BUKU LIMA - KETIKA ANGIN BERTIUP

Mystery & Detective Completed 9676

BUKU LIMA

KETIKA ANGIN BERTIUP

BAB 95

Kami melaju kencang melewati Inn-Patient dengan kecepatan hampir seratus kilometer per jam. Aku merasa hampa dan mual. Aku tahu tindakan Kit ngebut melewati rumahku tanpa berhenti adalah tindakan yang benar, tapi hatiku tetap saja terasa nelangsa.

Max mencondongkan badan ke dekatku dari bangku belakang. "Oh,

Frannie, aku turut bersedih. Ini semua salahku."

"Kami ikut sedih, Frannie," anak-anak yang lain ikut berbicara. Di bagian belakang Jeep, si Pip kecil sangat gelisah. Pip menyalak dan melolong saat kami melewati rumah kami, atau tepatnya sisa-sisa rumah kami.

Terkutuklah Mereka. Semoga Mereka masuk neraka. Siapa yang telah melakukan ini? Siapa yang bertanggung jawab? Aku ingin melakukan halhal mengerikan pada mereka. Aku merasa berhak berbuat begitu. Seumur hidup tidak pernah aku merasakan kemarahan dan kebencian separah ini.

"Aku tahu ke mana kita bisa pergi." Aku akhirnya berhasil bicara setelah kami melaju satu

atau dua mil di jalan tempat aku dulu tinggal. "Aku tahu di mana kita akan aman, setidaknya untuk beberapa saat. Sampai kita bisa menyusun rencana untuk tindakan selanjutnya."

Aku memberitahu Kit jalan menuju rumah saudaraku Carole. Dia tinggal di kota Radcliff, yang terletak sekitar 30 kilometer di barat daya Bear Bluff. Kami akan aman di sana, paling tidak selama sisa hari ini. Carole pindah ke Colorado dari Milwaukee, setelah berpisah dengan suaminya Charlie. Dia tinggal di pertanian kecil bersama dua putrinya, Meredith dan Brigid, dan anjing-anjing mereka, dua angsa-Graham dan Crackers-dan seekor kelinci terlatih bernama Thumper. Orang bisa langsung tahu kami bersaudara.

Aku sebetulnya ingin lebih awal pergi ke tempat Carole, setidaknya untuk bicara dengannya, namun saudaraku itu dan anak-anaknya pergi berkemah selama dua minggu di Gunnison National Forest. Aku bahkan tidak yakin mereka sudah pulang sekarang. Lebih baik jika belum. Tapi aku melihat C-Bird bekerja di kebun sayurnya ketika kami mendekati rumahnya. Carole nyaris tenggelam di antara bunga-bunga matahari yang menunduk. Kumbang-kumbang beterbangan di sekelilingnya.

"Kit, tolong berhenti di sini saja. Aku ingin berjalan ke rumahnya. Aku harus menyiapkan Carole untuk menghadapi semua ini." "Dia tidak suka anak-anak?" Max nimbrung dari belakang.

"Dia suka anak-anak, dan binatang juga," jawabku.

Aku keluar dari Jeep dan berjalan ke arah saudaraku. Aku tidak tahu pasti apakah aku melakukan tindakan yang benar sekarang. Aku tidak bisa pasti lagi soal segala hal. Dalam beberapa jam terakhir ini aku jadi tahu bahwa banyak orang di daerah ini yang tidak bisa ku-percaya. Aku juga jadi lebih bisa memahami apa yang telah dialami Kit dengan kasus ini.

Saudaraku Carole lebih tua lima tahun daripada aku dan merupakan orang yang sangat hebat. Suaminya, Charlie, ahli radiologi, bodoh sekali karena bisa kehilangan dia dan anak-anaknya. Carole menyimpulkan hubungan mereka dengan tepat: "Kau lengah, kau kehilangan." "Keluarga instan?" tanyanya, sambil memandang ke arah Jeep. Carole memakai sepatu bot berkebun yang berlumuran lumpur, celana pendek

motif kotak-kotak, kemeja denim tua, dan topi jerami tipis. Kening dan pipinya coreng-moreng dengan sunblock. Di belakangnya, jemuran penuh dengan handuk dan baju renang bekas perjalanan mereka. "Tentu saja kau boleh membawa mereka kemari tanpa memberitahuku lebih dulu, Frances. Tapi siapa mereka? Yang di kursi pengemudi itu laki-laki?"

Aku mengangguk. "Namanya Kit-maksudku Tom." Alis Carole naik beberapa inci.

"Uh-huh. Dia Kit, Tom, apalah. Dan? Yang lain-lain?" Aduh, aduh, aduh. Yang lain-lain?

"Carole, urusannya sangat aneh. Kau saudaraku. Kau percaya padaku, kan?"

"Sampai batas tertentu. Kau tidak sudah menikah dengan laki-laki beranak banyak, kan, Frannie? Tolong bilang tidak. Oh, sialan, aku tidak peduli kalaupun kau bilang ya," kata Carole dan menyisihkan helai-helai rambut yang menjuntai di wajahnya. "Tidak, kan?"

Kusentuh lengannya. Tidak, itu tidak cukup bagiku saat ini. Aku membutuhkan lebih dari sekadar sentuhan. Kupeluk kakakku erat-erat di tengah kebunnya.

"Sayang, kau baik-baik saja? Tubuhmu gemetar," katanya di pipiku.

"Sekujur tubuhmu bergetar."

"Ada yang mengejar kami," aku berbisik. "Aku tidak main-main. Aku tidak bercanda. Dan- anak-anak yang di mobil itu? Carole, oh Tuhan, Carole. Mereka uh, mereka ehm... oh sialan, mereka punya sayap dan bisa terbang."

BAB 96

Makan malam di rumah kakakku biasanya bersifat spontan. Thumper atau salah seekor angsa, Graham atau Crackers, diperbolehkan keluyuran masuk atau keluar ruang makan seperti tamu tambahan. Di atas meja ada kutipan yang dengan akurat menggambarkan sifat keluarga Carole: "Jika langit runtuh, orang bisa menangkap burung."

Langit tengah runtuh.

Aku harus menceritakan segalanya pada Carole, dia sangat bisa diandalkan dalam situasi buruk. Begitu juga Kit. Dan juga Meredith dan Brigid, yang merupakan anak-anak paling manis, baik, pintar yang pernah kutemui.

"Ini pembalasanmu karena urusan Frank si Angsa?" tanya Carole, dan kami tertawa terbahak-bahak. Kit ikut tertawa, walaupun tidak mungkin dia tahu pasti apa yang sedang kami bicarakan. Sebelum berangkat kemping, Carole membawa seekor angsa tua yang terluka parah padaku agar dirawat.

Sambil menikmati makanan yang kami masak sendiri, aku bercerita pada

Carole sebanyak yang berani kuceritakan, dan berkata kami akan keluar

dari rumahnya secepat mungkin. Kami juga memutuskan bahwa Carole dan anak-anaknya akan kembali ke Gunnison National Forest untuk berkemah satu minggu lagi-untuk jaga-jaga saja.

Setelah selesai makan malam, aku dan Kit harus pergi sebentar. Itu ide Kit. Kami akan menemui Henrich Kroner, yang pernah menjadi bos David di Boulder Community Hospital, dan juga yang berada di bagian atas daftar tersangka Kit. Kroner dulu mempelajari embriologi di bawah Dr. Anthony Peyser di Boston.

Henrich datang ke Colorado dari MIT. Dia tidak pernah punya masalah dengan hukum di Boston. Pria itu tinggal di Boulder bersama pacarnya saat ini, Jilly. Aku ingat bahwa Jilly adalah perawat di bagian pediatri, dan bekerja di klinik fertilisasi in vitro rumah sakit.

Aku tiba-tiba teringat pada bayi-bayi yang dibunuh di Sekolah. Semua proyek gagal itu. Perawat pediatri? Tidak mungkin cuma kebetulan. Kami takut Jeep Kit sekarang gampang dikenali, jadi kami meminjam

Chevy 4x4 milik Carole. Kami sampai di rumah Dr. Kroner sebelum pukul 21.30. Jika dia dan Jilly ada di rumah, mereka mestinya belum tidur. Aku ingat melihat Henrich di rumah McDonough pada malam Frank dibunuh. Kebetulan lagi? Aku meragukannya.

Lampu-lampu "pondok" pegunungan yang mewah dan sangat besar itu menyala terang benderang. Mercedes convertible hitam Henrich Kroner diparkir di jalan masuk.

Kami berdua berjalan di jalan setapak dari batu. Kami berdiri di luar pintu kasa dan menekan bel pintu depan beberapa kali.

Tidak ada yang membukakan pintu. Aku bisa melihat ruang tamu di balik pintu: perabotan dari kayu pinus dan permadani-permadani berwarna cerah. Lukisan-lukisan Audubon, pintu Shaker, lantai pinus dari papan lebar. Tapi tidak ada Henrich dan Jilly. Agak menakutkan. Segala hal terasa menakutkan sekarang.

"Dr. Kroner," aku akhirnya berseru. "Ini Frannie O'Neill. Henrich

Kroner. Jilly. Anda ada di dalam? Apakah ada orang di rumah?" Sunyi senyap di dalam rumah. Yang kedengaran hanya suara keras jangkrik-jangkrik mengerik di halaman.

"Ayo kita lewat jalan belakang," kata Kit. Dia bergerak mengitari rumah.

Aku menarik napas dalam dan mengikutinya. Aku tidak mau sendirian.

"Aku dua langkah di belakangmu, Kit."

Kit tiba-tiba berhenti dan aku nyaris menabraknya. "Oh, Tuhan," dia berbisik. "Diam di tempat, Frannie. Kumohon jangan bergerak. Ini jelek sekali."

Aku dapat melihat Henrich dan Jilly dari tempatku berdiri. Mereka tergeletak di dua kursi panjang berwarna kuning cerah. Darah tergenang di sekeliling kursi-kursi itu dan merembes ke celah-celah di antara bebatuan. Darah juga mengotori kedua kursi itu.

Aku bisa melihat bahwa Jilly ditembak di pangkal tenggorokannya.

Henrich ditembak di mata kanan.

Jantungku serasa diremas dan mulutku terasa sangat kering. Aku ingin memejamkan mata, tapi tidak kulakukan. Aku perlu melihat semuanya sekarang, supaya bisa menggambarkannya

jika diperlukan nanti. Kalau aku akan jadi saksi, aku ingin menjadi saksi yang baik.

Kit menyentuh pelan lenganku. "Kau baik-baik saja, Frannie?"

Tidak juga. Aku sudah melihat banyak binatang mati, namun bukan berarti aku siap melihat pria dan wanita yang dibunuh dengan keji ini, apalagi mereka adalah orang-orang yang kukenal. "Aku tidak apa-apa, kurasa. Paling tidak, aku masih berdiri," bisikku.

"Dua tembakan untuk masing-masing korban. Tiap luka terpisah sekitar satu inci," Kit menggumam.

"Kit, pembunuhan ini baru saja terjadi. Kedua mayat belum mengeras atau memucat. Pembunuhnya baru saja lolos. Atau, kita yang lolos dari mereka."

Baik Henrich Kroner maupun Jilly bukan temanku, tapi aku mengenal mereka. Aku tidak menyukai Henrich, namun David dan aku pernah menghadiri pesta di rumahnya beberapa kali.

Aku pernah duduk di salah satu kursi panjang kuning ini. Aku ingin tahu apakah Dr. Anthony Peyser pernah kemari. Mungkinkah dia yang bertanggung jawab atas kematian-kematian ini?

Berbagai pikiran jelek berputar-putar di otakku. Itu biasa terjadi jika aku sedang stres. Aku mau tidak mau teringat bahwa aku melihat Kroner di rumah Frank McDonough pada malam Frank tenggelam. Atau bahwa Henrich Kroner datang ke rumahku di Bear Bluff setelah David dibunuh. Ingatan itu mengerikan, dan rasanya semuanya bukan sekadar kebetulan.

"Kita harus kembali ke rumah Carole," kataku,

sambil, menyambar lengan Kit. "Kita harus membawa dia dan anak-anak pergi dari sini sekarang."

Mereka membunuh semua saksi.

BAB 97

Kit takut, namun berusaha tidak menunjukkannya supaya Frannie tidak panik. Dia berhenti di toko 7-Eleven di Baseline Road di Boulder. Dua puluh empat jam terakhir ini menguji semua hal yang pernah dipelajarinya sebagai agen, juga beberapa hal yang tidak pernah

dipelajarinya. Dia teringat pepatah lama pada masa pelatihannya di Quantico: Jatuh tujuh kali, bangun delapan kali.

"Aku tidak akan lama," katanya sambil menyentakkan pintu mobil 4X4 itu sampai terbuka. "Aku akan mencoba bicara dengan Peter Stricker di FBI. Aku harus membuatnya mempercayaiku, yang mungkin tidak mudah."

"Oke," jawab Frannie, "tapi tolong cepatlah pulang. Aku mencemaskan

Carole dan anak-anak."

Kit berjalan cepat menuju telepon umum di luar toko serba ada terang benderang itu. Dia masih merasa sendirian dalam urusan ini. Begitulah keadaannya. Secara realistis, sangat sedikit yang dapat diperbuat seorang agen. Mengapa mereka tidak melibatkannya? Tidak masuk akal dan sangat menakutkan.

Kit tidak ingin menelepon Peter Stricker. Sekarang pun, dengan segala kengerian ini, tidak. Rasanya seperti minta dihina, dicemooh, dan ditolak mentah-mentah lagi. Situasi seperti ini sudah berlangsung satu tahun lebih. Hal yang sama, berulang-ulang.

Meskipun saat ini sudah pukul 19.00 lebih di Washington, dia memutuskan untuk mencoba menghubungi kantor Stricker dulu. Kit juga punya nomor telepon rumah Stricker-mereka dulu berteman, bukan?tapi menelepon ke sana merupakan pilihan terakhir. Bukan perbuatan yang terlalu bagus.

Sekretaris Peter masih berada di kantor. Wanita itu mengangkat telepon dari Kit setelah dering pertama.

"Cindy, ini Tom Brennan. Aku harus bicara dengan Peter. Ada keadaan gawat."

"Mr. Stricker sudah di jalan," jawab sekretaris itu. "Aku akan menyampaikan pesanmu kalau dia menelepon kemari."

Kit berteriak ke telepon. "Sialan, Cindy, banyak orang tewas. Hubungi pager Peter sekarang juga. Aku akan menunggu. Sekali ini aku tidak akan menyingkir. Bilang padanya telah terjadi lebih banyak lagi kematian, dan itu gara-gara dia."

Cindy tidak butuh waktu lama untuk menghubungi Stricker, dan Kit bertanya-tanya dalam hati apakah pria itu sebetulnya masih di kantor.

Kemungkinan, ya.

Didengarnya bisikan Stricker yang sudah tidak asing lagi di telinganya.

"Tom, ada apa?" Kit ingin sekali bisa meraih orang itu melalui kabel

telepon serat optik ini dan mencekiknya sampai mati.

"Ada pembunuhan lagi. Dua pembunuhan. Tidak, sebetulnya, Peter, telah terjadi lebih banyak pembunuhan dari itu. Sekarang biarkan aku bicara, biarkan kukatakan semua yang harus kukatakan. Jangan ucapkan sepatah kata pun." "Tom, di mana kau?"

"Sepatah kata pun tidak boleh!"

"Aku mengerti. Tentu saja. Lanjutkan."

"Baik, well, aku tidak di Nantucket. Tidak pernah berada di Nantucket. Aku di Colorado, tempat yang memang sudah semestinya kudatangi, tempat Biro seharusnya mengirimku, tempat kau seharusnya mengirimku, Peter, jika kau mau mendengarkan peringatan-peringatanku dulu."

"Kau melihat seseorang dibunuh. Kau bilang-"

"Tutup mulut busukmu. Ya, aku baru saja meninggalkan rumah Dr.

Henrich Kroner. Dia sudah mati, begitu juga pacarnya. Itu salah kita.

Tidak, itu salahmu. Kroner pernah bekerja pada Anthony Peyser." "Baik, aku mendengar omonganmu. Di mana kau sekarang, Tom? Di mana persisnya rumah Dr. Kroner?"

"Lupakan soal Henrich Kroner. Kroner sudah mati. Aku telah memberitahukannya padamu. Peter, mereka membunuh anak-anak. Mereka menghancurkan embrio. Mereka melakukan eksperimen terhadap manusia. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihat lab mengerikan tempat mereka bekerja. Aku ada di sana." "Tom, di mana kau?" Peter Stricker akhirnya meninggikan suaranya. "Aku di telepon umum di tengah Neraka, dan seandainya kau ingin tahu, ada toko 7-Eleven di sini! Aku menginginkan lima puluh agen dikirim ke

sini sekarang juga! Kerahkan semua orang dari Denver. Suruh mereka segera ke Bear Bluff, Colorado. Pergi ke tempat yang tadinya merupakan Inn-Patient. Itu rumah sakit hewan. Mereka tidak mungkin tidak menemukannya. Seseorang telah membakarnya sampai rata dengan tanah. Aku yang akan menghubungi mereka-bukan sebaliknya. Aku yang pegang kendali sekarang!"

Stricker mendesah. "Baiklah, aku mendengar-mu. Kami akan mengirim orang-orang ke sana."

Kit meletakkan gagang telepon umum itu dan menarik napas dalam.

Bagus sekali.

Bantuan datang.

BAB 98

Kulihat Kit menutup telepon setelah percakapan yang sangat menggusarkan. Dia berlari kembali ke mobil, dan perasaannya kelihatannya lebih baik. Mukanya sudah tidak pucat lagi. Diberitahunya aku bahwa bos lamanya akhirnya mau mendengarkan omongannya. "Aku tidak tahu seberapa banyak yang dipercayainya, tapi yang penting dia percaya. Dia akan mengirimkan agen-agen kemari."

Perasaan yang ada dalam hatiku, bayangan gila yang muncul di dalam benakku, adalah bahwa aku dijebloskan ke dalam skenario sungguhan yang paralel dengan skenario film Invasion of the Body Snatchers. Aku mulai berpikir aku tidak dapat mempercayai siapa pun di Boulder atau kota-kota sekitarnya.

Dari Boulder kami bergegas pulang ke rumah Carole. Carole melihat lampu mobil kami dan menyambut di pintu depan.

"Semua beres di sini, Frannie," katanya. Jelaslah dia telah membaca ekspresi khawatir di wajahku. "Anak-anak bersikap sangat baik. Tidak ada yang terbang atau melakukan hal-hal lain." "Yeah, kecuali kau, Meredith, dan Brigid.

Kalian harus pergi dari sini saat ini juga. Satu lagi dokter dari rumah sakit itu telah tewas. Henrich Kroner. Kemasi barang-barang kalian sekarang."

Carole dan anak-anaknya siap dalam lima belas menit, rekor baru kecepatan di darat bagi mereka. Aku merasa bersalah karena melibatkan mereka, namun aku tahu mereka bagaimanapun juga tetap akan terlibat. Siapa pun yang memburuku bisa dengan mudah mengetahui siapa saudara perempuanku, mungkin mereka malah sudah tahu sekarang, dan di mana dia tinggal. Perkemahan di Gunnison National Forest adalah tempat paling aman bagi Carole dan anak-anaknya saat ini. Kami berpelukan sangat erat dan berusaha menahan tangis. Kemudian semua orang dengan sedih melambaikan tangan tanda perpisahan. Saudaraku dan anak-anaknya melaju ke dalam kegelapan malam. Aku berdoa semoga mereka selamat, semoga kami semua selamat.

Namun aku tidak sungguh-sungguh mempercayai doaku. Terlalu banyak kejadian buruk telah terjadi, dan kami tahu sebagian besar di antaranya.

BAB 94

Dr. anthony peyser perlahan-lahan keluar dari sedan Mercedes kelabu itu. Wajahnya berkerut menahan sakit karena harus bergerak. Peyser berusia akhir tujuh puluhan, dan jenius atau tidak, dia tidak mampu melawan cengkeraman usia dan kehidupan yang sangat penuh stres. Dia berjalan pelan mendatangi orang-orang yang menunggunya di lapangan kecil di tengah hutan. Dilambaikannya tangannya sebagai salam dan kelihatan seperti orang tua yang ramah.

"Kami belum berhasil menangkapnya." Harding Thomas berbicara sebelum dia bersuara.

"Tampaknya begitu," ujar si dokter dan tersenyum tipis. "Yah, aku tidak heran. Dalam situasi lain, aku mungkin bahkan akan senang dengan hasilhasil ini. Dia memiliki insting burung untuk bertahan hidup dan terbang,

dan inteligensi manusia. Dia jauh melebihi kalian semua, dan dia membuktikannya, bukan? Tentu saja. Anak super." "Kami akan menangkapnya," kata Thomas.

Peyser mengangguk dan mengerutkan bibirnya yang tipis. "Itu tidak kuragukan. Dia akan mencari bantuan, dan manusia-manusia itu akan

menyebabkan kejatuhannya. Dia akhirnya melakukan kesalahan." Harding Thomas mengangguk. Seperti biasa, dokter itu benar.

"Tangkap dia hidup-hidup kalau bisa. Nilainya lumayan tinggi," kata Peyser. "Tapi kalau itu tidak bisa kalian lakukan, dalam keadaan mati pun tidak apa-apa. Dan itu berlaku bagi siapa saja yang telah melihatnya. Kebaikan di penghujung semua ini nanti akan membenarkan segala cara yang kita lakukan. Hari-hari paling penting dalam sejarah hampir tiba."

BAB 100

Kami tidur dengan resah di rumah Carole dan semua sudah bangun sebelum fajar. Kit perlu pergi ke Inn-Patient dan kami memutuskan lebih baik kami selalu bersama-sama.

Bantuan mestinya sedang dalam perjalanan. Agen-agen FBI akan menemui kami di Inn-Patient. Kit sudah mengecek ke sana sekitar tengah malam, tapi mereka belum tiba.

Kami tinggalkan rumah Carole sebelum pukul 04.00 dan jalan-jalan sangat gelap dan terasa menyeramkan. Tidak ada lampu jalanan di Radcliff, begitu juga di Bear Bluff.

Kami sampai di dekat Inn-Patient pada pukul 04.45. Kami menyusuri jalan yang tidak asing lagi itu, tapi Kit terus melaju melewati tempat tersebut. Diperiksanya situasi di sana sementara kami melaluinya. "Kulihat tidak ada siapa-siapa. Mungkin Stricker ternyata tidak mempercayaiku. Dasar bangsat."

Kami berputar dan melaju di jalan tadi lagi. Semua tampak gelap dan sepi. FBI belum datang.

"Berhenti, Kit. Aku harus melihat rumahku."

Tempat ini tadinya rumahku dan aku tidak bisa melupakannya begitu saja. Belum ada satu manusia pun. Kit membelokkan mobil ke jalan masuk.

Kusambar senternya. "Aku takkan lama."

Cepat-cepat aku turun dari Jeep dan menaiki anak tangga-anak tangga depan. Tangga depanku yang hangus. Aku tidak menyadari hal-hal lain, yang ada di pikiranku hanyalah bahwa ini dulu rumahku, tempat kerjaku, dan binatang-bina-tangku yang malang terperangkap di dalamnya, dengan kejam terbakar hidup-hidup.

Bangunannya masih berasap, dan bau bekas kebakaran yang menyesakkan dan menusuk hidung menyelimutiku. Rumahku telah tiada.

Aku nyaris tidak mengenalinya.

Aku mendapat kejutan saat berhasil mengumpulkan keberanian untuk akhirnya melihat ke dalam. Kugerakkan senterku ke sana kemari dan...pasien-pasien binatangku tidak ada. Seseorang telah mengeluarkan mereka sebelum membakar tempat ini. Aku merasa lega dan juga berterima kasih.

"Frannie." Kit mendadak berdiri di belakangku. "Kau baik-baik saja?" "Aku harus melihatnya," bisikku sementara kurasakan tenggorokanku mulai sesak. Kututup hidungku dengan saputangan, tapi tidak terlalu efektif. Lidahku terasa pahit.

Api telah melalap segalanya. Perabotan, karpet, dan gorden kelihatan seperti onggokan kain hangus dan tidak akan bisa diselamatkan. Dinding dan langit-langit hitam legam.

Kit menahanku dari belakang. Dia tahu tindakan apa yang harus diambil.

Aku berbalik dan menatap matanya.

"Kit, mungkin pelakunya tidak sama. Siapa pun yang membakar rumahku, dia membebaskan dulu binatang-binatangnya. Bajingan-bajingan di

Sekolah tidak mungkin mau berbuat begitu."

"Mungkin beberapa dokter dari Boulder yang menimbulkan kebakaran ini," dia mengajukan kemungkinan, "bukan para penjaga atau pemburu

itu."

"Mungkin tentara-tentara muda itu, seperti yang kita lihat kemarin." Aku mengungkapkan pikiran paranoidku sendiri.

"Ayo kita keluar," Kit berbisik mengajakku. "Kita tunggu di sana. Tidak ada apa-apa lagi di sini."

"Aku tahu. Terima kasih kau telah mengizinkan aku melihat rumahku," aku balas berbisik. Kubiarkan dia menarikku keluar dari rumahku yang hangus, meninggalkan hidupku selama beberapa tahun terakhir ini.

Kami berjalan sampai teras. Kami berhenti.

Mereka sudah menunggu kami. Bukan FBI- para pemburu, para penjaga dari Sekolah. Enam orang pembakar rumah, pembunuh anak-anak, berdiri di jalan masuk rumahku. Mereka menahan Max dan anak-anak yang lain.

BAB 101

"Jangan kalian apa-apakan mereka!" Kit berteriak dari teras. "Mereka cuma anak-anak. Mereka masih kecil."

Aku suka tindakannya itu, sangat suka, malah. Mereka membawa senapan dan pistol, tapi Kit tetap berani berteriak melarang mereka. Dia melawan orang-orang berbahaya itu.

Dua penjaga yang memegangi Ozymandias dan Max akhirnya betul-betul melepaskan mereka, malah mundur beberapa langkah. Mereka berpakaian seperti orang-orang setempat yang menyukai kehidupan di alam terbuka-sepatu bot, celana khaki yang kusut dari kotor, rompi berburu. Tidak ada cara untuk mengidentifikasi siapa mereka. Angkatan Bersenjata? FBI? Tentara bayaran? Yang jelas aku tidak pernah melihat satu pun dari orang-orang itu di Boulder Community Hospital. "Cepat turun dari teras dan datang kemari!" Orang yang berbicara itu berbahu lebar, berumur akhir empat puluhan atau awal lima puluhan. Wajahnya penuh bekas luka dan lubang, matanya hitam dan bulat seperti kelereng.

Aku langsung tahu dari deskripsi Max bahwa dia pasti Paman Thomas.

"Kalian sudah menimbulkan cukup banyak masalah," serunya dengan

suara menggelegar. "Aku tidak keberatan menembak kalian supaya turun dari teras."

"Kami sudah menimbulkan cukup banyak masalah," aku balas berseru.

"Apakah tidak terbalik?"

"Kau pembunuh!" Max menjerit pada pria itu, yang menjambak rambut Max dengan satu tangan. Wajah Max merah padam dan anak itu meronta-ronta meskipun dicengkeram kuat-kuat. "Dan kau juga bajingan. Kau bahkan lebih busuk daripada sekadar pembunuh, Paman

Thomas!"

Thomas tersenyum, dan dia hampir berhasil menimbulkan kesan paman yang baik. "Terima kasih, Tinkerbell." Dipandangnya kami dan didorongnya Max ke depannya. "Kalian berdua, cepat turun kemari. Ayo, kalau tidak akan ku-tembak salah satu anak-anak ini sekarang juga." "Dia akan melakukannya, Frannie. Dia pengecut dan tukang gertak. Dia babi bangsat."

Kit dan aku pelan-pelan menuruni tangga teras dan bergabung dengan tawanan-tawanan lain. Kami tidak punya pilihan. Para penjaga mengarahkan senjata mereka pada kami. Kami tadinya berharap menjumpai FBI di sini, tapi ternyata bertemu para pembunuh ini.

Beberapa mobil 4x4 berbelok ke jalan masuk di belakang Jeep kami.

Lalu sebuah RV hitam ikut belok.

"Kau tahu orang-orang ini?" aku bertanya pada Max.

"Aku tahu mereka," desisnya. "Dan aku menyesalinya. Mereka penjagapengatur Mereka mengatur ketertiban Sekolah. Mereka menertibkan semua orang. Mereka menahanmu sampai mereka memutuskan untuk menidurkanmu. Kepala para penjaga itu adalah Paman Thomas." Disentakkannya kepalanya ke arah pria besar yang berdiri di belakangnya. "Kau yang paling busuk di antara yang busuk. Kau mengkhianati kami. Kau berbohong setiap kali kau membuka mulut." "Omonganmu sudah keterlaluan, Missy," pria itu memperingatkan.

Wajahnya menegang. Diangkatnya tangannya untuk memukul Max.

Kuempaskan tubuhku pada Paman Thomas. Aku marah besar. Sesaat Thomas terhuyung. Kit melompat ke dalam perkelahian kami. Disikutnya hidung salah seorang dari mereka. Ditinjunya salah satu penjaga

bertubuh raksasa yang akan memukul kami dengan popor senapan. Lalu penjaga ketiga menodongkan revolver ke bagian samping kepala Kit. Max berhasil membebaskan diri. Dia berlari beberapa meter menuju hutan pinus yang berada tak jauh dari rumah. Kemudian dikepak-kannya sayapnya dan terbang. Setiap kali terbang dia tampaknya makin lama makin kuat dan lincah.

"Jangan tembak! Kumohon jangan tembak dia!" aku menjerit sekuat tenaga. Aku berteriak di telinga Thomas.

"Tembak dia!" teriaknya. "Jangan ragu-ragu. Habisi dia."

Dua penjaga menembak Max saat gadis itu melesat naik. Tapi Max tidak terbang lurus ke atas. Max melesat seperti anak panah ke dalam hutan fir lebat. Dia menghilang di balik pohon-pohon pinus.

Beberapa penjaga mengejarnya, namun ada juga yang tinggal bersama kami dan anak-anak yang lain.

"Yang lain-masuk ke van! Sekarang! Lakukan, kalau tidak kami tembak kalian saat ini juga." Thomas sibuk memerintah. Lalu dipukulnya bagian samping kepalaku. Telingaku langsung seperti berdering, dan aku hampir jatuh. Aku tidak mengira akan dipukul.

"Tembak saja aku!" Wendy melangkah maju. Dagu dan dadanya yang kecil dibusungkannya dengan berani. "Tembak mukaku. Tembak aku sampai mati."

"Tembak aku juga," kata Peter. "Dor, aku mati! Siapa yang peduli? Ayo, tembak saja, toh cuma satu anak kecil lagi."

"Aku sedang berpikir-pikir untuk mulai dengan dia," Thomas mengarahkan senjatanya pada Icarus. "Si bocah buta. Ic!" "Masuk ke van," kataku pada anak-anak. "Sekarang! Detik ini juga!

Icarus duluan. Please?

Anak-anak menatapku, dan aku ingin menenangkan mereka, entah bagaimana caranya. Namun aku tidak bisa, dan mungkin takkan bisa.

Thomas terus menodongkan senjatanya pada kami ketika kami naik ke dalam van.

"Habis," bisik Icarus yang duduk di samping Kit. "Tamat riwayat kita."

Kit, anak-anak, dan aku didorong dan berdesakan di dalam van remangremang itu. Aku tidak bisa mencegah timbulnya pikiran bahwa kami seperti berada dalam mobil jenazah. Atau teringat apa yang pernah dikatakan Kit: "mereka" ingin menghilang. Tidak boleh ada saksi mata. Mobil jenazahnya batuk sekali, lalu mesinnya menyala. Mobil itu mundur dari jalan masuk rumahku. Sopirnya belok kanan, menjauhi desa Bear Bluff. Menuju ke mana?

"Mereka akan menidurkan kita," kata Oz yakin. Dengan lugas dia mengucapkan kemungkinan yang paling kutakuti.

"Siapa yang mereka tidurkan di Sekolah?" tanya Kit pada Oz. Biarpun sudah dikeluarkan dari FBI, dia tetap berusaha mengumpulkan informasi, menemukan kebenaran.

"Kita tidak boleh membicarakannya," Wendy memperingatkan. Matanya membelalak ketakutan.

"Banyak skitter kecil dibunuh," celetuk Peter lagi. Dia tidak peduli.

"Apa itu skitter?" aku bertanya pada Peter.

"Makhluk yang tinggal di lab. Terutama bayi-bayi baru. Mereka disebut skitter. Atau labbies," jawab Oz. "Tanyakan saja pada Max. Dia bekerja di sana. Oh yeah, Max tidak ada. Jangan khawatir, dia pintar kok. Max bisa menjaga dirinya sendiri."

Aku mengangguk pada Oz. "Aku tahu. Bagaimana dengan Adam dan

Eve?" tanyaku. "Siapa mereka?"

"Mereka adalah teman-teman yang paling kami sayangi." Peter memberi lebih banyak informasi dengan suara pelan dan sedih, dan wajahnya bahkan lebih sedih lagi. "Seumur denganku, kau tahu. Lahir di tahun yang sama. Seribu sembilan ratus sembilan puluh empat." "Ditidurkan," tambah Oz. Dia pura-pura menggorok lehernya dan mengeluarkan lidahnya. "Sebaiknya lupakan saja mereka. Jauh di mata, jauh juga di hati. Satu tidur, yang lain terpekur."

"Satu tidur, yang lain terpekur," anak-anak mengulangi. "Satu tidur, yang lain terpekur."

Aku jadi makin tahu dan makin ngeri mengenai Sekolah. Anak-anak yang lebih muda lebih terbuka soal tempat itu daripada Max. Mereka tidak setakut Max dalam membicarakan Sekolah.

"Ya Tuhan, Frannie," ujar Kit, sambil memegang tanganku. "Anak-anak yang malang ini. Kau tahu ke mana mereka membawa kita? Kita menuju ke arah mana?"

Aku menggeleng dan mengembuskan napas. "Kembali ke pegunungan.

Barat, kurasa. Cuma itu yang bisa kutebak."

Sementara itu, ucapan anak-anak tadi terngiang di telingaku. Satu tidur, yang lain terpekur.

Atau bagaimana kalau-mereka semua tidur, tidak ada yang tersisa untuk terpekur.

BAB 103

Mobil van itu berjuang menaiki jalan terjal yang nyaris selalu menanjak selama sekitar setengah jam. Lalu mobil itu mendadak tersentak dan berhenti. Mesinnya dimatikan dan tubuhku langsung kaku. Kami sampai di tujuan kami, di mana pun tempat ini. Bukan Sekolah-tapi di mana? Aku dapat mendengar suara pintu-pintu dibanting. Sepatu dan sepatu bot menginjak kerikil. Terdengar suara laki-laki di luar van. "Di mana pun kita berada saat ini, kita tidak sampai setengah jam dari tempatmu," bisik Kit. Kami berdua duduk tanpa bergerak di bagian belakang van. Tidak ada yang bisa kami lakukan sekarang. Aku merasa sangat tegang.

"Kalian baik-baik saja?" aku bertanya pada anak-anak. Aku berusaha terdengar tenang dan menguasai keadaan. Aku baru sadar ternyata aku memiliki perasaan keibuan yang kuat sejak berada di dekat mereka. "Kita tidak berada di dekat Sekolah brengsek itu lagi. Aku bisa merasakan kita bukan di sana," ujar Oz dengan suara yakin sekaligus bersemangat.

"Kita berada di tempat yang buruk," kata Ic. "Tempat ini rasanya jelek sekali. Aku selalu bisa merasakannya."

"Membuat bulu roma berdiri ya, Ic?" celetuk Oz. Dikerutkannya mukanya ke arah temannya.

Kunci pintu van dibuka. Pintunya dibentangkan dan menimbulkan suara berdecit yang melengking. Kami berkedip-kedip, silau dengan cahaya terang matahari yang menyerbu masuk.

Pria-pria bersenjata berdiri di luar. Mereka memandang ke dalam dengan wajah-wajah seperti bulan. Kemungkinan kami bisa meloloskan diri kecil sekali.

"Kalian tidak perlu menodongkan senjata begitu," kataku.

"Kami datang dalam damai," ujar Ic.

Salah seorang dari para pria itu memberikan perintah. "Keluar dari mobil." Kedengarannya dia orang militer, dan aku bertanya-tanya dalam hati, militer yang mana? "Urusan ini akan lebih gampang kalau kau mengikuti perintah, bukan memerintah, Ma'am. Kalian semua-keluar!

Lakukan sekarang juga!"

"Ini cuma anak-anak kecil. Senjata membuat mereka ketakutan," ujar Kit. "Kau punya anak, Mister? Ada di antara kalian di luar sana yang punya anak?"

"Cepat turun dari mobil, Agen Brennan. Kami tahu siapa kau. Dan yeah, aku punya dua anak. Sekarang tutup mulut."

Kupandang anak-anak yang berada di sekelilingku. Wajah mereka tampak tegang, namun mereka tidak terlalu menampakkan ketakutan mereka. Mungkin atmosfer menakutkan di Sekolah membuat mereka bisa menerima apa pun yang akan terjadi pada mereka.

"Oke, kami datang. Keluar dari van, anak-anak," aku berkata. Namun saat aku turun dari van, kata-kata seolah menguap dari ujung lidahku. Kalau tadinya aku ragu, maka sekarang aku yakin bahwa aku baru saja memasuki Twilight Zone. Aku merasa seolah tidak sanggup bergerak satu langkah pun.

Aku dapat melihat di mana kami berada. Aku tidak mengerti, dan kurasa aku memang tidak mau mengerti, namun aku tahu pasti di mana aku berada sekarang. Oh, Tuhan, aku tahu tempat ini. "Oh, Kit," gumamku.

"Ada apa, Frannie?"

Aku menggeleng-geleng tak percaya. Aku tidak sanggup bicara. Kami berada di tempat Gillian di sisi barat Sugarloaf Mountain. Kami ada di rumah temanku, dengan kolam renang berair biru yang besar dan berkilauan, tempat aku berenang beberapa hari yang lalu. Aku bisa melihat Continental Divide di barat, dan Four Mile Canyon di utara. Area parkir luas yang sudah tidak asing lagi itu penuh truk, mobil, dan penjaga bersenjata. Aku juga melihat enam orang yang kukenal dari Boulder Community Hospital.

Salah seorang dari mereka menarik perhatianku saat aku berdiri terpaku. Pria itu bergerak turun dari Land Rover biru laut. Aku melihat stiker rumah sakit di sudut kiri kaca depan. David dan aku dahulu punya stiker seperti itu juga.

David salah seorang dari mereka, bukan? David juga orang jahat. Oh, David, David, betapa teganya kau?

"Itu Dr. John Brownhill." Aku menunjukkannya pada Kit. Brownhill bahkan tidak mau memandangku, melihat ke arah kami saja tidak mau. "Kami pernah bertemu. Apa spesialisasinya? Pembunuhan bayi?" tanya Kit.

"Dia kepala klinik fertilisasi in vitro di Boulder," aku bergumam pada diri sendiri. Anak-anak itu memiliki ibu manusia, aku tidak bisa mencegah pikiran itu melintas lagi di benakku. Ibu-ibu sungguhan terlibat dalam urusan ini, dan itulah sebabnya Dr. Brownhill ada di sini.

Pasti itu alasannya.

Lalu kulihat Gillian Puris muncul di teras depan rumahnya. Temanku. Dia tampak begitu tegas dan dingin. Aku hampir bisa meyakinkan diriku bahwa aku tidak mengenalnya. Anak laki-lakinya yang masih kecil berdiri

di sampingnya. Michael melambai-lambai dari teras, dan kupikir dia melambai padaku.

Ternyata bukan!

BAB 104

"Itu Adam! Adam tidak apa-apa! Itu dia di teras depan. Adam masih hidup!" Wendy dan Peter berteriak dan menjerit dengan suara mereka yang melengking. Mereka sangat bersemangat dan gembira melihat bocah itu-putra Gillian.

Mereka mengenalnya, dan aku bisa menebak dari mana-Sekolah! Michael pernah tinggal di Sekolah juga. Michael adalah Adam, bukan? Tiba-tiba, bocah kecil itu meronta-ronta dan melepaskan diri dari Gillian. Dia juga kuat. Dia berlari mendatangi Peter dan Wendy secepat kilat. Mereka terus berseru-seru, "Adam! Adam! Kami di sini." Gillian mula-mula tampak waswas, tapi setelah itu cuma kesal, marah malah. "Michael, stop!" teriaknya, namun bocah langsing berambut pirang itu berlari seperti kilat menuju teman-temannya, compadre-nya.

yang sudah lama hilang, teman-teman Sekolahnya.

Michael tertawa dan nyengir, dan dia tampak begitu polos dan merdeka.

Belum pernah aku melihatnya bersikap seperti anak kecil biasa.

Kemudian dia, Wendy, dan Peter berpelukan

dan menari-nari gembira di jalan masuk. Mereka mengeluarkan suarasuara nonverbal yang tampaknya hanya bisa dipahami mereka sendiri. Aku mengalihkan pandangan dari mereka dan kembali menatap Gillian. Temanku itu masih memandangi adegan itu dengan tatapan dingin dan tanpa ampun. Aku belum pernah melihat tatapan seperti itu, dan aku tidak siap melihatnya sekarang. Siapa orang yang kukira kukenal ini? Perutku terasa mulas. Dia cuma berpura-pura jadi temanku, bukan? Dia mengawasi aku setelah kematian David.

"Dia Adam! Dia teman kami!" Icarus memekik persis di telingaku. Karena gembira, dia terbang beberapa kaki dari tanah. Bocah kecil yang

menakjubkan itu melayang di udara. "Adam masih hidup! Asyik, kan? Ini kabar paling hebat, kan?"

Tiba-tiba, Icarus dipukul. Salah seorang penjaga meninju bagian samping kepalanya. Meninju anak kecil itu dengan tangan terkepal erat. Ic yang malang jatuh ke tanah dan terpuruk mengenaskan. Tubuhnya tidak bergerak.

Kit tidak dapat menahan diri setelah Icarus dipukul. Diayunkannya tinjunya pada si penyerang, dan menghantam tulang rahangnya dengan kuat. Sambil memaki-maki, kedua penjaga lainnya mulai menyerang Kit. Kemudian mereka menodongkan senjata padanya, namun Kit tidak mau tenang. Dia berteriak-teriak pada mereka. Anak-anak berteriak-teriak juga.

Aku sudah berlutut, memeriksa kondisi Icarus. Aku khawatir soal kerusakan di kepalanya, namun matanya yang tidak dapat melihat terbuka lebar. Dia berhasil mengatasi rasa sakit dan tampak waspada. "Dasar preman," katanya akhirnya pada si penjaga. Menyemburkan kemarahannya. Menunjukkan betapa jagoan dia sebenarnya. "Tinjumu tidak terasa kok."

"Bagus, Ic," aku berkata padanya. "Tapi jangan terlalu galak."

"Dilarang terbang!" jerit si penjaga pada anak-anak, tapi terutama pada Icarus. Wajah pria itu merah padam, bahkan urat-urat tebal di lehernya yang besar bertonjolan. "Kalian tahu peraturannya. Dilarang terbang.

Sudah ribuan kali kalian diberitahu."

Ic menggeram pada penjaga yang marah-marah itu. "Tidak lagi.

Peraturan sudah berubah."

Kutahan Icarus di dekatku, berusaha melindungi bocah itu dari bahaya yang lebih besar. Naluri keibuanku masih berkobar-kobar. Gillian sekarang sampai di jalan masuk. Dia berjalan cepat mendatangiku. "Ini mestinya tidak terjadi. Sama sekali," katanya.

"Maafkan aku, Frannie."

"Betul. Cuma masalah waktu yang tidak tepat," bentakku, dan menyadari aku semarah Gillian. "David yang malang, juga Frank McDonough. Mereka mati karena waktu yang tidak tepat."

Aku ingin menjerit pada Gillian, dan pada monster mengerikan bernama Paman Thomas, tapi kupaksa diriku tetap tenang, tidak menunjukkan kemarahan, kemurkaanku. Terlalu berbahaya untuk berbuat begitu sekarang. Penjaga-penjaga bersenjata ada di mana-mana.

Mereka kelihatan seperti mencari-cari alasan untuk mengamuk.

"Hai, Bibi Frannie!" Aku mendengar suara dari bawahku. Dengan polos Michael menarik kakiku dan memelukku erat-erat. Dia bocah yang manis. Aku selalu menyukai dan menyayanginya, tapi sekarang, sejujurnya, dia membuatku agak takut. Semua membuatku agak takut. Terutama Gillian. Wanita yang mengaku sebagai temanku itu ternyata monster sadis.

Tidak ada lagi yang seperti dulu; semua merupakan bagian dari mimpi buruk yang sedang berlangsung ini.

Michael adalah Adam.

Adam adalah makhluk yang cuma Tuhan yang tahu apa jenisnya. Gillian ternyata sama sekali bukan temanku. Kami dulu berbincangbincang, tertawa, dan menangis bersama. Selama ini ternyata dia musuh mengerikan, yang paling mengerikan di antara Mereka. Dia mungkin bahkan berniat membunuhku?

Aku membungkuk dalam-dalam untuk berbicara pada Michael dan mencium bagian samping wajahnya. "Jadi kau, Peter, dan Wendy berteman?" aku bertanya. "Kami teman baik," katanya.

Gillian menyela pembicaraan kami dengan suara keras dan galak. Belum pernah aku melihat sisi dirinya yang ini. "Aku ingin kau pergi ke kamarmu sampai kusuruh keluar. Ayo, Michael. Sekarang!"

Bocah laki-laki kecil itu menatap ibunya. Ibu kandungnya? aku bertanyatanya dalam hati. Michael tampak bingung dan sedih, dan aku tidak bisa menyalahkannya.

"Mommy," dia bertanya polos, "apakah Mommy akan menidurkan mereka? Kumohon, jangan lakukan. Mereka teman-temanku. Mereka tidak akan nakal!"

Lalu anak kecil itu mulai menangis tanpa bisa dihentikan. Dia ketakutan dan air matanya sangat menyentuh hati. Gillian tampak melunak sedikit. Aku melihat secercah sosok yang pernah kukenal. Lalu Gillian menunjuk rumah.

"Kubilang, pergi ke kamarmu, sekarang. Mister, pergi!" teriaknya. "Ini perintah."

Aku memandang ke arah yang ditunjuknya, dan napasku tersentak. "Oh, Gillian, tidak," kataku.

Di teras tampak seorang anak kecil lagi. Anak perempuan. Dia hampir identik dengan Michael. Dia Eve, bukan? Aku teringat anak-anak sekarat di Sekolah. Hasil eksperimen-eksperimen yang gagal. "Barang-barang yang tidak memenuhi standar". Dan sekarang ini.

Mimpi buruk ini tidak mau berhenti; terus-menerus datang bagai gelombang yang memuakkan. Aku mengenali laki-laki yang berdiri di belakang Eve. Orang itu Dr. Carl Puris, suami Gillian! Tapi mustahil! Carl Puris meninggal karena serangan jantung dua musim panas yang lalu. Kit berbicara di sampingku. "Itu Anthony Peyser," dia memberitahu. "Dr. Peyser sehat walafiat di Colorado. Aku akhirnya menemukan bajingan itu."

BAB 105

Maximum. Maximum. Kerahkan tenagamu. Terbanglah seperti angin.

Bahkan lebih cepat lagi!

Max berusaha tidak terlalu ketakutan saat membentangkan sayap dan menukik kencang di antara sepasang pohon fir tinggi. Dia terbang makin dalam ke tengah hutan, sampai akhirnya merasa cukup aman untuk berhenti dan mendarat.

Saat itu barulah dia menoleh untuk melihat keadaan di belakangnya.

Tidak ada siapa-siapa.

Max mendapati dia sendirian lagi. Sebetulnya, dia tidak menyukainya. Dia membencinya, malah. Benci. Suara hatinya menyuruhnya kabur, melarikan diri, terbang secepat mungkin.

Dia harus mencari bantuan, tapi Max sama sekali tidak tahu bagaimana caranya. Pada siapa dia dapat mengadu-setelah sekarang tidak ada lagi Frannie dan Kit yang dapat memberinya saran yang bagus? Apakah mereka pernah mengatakan sesuatu yang bisa digunakan sekarang? Pelajaran apa yang telah didapatnya sejauh ini? Otaknya penuh dengan pertanyaan-tapi tidak ada jawaban satu pun.

Max tidak tahu persis bagaimana keadaan di Sekolah, namun dia cerdas, dan dia menyelidik. Dia bisa merasa Adam sangat istimewa. Tadinya dikiranya anak itu sudah ditidurkan, tapi jelaslah itu tidak benar. Adam tinggal di rumah besar di pegunungan itu. Rumah yang ditempati teman Frannie. Apakah itu berarti Frannie mungkin saja terlibat? Atau Kit? Siapa yang dapat dipercayanya? Bagaimana dia bisa memperoleh bantuan? Bagaimana, bagaimana, bagaimana? Pikir, pikir, pikir, Nak! Tapi tidak ada jawaban yang muncul. Otaknya kosong melompong.

Akhirnya, Max memutuskan untuk berdoa. "Tuhan yang ada di surga, Bapa yang terkasih, tolong bantu aku dan teman-temanku. Kami berdoa padamu setiap hari, tapi rasanya tidak pernah ada kejadian yang menyenangkan. Aku bukannya mau mengeluh, tapi rasanya sekarang adalah saat yang tepat bagiMu untuk membantu kami. Oke?" Dia tahu soal Tuhan dan cukup menyukai ide tentangNya. Selama bertahun-tahun dia pergi ke gereja setiap Minggu pagi-gereja di TV. Sekarang dia butuh bukti bahwa Tuhan memang ada. Max butuh doanya dijawab biarpun cuma sekali ini saja, dan dia merasa dia pantas didengar. Semua anak di Sekolah pantas didengar. Sejak dulu. Dan sekarang dia teringat perkataan Paman Thomas di Sekolah. Seperti banyak hal lainnya, Paman Thomas sering mengulanginya, "menjejalkannya ke dalam kepalanya". Paman Thomas sangat suka pada ide dan perkataannya sendiri, si bajingan busuk itu. Dia pernah berkata, "Tuhan menolong orang-orang yang menolong diri mereka sendiri."

BAB 106

Kami dibawa seperti tawanan tanpa daya ke sebuah tempat di dalam rumah pegunungan yang besar dan luas itu. Aku tahu rumah tersebut dibangun di lokasi yang tadinya merupakan pertambangan. Pembangunan seperti itu biasa dilakukan orang di Sugarloaf. Anak-anak setempat sering bermain di terowongan tambang. Para penjaga memisahkan Kit dan aku dari keempat anak-anak bersayap. Wendy dan Peter mulai menangis, namun para petugas keamanan itu tidak peduli. Mereka tampak tak punya belas kasihan maupun perasaan.

"Tenang saja, Manis," aku berkata pada Wendy dan Peter.

"Tidak mau," ratap mereka serentak.

Mereka mungkin memang pantas menangis. Sayang, insting mereka tentang bahaya, dan mungkin tentang beberapa manusia, sangat benar, sangat akurat.

Dua tingkat ruang bawah tanah yang terbuat dari beton tebal dan logam merupakan bagian dari rumah ini saat rumah ini dibangun. Aku belum pernah ke bawah sini, dan sedikit pun tidak tahu ruang bawah tanah ini ada. Satu lagi

penipuan, bukan? Tidak ada lagi yang seperti kuketahui kalau menyangkut soal Gillian.

Kupandang semuanya baik-baik; aku masih berperan sebagai saksi.

Sebuah kotak merah manyala di dinding bertulisan: Selimut Pengaman. Jas lab dan kacamata pengaman tergantung di cantelan yang ada di mana-mana. Sebuah pintu baja tahan karat bertulisan: Pancuran Pengaman. Kurasa kompleks raksasa Departemen Pertahanan di New Mexico sekalipun tidak sekompleks atau secanggih ini. Banyak sekali uang yang telah dihamburkan di tempat ini.

Kami melewati sebuah lab dan aku bisa melihat ke dalamnya. Gaya desain interior yang baru. Permukaan berpelitur, bukan dinding putih bersih. Lampu-lampu yang terang benderang, bukan temaram. Beberapa ilmuwan bekerja di bawah tudung Kultur Sel. Sel-sel bisa dipertahankan tetap hidup dalam periode yang lama sekali di bawah tudung itu.

Aku merasa punggungku didorong kuat. Seorang penjaga menyuruh kami terus berjalan, menyuruhku terus berjalan.

Kit dan aku dibawa ke ruangan di dekat tempat yang disebut orangorang yang menangkap kami sebagai North Wood Labs. Oz, Icarus, dan si kembar dibawa ke tempat lain. Tidak ada yang mau memberitahu kami di mana mereka berada.

"Apakah kalian akan menidurkan kami?" aku bertanya pada penjaga berjanggut hitam yang berdiri di pintu kamar kami. Aku bersikap sangat sarkastis.

"Aku yakin itulah keputusan yang akan diambil," balasnya. Dipandangnya penjaga-penjaga lain yang menodongkan senjata pada Kit dan aku. "Kalau aku yang menentukan, akan ku-perkosa dulu kau habis-habisan. Bagian atasmu sih biasa-biasa saja, tapi pantatmu bagus."

Dia tertawa. Begitu juga penjaga-penjaga lain yang kasar. Kemudian pintu dibanting kuat-kuat.

"Mana Stricker?" kata Kit dan meninju dinding. "Yang di luar tadi jelas

Dr. Peyser."

"Carl Puris juga. Aku menghadiri pemakamannya di Boulder, Kit. Ya

Tuhan, kepalaku sakit sekali."

"Peyser punya kekasih bernama Susan Parkhill. Wanita itu juga ahli biologi top. Aku menduga Susan Parkhill tidak lain adalah temanmu

Gillian."

Kuulurkan tanganku dan kuraih tangan Kit. Dia telah berkubang sendirian dalam masalah mengerikan ini lama sekali. Dia telah menghadapi banyak rintangan berat dan kekuatan dahsyat. Sekaranglah aku baru dapat memahami apa saja yang telah dilaluinya. Terdengar ketukan keras di pintu. Hampir seketika itu juga pintu terbentang. Salah seorang penjaga berdiri di koridor.

"Gillian ingin bertemu denganmu." katanya. "Cuma kau, Dr. O'Neill."

BAB 107

Aku makin bisa melihat dengan sinis fakta sebenarnya tentang berbagai hal, melihat sisi gelap kehidupan di Colorado ini, tempat yang dulu kuanggap Surga.

Gillian bukan temanku.

Dia musuh besarku.

Aku tahu pasti apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ini akan jadi interogasi. Menyangkut hidup atau mati.

Gillian menginginkan lebih banyak informasi dariku. Aku tidak boleh memberikannya padanya.

"Aku sungguh-sungguh menyukaimu, Frannie." Gillian mengawali pertemuan kami dengan salah satu kebohongan besarnya yang penuh perhitungan. Siapa tahu, mungkin saja dia berkata jujur. Gillian duduk di kursi kulit hitam bersandaran tinggi di ruang perpustakaan di atas.

Ditatapnya mataku dalam-dalam.

Aku kembali merasa dikhianati. Aku ingin menjerit padanya, memakimakinya, tapi kutahan diriku. Yah, aku hampir berhasil menahan diri.

"Apakah itu sebelum atau sesudah kau menyebabkan David dibunuh?

Dan Frank McDonough," tukasku.

Ekspresi dingin menyelimuti matanya yang berwarna cokelat tua.

Wajahnya datar dan tanpa ekspresi. Rasanya seolah baru kali ini aku bertemu dengannya. "Dan seandainya menghadapi situasi yang sama, aku akan melakukannya lagi. Dalam hal ini, segala cara dihalalkan demi hasilnya. Da Vinci dan Copernicus harus melanggar hukum untuk membuat penemuan mereka, Frannie. Coba berpikir masak-masak sebelum menilai terlalu keras. Silakan bergabung denganku." Ditunjuknya kursi di hadapan kursinya di meja mahoni panjang. Aku menggeleng. Aku tidak sudi "bergabung" dengan Gillian dalam urusan apa pun. Perutku terasa mual. "Mungkin pembicaraan ini bagus untuk jiwamu, tapi tidak terlalu berpengaruh pada jiwaku. Tolong kembalikan aku ke bawah. Aku tidak mau mendengar apa-apa lagi, Susan. Dr. Susan Parkhill?"

Dia mengerutkan kening dan mengetuk-ngetukkan jari-jarinya dengan tidak sabar. "Baiklah kalau begitu, aku harus mendengar beberapa hal darimu. Kau sudah berbicara dengan siapa saja? Buat urusan ini gampang untukku, untuk dirimu, dan untuk anak-anak yang kelihatannya kausayangi itu."

"Aku tidak memberitahu siapa-siapa," jawabku dengan suara setenang mungkin. "Sekarang boleh aku kembali ke bawah?"

Mata Gillian menatapku tajam. "Siapa yang kauberitahu? Ada lagi selain saudaramu Carole?"

Perutku seperti ditinju. Aku tak sanggup bicara.

"Kami belum berhasil menemukan Carole dan anak-anaknya. Tapi kami pasti akan menemukan mereka. Aku tidak butuh bantuanmu untuk melakukannya. Ada orang lain?"

Aku menggeleng. Ya Tuhan, betapa bencinya aku padanya. Suasana hening beberapa lama saat dia memandangiku. Teman lamaku. "Kau tidak terlalu pandai berbohong. Itu aku sudah tahu. Jadi kurasa aku mempercayai omonganmu, Frannie."

Ekspresi di wajahnya berubah, melembut. Gillian ingin bicara tentang dirinya sendiri. Aku mengenali ekspresi puas. diri di matanya. "Akan kuberitahu kau apa yang terjadi," katanya. "Menakjubkan. Kau akan mengerti begitu sudah mendengar semuanya. Kami mengubah semua prosedur riset yang biasa. Bukannya menyatukan sejumlah kecil DNA burung dengan zigot manusia, kami menyatukan sejumlah besar kromosom burung. Kami 'melebur' kromosom beberapa burung dan kromosom pasien manusia kami, dengan memanaskannya sampai mereka terpisah menjadi rantai DNA komponen mereka. Kedengarannya mungkin

eksotis, tapi ini adalah teknik yang bisa diterima."

"Kau tidak perlu mengajari aku."

Gillian berdecak pelan. "Terobosan suamiku adalah melakukan rekombinasi genetis terkontrol di antara rantai-rantai itu. Dia mengatur apa yang secara alami merupakan proses acak pertukaran gen dari

rantai ke rantai. Sebetulnya dia tidak mengharapkan sel-sel itu membelah

begitu cepat, tapi itulah yang terjadi. Kami terperangah ketika sonogram menunjukkan bahwa Max dapat terus hidup. Dia mengawali segalanya. Dia adalah terobosan pertama, meskipun tidak sempurna." Sonogram. Dugaanku ternyata memang benar. Anak-anak itu ditanamkan di rahim wanita biasa... setidaknya, di semacam rahim. Gillian melanjutkan ceritanya. Matanya menatap wajahku, namun pandangannya menerawang. "Kami bekerja di klinik fertilisasi in vitro milik Dr. Brownhill di Boulder dan Denver. Pasangan-pasangan suamiistri mempercayainya, dan dia meyakinkan mereka tidak ada preseden untuk metode-metodenya, yang kebetulan memang benar. Kami mengambil sel telur si wanita, membuahinya dengan sperma si suami. Memasukkan secuil DNA. Lalu kami tanam embrionya di rahim si wanita." "Kau mendapat izin dari wanita-wanita ini dan suami-suami mereka, kan?"

"Si ibu tidak penting," tukas Gillian marah. "Kami mula-mula mempelajari burung, sebab burung berumur sangat panjang untuk ukuran mereka." Aku mengangguk. Aku sudah menduganya. Burung Albatross Pengelana bisa hidup sampai tujuh puluh tahun. Burung kakaktua bahkan lebih lama lagi. Contoh lainnya tak terhitung jumlahnya.

"Anak-anak bersayap itu cuma permulaan... saat itulah kami membuat terobosan paling penting. Inilah yang mengubah segalanya. Salah satu lebah pekerja kami menemukan promotor untuk

gen yang mengisap radikal bebas. Seperti yang kauketahui, radikal bebas merusak sel. Tanpa kerusakan sel, organisme tidak akan, tidak bisa, mati karena sebab-sebab alami."

Tiba-tiba aku tidak bisa bernapas. Tubuhku terasa dingin. Aku hanya dapat mendengarkan perkataan Gillian,

Dia tersenyum tipis. "Michael kelihatan seperti anak kecil biasa, bukan?" katanya. "Begitu juga Eve. Sebetulnya, anak-anak manis itu

nilainya tak terkira. Harapan hidup Michael adalah dua ratus tahun.

Mungkin bahkan lebih dari itu."

Aku tak bisa mempercayai pendengaranku. Itukah tujuan semua riset mahal di sini dan di Sekolah? Kurasa aku terkesiap. Yang jelas, mulutku ternganga.

Harapan hidup Michael dua ratus tahun.

Gillian mengangguk perlahan. Dia berhasil membuatku terpana. Aku memahami apa yang telah terjadi. Aku akhirnya mengerti. "Putraku adalah langkah berikut dalam evolusi umat manusia."

BAB 108

Kit mungkin saja memang pernah terlibat ratusan interogasi, tapi dia tidak pernah berada di pihak yang diinterogasi.

"Namaku Thomas," kata pria yang duduk di hadapannya. Pria itu sangat santai, sangat percaya diri.

"Aku banyak mendengar kabar tentang dirimu," ujar Kit.

"Aku yakin begitu. Aku akan bercerita padamu, asal kita di sini cuma berbicara." "Tentu, kenapa tidak?"

"Aku dulu di Angkatan Udara. Aku sangat ingin menjadi pilot, lebih daripada apa pun."

"Memang enak punya impian," Kit berkomentar dan mengangguk setuju. Dia mengulur waktu, berusaha memikirkan cara meraih keuntungan.

"Jelas. Sayangnya, penglihatanku tidak memenuhi standar Angkatan

Udara. Aku bahkan tidak perlu memakai kacamata, tapi tetap saja aku

tidak bisa menjadi pilot. Aku akhirnya mengajar. Mengajar orang-orang yang tidak bisa, kau tahu."

"Di tingkat apa? Apakah kau mengajar anak-anak?" Kit bertanya.

"Oh, sebentar. Tapi lalu aku mendapat posisi sebagai asisten profesor di Akademi Angkatan Udara. Mengajarkan biologi di sana... untuk caloncalon pilot." "Bagus sekali."

"Memang. Tapi ironis juga. Kau tahu, kau enak diajak bicara. Kau bisa memahami orang."

"Oh, sudahlah, jangan begitu. Kau sendiri pandai bicara. Kelihatan seperti orang baik."

"Oh yeah. Kesan itu memang ada gunanya. Dr. Peyser datang ke Akademi dan merekrut aku."

"Karena latar belakang biologimu?"

"Oh, tidak. Orang-orangnya jauh melebihi aku sebagai ilmuwan. Tapi latar belakang ilmu pengetahuan ilmiahku memang membantuku memahami visinya. Begitulah cara dia bekerja, kau tahu. Mencari orangorang yang memiliki kapasitas memahami, dan percaya, lalu dia menawari mereka kesempatan sekali seumur hidup."

"Secara finansial?"

"Ya, secara finansial. Tapi juga dalam hal kepuasan, mengetahui kau melakukan sesuatu yang penting. Jadi, setahuku, kau sendiri memiliki bakat dan kelebihan-kelebihan lain untuk menjadi agen FBI yang hebat." "Tapi aku tidak mempercayai visinya, setidaknya versi visi yang kudengar."

Thomas mengangguk. "Begitulah yang kudengar. Jadi, coba katakan, Kit, siapa yang sejauh ini sudah kauberitahu tentang Sekolah? Pertanyaan sederhana, jawaban yang sederhana. Lalu kita berdua bisa pergi dari sini."

"Tidak ada," kata Kit. "Aku tidak memberitahu siapa-siapa."

Dan saat itulah Paman Thomas mengamuk, dan Kit akhirnya paham bagaimana rasa takut berkuasa di Sekolah. Dan dia juga paham mengapa anak-anak membenci Thomas, sebab dia jelas membenci laki-laki itu. Dia makin membenci Thomas seiring tinju keras yang diterimanya.

Tapi Kit tidak bicara, tidak mengaku, tidak bercerita.

Sepatah kata pun.

BAB 109

Max langsung mengenali beberapa dari bajingan busuk dari Sekolah itu. Mereka adalah para pengatur, penjaga, penggertak. Mereka berjalan ke sana kemari di dalam hutan sekarang, mencarinya, berusaha membunuhnya kalau bisa. Well, persetan dengan mereka.

Max bersembunyi di puncak salah satu pohon pinus paling rimbun, tapi masih ada bahaya di atas sini. Kalau dia perlu terbang cepat-cepat, sulit untuk tinggal landas dari dahan pohon yang lemas. Dia tahu dia harus memperoleh kecepatan yang cukup kencang terlebih dahulu. Lebih baik jika dia bisa berlari dulu. Max bisa saja terjebak di atas pohon ini. Dia ingin sekali terbang sekarang, namun beberapa helikopter menderu di atasnya, beterbangan ke segala penjuru hutan lebat ini. Dia dapat mendengar gemuruh suara mesin mereka, dan sesekali melihat sebuah helikopter melayang di langit malam yang berwarna hitam keunguan. Pintu helikopter itu terbuka lebar dan Max melihat dua pria bersenjata di dalamnya. Semua orang mencarinya. Bangsat-bangsat menyeramkan itu.

Kit menyebut helikopter berita yang mereka lihat di dekat Denver sebagai "orang-orang baik", namun Max yakin yang dimaksud Kit bukan orang-orang yang terbang di atas hutan sekarang. Orang-orang di atas sana itu ingin dia mati. Max dapat melihat senjata-senjata mereka. Mereka pemburu, dan dia sudah tahu betapa mengerikan rasanya ditembaki.

Tidak, mereka pasti bukan "orang-orang baik". Mereka bandit paling jahat di seluruh muka bumi. Pengecut. Orang-orang busuk. Tidak pernah dia setakut ini sejak permulaan, sejak dia melarikan diri dari Sekolah bersama Matthew, sebelum dia terbang untuk pertama kalinya. Max tidak suka sendirian lagi di dunia luar.

Dia merindukan adiknya, Matthew, dan Oz, Ic, si kembar. Max juga rindu pada Kit dan Frannie. Dia mempercayai mereka-dengan nyawanya. Saat memikirkan mereka berdua, Max merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Perasaan itu membuat jantungnya

berdetak lebih kencang. Dadanya jadi terasa sesak, seolah dia akan menangis. Max sama sekali tidak mau menangis sekarang. Jantung Max sesaat serasa berhenti berdetak. Seorang tentara datang. Semacam bandit jahat. Pria itu jauh di bawah tempat persembunyiannya

Dia memakai kacamata yang kelihatannya aneh, dan Max merasa tahu untuk apa kacamata itu. Teropong malam, supaya dia bisa melihat dalam gelap. Seperti vampir.

Max marah sekali sekarang. Dia tidak sudi

mati seperti ini! Dia tidak mau berperan dalam rencana jahat mereka! Max mengepakkan sayap dengan cepat dan kuat pada detik-detik terakhir. Si tentara atau penjaga mengangkat kepala untuk melihat.

"Geronimo, bangsat!" pekik Max.

Max terjun dari pohon. Gerakannya nyaris seperti terjun bebas.

Fwap!

Fwap! Fwap! Fwap!

Fwapfwapfwapfwapfwap!

Max menimpa laki-laki itu seperti batu besar. Kacamatanya terbang dari wajahnya. Senapan besar dan jahat yang dipegangnya juga terpental.

Orang itu terkapar diam di tanah.

Bodoh sekali tindakanmu!Apa gunanya? pikir Max. Untuk membuktikan bahwa kau persis seperti dia?

Tapi dia tahu jawabannya dari lubuk hatinya.

Dia bisa melawan!

Max mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi-mengembangkan sayapnya tinggi-tinggi, dan berbisik keras sekali-" Yesssss! Aku bisa melawan Mereka?

Tapi lalu dia mendengar gemuruh keras helikopter-helikopter yang mendekat. Max mendongak. Helikopternya lebih dari satu. Sekarang dia tidak lagi terlalu yakin.

BAB 110

Seluruh wajah Kit penuh luka, baret, dan memar berwarna keunguan. Bibir atasnya robek dan meneteskan darah. Hidungnya berdarah, dan mungkin tulangnya patah. Dia telah dipukuli, dihajar habis-habisan. Dia telah menjadi karung pasir seseorang dan mereka telah berolahraga dengan meninjunya. "Kau kenapa? Kau kenapa, Kit?"

"Aku tidak mau bicara," katanya susah payah. Dia berusaha tersenyum dengan bibirnya yang bengkak, dan berhasil sedikit.

Aku duduk di sampingnya di tempat tidur. Aku berharap punya obat P3K.

Dengan lembut kusentuh salah satu memarnya dan dia meringis. "Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja," katanya. "Aku sudah pernah dipukuli seperti ini kok."

Kit sangat marah karena dipukuli. Dia bagai binatang yang dikurung dan diperlakukan semena-mena. Dia akan balas dendam, entah bagaimana caranya, dan aku menyukai semangatnya. Kit tidak pernah kelihatan menyerah. Diceritakannya tentang pertemuannya dengan Paman Thomas.

Lalu aku bercerita mengenai pembicaraanku dengan Gillian di atas.

Kit merangkulku. Dia mengerang ketika melakukannya. Kusandarkan kepalaku di bahunya dan kami berdiam diri selama beberapa menit. "Aku takkan pernah melupakan saat pertama aku melihatmu," ujar Kit di pipiku. Aku merasa dia tersenyum. Aku dapat mendengarnya dalam suaranya.

"Waktu aku berteriak menyuruhmu keluar dari halaman rumahku? Menyuruhmu pergi? Kau bilang, 'Kesepakatan yang sudah tercapai tidak dapat diganggu gugat.'"

Kit mengangguk. "Aku percaya itu. Dan juga bahwa jabat tangan pertanda kesepakatan. Saat melihatmu aku beranggapan kau berani, bijaksana, suka petualangan, cerewet setengah mati. Juga amat sangat cantik."

"Betul, aku ingat betapa menawan penampilanku saat itu. Bajuku berlumuran darah dan isi perut rusa."

"Yep. Darah di blusmu, api di matamu. Ya Tuhan, kau pemandangan yang sangat indah. Kau memang cantik. Aku berharap sepenuh hati kita berhasil melalui semua ini, Frannie. Tapi kurasa mereka tidak akan melepaskan kita. Kita telah menyaksikan segalanya."

"Hari terakhir kita di dunia," aku mendesah, membiarkan kata-kata itu melayang sejenak, memikirkan maknanya. "Aneh sekali. Apa yang kausesali karena tidak pernah kaulakukan? Apa yang akan kauperbuat sekarang kalau ada kesempatan?"

"Aku ingin terbang bersama Max," jawab Kit tanpa ragu. Dia menghela napas. "Aku ingin mengucapkan selamat tinggal pada Kim dan kedua putraku. Hatiku sakit karena tidak punya kesempatan melakukan hal itu... Aku ingin ikut safari kamera ke Serengeti dan Masai Mara. Mungkin tinggal beberapa bulan di Tibet, biarpun sudah kusaksikan film

Brad Pitt itu. Pergi ke Florence selama satu atau dua bulan."

"Yeah, kirim kami ke Florence, Scotty," kataku, meniru dialog khas film Star Trek. Aku tidak tahu mengapa kami berbicara seperti itu di saat seburuk ini. Kami merasa sangat tenang, agak linglung. Mungkin hal yang paling kusesali adalah bahwa kami tidak akan bersama-sama lagi. Kit dan aku baru saja mulai-dan sekarang mendadak hubungan kami akan berakhir. Rasanya tidak adil dan salah.

"Aku betul-betul tidak mau mati sebelum melakukan ini," Kit berbisik. Walaupun bibirnya pasti kesakitan, diciumnya aku, dengan sangat lembut, di bibir. Tindakan yang amat manis. Dia terus mengejutkan aku dengan hal-hal seperti itu.

Aku berbisik, "Aku juga ingin melakukan itu, betul-betul ingin melakukannya. Sejak saat pertama aku melihatmu."

"Kau berhasil menutupinya dariku," Kit balas berbisik. "Apa lagi yang ingin kaulakukan?"

"Biar kutunjukkan padamu. Ke sinilah."

Kami berciuman lagi, mesra namun penuh gairah. Kami saling merapat. Apa lagi yang ingin kulakukan? Aku ingin melepas pakaiannya dengan amat sangat perlahan dan lembut, dan memintanya melakukan hal yang

sama padaku. Waktu kami tidak banyak, dan kami tahu itu. Fakta tersebut mengubah segalanya, mengubah

semua prioritas yang mungkin kami miliki. Mungkin fakta itu menyusun prioritas kami dengan benar untuk pertama kalinya.

Dengan halus kusentuh wajahnya. Kucium luka-lukanya. Aku merasakan darah di bibirnya. Aku mempelajari segala hal tentang dirinya, mengingatnya, berharap tidak akan pernah melupakan apa pun mengenai dirinya. Hanya inilah yang dapat kami lakukan sekarang, satu-satunya hal positif yang masuk akal. Ini lebih baik daripada merasa cemas, menyalahkan diri kami sendiri atas kesalahan-kesalahan, memukul-mukul pintu dan berteriak-teriak.

Aku mengulurkan tangan dan menarik ikat pinggang kulitnya yang lebar. Aku masih agak malu-malu dengannya. Kemudian, saat kusadari betapa konyol diriku, kusentakkan ikat pinggangnya kuat-kuat. Segala hal di antara kami terjadi begitu cepat, tapi setidaknya terjadi. Kit adalah pria paling seksi, paling menawan yang pernah kukenal. Aku sangat yakin tentang hal itu. Oh, aku yakin.

Detik-detik berlalu perlahan. Kubiarkan, aku ingin waktu berlalu perlahan. Kami tidak harus pergi ke mana-mana, tidak ada tempat yang lebih baik daripada ini. Aku merasa agak pusing karena tiba-tiba kembali ke keintiman seperti ini. Tapi tidak ada rasa bersalah di hatiku, tidak lagi.

Wajah Kit mendongak ke arahku. Dengan lembut dipegangnya daguku. Diciumnya bibirku, lalu pipiku, hidungku, mataku. Matanya yang biru tidak pernah beralih dari mataku. Aku tidak bisa mengingat apakah pernah ada

yang mencium mataku sebelum ini. Kit mencium lekukan di tenggorokanku. Aku sangat menyukainya, menyukai cara dia menyentuhku. Mungkin ini seharusnya tidak terjadi sekarang, namun aku tak bisa berhenti, tidak ingin berhenti.

Menakjubkan rasanya bahwa kami akhirnya bersatu. Napasku terengahengah, dadaku naik-turun dengan cepat. Aku begitu menginginkan Kit. Kubelai punggungnya yang keras, bahunya, bagian dalam kakinya yang berotot. Gairah Kit telah bangkit sekarang, dan aku senang dia menginginkan diriku. Aku juga menginginkan dirinya.

Api menyala kembali dalam diriku. Api itu menyebar dengan cepat. Kit menyatukan tubuhnya dengan tubuhku dan kami mulai bergerak perlahan, lalu lebih cepat, jauh lebih cepat. Aku merasa tubuh kami menemukan irama dan rasanya begitu tepat, begitu nikmat. Sebuah pikiran melintas di benakku-bahwa kami sedang terbang, dan inilah yang seharusnya terjadi.

BAB 111

Max cuma terlelap sebentar. Hanya itu yang berani dilakukannya. Dia telah bergerak lagi, berpindah tempat. Dia bersembunyi di puncak sebuah gunung kecil yang berbatu-batu dan ditumbuhi banyak pohon aspen. Dia menyembunyikan diri di balik dedaunan lembap dan dahandahan tua yang rapuh di dalam ceruk dalam dan sempit.

Setelah kira-kira satu jam, Max masuk ke sebuah rumah musim panas tidak jauh dari situ untuk mencari makanan dan air. Untuk mengenang masa lalu. Dan karena dia sangat lapar dan haus. Terbang membakar sangat banyak energi.

Max kekenyangan, dia tadi makan dengan kalap. Sekarang dia mulas. Perutnya terasa penuh dan dia merasa mual, pokoknya tidak enak. Tapi sekarang sudah waktunya untuk pergi, untuk rock and roll, untuk menjalani hidup habis-habisan, dan mungkin untuk mati. Tidak terlalu bagus, tapi bukan masalah, pikir Max. Setidaknya dia merdeka selama beberapa saat. Dia bisa terbang dan melihat dunia sedikit. Sebagian besar orang tidak pernah kesampaian

melakukan itu. Tidak seperti yang telah dilakukannya.

Matahari pagi naik dengan cepat dan Max sangat senang karena dapat memandanginya sekali lagi. Dia ingin terbang menuju matahari yang memesona itu, bersatu dengan bola raksasa berwarna Jingga dan kuning tersebut. Max merasa sangat menyatu dengan alam. Apakah itu masuk akal-apakah dia memang lebih menyatu dengan alam dibandingkan orang lain? Menurutnya, ya. Mungkin karena dia bisa terbang.

Ya Tuhan, sekujur tubuhnya terasa kaku dan sakit. Max ingin mandi air panas. Ingin Frannie menyisir rambutnya, mengelus bulu-bulunya. Dia ingin bersama teman-temannya, dan ingin orang lain tidak merecoki mereka, sekali ini saja.

Terkutuklah mereka semua! Max benci Paman Thomas, penjaga-penjaga lain, pria-pria asing yang memakai setelan jas bisnis, siapa pun mereka.

Membenci mereka habis-habisan.

Max merayap naik ke bongkahan batu yang menghadap bagian atas lembah. Diduganya dia berada sekitar tiga kilometer dari rumah. Kittytoes, katanya dalam hati. Jangan bersuara sekarang. Jangan bikin kacau dan tertangkap. Kau tidak boleh tertangkap sekarang. Max mengangkat kepala, memandang ke seberang lembah, dan jantungnya nyaris berhenti berdetak. Oh tidak! Dia dapat melihat sepasukan pria dan wanita mencarinya. Cepat-cepat Max merunduk lagi di balik batu.

Diangkatnya kepalanya lagi. Cuma mengintip sebentar. Max melihat salah satu helikopter, dan dia jadi mendapat ide. Dia tidak tahu apakah

idenya bodoh, hebat, atau seratus persen gila. Max memusatkan perhatian pada burung raksasa di kejauhan itu, mengosongkan otaknya dari hal-hal lain.

Ya, itu ide yang hebat! Mungkin karena dia tidak punya banyak pilihan lain. Setidaknya dia jadi punya rencana. Sesuatu untuk dilakukan selama beberapa menit yang akan datang

Max mengulurkan tangan dan kakinya dan rasa sakit menusuk seluruh tubuhnya. Diabaikannya rasa sakit itu. Dilemaskannya badannya.

Disiapkannya dirinya dalam hati. Ya Tuhan, dia masih merasa mual.

Makanan yang ditemukannya tadi pasti sebagian sudah basi. Max memperingatkan dirinya sendiri: Cepat melesat ke atas. Jangan takut. Jangan ragu. Tetaplah berada di antara pepohonan.

Terbanglah dengan sangat, sangat cepat.

Jangan takut!

Terbang rendah terus!

Mampuslah siapa saja gang menghalangiku!

Max cepat-cepat berdiri, dan mulai berlari kencang. Jantungnya berdebar cepat dan amat keras. Terlalu keras, sebetulnya. Jantungnya bisa-bisa lompat keluar dari dadanya. Max merasa tubuhnya seakan bisa meledak.

Dia tidak melihat siapa-siapa saat tinggal landas. Di mana para pencari tadi? Max menunggu ditembak. Dia meringis membayangkannya, ingin memejamkan mata, tapi tidak dilakukannya.

Rendah terus, terbang sangat cepat.

Tolong jangan biarkan mereka menembakku lagi. Biarkan aku selama beberapa menit. Biarkan

aku terbang satu menit lagi. Biarkan aku terbang sepuluh detik lagi. Oh tidak! Sudah terlambat untuk menyusup ke balik pepohonan. Si penjaga ada di sana, begitu dekat sehingga orang itu hampir, bisa menyambarnya.

Dia pasti telah mengendap-endap mendekatinya, tanpa suara dan mematikan seperti kentut Icarus. Saat pria itu mengangkat senapannya, Max menukik seperti pesawat pembom. Dia tidak punya pilihan. Biarpun sudah berusaha sekuat tenaga, Max tidak dapat menghantamnya. Dia terlalu kesakitan, terlalu lelah, dan mual. Jadi dikeluarkannya semuanya! Isi perutnya, rasa sakitnya, rasa mualnya. Dobel menjijikkan!

Apa pun yang telah dimakannya di rumah musim panas itu: daging rebus dingin, es krim cokelat, susu yang baunya sudah agak masam, daging

asap, keju provolone, acar merah tanpa roti, apa pun yang ditemukannya di kulkas- sekarang dikeluarkannya.

Max memuntahi si penjaga. Di seluruh wajahnya dan topi bisbol Colorado Rockies-nya yang konyol. Tangan orang itu melesat cepat ke matanya. Dia mungkin tidak tahu apa yang telah menyiramnya. Dijatuhkannya senjatanya dan berteriak keras.

Max melesat melewatinya. Dia menghilang di antara pohon maple,fir, dan semak-semak lebat. Dia aman. Dia tidak ditembak. Max berteriak Yessss, yessss!

Max terbang lagi, ingat betapa dia sangat menyukai ini.

Biarkan aku terbang enam puluh detik lagi, pintanya dalam hati.

Biarkan aku terbang sekali lagi.

BAB 112

Aku terbangun dengan wajahku hanya beberapa inci dari Kit, dan aku suka dengan posisiku ini, dekat dengannya seperti ini. Kurapatkan tubuhku padanya, kupeluk dia erat-erat. Aneh, tapi ini adalah pagi pertama, setelah sekian lama, aku tidak terbangun karena mimpi buruk.

Tapi tentu saja, sebetulnya aku berada dalam mimpi buruk.

Kit sudah bangun. Dipandanginya aku. Mata birunya lebih memesona saat dilihat dari dekat begini. Di luar dugaanku, ternyata dia sensitif dan baik. Menyenangkan hati. Aku yakin kau ayah yang amat sangat baik. "Hai," bisikku, dan tersenyum, merasa hangat dan nyaman untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.

"Hai juga. Kurasa bukan mimpi bahwa kita bercinta gila-gilaan tadi malam."

Tiba-tiba semua tampak begitu sederhana dan tepat dan ironinya menyesakkan dadaku. Kit dan aku telah jatuh cinta, atau mungkin sudah sejak lama. Situasi kami sangat buruk. Peluang kami untuk bertahan hidup nyaris nol. Kami adalah saksi. Kami telah melihat kejahatankejahatan yang dilakukan di Sekolah.

Terdengar ketukan pelan di pintu. Kami berpandangan. Apakah ini saatnya? Apakah mereka datang untuk menghabisi kami? Thomas dan gerombolan bajingannya.

Kit dan aku saling memandang lagi. Kami mendengar anak kunci pelanpelan dimasukkan, suara logam beradu dengan logam. Kami turun dari tempat tidur dan cepat-cepat berpakaian.

Pintu terbuka, dan aku nyaris tidak percaya dengan apa yang kulihat. "Halo, Bibi Frannie. Ini aku, Michael. Aku datang untuk menyelamatkanmu."

BAB 113

Ada orang lain juga di sana. Seorang pria yang memakai setelan musim panas berwarna biru melangkah memasuki ruangan persis di belakang Michael. Di tangannya ada senjata semiotomatis dan senjata itu terarah pada Kit. Entah mengapa, dia tersenyum.

"Aku datang untuk menyelamatkan kalian juga," katanya. Suaranya lembut. Sangat pelan. Membuatmu memasang telinga.

"Siapa kau?" tanyaku. Aku belum pernah melihatnya. Aku cukup yakin dia bukan dari Boulder Community Hospital. Kurasa dia juga bukan salah satu penjaga.

Kit berbicara. "Namanya Peter Stricker. Dia atasanku di FBI, kepala regional. Peter memerintahkan aku mundur dari kasus ini, katanya kasus ini menemui jalan buntu. Dia mengancam akan memecatku ketika aku tidak mau melepas kasus ini. Dan sekarang, ini dia. Halo, Peter. Kulihat kasus ini akhirnya menarik perhatianmu juga."

Stricker jangkung dan berotot; rambutnya berwarna pirang terang, disisir ke belakang. Dia kelihatan seperti yuppie bertampang sombong,

kalau orang seperti itu memang ada, dengan senyum manis yang terkesan licik.

"Siapa sih yang bisa kau percaya di zaman sekarang begini?" kata Stricker dengan suara berbisiknya. "Tidak ada, kurasa. Tidak juga teman-teman terdekatmu. Bahkan juga beberapa sobat lamamu di FBI." "Apakah itu berarti masih ada yang bisa ku-percaya di Biro?" Kit bertanya.

"Oh, tentu. Beberapa dinosaurus di sana-sini. Direktur kebetulan salah satu di antaranya. Sebetulnya, hanya beberapa orang yang cukup beruntung untuk terlibat masalah ini. Semua yang tahu tentang hal ini ingin ambil bagian. Begitulah Cara Amerika. Tapi kau benar. Ini persoalan besar. Yang terbesar yang pernah kulihat." "Apakah artinya pemerintah AS terlibat?" tanyaku.

"Tidak, jangan berlebihan. Tidak ada gunanya terlalu dihantui fantasi paranoid atau teori konspirasi. Orang-orang tertentu di pemerintahan mengetahui apa yang sedang terjadi di Colorado sini, dan sebelum itu di San Fransisco dan Boston. Kami terlibat sebagai warga negara biasa saja. Jumlah kami hanya sekitar lima puluh orang dan besar sekali yang kami pertaruhkan. Beberapa dokter memberontak sedikit, serangan hati nurani, namun kami sudah melewati tahap itu sekarang. Kami sudah menyingkirkan masalah tersebut."

"Kau main hantam kromo, dan dibayar untuk tindakanmu itu?" kata Kit.

"Begitulah Cara Amerika."

"Dibayar sangat mahal. Tapi jangan lupa, yang

kami lakukan punya arti penting. Aku menghentikan campur tanganmu, bukan? Melakukan tugasku untuk masalah ini. O ya, kebetulan aku mempercayainya. Menurutku karya Dr. Peyser penting bagi kita semua." "Jadi, apakah kau di sini untuk menembak kami sendiri?" aku bertanya pada Stricker. "Apakah kau yang akan melakukannya?" Sambil berbicara aku menjauh satu-dua langkah dari Kit. Menimbulkan jarak di antara kami.

"Itu bukan niatku ketika aku datang kemari. Tentu saja niatku bisa berubah setiap saat. Jangan lakukan itu, Dr. O'Neill. Bukan ide yang terlalu bagus."

Aku terus bergerak. "Apa yang bukan ide bagus?"

"Kau tidak pernah jadi agen di lapangan," ujar Kit. "Tidak pernah mengotori tanganmu, Peter. Duduk di belakang meja selama bertahuntahun ini. Itulah sebabnya aku tidak mempro-mosikanmu ke tugas regional."

"Baik! Berhenti." Stricker akhirnya meninggikan suara dan menggerakkan senjatanya sehingga terarah ke dadaku. "Aku bisa kok melakukan tugas kotor, Tom. Lihat saja."

Kit maju secepat kilat dan meninju rahang Stricker. Hantamannya keras sekali dan agen tersebut terpuruk di atas satu lutut.

Namun dia langsung berdiri lagi. Aku terkejut melihatnya. Stricker ternyata lebih kuat dan jauh lebih perkasa daripada kelihatannya. Kit kembali menyerang dengan uppercut pendek dan kuat. Haymaker, kurasa itulah sebutannya. Ditinjunya Stricker sehingga ekspresi sok dan puas di wajah Stricker langsung lenyap. Aku nyaris bersorak. Lalu Kit menghantamkan satu lagi pukulan cepat dan keras ke perut Stricker. Kit juga lebih perkasa daripada kelihatannya. Jauh lebih perkasa, dan Kit sebetulnya memang kelihatan perkasa. Aku tidak tahumenahu soal Golden Gloves, dan kapan Kit pernah ikut tinju amatir, tapi efek positifnya besar sekali sekarang.

Kit mengirim satu lagi tinju secepat kilat yang mendarat persis di antara kedua mata Stricker, meremukkan batang hidungnya. Agen itu terkulai, dan kali ini dia tidak bangun lagi. Dia terkapar tanpa bergerak di lantai.

Kit membungkuk dan mengambil senjata Stricker. Napasnya bahkan tidak terengah-engah. Jelaslah dia menikmati perkelahian sepihak tadi.

Aku juga. "Ayo kita keluar dari sini."

Michael dari tadi menonton dengan penuh perhatian. "Hebat sekali," katanya. "Wow. Asyik. Kau petinju hebat."

"Terima kasih, Michael. Sekarang tunjukkan pada kami di mana Oz, Icarus, dan si kembar berada," aku berkata padanya.

Anak yang merupakan perwujudan tahap berikut evolusi manusia itu nyengir, persis anak berusia empat tahun pada umumnya. Dia bahkan meraih tanganku.

"Aku tahu di mana mereka, Bibi Frannie. Biar kutunjukkan jalannya."

BAB 114

Michael adalah pahlawanku. Dia jadi penunjuk jalan kami. Kami bergegas menyusuri koridor pendek yang berakhir di pintu kelabu metalik yang tampak menyeramkan. Aku berdoa semoga anak-anak lain tidak disakiti, atau ditidurkan.

"Ujung jalan?" gumam Kit, saat kami tiba di pintu. "Ke mana sekarang,

Michael?"

"Kita bisa lewat sini. Lebih cepat," jawab Michael. "Jangan khawatir.

Aku pintar untuk ukuran anak seumurku."

"Jelas. Kalau begitu, ayo kita maju," kata Kit. Didorongnya pintu yang tampak berat itu sampai terbuka, dan kami memasuki lab besar yang membuat napasku tercekat, mengacaukan sarafku yang sudah kacaubalau.

Di mana-mana tampak peralatan laboratorium. Silinder ukur. Pipet Pasteur. Tabung-tabung mikrosentrifugal dengan mixer vorteks. Rocker- mesin yang mengguncang rak-rak tabung tes karena bakteria tertentu berkembang biak saat digoyang. Ada juga inkubator sebesar mesin cuci. Aku tidak tahu untuk apa alat itu ada di sini, namun kesannya menakutkan. Sebuah autoclave

dibangun di dalam dinding untuk mensterilisasi apa saja yang perlu disterilisasi.

Tiga wanita muda terbaring di tempat tidur-tempat tidur rumah sakit di ujung ruangan! Kelihatan jelas bahwa masing-masing wanita itu sedang hamil, mungkin sudah delapan bulan lebih. Hampir melahirkan. Seorang perawat pria bertubuh tinggi tegap melihat kami masuk dan cepat-cepat mendatangi kami. Dia tampak cemas, mungkin marah,

mungkin dua-duanya. "Kalian datang untuk melakukan inspeksi? Kunjungan ke fasilitas-fasilitas kami? Kalian tahu, kalian tidak boleh berada di sini tanpa pendamping," katanya.

Kit tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia langsung menghajar orang itu dengan uppercut kanan yang menghunjam dari sekitar lututnya. Raksasa itu tidak sempat melawan Kit. Dia jatuh berdebam ke lantai. Kepalanya yang besar menghantam lantai beton, lalu berguling ke samping.

Michael berkata, "Kita harus keluar dari sini.

Please?"

Michael benar, namun aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari wanita-wanita hamil itu saat kami bergegas melintasi ruangan. Mereka tampaknya masih remaja dan berusia awal dua puluhan. Spesimenspesimen sehat yang bagus. Apa yang mereka lakukan di sini? Bayi-bayi macam apa yang mereka kandung?

Mereka memandangi kami tanpa bersuara, dan akhirnya aku melihat tali kulit di kaki mereka. Wanita-wanita itu diikat ke tempat tidur mereka.

Mereka tidak bisa bangun dan pergi.

"Nanti kita cari bantuan untuk mereka," Kit berbisik di sampingku. "Ayo pergi, Frannie."

"Kami akan membawa bantuan. Aku berjanji." Aku berbicara pada wanita-wanita tersebut. Tidak mungkin kami bisa membawa mereka bersama kami sekarang.

Michael menarikku maju, menuju satu lagi pintu baja di bagian belakang.

"Kami akan kembali untuk menjemput kalian," janjiku pada seorang wanita hamil yang usianya tidak mungkin lebih dari delapan belas tahun.

"Kurasa aku akan melahirkan," katanya ketakutan.

Eksperimen dengan manusia.

BAB 115

"Sebagian besar manusia seperti batu-batu yang berserakan di jalanan, tidak berguna bagi diri mereka sendiri dan orang lain, menunggu enam puluh detik untuk menampakkan diri," kata Gillian dengan nada lembut dan penuh percaya diri. "Untunglah deskripsi tidak enak itu tidak sesuai untuk kita. Selamat datang, kalian semua. Kelompok kecil yang diseleksi ketat ini amat sangat penting bagi umat manusia. Kita memasuki era baru hari ini. Saya menjanjikan itu pada kalian, dan saya akan menepati janji saya."

Gillian dan Dr. Anthony Peyser menatap hadirin dari meja kerja panjang yang diletakkan di depan ruang konferensi.

Dr. Peyser berbicara tanpa bangun dari kursi. "Sekarang baru pukul 08.00, dan semua berlangsung sesuai jadwal. Bisa saya katakan segalanya berjalan sempurna. Jelaslah, apa yang kami kumpulkan di sini adalah bintang-bintang cemerlang rekayasa genetika.

"Seperti yang bisa Anda lihat, berita kepergian saya dari dunia kita ini agak terlalu dini. Seperti yang Anda juga bisa lihat dari 'gemetar' saya, saya pernah kena stroke. Saya sudah sehat sekarang. Malah, saya telah menemukan cara untuk menambahkan sepuluh, mungkin bahkan dua belas tahun ke kehidupan saya yang sengsara ini. Keterangan lebih jauh tentang hal itu nanti saja kita bahas. Percayalah, itu cuma catatan kaki dibandingkan hal lain yang kami punya untuk Anda pagi ini." Tampak anggukan kepala dan senyum samar di kalangan tujuh belas pria dan wanita yang diundang ke inspeksi ini, dan sekarang...lelang paling penting sepanjang zaman.

Lelang.

Masing-masing dari tujuh belas orang itu mewakili sebuah perusahaan bioteknologi besar, atau, dalam kasus-kasus tertentu, sebuah negara. Seorang individu kaya raya datang dan siap membiayai pendirian perusahaan besar baru, berdasarkan hasil pagi ini. "Bintang-bintang cemerlang rekayasa genetika" tampak enggan saling menatap. Mereka di sini untuk mengajukan penawaran secara kompetitif bagi penemuanpenemuan ilmiah paling spektakuler dalam sejarah dan kelihatan takut atau malu untuk mengungkapkan minat mereka yang sama. Truman

Capote pernah menjuluki J. Edgar Hoover dan Roy Cohn "buah-buahan pembunuh". Kalau betul, maka ini adalah "kutu buku pembunuh". Dr. Peyser terus berbicara pada orang-orang itu. "Anda semua telah membaca dokumen-dokumennya dan melihat barangnya. Masing-masing eksperimen, masing-masing anak ajaib itu unik dan tak ternilai. Semua dokumen dan data menyangkut 'asal barang' akan diserahkan

pada pembelinya. Kami telah menetapkan ancar-ancar atau angka minimum untuk harga masing-masing barang. Istilah lainnya adalah 'harga rugi', mungkin karena kami akan rugi jika harus menjual pada harga itu. Begitulah-kalau tidak ada pertanyaan lagi, kita akan memulai proses tawar-menawarnya sekarang."

Gillian berdiri dari kursinya. Dia tersenyum sopan, lantas menaruh tumpukan kertas di meja di hadapannya. Diaturnya letak kacamata berbingkai kawat yang membantunya kelihatan seperti CEO wanita sukses. Dunia memang berubah, ternyata. Oh ya, dunia berubah lebih cepat daripada yang bisa diduga eksekutif-eksekutif sok penting ini. Dja akhirnya mengumumkan, "Lelang dengan resmi dimulai. Mulai saat ini, tidak ada lagi yang akan diizinkan ikut tawar-menawar. Tidak akan ada penawaran lewat telepon, tidak ada penawaran tertutup. Pemenang akan dinyatakan dengan diketukkannya palu."

Salah seorang kompetitor, pria berbahu bungkuk dan berkepala agak botak yang memakai setelan warna gelap bergaris-garis, mencondongkan tubuh ke depan. Hidungnya tajam dan mencuat, bibir bawahnya tebal.

Dia dari New Jersey, daerah pinggir kota yang kaya dekat kantor pusat

AT&T. "Apakah kami bisa langsung memiliki barangnya?" dia bertanya.

"Dan kertas-kertas ilmiahnya?"

"Ya, tentu saja bisa. Apakah Anda ingin memulai penawaran, Dr.

Warner?"

"Bagaimana dengan masalah kenaikan?" terdengar suara lain, pria berpenampilan mengesankan dengan rambut cokelat pasir berpotongan Dutch boy. "Seberapa kenaikan penawaran?"

"Tawar-menawarnya, Dr. Muller, akan dalam kelipatan seratus juta dolar," Gillian mengumumkan.

Terjadi diskusi di sana-sini, protes lunak, ketakutan bahwa salah satu kompetitor telah diuntungkan.

"Para hadirin," Gillian memukulkan palunya sekali. "Acara ini harus dilakukan dengan tertib."

Para peserta jadi tenang. Mereka tahu aturan, sopan. Para warga teladan, semuanya.

Gillian membaca daftar barang dan kembali memandang hadirin yang terpesona. Ruangan tetap senyap, para kompetitor duduk tegang seakan sedang menatap pintu start yang tidak kelihatan. Dia diam sejenak, seakan mempertimbangkan sesuatu yang lupa disampaikannya pada mereka.

Sebetulnya, dia sedang mempermainkan pikiran mereka, ego mereka yang berlebihan. Dia menduga pasti inilah yang dirasakan Prometheus tepat setelah mencuri api dari para dewa.

Suasana di ruang konferensi itu penuh ketegangan, kegelisahan, bahkan ketakutan. Ada kemungkinan umat manusia sekarang akan melompat maju, bukan merangkak, seperti yang selalu dilakukannya di masa lalu. Gillian akhirnya berbicara lagi. "Harga awal adalah delapan ratus juta dolar kontan untuk Barang Satu, AGE243, juga dikenal sebagai 'Peter'.

Peter berusia empat tahun. Dia memiliki inteligensi sangat tinggi.

Kondisi kesehatannya sempurna. Dia bisa terbang."

"Apakah ada yang menawar delapan ratus juta?"

Terdengar suara sangat keras dan belakang, salah satu penawar dari Jerman. "Satu miliar dolar untuk AGE243, si kecil Peter, dan kertaskertas ilmiahnya yang berharga."

BAB 116

Matthew masih hidup, dan dia tampak sangat baik kalau mengingat situasi ekstrem yang dialaminya selama beberapa hari terakhir ini.

Aku belum pernah melihat adik Max, tapi orang tidak mungkin salah duga tentang siapa bocah laki-laki itu. Dia memiliki rambut pirang yang sama dengan Max, walaupun dada dan bahunya lebih lebar. Matthew memiliki sayap putih dengan nuansa perak dan biru. Ini jelas adik Max, dan dia mengesankan dengan caranya sendiri.

"Aku Matthew," katanya memperkenalkan diri. Senyumnya mirip sekali dengan Max. Kami telah memasuki satu ruangan lagi, tempat anak-anak ditahan. Satu-satunya jalan adalah melalui "ruang melahirkan". Pintupintu lain dikunci rapat.

"Kalian pasti Frannie dan Kit. Dan coba lihat siapa ini. Adam kembali dari alam kubur."

Putra kecil Gillian menggeleng sedih. "Mereka memanggilku Michael sekarang."

"Yeah, persetan dengan Mereka. Betul, kan? Betul, kan, Adam?"

Oz, Icarus, dan si kembar dikurung di ruangan

kecil itu. Mereka bersorak keras dan berteriak, "Persetan dengan

Mereka!"

"Kita harus pergi dari sini." Kit menyela kegembiraan mereka. Dia memegang kendali sekarang. "Kita harus pergi sekarang juga, anakanak."

Kami tidak membantah. Kami ikuti si kecil Michael, bergegas menyusuri beberapa terowongan bawah tanah yang panjang. Kelihatannya dia tahu jalan, dan yang jelas, dia cerdas luar biasa. Kami menaiki tangga sempit yang menuju pintu ganda berat. Aku berdoa semoga ini jalan keluar. Kit mendorongnya dan pintu itu terbuka. Suara alarm yang memekakkan telinga menggelegar di atas kepala kami. Kabar baiknya- kami berada di luar rumah.

"Lari! Lari! Lari!" aku mendorong dan berteriak di belakang anak-anak.

"Menyebar. Jauhi rumah ini."

"Terus lari!" desak Kit. "Jangan bengong. Jangan melihat berkeliling. Ayo!"

"Lari, lari, lari!" Icarus balas berteriak. "Kabur!" seru Oz.

Anak-anak menganggap ini petualangan seru, dan kurasa itu bagus. Kami berlarian lagi dan menuju hutan yang aman. Tapi sesuatu sedang berlangsung di rumah itu.

Kami harus melintasi area parkir besar yang berbatu kerikil. Dua belas mobil menunggu di lapangan tersebut. Town Car, Range Rover, Jeep, minivan. Tampak sopir-sopir di samping beberapa mobil. Aku yakin mereka tidak dapat mempercayai apa yang mereka lihat. Siapa yang bisa?

Lima anak bersayap! Dua orang dewasa awut-awutan yang mendampingi mereka. Semua berlari!

Tiba-tiba, aku melihat orang-orang bermunculan dari dalam rumah. Aku mengenali beberapa dokter dari Boulder, tapi ada juga pria dan wanita yang tidak kukenal. Mereka mengenakan setelan bisnis. Mereka kelihatan seperti orang-orang bisnis. Ada bisnis apa mereka di sini? Mereka sangat terburu-buru meninggalkan rumah itu. Alarm terdengar keras di mana-mana. Seseorang di teras melihat kami dan menunjuk.

Lalu mereka semua memandang ke arah kami.

Para penjaga mulai berlarian keluar dari beberapa pintu. Mereka bersenjata lengkap. Mereka sudah melihat kami. Aku menduga kami masih terlalu jauh dari hutan untuk bisa menyelamatkan diri dari mereka.

"Terbang!" aku berteriak pada anak-anak. "Terbanglah sekarang juga!" Dan itulah yang dilakukan Oz, Ic, Peter dan Wendy, dan Matthew. Pemandangan yang menakjubkan. Rombongan itu melayang serentak seakan mereka sudah bertahun-tahun berlatih bersama. Bahkan Matthew pun langsung membaur.

"Bagus-terbanglah! Pergi dari sini!" aku terus berteriak-teriak. "Terbang yang tinggi dan jauh!" Kit ada di sampingku, berteriak pada anak-anak itu juga. "Masuk ke hutan! Cepat!"

Aku melihat Gillian dan jantungku serasa membeku. Dia memakai setelan biru dan sedang

berlari dari rumah. Pertemuan macam apa yang telah kami hentikan? Gillian menjerit menyuruh para penjaga menembak. Apa gunanya teman? Gillian berlari tepat ke arahku, berteriak-teriak keras, ketika aku tibatiba berlari dan menuju tepat ke arahnya juga. Aku berlari lurus mendatanginya. Kami pasti akan bertabrakan.

Dia jadi bingung selama beberapa detik. Aku dapat melihatnya di wajahnya. Mungkin dia ternyata tidak terlalu pintar.

"Terbang jauh-jauh!" Aku terus berteriak menyemangati anak-anak.

"Pergi dari sini. Ayo, ayo. Ke hutan!"

Kupandang Gillian. Dia masih berlari ke arahku, kecepatannya malah bertambah. Jalur tabrakan.

Baiklah, kalau begitu. Kau akan menyesal, lady. Kau akan menyesali ini.

Kuhantam kepalanya.

Kujegal sundal itu seperti yang dulu kulakukan pada para saudara lakilakiku, sekitar lima belas tahun yang lalu ketika kami bermain football jegal tanpa helm di pertanian keluarga di Wis-consin. Kuhunjamkan bahuku ke perutnya yang selembek bantal, tanpa ampun. Aku bagai gabungan Paul Hornung, Jimmy Taylor, Ray Nitschke, dan juara dunia Green Bay Packers. Dulu aku memuja Packers, waktu masih kecil di Wisconsin sana.

Gillian mengerang dan berseru, "Aduh!" Senang sekali rasanya aku bisa membuatnya kesakitan. Kuharap aku telah mematahkan beberapa tulangnya. Kutendang lagi Gillian saat dia terpuruk, dan aku merasa sangat senang juga melakukannya.

Lalu oh Tuhan, aku melihat Max terbang di atas atap dan cerobong rumah.

Seorang pria mulai botak dan berpenampilan berantakan bernama Eddy Friedfeld mengemudikan helikopter KCNC Live News. Dia yang memimpin, dan dia sudah biasa mengambil keputusan yang cukup masuk akal dengan cepat. Biasanya dia dapat berpikir meskipun di tengahtengah gemuruh suara baling-baling Bell Jet Rangers.

Tapi tiba-tiba dia tidak bisa berpikir jernih. Tidak sekarang. Tidak lagi.

Otaknya seperti kortsleting.

Dicengkeramnya tongkat kontrol pusat yang mengendalikan helikopternya. Dipegangnya tongkat itu sekuat tenaga. Dia memandang sekilas instrumen-instrumen utamanya: indikator kecepatan udara, indikator kecepatan vertikal, kontrol kompas, radio. Semua kontrol kelihatannya baik-baik saja. Tidak ada yang salah di dalam kokpit.

Dia terbang sekitar 105 mil per jam. Semua normal, bukan?

Salah! Salah! Salah! Apa yang dialaminya pagi ini mendekati normal pun tidak.

Dia melihat seorang anak perempuan sekitar 150 meter di sisi kanan helikopter. Eddy nyaris

mengalami serangan jantung, hampir kehilangan kendali di kokpitnya.

Dikedipkannya matanya beberapa kali. Anak itu masih ada.

Gadis kecil itu terbang!

Itu tidak mungkin! Tapi itulah yang terjadi!

Dia memiliki sayap putih dan biru keperakan yang sangat indah.

Kelihatannya dia memang bersayap!

Dan dia kelihatannya terbang dengan kekuatan sendiri. Seakan dia rajawali atau elang Amerika paling besar, paling percaya diri yang pernah dilihat Eddy. "Randi?" bisiknya ke mik.

Suara juru kamera wanitanya yang berusia 22 tahun, Randi Wittenauer, terdengar di headset "Apakah kau melihat apa yang kupikir kulihat?

Tolong bilang aku berhalusinasi, Eddy."

"Kita sama-sama berhalusinasi, Sobat. Pasti itu penjelasannya. Harus itu."

"UFO" itu, benda apa pun dia, sekarang sekitar 170 meter dari helikopter dan mendekat dengan cepat.

Bulu kuduk Eddy Friedfeld merinding. Bahunya begitu tegang sehingga terasa sakit. Persis seperti sebelum pertempuran. Seperti Operasi Gurun. Ya Tuhan! Gadis itu terbang tepat ke arahnya.

Dengan lembut Eddy menyentuh collective, dengan perlahan mengubah sudut baling-baling. Yang disukainya saat menerbangkan helikopter adalah ini merupakan tes kecekatan dan persepsi sensorik yang terusmenerus. Fakta itu tak pernah lebih tepat daripada saat ini.

Ditekannya tombol interkom. "Randi, dia mendatangi kita pada arah pukul tiga. Aku akan memutar pedal supaya kau bisa melihat lebih jelas." Tentu saja, dia tahu Randi sudah mem-filmkan semua ini dari tadi. Jika ini memang benar, dia merekamnya untuk warta berita pagi. Jadi Eddy memiringkan tongkat kemudi ke kanan dengan kuat dan helikopter condong tiga puluh derajat. Dipelankannya laju Jet Rangernya supaya dia bisa melihat UFO itu lagi. Itu dia. Gadis itu sekarang ada di depannya. Ya Tuhan, dia gadis kecil yang manis. Punya sayap. Sayapsayap yang sangat indah.

Ini pasti cuma main-main. Tapi benarkah? Siapa yang sanggup main-main secanggih ini?

"Kita merekamnya! Sejak tadi!" Randi memberitahunya. "Aku merekam semuanya, setiap kepakan sayapnya yang luar biasa. Mengirimkannya ke markas. Ini akan membangunkan semua orang pagi ini! Membangunkan seluruh Denver! Dia menakjubkan ya?"

Ya, gadis kecil itu memang menakjubkan. Dia menggetarkan. Friedfeld betul-betul takut memejamkan mata. Gadis burung kecil dengan rambut kuning keemasan itu melakukan beberapa putaran dan belokan yang memesona.

Dia kelihatan seperti menulis di udara. Apakah dia memang sedang menulis? Apakah itu semacam pesan? Tapi, pesan apa?

Eddy menekan tuas yang menyambungkannya dengan bagian produksi di studio. "Shadow Nine pada studio. Kaulihat ini? Jawab aku sekarang juga, Stephanie. Kaulihat pemandangan luar

biasa ini? Atau aku sudah mati dan dalam perjalanan ke surga. Apakah yang kulihat ini malaikat?"

Dia mendengar suara di earphone-nya. "Apa-apaan ini, Eddy? Apakah ini lelucon? Gambar apa yang kaukirimkan pada kami?" Suara Stephanie Apt berderak keras di headset Eddy. Steph biasanya orang yang realistis, sinis, wartawan TV yang tidak kenal omong kosong. Friedfeld membayangkan benak wanita itu jadi kacau karena kejadian ini. Selamat bergabung. Benaknya sendiri sudah sejak tadi berantakan.

"Kau melihat persis apa yang kulihat," katanya. "Hubungi pasukan negara bagian dan EMS, dan siapa saja yang muncul di pikiranmu... Kami mungkin "lima kilometer di utara jalan pintas Hoover Road. Kuulangi-apa yang kaulihat adalah apa yang kami lihat. Dia menuju utara sekarang. Kami mengikutinya! Dia betul-betul terbang!"

"Aku menebak dia berusia sebelas atau dua belas tahun. Kelihatan seperti anak sekolah Denver atau Boulder atau Pueblo biasa-tapi punya sayap. Dan dia terbang.

"Demi arwah almarhumah nenekku tersayang, ini benar-benar terjadi.

Gadis itu memiliki sayap putih dan biru keperakan yang indah. Percayalah padaku. Dia membawa kami ke suatu tempat, dan terus terang, aku bersedia mengikutinya ke mana pun. Ini Laporan Istimewa News Four. Dan ini peristiwa bersejarah. Seorang anak perempuan terbang!"

BAB 118

Max percaya dalam lubuk pikiran-perasaan di hatinya bahwa dia akan jatuh, terbakar, dan tewas, bahwa dia pasti akan segera mati. Sayang sekali, tapi itu sudah jadi suratan nasibnya. Begitulah yang diinginkan jagat raya. Dia sudah mengetahuinya sejak hari dia melarikan diri.

Matthew mungkin sudah mengetahuinya juga.

Para penjaga tidak boleh membiarkannya tetap hidup. Dia merupakan saksi terhadap semua yang telah mereka lakukan, semua pembunuhan dan kejahatan mengerikan lainnya. Dia Tinkerbell, "Stinky Tinky". Cuma spesimen lab biasa. Tapi merekalah yang busuk. Dia tahu semua rahasia kotor mereka.

Setidaknya dia sudah pernah melihat bagaimana dunia nyata-hal-hal tidak enak dan menyakitkan, namun banyak juga hal yang amat sangat indah. Dunia luar jauh melebihi kemampuannya membayangkannya saat masih di Sekolah. Dunia ini seratus kali lebih bagus daripada yang di buku-buku, atau TV, atau bahkan film.

Jadi ini bukan apa-apa! Atau ini adalah segalanya! Sama saja, bukan?

Max makin dekat dengan rumah besar itu, tempat tinggal Gillian. Dia melihat banyak orang di bawah sana, berlarian ke sana kemari bagai semut-semut kecil.

Max menundukkan kepala dan menukik ke arah pria-pria bersenjata. Dia sadar dia tidak punya pilihan dalam masalah ini. Ini adalah takdirnya. Mereka berusaha menembak Oz dan Icarus, yang terbang menjauh begitu indah dan berani. Anak-anak lain terbang ke tempat aman. Tuhan memberkati mereka.

Beberapa penjaga mengancam Frannie di dekat rumah induk. Frannie kelihatannya baik-baik saja. Dia sedang asyik menendang. Begitu juga Kit.

Lalu seseorang menembak Kit. Pria itu tertembak. Kit jatuh ke tanah dan Max ingat betapa sakitnya diterjang peluru. Dia merasakannya, merasakan kesakitan Kit. Lukanya di leher, dan pria itu tidak bergerak, tidak berkata-kata. Max merasa seolah dirinya sendiri yang ditembak. "Kit!" jeritnya dari langit. "Kit, bangun. Kumohon, bangun." Max menabrak salah seorang pria bersenjata itu. Enam puluh kilometer per jam-minimal. Max menghajarnya keras dengan sapuan salah satu sayapnya. Orang itu terkapar dan Max senang. Bukan senang karena telah menyakiti orang itu, tapi karena dia telah menghentikannya dari menyakiti orang lain. Dia masih tidak bisa menerima perbuatan menyakiti seseorang tanpa alasan yang kuat. Itu bukan sifatnya. Dia tidak seperti "mereka", para penjaga itu, mungkin bahkan seluruh umat manusia.

Max tiba-tiba menyadari bahwa helikopter yang mengikutinya makin banyak, berdatangan dari timur. Makin banyak "orang baik". Sekarang ada tiga helikopter mendekati rumah dengan kecepatan tinggi. Helikopter-helikopter itu menderu dan menggeram, mengaduk-aduk udara, meniup dedaunan dan dahan-dahan pepohonan, bahkan rumput tinggi. Mula-mula cuma ada satu helikopter berita, tapi kemudian yang lain-lain melihat berita itu dan bergabung untuk mengikutinya. Helikopter-helikopter yang dibawanya, "orang-orang baik" itu,

memfilmkan segalanya. Nama mereka tertulis besar-besar di bagian samping. KCNC-News 4. KDVR-News 31 Fox. KMGH-News 7. KTVJNews 20.

Helikopter "orang jahat" bergerak meninggalkan landasan di belakang rumah. Mereka tidak berhak pergi, pikir Max. Bajingan-bajingan itu tidak berhak terbang. Sama sekali tidak berhak.

Max mencondongkan tubuh sehingga menukik makin tajam. Mungkin terlalu tajam.

Tiba-tiba dia melaju dengan kecepatan hampir seratus kilometer per jam. Terlalu cepat, amat terlalu cepat. Menakutkan. Rasanya seakan dia berdiri di atas kepala.

Max menukik langsung ke kaca depan helikopter hitam yang sedang naik itu. Dia tidak bisa membiarkan mereka pergi.

Mereka tidak berhak terbang.

Mereka tidak boleh lolos.

Lalu Max melihat sesuatu melesat cepat dari arah berlawanan menuju helikopter yang sedang tinggal landas itu, meluncur dari pohon-pohon fir. Kejutan besar. Pemandangan paling indah yang pernah dilihat Max.

"Matthew!" pekiknya.

BAB 119

Carole oneill dan kedua anak perempuannya, Meredith dan Brigid, berkemah di tepi sungai lebar yang berbuih di Gunnison National Forest. Mereka membawa sebuah TV Sony kecil. Mereka menyalakan televisi

itu, volumenya sudah disetel sekeras mungkin, tapi itu pun masih kurang kuat, dan gambarnya terlalu kecil.

"Itu Max! Dan itu Bibi Frannie!" jerit Brigid, sementara mereka menonton siaran langsung di dalam mobil RV mereka. "Mom, apa yang terjadi? Ada apa?"

"Shhh. Shhh," Carole berbicara mengalahkan suara TV dan anak perempuannya. "Aku ingin mendengar ini. Shhh, anak-anak." Carole secepat kilat mengubah-ubah saluran televisi. Gambar-gambar mengejutkan dan menggemparkan yang sama tampak di setiap saluran yang dipilihnya. Ada kejadian luar biasa sedang berlangsung di rumah Gillian Puris. Kejadian apa? Carole tidak bisa mempercayai penglihatannya sendiri. Tentu saja, tidak ada yang bisa dipercayai penglihatannya selama 24 jam terakhir. Max menukik gaya kamikaze yang berbahaya ke arah sebuah helikopter. Anak itu akan menabrak helikopter itu.

Carole mengernyit dan menahan napas.

Apa yang tengah terjadi?

Frannie sedang meninju Gillian Puris. Mungkinkah itu terjadi? Mengapa saudaranya meninju Gillian?

Oh Tuhanku! Kelihatannya Kit tertembak. Pria itu tergeletak di tanah.

Dia tidak bergerak. Pria-pria bersenjata berlarian ke sana kemari. Ribuan TV di area Denver yang padat menerima gambar-gambar siaran langsung yang diiringi suara reporter. Ribuan pesawat lagi dinyalakan setelah kabar tentang berita itu menyebar. Seluruh keluarga berkumpul di depan pesawat televisi mereka. Orang-orang yang tidur larut malam diseret dari tempat tidur supaya menonton berita tersebut. Orangorang mengelilingi TV di hotel-hotel, kafe, tempat minum, tempattempat bisnis.

Dalam beberapa menit, jaringan televisi besar ikut menyiarkan berita langsung dari stasiun-stasiun Denver. Reporter-reporter berita yang penuh semangat menyampaikan kisah itu baik dengan suara melengking atau tertahan.

Gambar-gambar menakjubkan dan memesona si gadis terbang mulai dipancarkan ke seluruh dunia, ke semua benua, semua negara, kota besar, dan desa kecil. Gambar luar biasa anak perempuan terbang tampak spiritual bagi orang-orang tertentu. "Malaikat", "menggetarkan", "supernatural", "sekali seumur hidup", "mukjizat" adalah kata-kata yang digunakan orang untuk menggambarkan apa yang mereka lihat dan rasakan. Gambar pertama anak perempuan itu takkan terlupakan, tertanam di benak semua yang menyaksikannya. Gambar tersebut menyentuh relung hati terdalam setiap pria dan wanita, setiap anak yang melihatnya.

"Masa depan telah tiba," ujar salah seorang jurnalis Inggris, "dan kami punya gambar-gambar untuk membuktikannya."

BAB 120

Aku melihat segalanya dari atas permukaan tanah ketika semua berkembang. Kit terkapar dan aku berusaha menghibur dan menolongnya. Dia ditembak di bawah tulang bahu dan banyak sekali darah di lehernya, mengotori kemejanya. Kit berkeras bahwa lukanya tidak parah. Aku tidak mempercayainya. Tubuhku gemetar karena ketakutan.

"Dia membawa 'orang-orang baik'," katanya dengan suara pelan. "Dia anak yang pintar."

Max juga jago terbang. Aku bangga sekali pada Max, namun aku juga sangat khawatir dan takut memikirkan kondisinya. Max terlalu berani mengambil risiko di dekat baling-baling helikopter yang berputar kencang itu-belum lagi senjata-senjata itu. Anak itu tidak kenal takut. Suara di atas memekakkan telinga dan membingungkan. Aku bisa membaca nama berbagai stasiun televisi yang ditulis mencolok di bagian samping helikopter-helikopter tersebut.

Orang-orang berita TV sudah di sini-menyiarkan liputan langsung. Max telah berhasil membawa pasukan penolong, bukan? Helikopter-helikopter TV memfilmkan semua

wajah kaget dan bersalah itu. Gillian dan bajingan-bajingan lainnya, termasuk suaminya. Mungkin mereka akhirnya tidak akan bisa lolos dari urusan ini. Rahasia-rahasia kelam mereka sedang dipaparkan. Di TV.

Setidaknya, itulah harapanku.

Max mendadak membelok tajam ke kanan. Dia bukan hanya tidak kenal takut; dia ceroboh. Anak itu menukik menuju helikopter Bell Jet Ranger hitam yang tinggal landas dari belakang rumah utama. Dia berusaha mencegah mereka melarikan diri.

Dari antara pinus-pinus yang menjulang, Matthew bergabung dengannya. Ya Tuhan, pemandangan yang luar biasa. Kakak dan adik bergabung kembali. Mereka balas dendam, melakukan pembalasan. "Hati-hati!" aku menjerit. Aku berdiri untuk berteriak. Kulambaikan lenganku. "Max, turun. Max, jangan."

Tidak mungkin dia bisa mendengar suaraku di antara suara menggelegar dan menggemuruh yang memenuhi langit. Max terlalu dekat dengan helikopter yang makin tinggi itu. Dia sengaja berbuat begitu.

Terlalu dekat. Terlalu berbahaya.

Max kelihatan bertabrakan di udara dengan helikopter itu. Kejadiannya cepat sekali. Aku tidak tahu apakah dia betul-betul menabrakkan diri ke helikopter itu, dan jika ya, seberapa parah dia melukai dirinya sendiri. Aku memandangi, dan masih berteriak-teriak saat dia mulai jatuh. Oh, Max-jangan jatuh. Tolong, jangan. Oh tolong, Max.

Helikopter itu mulai bergoyang, berusaha menghindarinya, namun sekarang helikopter itu bergetar dan berputar-putar. Helikopter itu tak terkontrol, jatuh dengan cepat dari ketinggian sekitar 150 meter. Helikopter itu jelas mengalami kerusakan. Baling-balingnya makin pelan dan helikopternya sendiri mulai bergetar dan berguncang. Aku bisa melihat beberapa pria dan wanita di dalamnya, memandang ke luar jendela, ketakutan, nyaris panik.

Matthew melayang seperti daun di atas helikopter jatuh itu. Dia menonton dari jarak dekat. Terlalu dekat, seakan ini semua semacam

permainan untuknya. Dia kelihatan bisa saja tersedot ke dalam pusaran udara yang ditimbulkan helikopter tersebut.

Kutinggalkan Kit sebentar. Kurasa dia akan baik-baik saja; aku berdoa semoga begitu. Aku sedang berlari mendatangi Max saat tanah bergetar, akibat ledakan menakutkan yang diikuti timbulnya bola api. Helikopter tadi menabrak puncak dan dahan pepohonan ketika meluncur jatuh. Derit logam beradu dengan logam yang memekakkan telinga menusuk udara. Helikopter itu menghantam tanah dan meledak menjadi lidah api yang menyambar tinggi di atas puncak pohon-pohon pinus di sekelilingnya. Asap, sehitam arang, bergulung dari reruntuhannya. Semua penumpangnya pasti tewas dalam detik yang menakutkan itu. Aku jadi saksi lagi. Aku tidak mau jadi saksi. Aku amat sangat menginginkan kehidupanku yang lama.

Kulihat Max terbang dengan susah payah dari balik asap hitam tebal. Sayap dan wajahnya tertutup arang dan debu. Dia masih terbang, namun tampak kehabisan tenaga. Anak itu berusaha melawan rasa lelahnya, namun tenaganya sudah terkuras.

Anak-anak lain berputar balik dari tempat persembunyian dan hutan yang aman. Mereka bersiul untuk Icarus dan bocah itu berhasil tetap bersama mereka. Mereka bergabung dengan Max dan gadis itu membawa mereka menuju hamparan rumput hijau yang sangat indah di samping rumah.

Begitu Max dan anak-anak yang lebih kecil itu mendarat, dia dan Matthew langsung berlari melintasi halaman yang terawat rapi itu. Stamina mereka menakjubkan. Mereka terbang lagi, melesat lurus menuju matahari pagi yang bersinar cerah.

Aku melihat apa yang akan mereka lakukan; setidaknya aku merasa aku mengerti. Mereka mengikuti sebuah sedan Mercedes abu-abu. Mobil itu bergerak dengan kecepatan tinggi di jalan tanah, jalan belakang untuk ke rumah utama. Aku pernah menyusuri jalan kecil itu beberapa kali di masa lalu.

Aku tahu siapa yang berjejalan di dalam S600 kelabu itu. Aku melihat mereka masuk tadi: Gillian, Dr. Peyser, si kecil Michael, sopir, dan Harding Thomas. Selain Michael, mereka adalah keluarga dari Neraka.

Thomas membawa senjata. Mereka meloloskan diri lagi. Sebuah Land Rover berdebu diparkir beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku tidak tahu

siapa pemilik kendaraan itu-tapi untuk saat ini kuputuskan mobil itu milikku. Kupinjam mobil itu.

Aku masuk dan mengejar sedan yang ngebut itu. Aku tidak mau jadi pahlawan, tidak mau ambil bagian. Aku cuma ingin menghentikan Max dan Matthew, entah bagaimana caranya. Aku tidak mau mereka mati.

BAB 121

Kurasa aku berusaha mengikuti nasihat hebat Sophie Tucker: tetaplah bernapas. Rover dibuat untuk mengalahkan berbagai lubang dan tonjolan di jalan tanah. Hampir lima puluh meter di depan, aku melihat Mercedes itu melaju kencang. S600 itu betul-betul menguji suspensinya. Sopirnya berusaha melaju lebih kencang daripada semestinya di jalan darurat itu. Max dan Matthew menukik dan menyambar terlalu dekat dengan mobil. Mereka seperti ngengat yang sedang marah. Tapi, tidak usah diragukan lagi, mereka menjengkelkan dan mengesalkan si sopir.

Lalu Max menukik kencang. Dia menghantam atap Mercedes. Hantaman keras yang menyebabkan atapnya penyok. Dia dan Matthew berbuat gila-gilaan, seperti anak kecil.

"Max, jangan!" aku berteriak dari jendela. Kuulurkan kepala dan bahuku sejauh mungkin. Angin menyambar wajahku, membuatku mengernyit. Kukemudikan Land Rover itu sebisa mungkin dari posisiku yang menakutkan.

Dengan pangkal telapak tanganku kutekan klakson kuat-kuat. Kubunyikan alarm, peringatan, berkali-kali.

Max tidak pernah menoleh ke belakang. Begitu juga Matthew. Mereka pasti mendengar suara klakson mobilku. Mereka pasti mengetahui kehadiranku. Mereka cuma tidak peduli lagi.

Kutekan pedal gas kuat-kuat, menekannya sampai mengenai lantai. Pohon-pohon melesat melewatiku di kedua sisi jalan sempit dan berkelok-kelok. Aku melaju terlalu kencang, dua kali lipat kecepatan yang aman.

Max akhirnya menoleh. Dia melihat Land Rover-ku, dengan aku tergantung-gantung di luar jendela. Aku tidak tahu seberapa dekat hubunganku dengan Max, sampai saat itu. Seluruh naluri keibuanku mengumpul, menyatu, menggumpal di sekeliling hatiku. Aku tidak sanggup menerima kenyataan jika dia sampai terluka, jika aku kehilangan dia atau Matthew atau anak-anak lainnya.

Aku melihat apa yang akan terjadi, tapi Max tidak. Dia sibuk melihat ke arahku.

"Jendela mobilnya. Max!" aku menjerit sekuat tenaga lagi. "Awas! Maxmenolehlah!"

Dia tidak bisa mendengarku. Tidak bisa, atau tidak mau. Dia tersenyum, menertawakan bahaya di sekelilingnya.

Kaca depan sedan itu bergerak turun. Harding Thomas mengulurkan kepalanya keluar. Lalu aku dapat melihat tangannya. Dia mengacungkan senjata ke luar jendela. Dia membidikkannya pada Max atau Matthew, yang sama-sama terbang terlalu dekat dengan mobil itu.

Max akhirnya melihat Thomas. Dia dan Matthew melesat menuju pohonpohon pinus lebat di tepi jalan. Anak-anak pemberani itu melesat di antara pepohonan dengan kecepatan tinggi dan berbahaya. Mereka menertawakan Paman Thomas, menggoda dan mengejeknya. Tapi Thomas tetap menembakkan senjatanya. Pria itu menghancurkan sebatang dahan rimbun dari sebuah pohon. S600 itu menambah kecepatan.

Aku juga. Aku siap melakukan apa saja untuk menghentikan mereka, untuk melindungi Max dan Matthew jika bisa. Mereka sudah terlalu banyak menderita karena monster-monster di dalam mobil itu. Gillian, Dr. Peyser, Thomas.- mereka tidak boleh lolos lagi, tidak boleh dibiarkan pergi begitu saja.

Tapi mereka akan lolos. Mercedes itu menderu di sisi pegunungan dan tidak lama lagi akan hilang dari pandangan.

BAB 122

Kumasukkan persneling empat dan Rover itu mematuhinya, menderu maju. Hutan masih melaju kencang melewatiku, amat kabur dan cepat, bahaya luar biasa di kedua sisi. Tidak ada tempat untuk kesalahan paling kecil sekalipun.

Belum pernah aku mengemudi sekencang ini. Aku sadar aku bisa dengan mudah tergelincir keluar dan hancur. Aku bisa mati dalam seper-sekian detik dan pikiran itu menakutkanku. Namun, aku tetap menekan pedal gas sampai menempel lantai.

Jalan kecil berkelok-kelok itu mendadak naik menuju langit lagi. Ini jalur roller-coaster yang rumit dan berbahaya, perjalanan yang liar.

Kupikir jalan ini akan membawa kami ke kota, tapi ternyata tidak.

Max dan Matthew kelihatan lagi, terbang dengan jelas di hadapanku. Max menuju ke kanan, Matthew kiri. Kali mereka kelihatannya punya rencana.

Mereka zigzag tepat di belakang sedan abu-abu itu, rapat dengan ekornya. Lampu rem mobil itu menyala berulang kali. Tapi anak-anak itu terbang terlalu cepat.

Aku melihat Thomas berputar supaya senjatanya bisa diarahkan pada mereka lagi. Pria itu menjulurkan tubuhnya makin jauh dari jendela yang terbuka. Karena jalanan yang licin, Max dan Matthew tidak sulit mengikuti mobil yang berulang kali tergelincir tersebut.

Anak-anak itu mulai berteriak-teriak pada Thomas lagi, menggodanya, menjulukinya "pembunuh" dan "bajingan". Gema suara mereka sampai di telingaku.

Kuhantamkan telapak tanganku kuat-kuat ke klakson berulang kali, namun akhirnya aku berhenti. Tidak ada gunanya. Max dan Matthew tidak mau mendengar aku atau siapa pun. Aku tidak sanggup melihat apa yang akan terjadi.

Tapi aku juga tidak bisa mengalihkan pandangan.

BAB 123

Max menurunkan sayap kanannya, dan meluncur dengan kecepatan penuh menuju mobil. Dia kelihatan tidak peduli pada Thomas dan senjatanya. Dia melesat bagai torpedo tepat ke arah kaca depan Mercedes. Dia pasti melihat mata si sopir yang ketakutan. Mungkin bahkan bayangannya sendiri ketika bayangan itu bergerak di kaca depan mobil. Max memekik, "Pembunuh! Pembunuh!" sekuat tenaga. Aku dapat mendengar suaranya dengan jelas meskipun jarak di antara kami sejauh beberapa mobil.

Sedan abu-abu itu tergelincir kencang. Dua bannya terangkat dari tanah, begitu juga seluruh sisi kanannya. Lalu semua yang menakutkan dan buruk tampak seperti terjadi serentak, dan jauh terlalu cepat.

Max nyaris menghantam kaca depan. Dia pasti menghalangi pandangan si sopir. Dan sekarang, dia dan mobil itu sama-sama berputar tak terkendali.

Sedan itu berusaha menghindarinya. Lalu Max melejit meninggalkan Mercedes yang berputar-putar itu.

Max terlempar bagai boneka kain ke arah hutan.

Aku memandangi saat dia meluncur ke depan, lalu terempas ke sebatang pohon ek. Max menghantam pohon itu keras sekali.

Aku hampir yakin dia tewas dalam tabrakan mengerikan itu. Aku bergidik.

Harding Thomas jadi makin bersemangat, kepalanya menjulur ke luar jendela lagi. Dia mungkin tidak bisa mempercayai penglihatannya. Dilihatnya Max menghantam pohon. Namun dia tidak melihat pohon

rendah yang tumbuh di pinggir jalan sampai dia sudah terlambat untuk masuk lagi ke dalam Mercedes.

Kepala Thomas terjepit, lalu gepeng di antara badan mobil dan batang keras pohon. Aku bisa mendengar bunyi tulang hancur, berderak keras. Aku melihat seringai ketakutan di bibirnya lenyap. Darah menyembur ke mana-mana. Daging dan darah lumat. Aku menyaksikan detik-detik kematian menyakitkan orang yang sangat jahat itu.

Aku menginjak pedal rem kuat-kuat dan Rover-ku meluncur jauh. Mobil itu berputar 360 derajat penuh.

Sedan Mercedes itu sama sekali lepas kendali, sopirnya tampak tidak bisa melakukan manuver. Kepala dan bahu Harding Thomas tergantung lemas di luar jendela. Mobil itu menghantam batang pohon ek tinggi. Mobil itu terpental. Meluncur kencang ke kanan. Roda-rodanya terangkat ke atas, lalu menyentuh tanah lagi.

Mobil dengan mesin bertenaga besar itu menabrak semak-semak besar dan kecil. Lalu mobil

itu bergetar dan meluncur ke jurang terjal. Batu-batuan tampak seperti naik untuk menyambutnya.

Aku melihat wajah Gillian menempel ke jendela, bibirnya terbuka karena menjerit. Aku juga dapat melihat wajah Dr. Anthony Peyser terjebak di dalam. Matanya membelalak dan aku menduga dia jangan-jangan sudah mati duluan.

Mercedes itu berguling. Mobil itu jungkir-balik berkali-kali, makin lama makin cepat. Sisi-sisinya penyok ke tengah. Atapnya melesak masuk.

Kaca depannya hancur berkeping-keping.

Akhirnya sedan itu menghantam batu-batu berlapis lumut yang berada tujuh puluh atau delapan puluh meter di bawah jalanan. Mereka semua pasti mati, kataku dalam hati.

Kupaksa diriku turun dari Land Rover. Pandanganku terfokus. Segalanya kacau-balau dalam benakku. Kakiku lemas, namun aku berjuang maju menuju Max. Aku takut aku terlambat.

Max terpuruk di bagian bawah pohon yang ditabraknya tadi. Ada luka besar sekali di dadanya. Setidaknya satu sayapnya kelihatan patah. "Max! Max!" teriak Matthew, jeritannya melengking saat dia terbang mendekati kakaknya. Bocah itu mengeluarkan suara ratapan yang memilukan, bunyinya lebih mirip suara anak burung daripada anak manusia.

"Max, oh, Max!" aku ternyata menjerit juga.

BAB 124

Hampir dua jam sudah berlalu, tapi rasanya seperti baru beberapa menit. Aku terguncang, tapi itu tidak penting. Aku harus mengerahkan seluruh kemampuanku, atau mungkin bahkan lebih daripada itu. Semua yang ada di Boulder Community Hos-pital tampak seperti tubuhtubuh kabur yang bergerak cepat ke sana kemari. Kit sedang dioperasi hanya dua kamar dari sini. Aku bersama Max di ruang operasi yang paling besar. Anak itu sadar, mengerang pelan, namun setidaknya dia masih hidup.

Max mengalami luka parah di dada dan kedua sayapnya. Tubuhnya penuh luka dalam dan luka terbuka, tulang-tulangnya patah, salah satu paruparunya mungkin rusak. Max kehilangan banyak darah, dan dalam kasusnya, itu merupakan masalah serius. Itu juga merupakan masalah yang unik. Golongan darah Max bukan golongan darah manusia, bukan juga burung. Golongan darahnya di antara keduanya. Matthew memiliki golongan darah yang sama dengannya. Si kembar juga, dan Peter dan Wendy menyumbangkan darah sebanyak yang bisa mereka berikan.

Aku memakai masker biru muda dan baju operasi, dan untuk pertama kalinya aku berada di ruang operasi rumah sakit manusia sebagai dokter. Aku satu-satunya ahli burung di dekat Boulder Community. Aku sering mengoperasi burung-burung luka yang sama sekali tidak dikenal para dokter bedah ini. Akulah orangnya, dan kurasa aku tidak mau jika situasinya berbeda. Aku tidak mau orang lain menangani Max.

Denyut nadinya lemah. Bukan pertanda baik. Pertanda buruk, malah. Aku memandang ke sekeliling ruang operasi, menatap mata-mata serius dan ketakutan yang balas menatapku. Tidak satu pun dari mereka yang hadir di sini tahu harus melakukan apa, terhadap aku atau masalah ini. Tapi mereka tahu Max berada dalam kondisi yang amat sangat kritis. Aku menarik napas, dan menguatkan diri sebisaku. "Mari kita bekerja," kataku pada tim dokter gawat darurat yang dibentuk terburu-buru ini. Aku memilih gas isofluorine untuk anestesi karena gas itu lebih aman bagi burung, dan aku tidak tahu apa efek sodium Pentothal pada Max. Juga, pengalaman panjangku menggunakan iso-florine membuatku bisa mengkalkulasi dosis yang aman. Satu atau dua dokter lain tampak skeptis, * namun tidak ada yang mempertanyakan ke-putusanku. Dengan mengikuti instruksiku, tim dokter bedah dengan hati-hati membungkus sayap Max ke tubuhnya sebelum membiusnya. Jika Max panik dalam keadaan setengah tidak sadar dan

mengepakkan sayap, kerusakan yang ditimbulkannya bisa sangat berat.

Gas itu mendesis dan Max memberontak, seperti yang sudah kuduga.

Dia memang betul-betul pantang menyerah. Lalu dia kemudian menyerah. Air mataku menetes dan perawat ruang operasi menghapusnya. Bukan waktu ataupun tempat yang tepat untuk emosi. "Aku di sini, Max," bisikku. "Percayalah padaku. Aku di sini, Manis."

"Dia temanku," aku menjelaskan pada perawat ruang operasi di samping kananku. "Aku tidak akan apa-apa."

"Aku yakin begitu," bisik si perawat. "Aku akan mendampingimu." Kusingkirkan emosiku sebisaku. Aku berada di ruang operasi rumah sakit manusia sebagai dokter. Ada nyawa yang harus kuselamatkan-nyawa manusia-nyawa orang yang kusayangi. Tapi aku juga tahu peluang Max tidak terlalu besar.

Dokter anestesi mengangguk padaku. Kami sudah siap. Setelah memastikan Max sudah tidak sadarkan diri, pelan-pelan kubuka bungkus sayapnya. Kuperiksa luka-luka di sayapnya, dan yang lebih buruk, luka

terbuka di dadanya. Lubang berwarna gelap yang menganga itu membuat hatiku ciut.

Aku tidak boleh membiarkan perasaan atau gangguan lain membuyarkan konsentrasiku saat aku mencabuti bulu-bulu dari sekeliling luka dada yang berbahaya itu. Kubersihkan area tersebut dan kuambili serpihan logam, kayu, pecahan kaca, dan lebih banyak bulu lagi. Aku takut paruparunya luka.

Dengan menggunakan pisau bedah, aku mulai mengerjakan area itu, membuangi kulit dan ja- ringan yang sudah rusak. Lalu aku memotong.

Aku menggarap luka dadanya duluan. Aku takut darah merembes ke rongga dada. Kami semua menakutkan itu. Namun paru-parunya tidak luka. Paru-parunya tidak kolaps. Aku berusaha sebisaku, kemudian berpindah ke masalah-masalah lain, luka-luka serius lain. "Aku di sini, Max. Aku masih di sini," bisikku. "Bisakah kau mendengarku? Aku tahu pendengaranmu lebih tajam daripada kami semua."

Otot dari humerus ke jari sayap ketiga sayap kirinya luka parah, namun tidak putus. Aku menggunakan pola jahitan Bunnell-Mayer untuk otototot itu, lalu menutup irisanku. Sekarang bisa dibilang aku bekerja berdasarkan insting.

Di sampingku seorang ahli pediatri menggarap luka panjang dan dalam di pipi Max, kemudian luka di bawah bahunya. Dokter bedah itu, seorang wanita, adalah dokter yang andal. Setelah lama sekali, aku hampir lupa dia ada di sana.

Max berjuang dengan sangat berani. Aku tahu dia akan berbuat begitu.

"Kau hebat, Max. Teruskanlah. Kau yang ter-baik, Maximum." Aku menyadari seorang perawat mengusap keringat dari alisku. Aku jelas mau didampingi seorang perawat seperti ini di Inn-Patient. Aku mendengar potongan-potongan percakapan pelan di antara para perawat dan dokter di sekelilingku, tapi aku berkonsentrasi untuk menyelesaikan operasi ini dan tidak memperhatikan apa yang mereka katakan. Aku harus

memikirkan bagaimana semua potongan ganjil ini bisa menyatu. Operasi ini tidak ada di dalam buku anatomi mana pun-tidak di University of Colorado, Berkeley, Harvard, atau Chicago. Belum, setidaknya. Aku menggunakan jahitan PDS dan melakukan penorrhaphy dari ujung ke ujung. Dengan cepat aku memutuskan menggunakan pola terpotongpotong yang sederhana, sebaris panjang simpul-simpul kecil. Kupandang sekilas jam dinding yang terbuat dari baja tahan karat. Aku terpana melihat hampir tiga setengah jam telah berlalu. Aku sadar tubuhku basah kuyup dengan keringat.

Kurasakan ada yang memegang bahuku dan mendengar salah seorang dokter berkata pelan, "Kita sudah berusaha sebisa mungkin untuknya."

BAB 125

Kami tidak boleh kehilangan Max. Tidak setelah semua yang kami laluisetelah apa yang dia alami.

Aku menunggu sampai dia menerima amoxi-cillin dan larutan garam, lalu kupasang perban berbentuk angka delapan di masing-masing sayapnya.

Ini akan membantu melindunginya jika dia mengamuk saat siuman. Tindakanku sepele, namun aku sudah berusaha sebisaku untuk membantunya. Kuharap semua tindakanku cukup.

Aku hampir menangis, namun tidak kubiarkan air mataku menetes. Tidak di sini, di mana para perawat dan dokter memandangiku. Kulepas baju operasiku di ruang ganti dokter bedah dan cepat-cepat membersihkan diri. Lalu aku berjalan ke ICU.

Kit dioperasi tim kedua dokter bedah, dokter-dokter terbaik yang tersedia. Dia dihubungkan ke begitu banyak peralatan monitor sehingga sulit mengetahui di mana pasien dan siang-siang itu berawal dan berakhir.

Laporan statusnya mengatakan tulang bahunya patah, begitu juga tulang rusuknya, paru-parunya

luka, dan dia mengalami pleurisy. Dia menerima transfusi darah dan antibiotik, dan semua tanda vitalnya dimonitor. Semua tanda-tandanya kuat, berlainan dengan Max.

Aku menarik kursi ke samping tempat tidurnya dan mengempaskan diri di situ. Lama aku duduk di sana, seperti mayat hidup, memandanginya tanpa bergerak. Akhirnya kubiarkan diriku menangis. Air mata mengalir di kedua pipiku dan aku tidak sanggup menghentikannya. Aku teringat saat pertama aku melihatnya di Inn-Patient, ketika InnPatient masih ada. Lalu saat penuh pesona ketika dia bernyanyi begitu indah di Villa Vittoria. Dan "malam terakhir kami di dunia" di ruang bawah tanah Gillian. Begitu banyak telah terjadi di antara kami dalam waktu yang begitu pendek. Begitu banyak yang telah kami alami. Aku berbisik, "Aku mencintaimu, Kit, Tom, siapa pun kau. Aku sangat mencintaimu."

Aku pasti tertidur setelah itu. Aku tidak tahu berapa lama. Kurasakan Kit mengusap lembut rambutku.

"Oh, Kit," kataku, ketika kulihat dia sudah siuman. Kucium pipinya selembut mungkin, dan dia tersenyum cerah.

"Bagaimana keadaannya?" tanyanya.

"Dia sangat kritis. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Tidak ada preseden untuk operasi yang barusan kami lakukan."

Aku tinggal di kamar Kit untuk waktu yang terasa lama, beberapa jam.

Lagi pula, aku tidak punya rumah yang bisa kujadikan tujuan pulang.

Lalu aku menyelinap ke atas untuk menjenguk

Max. Seharusnya saat ini dia sudah sadar dari pengaruh obat bius.

Aku mengucapkan beberapa doa saat menaiki tangga dari lantai tiga ke lantai lima. Aku tenggelam dalam pikiranku, bertanya-tanya tentang Tuhan, dan bagaimana perkembangan mutakhir ilmu kedokteran dan ilmu pengetahuan sesuai dengan rencana besar, jika rencana besar itu memang ada, atau rencana apa pun. Sepotong frase terngiang di benakku-semua makhluk ciptaan Tuhan. Aku sekarang bertanya-tanya apa arti frase tersebut.

Aku berpikir: Jangan biarkan Max mati. Dia anak yang baik, dan dia istimewa. Kumohon jangan biarkan dia mati. Apakah Kau mendengarku, Tuhan?

Max masih pulas saat aku memasuki kamarnya. Dia tampak rapuh dan tanpa dosa. Melihat Max sakit seperti ini rasanya seperti melihat bintang jatuh.

Aku duduk di sampingnya dan mulai menungguinya.

Jangan biarkan Max mati.

Jangan biarkan gadis kecil ini meninggal.

Fajar baru saja merekah, dan aku masih bersama Max ketika kelopak matanya akhirnya terbuka. Anak itu memandangku dan aku merasa hatiku seperti diiris.

"Hai, Max. Halo, Manis."

"Hai. Di mana aku?" bisiknya.

"Di suatu tempat yang aman. Sebuah rumah sakit di Boulder. Kau bersamaku."

"Aku mendengar kau berbicara padaku. Selama operasi, Frannie," katanya. Suaranya sangat pelan

dan aku harus berjuang untuk dapat mendengar kata-katanya.

Dengan lembut kucium pipinya, lalu keningnya, pipinya yang satu lagi.

Jangan biarkan anak ini mati, aku terus mengatakannya dalam hati.

Tubuhku gemetar karena takut.

Max tersenyum lembut. "Apakah kau merindukan aku?" bisiknya.

"Kami semua sangat merindukanmu. Di mana kau tadi, Sayang?"

"Oh. Aku tadi betul-betul terbang."

Max diam lagi, dan aku dapat mendengar napasnya berat. Dibiarkannya aku menggenggam tangannya, dan dia tidak mengatakan apa-apa lagi selama beberapa menit. Kubelai keningnya yang lembap, rambutnya.

Kucium pipinya yang hangat berulang kali.

Max berbisik, "Rasanya benar-benar seperti terbang. Enak sekali. Aku suka berada di sana, Frannie."

Kemudian dengan halus, sangat halus, Max meremas tanganku.

Dipejamkannya matanya. Max tidur.

EPILOG

MALAIKAT-MALAIKAT

BAB 126

Kadang-kadang di larut malam, aku duduk dalam kegelapan di ayunan gaya lama di halaman depan. Kudorong diriku makin lama makin tinggi, berharap bisa meninggalkan bumi dan terbang. Kurenungkan semua yang telah terjadi, dan berusaha merasionalisasikannya. Aku tahu banyak orang lain yang berusaha melakukan hal yang sama.

Akan kuceritakan apa yang terjadi setelah peristiwa di rumah Gillian. Berminggu-minggu setelah kejadian tersebut, Kit dan aku melakukan apa yang menurut kami harus kami lakukan, apa yang kami rasa merupakan tindakan yang benar-kami menghilang bersama anak-anak: Matthew, Oz, Ic, si kembar, dan Max.

Takkan kuberitahukan di mana rumah kami sekarang, namun tempat ini aman untuk saat ini. Meskipun cuma sementara, tempat ini bagus untuk ditinggali. Pemerintah tidak tahu harus berbuat apa dengan anak-anak bersayap itu, atau dengan Kit dan aku, dan hal-hal yang kami ketahui. Kami tidak tahu harus berbuat apa dengan pemerintah. Siapa yang bisa dipercaya? Siapa yang harus ditakuti?

Sekelompok ilmuwan tanpa hati nurani, setidaknya beberapa penguasa di Washington, dan para petinggi jahat dan rakus di perusahaanperusahaan bioteknologi penting, melakukan kejahatan-kejahatan yang melebihi akal sehat manusia. Mereka membunuh orang-orang, termasuk suamiku David. Mereka melakukan eksperimen pada manusia. Beberapa anggota kelompok ilmuwan pelanggar hukum itu telah mati. Gillian, atau tepatnya, Dr. Susan Parkhill, telah tiada. Begitu juga putranya, Michael, yang memiliki harapan hidup dua ratus tahun. Bocah

tersebut tewas pada usia empat tahun. Dr. Anthony Peyser juga tewas dalam kecelakaan mobil di dekat rumah di Colo-rado itu. Teori-teori paranoid bermunculan, namun pemerintah memang terlibat dalam suatu cara, dan tidak ada yang tahu persis seberapa dalam. Mungkin kita takkan pernah mengetahuinya. Waktu itu ada tentara di Bear Bluff. Sampai hari ini, tidak ada yang menjelaskan mengapa tentara-tentara itu ada di sana. Sekelompok agen FBI terlibat. Perusahaan-perusahaan besar siap mengajukan penawaran uang dalam jumlah raksasa untuk buah terlarang pertama revolusi bioteknologi. Eve bertahan hidup. Dia sekarang berada di markas rahasia angkatan bersenjata di North Carolina. Tidak sepatah kata pun tentang gadis kecil itu sampai ke publik. Kurasa mungkin publik tidak berhak tahu. Baru-baru ini ada berita di New York Times mengenai anak dari ketiga wanita hamil di rumah Gillian dulu. Menurut laporan itu, anak-anak tersebut lahir tanpa wajah. Mereka sengaja didesain seperti itu oleh Dr. Peyser dan regunya. Anak-anak eksperimental itu diciptakan untuk "bagian-bagiannya".

Sementara itu, kami berada di hutan ini. Kami jauh, jauh dari dunia beradab. Kurasa ini seperti program perlindungan saksi, hanya saja jauh lebih baik untuk para saksi, setidaknya jauh lebih baik untuk kami. Anak-anak sangat menyukainya, begitu juga Kit dan aku. Udara segar, langit biru yang terhampar luas, tempat berenang favorit kami, keindahan alami tempat ini, kebebasan untuk menjadi diri kami sendiri tanpa memedulikan penilaian orang lain. Tidak ada tandingannya.

Tapi, tentu saja, kemudian ada yang menemukan kami.

BAB 127

Saat itu hari Sabtu siang yang cerah, bermandikan cahaya matahari, dan penuh harapan ketika kami tiba di markas angkatan bersenjata di North Carolina, tempat anak-anak "eksperimental" yang masih hidup ditempatkan.

Markas itu berada di hutan seluas 40.000 ekar, yang merupakan tempat sempurna untuk latihan militer, juga untuk menyembunyikan anak-anak dari pers dan gangguan-gangguan lain.

Kami tiba di sana pukul 12.00, dan ditunggu di rumah jenderal pada pukul 14.00. Semua orang di pos militer itu sangat menyenangkan, para polisi militer, ajudan sang jenderal-letnan kolonel bernama James Dwyer-para prajurit sendiri.

Anak-anak diperbolehkan mengenakan pakaian santai ke pertemuan itu, dan mereka sangat menyukainya. Aku memakai sweter cokelat bertutup kepala dan blue jeans, sementara Kit mengenakan celana panjang khaki dan blazer biru. Kami amat sangat gelisah dan gugup ketika saat yang bersejarah itu makin dekat, begitu juga anak-anak. Ini akan jadi hari paling penting dalam hidup mereka.

Pada pukul 14.00, kami berhenti di depan rumah besar bergaya perkebunan di jalan yang diapit pepohonan. Di jalan yang rapi dan indah itu tumbuh pohon magnolia dan pinus, juga beberapa rumah besar berdinding batu bata. Rumah sang jenderal adalah yang paling mengesankan, paling bagus, pilihan tepat untuk peristiwa yang akan terjadi.

"Kita masuk tentara sekarang," Matthew bernyanyi-nyanyi konyol saat kami turun dari van markas militer yang berwarna khaki. Jenderal Hefferon dan istrinya keluar untuk menyambut kami di jalan masuk. Suami-istri Hefferon memiliki senyum yang hangat dan ramah, namun beberapa polisi militer menyandang senjata M-16 dan itu mengembalikan kenangan-kenangan buruk kami.

"Di sini mungkin dilarang terbang," Max menoleh dan bicara padaku.

"Aku tidak merasa tenang lagi di tempat ini. Aku jadi takut."

"Sabarlah," aku berbisik padanya. "Ini ide yang bagus, Max."

"Orang-orang belum-belum sudah melongo melihatku," katanya.

"Itu karena kau sangat cantik."

Tepat pada saat itu, pintu depan rumah terbuka lebar. Beberapa pria dan wanita berjalan ke teras. Mereka berdiri di sana, tampak kaku dan

tidak nyaman, gelisah dan takut. Aku mau tidak mau berpikir bahwa bahasa tubuh mereka mencerminkan bahasa tubuh kami. "Mari masuk ke rumah, anak-anak," usul istri sang jenderal.

Setiap anak diberi tanda pengenal yang harus

disematkan di dada. Aku membantu Peter, yang agak kesulitan, dan Kit menolong Icarus, yang kelihatannya yang paling gugup dibandingkan anak-anak yang lain.

"Ayo kita naik ke teras," ajakku. "Jangan nakal, ya."

Anak-anak berjalan melintasi halaman depan yang terawat itu. Mereka tenang dan tidak banyak bicara. Mereka belum pernah bertemu orangtua kandung mereka.

Saat kami makin dekat, aku dapat melihat bahwa para pria dan wanita di teras itu juga memakai tanda pengenal. Mereka berdiri berpasangan di dalam kelompok yang lebih besar. Mereka bergerak-gerak gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa dengan tangan mereka. Mereka berusaha untuk tidak memandangi anak-anak.

"Ini ibu dan ayahmu," aku berbisik pada Peter dan Wendy, yang berjalan rapat di belakangku. Aku hampir mulai menangis, namun entah bagaimana aku berhasil menahan air mataku. Aku merasa seolah sesuatu di dalam diriku akan pecah.

"Ini Peter, dan ini Wendy," kataku.

"Kami Joe dan Anne," kedua orangtua itu memperkenalkan diri. Bibir yang wanita bergetar. Lalu tangis mereka pecah. Joe bertubuh besar dan kelihatannya baik hati. Dia membungkuk dan mengulurkan tangan, dan tak bisa bicara karena menangis tersedu-sedu.

Wendy membuatku terkejut dengan berlari mendatangi ayahnya. Lalu Peter melakukan hal yang sama, berlari ke dalam pelukan ibunya.

"Mommy," teriaknya.

Hal yang hampir sama terjadi pada anak-anak lain dan ibu dan ayah kandung mereka. Anak-anak itu waswas dan sinis dalam perjalanan ke markas militer ini, tapi itu semua sudah berlalu. Orang-orang militer,

orang-orang di Washington, telah melakukan perbuatan baik dengan mengadakan reuni ini.

Hampir semua orang di teras menitikkan air mata, termasuk Jenderal Hefferon dan istrinya, bahkan beberapa polisi militer juga. Max dan Matthew berada dalam pelukan pasangan berpenampilan menarik yang berusia akhir tiga puluhan. Aku tahu nama mereka, Art dan Teresa Marshall, dan bahwa mereka orang baik-baik dari Revere, Massachusetts.

Icarus sedang dipeluk seorang wanita kurus yang berlutut dan memiliki senyum paling cerah dan lebar yang pernah kulihat.

Oz berada dalam pelukan ibu kandungnya. Wanita itu berbisik lembut di telinganya. Oz balas berbisik padanya.

Akhirnya anak-anak ini mengalami kejadian menyenangkan. Aku berdiri berpelukan dengan Kit, dan air mata mengalir di pipi kami. Aku hampir buta karena air mata, namun aku tidak sanggup mengalihkan pandangan dari anak-anak itu dan para ibu dan ayah mereka.

"Ayo kita terbang untuk mereka," kata Peter dengan suaranya yang melengking. "Ayo, kita tunjukkan pada semua orang. Ikut denganku, Wendy. Ayo, anak-anak lamban. Mari kita terbang setinggi mungkin."

"Peter! Awas kalau kau berani melakukannya!" Max berseru dari teras.

Suaranya langsung

membuat Peter berhenti bergerak. Bocah laki-laki itu membelalakkan mata, lalu nyengir.

"'Kita semua akan terbang. Kita akan melakukannya bersama-sama," kata Max kemudian. Dan itulah yang mereka lakukan.

Anak-anak berlari bersama melintasi halaman depan dan tinggal landas bagai sekumpulan burung yang menakjubkan. Mereka bersiul supaya Icarus bisa mengikuti mereka. Mereka melayang di atas atap rumahrumah, pohon-pohon magno-lia dan pinus yang menjulang di sekeliling kami.

Mereka melayang ringan di langit berwarna biru muda yang tak berawan.

Menakjubkan sekali rasanya berada di sini, tidak seorang pun pernah melihat kejadian ini sepanjang sejarah dunia kita. Yang jelas, para ibu dan ayah itu tidak pernah mengalami hal seperti ini. Memandangi anakanak yang luar biasa itu terbang bagai burung.

TAMAT

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience