kotak." Max menatap mataku lekat-lekat ketika mengatakannya. Wajahnya bagai topeng sangat serius yang menampilkan kebenaran. Dia memucat. "Dan mereka punya kotak pembunuh untuk kami masing-masing."

Napasku tersentak. Aku tahu soal kotak pembunuh. Kotak itu adalah wadah yang diisi dengan karbon monoksida. Kotak pembunuh digunakan untuk mengeuthanasia tikus-tikus lab setelah mereka menunaikan tugas mereka di lab riset.

"Tapi mereka tidak bakal menidurkan anak-anak seperti kau," aku berkata padanya.

"Ya, mereka pasti akan menidurkan anak-anak seperti aku," bantah Max. Matanya tampak kecil dan menyorot keras. "Mereka selalu menidurkan anak-anak yang gagal." Suaranya nyaris tidak kedengaran, seakan dia berbicara pada diri sendiri.

"Eve ditidurkan. Dan Adam juga... dan, kurasa, begitu juga adikku

Matthew."

BAB 89

Aku duduk bersandar di salah satu batu besar dan berusaha menghilangkan rasa terkejut dari pikiranku. Aku jarang memaki, tapi saat ini yang ada dalam benakku adalah serangkaian makian. Hari ini sangat mengguncangkan. Aku sadar jantungku sudah beberapa jam ini berdentam-dentam tanpa henti. Aku merasa kacau, lemah, dan luar biasa lelah. Aku tahu aku amat sangat membutuhkan tidur. Namun aku tak bisa membuat mataku terpejam. Kelopak mataku tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kontrol tubuhku beran-takan. Aku juga muak dan terpana gara-gara pernyataan Max tadi-anak-anak seperti dirinya secara teratur telah ditidurkan.

Mereka selalu menidurkan anak-anak yang gagal, begitu katanya. Mereka melakukannya sebagai prosedur standar operasi.

Adam ditidurkan. Eve juga.

Tapi siapa anak-anak yang memiliki nama-nama unik ini? Mengapa mereka dibunuh? Apa yang menyebabkan mereka dianggap prodyk gagal?

Kit mendekat dan duduk di sebelahku. Dia tampak capek dan khawatir, dan aku tidak menyalahkannya. "Ada yang harus kuakui," bisiknya serak.

"Aku harus mengutarakan ini."

Aku tidak mengira dia akan bicara begitu. Tidak saat ini. "Pengakuan tentang apa?" Kupandangi dia. Perutku belum-belum sudah terasa mulas. Aku tidak membutuhkan "pengakuan" apa pun sekarang ini, namun Kit tak mungkin menarik kembali kata-katanya. "Tolong berhentilah membaca mataku," katanya.

"Aku tidak membaca matamu. Oke, aku memang berbuat begitu. Akan kuusahakan untuk tidak melakukannya lagi. Bicaralah. Apa yang harus kausampaikan padaku ini?"

Kit bersila, menghadap aku. Dia berpikir, menimbang-nimbang, dan akhirnya berbicara.

"Beberapa minggu yang lalu, seorang ahli genetik dibunuh di kamar tidurnya di San Fransisco. Begitu juga gadis kekasihnya yang tinggal bersamanya. Pembunuhan itu brutal dan penuh darah. Pembunuhnya sengaja menimbulkan kesan seolah itu perampokan yang tertangkap basah. Tapi sebetulnya bukan. Ahli genetik ini," dia melanjutkan, "telah membantu menemukan 'gen promotor'. Gen promotor ini mungkin digunakan di Sekolah."

Aku tahu bahwa gen promotor memungkinkan materi genetik untuk dipindahkan dari satu organisme ke organisme lain. Promotor bertindak sebagai semacam anak kunci, membuka kunci DNA, namun bukan anak kunci yang bisa membuka segalanya. Untuk masing-masing tipe perubahan genetik dibutuhkan gen promotor yang berbeda.

"Siapa yang memberitahumu?" aku bertanya. Dan mengapa kau tidak memberitahuku beberapa hari yang lalu, Kit? Apa lagi yang kaurahasiakan dariku?

"Aku harus menceritakan ini dengan caraku sendiri," kata Kit.

Aku menghela napas. "Oke, terserah kau, kalau begitu." "Semoga, setelah aku selesai bercerita, kau akan memahami tindakanku." "Semoga."

"Ahli genetik itu, pria bernama James Kim, telah memberitahu temannya di MIT bahwa dia dan sekelompok ahli biologi merupakan bagian dari sebuah jaringan lab bawah tanah. Mereka melakukan berbagai eksperimen ilegal, namun sangat menguntungkan. Dia bekerja dengan sebuah tim yang pusatnya terletak di suatu tempat di area Boulder. Kebocoran informasi tersebut menyebabkan nyawanya melayang. Dan juga nyawa si doktor di MIT."

"Tunggu, Kit, apakah kau bermaksud mengatakan bahwa kau sudah lama tahu ada eksperimen-eksperimen yang menggunakan manusia?" aku bertanya. "Apakah kau mengetahui hal itu sebelum kita tiba di Sekolah?

Tolong katakan yang sebenarnya padaku."

Kit menggeleng. "Tidak. Aku tidak tahu apa-apa secara pasti. Aku datang kemari untuk menemukan tim riset bawah tanah itu-apakah mereka tergabung sebagai tim, apakah mereka betul-betul ada di sini.

Aku tidak tahu apakah

bisa menemukan mereka atau tidak, atau apa yang akan kulakukan jika dapat menemukan mereka. Sampai sekarang pun aku masih belum tahu. Dan aku tidak tahu sebelumnya tentang kengerian yang kita temukan di Sekolah. Atau tentang Max. Siapa yang bisa membayangkan hal-hal seperti itu? Siapa yang bisa bermimpi akan menemukan hal-hal aneh seperti itu?"

Aku duduk tegak dan bersandar di batu yang tidak nyaman. Tiba-tiba, perasaan lelahku bagai berkurang. "Kit, bisakah kau mengatakan padaku apa persisnya yang tengah terjadi? Aku merasa sebentar lagi akan jadi gila. Aku tahu hidupku dalam bahaya. Aku juga tahu anak-anak ini

terancam nyawanya. Katakanlah yang sebenarnya padaku. Aku pantas diberitahu, bukan?"

"Aku berusaha melakukannya, Frannie. Namun masalah ini tidak hitamputih. Ada beberapa fakta yang sangat sukar untuk diungkapkan."

"Kenapa? Karena kau pembohong besar?"

Dia mendesah dan pelan-pelan mengangguk. "Ya, karena itu. Dan karena aku tidak biasa berbohong. Dan kurasa, karena mengapa aku merasa harus berbohong."

Aku merasa tenggorokanku seperti tercekik. Aku tak bisa berhenti memikirkan kejahatan-kejahatan mengerikan itu, pembunuhanpembunuhan berdarah dingin itu, apa yang kulihat di bangsal anak-anak di Sekolah. Apa yang ingin dikatakan Kit padaku sekarang? Apa lagi yang diketahuinya?

"Kit. Bicara sajalah," kataku akhirnya.

Kit menarik napas dalam. "Oke. Aku percaya bahwa David merupakan bagian dari semua ini.

Itulah sebabnya mereka membunuhnya. Suamimu dibunuh orang-orang yang tadinya bekerja dengannya."

"Oh Tuhan." Aku sadar bahwa aku memeluk diriku sendiri erat-erat.

Aku sanggup menghadapi ini, pikirku. Nyaris. Kepalaku serasa berputar. Bayangan-bayangan dari berbagai kejadian satu setengah tahun yang lalu melintas cepat di otakku. Semua tampak baru dan jelas. Kematian David. Diterangi cahaya bulan yang seputih kapur, kupandangi Kit dengan tatapan tak percaya. Aku shock, dan mungkin tak mau menerima kenyataan. Bagaimana David bisa terlibat dalam urusan sebusuk ini? Bagaimana dia bisa begitu meyakinkan ketika membohongiku dan untuk waktu selama itu?

"Apa lagi?" aku berbisik. Aku merasa masih ada yang belum diungkapkannya. Aku dapat melihatnya di mata Kit.

"Salah satunya," katanya, "adalah secara resmi aku tidak berada di sini.

FBI telah menarikku dari kasus ini. Dan-nama asliku bukan Kit Harrison."

BAB 90

Aku merasa begitu dikhianati dan sakit hati. Aku ingin berlari meninggalkan siapa saja, tapi tubuhku terlalu lelah. Mungkin aku shock.

Aku juga takut... pada Kit Harrison.

Aku nyaris tak bisa bicara, namun berhasil mengucapkan beberapa patah kata. "Tolong, tinggalkan aku."

"Namaku adalah-"

Kukibaskan tanganku. "Aku tidak peduli. Itu tidak penting." Emosinya mendadak meledak. "Aku betul berasal dari Boston. Aku juga betul pernah bekerja di D.C. beberapa lama. Aku agen senior FBI selama dua belas tahun. Aku hampir dipecat dari pekerjaanku karena tidak mau mundur dari penyelidikan sialan ini. Aku seharusnya tidak berada di sini. Mereka mengira aku sedang berlibur di Nantucket. Aku tengah berusaha melakukan tindakan yang benar, Frannie."

Kupandang dia, kutatap tajam mata birunya yang menipu itu. "Nantucket adalah tempat yang dituju istri dan anak-anakmu ketika pesawat mereka jatuh?"

Dia mengangguk. Wajahnya memerah. Matanya merah. "Frannie, aku prihatin tentang segala hal yang telah terjadi. Aku turut sedih mengenai suamimu, David. Biasanya aku bukan pembohong. Malah, sebetulnya aku tidak pernah berbohong. Aku tidak punya pilihan. Aku terobsesi dengan kasus ini, itu harus kuakui. Aku telah menyelidikinya selama beberapa tahun terakhir."

"Kau yakin soal David?" bisikku.

"Ya, aku yakin. Aku sudah berbicara dengan seorang doktor lagi di MIT. Wanita itu tahu soal kelompok pelanggar hukum itu. Dia mem-beritahu aku soal nama suamimu, dan bersumpah bahwa David dibunuh. Nama David muncul karena ada hubungan dengan Dr. Kim di San Fransisco. Aku menyesal harus menyampaikan ini padamu."

Kupandangi langit yang gelap. Perasaanku tidak keruan. Aku harus mengubah topik pembicaraan. "Menurutmu ke mana orang-orang yang tadi mengejar kita?"

Kit, atau siapa pun namanya, menggeleng. "Barangkali kebakaran dan ledakan di Sekolah mengalihkan perhatian mereka. Mereka tahu mereka akan bisa menangkap kita sebelum kita berhasil turun gunung, karena kita membawa lima anak."

"Mungkin salah seorang dari kita sebaiknya turun duluan," aku mengusulkan.

Dia menggeleng. Matanya sangat intens sekarang. "Frannie, coba katakan padaku apa pen-dapatmu mengenai lab-lab di Sekolah. Secara garis besar, tebakan terbaikmu, apa pun yang kaukira terjadi di sana.

Apa yang timbul di pikiranmu di sana tadi? Menurutku itu penting."

Aku berusaha berpikir jernih, berkonsentrasi, namun tidak mudah melakukannya. "Sejujurnya-mula-mula shock. Lalu, sedih. Seolah hatiku ditusuk-tusuk. Jelas kelihatan kalau mereka melakukan eksperimen pada manusia, selain melakukan hal-hal mengerikan lainnya."

"Hal-hal lain apa?"

Sebuah pikiran sangat keras menghantamku di Sekolah. Pikiran itu demikian menakutkan sehingga aku ingin pikiran tersebut menghilang. Tapi sampai saat ini aku masih belum bisa melenyapkannya. "Tak peduli bagaimana orang-orang yang disebut ilmuwan ini memanipulasi dan meng-kombinasi gen-gen, anak-anak itu pasti berasal dari manusia. Mereka tidak dibuat di lab. Sedikit bahan ini, secuil bahan itu. Mereka mewarisi warna rambut, mata, kulit, sebagian dari kapasitas intelektual mereka dari orangtua mereka. Max, Oz, Peter, Wendy, Ic, mereka semua memiliki ayah dan ibu manusia. Aku yakin." Mata Kit sangat intens, menyelidik, menatapku lekat-lekat. "Kumohon teruskan, Frannie. Aku harus mendengar ini, apa pun dugaanmu pada titik ini. Aku sedang berusaha menyatukan banyak potongan informasi." "Tidak ada yang namanya bayi tabung pengujian. Setidaknya, belum. Tidak ada cara untuk membesarkan anak dalam alat apa pun selain alat

yang sudah disediakan alam. Bahkan embrio tikus hasil rekayasa biologi pun harus ditanamkan di rahim tikus betina hidup sampai embrio itu

berkembang. Max dan anak-anak lain

ditumbuhkan dalam kandungan wanita biasa. Mereka memiliki ibu manusia?

Mataku akhirnya terpejam. Aku tak sanggup membukanya semenit lagi pun. Sayangnya, pikiran-pikiran mengerikan itu terus bergelombang datang. Siapa wanita-wanita yang telah mau bekerja sama untuk eksperimen-eksperimen ini? Bagaimana embrio-embrio yang telah dimanipulasi secara genetik itu diperoleh? Di mana ibu-ibu burung itu? "Siapa nama aslimu?" bisikku akhirnya. Aku harus tahu.

"Namaku Tom," kudengar dia menjawab. "Aku Tom Brennan, Frannie.

Aku minta maaf. Aku ikut berduka soal David."

Aku mengangguk. Air mataku nyaris menetes, namun dengan keras kepala kutahan. Bayangan sosok David melintas di depan mataku.

"Aku juga," kataku.

BAB 91

Sekarang pukul 21.30 dan Kit/Tom tampak serius dan asyik berpikir saat berjalan memeriksa sekeliling tempat persembunyian mereka. Setidaknya dia bertindak sebagai agen FBI. Sejauh ini, dia mampu melindungi semua orang-tapi sampai kapan?

Dia mengkhawatirkan begitu banyak hal sekarang, tapi terutama dia merasa tidak enak tentang apa yang barusan dialaminya bersama Frannie. Dia benci pada dirinya sendiri karena telah mengecewakan wanita itu.

Plop. Ada yang menjatuhi kepalanya dan Kit/ Tom terlonjak kaget. Dia mendongak, mengira akan ada masalah.

Dan memang ada. Max melompat-lompat di dahan besar sebuah pohon di atasnya. Gadis itu telah menjatuhkan buah pinus yang menimpa Kit.

"Gadis lucu. Ada apa di sana? Selain kau?" serunya pada anak itu. Max tersenyum.

"Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu." Max menunjuk bukit di kejauhan yang diliputi warna merah membara. "Apinya belum padam."

Kit ingin melihatnya juga. Dijejakkannya kakinya di batang pohon. Diraihnya dahan yang rendah, ditariknya dirinya ke atas sampai dia duduk mengangkangi dahan itu. Kit terus memanjat dengan cepat dan lihai hingga tiba di cabang tempat Max duduk.

"Itu cara yang sulit untuk sampai di sini," komentar Max dan mencibir. "Aku tidak bisa terbang, Max. Aku tidak boleh mengungkapkan fakta

bahwa aku Superman. Belum waktunya."

"Oh, oke. Rahasiamu akan kusimpan rapat. Hardee-har." Dia menirukan tawa sinting Matthew dan langsung menyesal. Max bergeser supaya Kit mendapat tempat di cabang pohon itu.

"Mulai sekarang aku yang akan mengawasi dari atas sini," kata Kit.

"Bagaimana kalau kau turun dan tidur? Kumohon, beristirahatlah." "Aku tidak bisa tidur," tukasnya. "Lagi pula, aku sudah biasa kok, begadang begini. Aku selalu takut 'ditidurkan'. Aku selalu bermimpi buruk tentang hal itu. Jadi aku jarang tidur."

"Kita akan aman selama beberapa saat," Kit memberitahunya.

Max mengerutkan kening. "Omong kosong."

Kit tersenyum. "Sedikit, kurasa. Ada apa sih di dalam sini?" dia bertanya, sambil mengetuk kepala anak perempuan itu. "Terlalu banyak pikiran sehingga aku jadi pusing sendiri, terutama sekarang. Aku benci Sekolah yang memuakkan itu, tapi bagaimanapun juga itu rumahku."

Kit mengangguk, paham sedikit. "Banyak tempat yang lebih bagus di dunia ini. Betul. Lihat saja nanti."

Max menarik napas dalam. "Aku sangat menyukai Frannie. Aku bahkan menyukaimu- kadang-kadang. Seperti saat ini," godanya. "Apakah kau akan berkembang biak dengan Frannie?" tanya Max tibatiba.

Kit langsung tertawa mendengarnya. Dia tak bisa menahannya, dan berharap semoga perasaan Max tidak tersinggung.

"Bagaimana?" tanya Max ngotot. "Rahasiamu aman bersamaku, Kit. Aku bersumpah."

"Frannie bahkan tidak mau bicara denganku," dia memberitahu Max, menceritakan persoalan yang mengusik hatinya pada anak itu.

"Kok bisa?"

"Karena," jawabnya, pelan-pelan, "aku tidak menceritakan padanya rahasia yang menurutku tidak boleh kukatakan pada siapa pun." Max mengangguk. "Oh, begitu. Seperti rahasia yang tidak boleh aku katakan pada siapa pun? Tapi bukankah kau berkeras aku harus memberitahumu?"

"Yeah. Kurasa. Kau betul juga." Max pandai sekali membalikkan katakata.

Max mengangguk puas. Dijilatinya jarinya dan ditulisnya angka satu, skor, di depan wajah Kit.

"Ada yang pernah mengatakan padamu betapa pintar dirimu?" Max tersenyum, jelas kelihatan senang. Dia memiliki wajah yang begitu cantik dan berseri-seri. "Wendy dan Peter lebih pintar. Aku cuma pernah sekali mendapat nilai empat puluh sembilan pada tes StanfordBinet. Mereka termasuk

kelompok sangat jenius. Adam dan Eve lebih tinggi lagi. Tapi itu tidak menyelamatkan mereka. Aku selalu bertanya-tanya tentang penyebabnya. Kau bagaimana?"

"Aku bertanya-tanya tentang banyak hal, Max. Itulah sebabnya aku mengajukan begitu banyak pertanyaan tolol. Kau tahu mengapa mereka ditidurkan?"

Max menggeleng. "Tapi aku ingat malam kejadiannya. Pasti ada kesalahan, cacat. Mereka ditolak. Ada yang salah dengan mereka." Kit mendengarkan dan menggeleng. "Selalu ada yang salah dengan kita semua, Manis. Tidak ada manusia yang sempurna. Itulah yang menjadikan kita menarik."

"Aku tahu. Aku memahami bagian itu. Aku sangat menyukai ketidaksempurnaanmu."

Max bersandar pada Kit. Perasaan Kit sangat tersentuh karenanya. Mereka merasa seperti ayah dan anak. Bersama-sama mereka memandangi kaki langit yang kemerahan. Api berkobar di sana. Bahaya. Tiba-tiba Kit teringat pada Tommy dan Mike. Anak-anaknya sendiri. Dia tidak ingin mengingatnya, tidak sekarang.

"Serius. Aku sangat menyukaimu," Max berkata padanya. "Kau memiliki mata yang baik. Aku tahu kau takkan menyakiti siapa pun kalau tidak perlu. Begitulah dirimu."

"Terima kasih," balas Kit, dan mencium pipinya. "Tapi salah satu dari kita harus tidur. Kau duluan."

"Mataku sama sekali tidak mengantuk," tolak Max. "Lagi pula, aku bisa melihat dan mendengar lebih baik dibandingkan kau. Akulah peluang terbaik kita."

Kit tersenyum. "Mungkin kau benar juga," katanya. Dibiarkannya matanya pelan-pelan menutup dan rasanya enak sekali. "Nama asliku Tom," bisiknya.

"Aku Maximum. Kau akan lihat mengapa aku dinamakan begitu."

BAB 92

Aku tengah berlari menyelamatkan diri dalam mimpi yang penuh bayangbayang dan terasa panas-ada David di dalamnya-ketika kurasa Pip menarik lengan bajuku kuat-kuat.

"Hentikan, Pip. Kau kan sudah di luar. Pergilah kencing sendiri. Jangan nakal. Ayo."

Percuma saja memarahi dan mendorong Pip, anjing itu tak mau berhenti.

Dia begitu keras kepala, aku terpaksa jadi membuka mata. Aku setengah berharap David berbaring di sampingku, tapi tentu saja tidak ada.

Aku membaui udara. Baunya mencekik dan aku mulai terbatuk-batuk. Seperti dalam mimpiku barusan, udara terasa panas, hitam, dan

mencekik. Aku tidak tahu apakah sekarang siang atau malam, aku cuma tahu bahwa aku tadi tidur diterangi cahaya bulan dan sekarang bulan sama sekali tidak kelihatan. Aku tidak bisa melihat apa-apa, bahkan langit sekalipun, atau pohon-pohon menjulang yang tadi tampak ketika aku mulai pulas.

Rasanya seperti buta mendadak. Aku diselimuti asap tebal, nyaris hitam pekat.

"Halo? Ada orang di sana?" aku berseru.

Dengan perasaan panik, aku menyadari betapa buruk keadaanku. Asap telah sama sekali menutupi bulan dan langit, bahkan juga pepohonan. Asap ada di mana-mana, mencekikku, membutakan mataku, membuatku tidak bisa melihat lebih dari beberapa kaki di segala arah. Hutan dilanda kebakaran.

Pip menyalak, menuntut aku mengikutinya. Kupaksa diriku bangun. Tersandung-sandung akar dan batu-batu, berteriak-teriak, "Kit! Kit! Di mana kau? Ada kebakaran!"

Dia akhirnya menjawab. "Di sini. Di sebelah sini. Angin pasti telah berubah arah."

Api menyerbu kami begitu saja.

Aku masih belum bisa menemukan Kit. Aku juga tidak bisa melihat anakanak. Mataku perih dan berair. Jarak pandangku hanya sekitar satu meter. Aku merasa terperangkap, terkurung, tak berdaya sedikit pun Aku mendengar sesuatu. Seekor elk. Aku memandang tepat ke mata binatang besar itu- yang berkilat dan beku. Dia sama tersesat dan ketakutannya dengan aku. Lalu elk itu melesat melewatiku. Aku bisa mendengar suara api sekarang. Suaranya menderu pelan, merayu, hampir merdu. Pelan-pelan, aku mulai bisa melihat kembali. Asap tidak terlalu tebal di dataran yang sedikit lebih tinggi. Langit berubah warna menjadi merah, menyala karena kebakaran. Saat memandang ke utara, aku dapat melihat berderet-deret pohon layu dan gosong di sisi bukit di kejauhan.

Sebuah pohon di dekatku disambar api dan

terbakar dengan bunyi mendesis keras. Sebatang dahannya yang besar sekali terempas ke tanah. Bunga api berhamburan sampai tinggi ke udara, seperti ledakan kembang api besar.

Kebakaran rupanya telah berubah arah mengikuti angin. Api pasti telah menjalari hutan selama beberapa jam terakhir, makin lama makin besar. Sekarang monster itu berukuran raksasa. Mereka telah menyingkirkan semua bukti, bukan? Sekolah telah lama lenyap dilahap api mengerikan ini.

Aku berteriak lagi.

Kali ini aku mendengar suara orang terbatuk-batuk. Anak-anak ada di dekat sini. Tapi di mana?

"Max? Icarus, Oz? Max?"

Aku melihat Kit duluan. "Aku bersama si kembar," katanya, sambil terhuyung-huyung keluar dari balik selubung asap. Dia menyandang si kembar di bahunya. Kit memang kuat.

Pip mulai menggeram lagi. Ditunjukkannya gigi-giginya. Bulunya sudah tertutup jelaga dan abu.

Terdengar bunyi tembakan. Kilatan cahaya. Tembakan di tengah semua kekacauan ini. Dari mana asalnya? Dari arah mana?

Satu lagi dahan pohon jatuh dan menimbulkan bunga api berwarna Jingga dan emas. Pip menyalak.

"Ayo pergi. Ayo!" teriak Kit. Kami mulai berlari.

BAB 93

Kupeluk Wendy erat-erat. Sejauh ini kami berhasil mendahului api yang mengamuk dan berkobar-kobar. Kemungkinan besar angin yang berubahubah arah dengan cepat telah meniupnya menjauh dari kami untuk saat ini.

Aku sedang berusaha mengetahui lokasiku ketika kudengar Max berteriak. "Lihat. Lihat. Penjaga lagi!"

Aku bisa melihat dua pria sedang sibuk memeriksa medan di lembah di bawah kami.

Aku terperangah. Aku kaget sekali, aku ternyata mengenali mereka. Aku mengenal kedua laki-laki yang berdiri di bawah sana itu. Mereka berasal dari Boulder Community Hospital. Rekan-rekan kerja David. Yang lebih tinggi di antara mereka berdua memakai jaket regu bisbol L.A. Dodgers dari satin biru, topi, kacamata tanpa bingkai. Dia memiliki rambut berwarna kuning kusam dan janggut lebat. Pria yang satu lagi lebih pendek namun lebih gemuk, Humpty-Dumpty yang mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana khaki longgar.

Lelaki yang lebih tinggi itu bernama Dr. Michael Vaughan. Dia bertugas di bagian Neurologi. Pria bertubuh pendek gemuk di sebelahnya adalah Bobby anu. Dia kepala perawat di bagian Obstetri-Ginekologi. Aku pernah melihatnya sekali di sebuah pesta, memamerkan pada orangorang foto bayi-bayi yang kelahirannya dibantunya. Bayi-bayiku, begitu dia menyebutnya.

Mereka teman-teman David. Kami pernah bergaul dengan mereka.

Air mataku menggenang, dan penyebabnya bukanlah asap kebakaran ini. Aku merasa dikhianati. Mungkin mereka cuma tenaga sukarela yang membantu mencari orang-orang yang masih hidup dalam kebakaran ini. Asyik sekali kalau Dr. Vaughan dan Perawat Bobby cuma sekadar dua warga peduli yang mau repot-repot membantu. Kami tinggal bersiul pada mereka dan kami akan bisa keluar dari alam liar ini dan mendapat antibiotik, selimut bersih, dan makanan hangat.

Tapi suatu perasaan aneh, semacam firasat, melarangku berteriak, "Hei, kami di sini."

Kit dan anak-anak juga tidak bersuara.

Kemudian Kit menunjuk ke kiri dan aku melihat penyelamat kami: sebuah Jeep hitam. Jeep kami.

Sayangnya, Vaughan dan perawat pria itu telah menemukannya juga.

Mereka sedang berusaha membuka pintunya.

Kit memasang peluru di senjatanya. Wajahnya serius, tegang. Konsentrasinya total.

Dipasangnya senjatanya pada posisi menembak. Mereka akhirnya berjalan meninggalkan

Jeep. Mereka mencari sesuatu-kami? Mata mereka terus mengamati hutan di sekeliling mereka. Syukurlah, mereka tidak melihat kami. Aku menarik napas kuat-kuat.

Sesuatu yang berkilau melintas di sudut mataku. Aku terlonjak. Apa lagi sekarang?

Kit mengacungkan kunci mobil.

"Kenapa kau mengunci mobil segala?"

Kit nyengir lebar, sesuatu yang sudah lama tidak kulihat, dan berkata,

"Itulah kebiasaan anak kota."

BAB 94

Kami berharap dengan segenap hati kami semoga tidak ada yang mencari Jeep Kit. Kami berharap mereka tidak tahu siapa dia, atau mengapa dia berada di Colorado. Lalu kami khawatir mengenai kurang terlibatnya FBI, dan terutama kenapa Kit ditarik dari penyelidikan ini. Begitu banyak yang kami khawatirkan.

Ini tidak bagus. Tidak ada yang bagus. Kami berjejalan ke dalam Jeep

dan Kit mengemudi dengan kencang, nyaris membahayakan nyawa kami, menyusuri jalan gunung yang sempit dan berkelok-kelok yang sudah pernah kami lalui. Anak-anak sangat senang, mendorongnya supaya melaju makin kencang.

Ketika kami melewati tikungan tajam di atas jurang, aku melihat sekelompok kecil pria dan wanita berdiri di pinggir jalan. Pelancong?

Mereka tampak tidak berbahaya.

Lalu aku mengenali mereka dan jantungku nyaris berhenti berdetak. Mereka juga berasal dari rumah sakit di Boulder. Beberapa di antara mereka memakai headphone dengan mikrofon kecil di dekat mulut mereka.

Tiga pria dan seorang wanita-semuanya dokter di Boulder Community. Memakai headphone untuk jalan-jalan? Sialan. Kurasa tidak. Aku tidak terlalu percaya dengan yang namanya teori konspirasi, tapi aku sangat mempercayai apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. "Merunduk. Cepat merunduk!" kataku pada anak-anak. "Merunduk di bawah jendela."

Dokter-dokter yang curiga itu mengangkat kepala untuk memandang Jeep kami yang ngebut, namun anak-anak terus merunduk, dan para dokter dari neraka tersebut tampaknya tidak melihat ada yang tidak beres.

"Mereka dari Boulder Community Hospital," aku menyampaikan kabar buruk paling baru itu pada Kit. "Makin lama urusan ini makin menyeramkan. Aku tidak tahan lagi. Aku berharap aku cuma sekadar paranoid."

Kit menambah kecepatan, dan anak-anak bersorak-sorak dan berteriakteriak lagi. Dalam situasi genting begini sekalipun, ini tetap merupakan perjalanan mengasyikkan bagi mereka. Mereka betul-betul tak kenal takut. Entah bagaimana caranya, kami berhasil tiba di kaki gunung dengan selamat, dan setahu kami, tanpa ketahuan.

Aku ingat bahwa Oz, si kembar, dan Icarus sebelum ini tidak pernah keluar dari Sekolah. Semua ini merupakan pengalaman baru bagi mereka. Mereka mengalami stimulasi hebat, bahkan mungkin lebih dari yang kurasakan.

"Selamat datang di Bear Bluff, Colorado," kataku. Aku menoleh ke belakang dan berusaha menampilkan ekspresi gembira. "Ini sebetulnya tempat yang lumayan enak untuk ditinggali."

"Lebih menakutkan daripada Sekolah," kata Max dengan suara serak dan dalam. Dia tertawa. "Cuma bercanda, Frannie dan Kit. Tempat ini memang enak. Kalau kau senang makan daging. Kalian akan suka, guys.

Not!"

"Aku sangat, sangat ketakutan," seru Wendy. Matanya yang berwarna cokelat membelalak, dan dia memang tampak ketakutan sekarang.

"Aku juga," sambung Peter.

"Tatapan Care Bear!" kata Max pada mereka. Rupanya itu istilah di antara mereka, ungkapan keberuntungan, mantra.

"Tatapan Care Bear!" tiru yang lain serentak. "Tatapan Care Bear!

Tatapan Care Bear!"

Sayangnya, ucapan Max tadi bahwa Bear Bluff lebih menakutkan dari Sekolah ternyata benar.

Sekarang, dua Jeep tentara mendatangi kami dari depan. Jeep tentara? Apakah militer terlibat dalam urusan ini juga? Bagaimana bisa? Siapa saja yang tergolong sebagai mereka? Semua orang kecuali kami? "Kalian yang di belakang cepat merunduk," aku berbisik dan anak-anak merunduk lagi. Aku juga.

Kami melewati kedua Jeep tentara yang men-deru-deru dan menggeram-geram itu tanpa terjadi insiden.

"Kit, tolong katakan keadaan kita tidak bisa berkembang menjadi lebih buruk lagi," kataku saat kami melaju di jalan menuju tempatku. Aku harus mampir di Inn-Patient untuk mengambil obat-obatan. Aku harus mengobati lecet dan lebam di tubuh kami yang timbul akibat perjalanan turun gunung ini.

"Kalau kau mengenali pegawai rumah sakit, teman lama, dan kenalan lagi, jangan lupa beri-tahu aku," katanya.

Kami berbelok di tikungan terakhir yang sudah tidak asing lagi, mendekati Inn-Patient. Kit hampir berhenti-lalu menambah kecepatan mobil. Diinjaknya pedal gas dalam-dalam dan Jeep kami melesat maju.

Kami ngebut persis di depan Inn-Patient, melewati rumahku. "Kit, berhenti. Kita harus berhenti!" aku berteriak. "Kit, hentikan Jeep ini! Sekarang juga!" aku mengulangi.

"Frannie, tidak! Situasinya tidak baik. Kita tidak boleh berhenti," tukasnya dan terus ngebut di jalan. Bagian belakang Jeep bergoyanggoyang hebat.

Aku tahu Kit benar, tapi aku tak bisa mempercayai penglihatanku barusan. Aku merasa hatiku akhirnya akan hancur berkeping-keping.

Mereka telah membakar habis rumahku, rumah sakitku, segala yang kumiliki. Mereka telah membumihanguskan Inn-Patient. Semua binatang pasienku yang malang ada di dalamnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience