PROLOG

Mystery & Detective Completed 9676

PROLOG

Terbang Pertama

I

"Tolong! Tolong, tolong! Ada yang bisa mendengarku?"

Jeritan Max membahana di udara pegunungan yang bersih. Tenggorokan dan paru-parunya mulai sakit, terasa seperti terbakar.

Gadis berusia sebelas tahun itu berlari secepat mungkin dari Sekolah yang menyebalkan dan memuakkan itu. Dia kuat, namun dia mulai merasa lelah. Ketika dia berlari, rambut pirangnya yang panjang berkibar di belakangnya bagai sehelai syal sutra yang indah. Dia cantik, meskipun tampak lingkaran gelap di bawah kedua matanya.

Dia tahu orang-orang itu datang untuk membunuhnya. Dia dapat mendengar mereka bergegas-gegas menerobos hutan di belakangnya. Max menoleh ke belakang bahu kanannya, menahan sakit ketika memutar leher. Di kepalanya melintas bayangan adik laki-lakinya, Matthew. Di mana dia? Mereka berdua berpisah tepat di luar Sekolah, sama-sama berlari dan menjerit-jerit.

Dia takut Matthew sudah mati. Paman Thomas mungkin telah menangkapnya. Thomas telah

mengkhianati mereka dan itu sangat menyakitkan hati sehingga dia tak sanggup memikirkannya.

Air mata bergulir di pipinya. Para pemburu makin dekat. Max dapat merasakan langkah kaki mereka berdentam keras dan cepat di permukaan tanah.

Matahari Jingga dan merah yang tampak seolah berdenyut-denyut tenggelam di kaki langit. Tak lama lagi Front Range pegunungan Rockies ini akan gelap gulita dan dingin. Dia cuma mengenakan terusan dari katun putih yang berpotongan sederhana, tanpa lengan, diikat longgar di bagian leher dan pinggang. Kakinya terbungkus sepatu balet bersol tipis. Bergerak. Dipaksanya tubuh yang terasa sakit dan lelah untuk terus bergerak. Dia sanggup melaju lebih cepat dari ini. Dia tahu dia sanggup. Jalan setapak, berkelok-kelok itu menyempit, lalu berbelok mengelilingi batu besar berwarna hijau lumut. Max merangkak dan bersusah payah maju menembus belitan dahan dan semak yang lebat.

Dia tiba-tiba berhenti. Dia tidak bisa maju lebih jauh.

Pagar tinggi tampak menjulang di atas tanaman. Pasti tiga meter.

Berlapis-lapis kawat berduri setajam silet saling melilit di puncaknya.

Sepotong lempengan logam memperingatkan: SANGAT BERBAHAYA!

PAGAR BERLISTRIK. SANGAT BERBAHAYA!

Max membungkuk dan menangkupkan tangan di kedua lututnya yang telanjang. Dia mengem-

buskan napas, terengah-engah, berusaha supaya tidak menangis. Para pemburu hampir sampai. Dia dapat mendengar, membaui, merasakan kehadiran mereka yang mengerikan.

Dengan kekuatan yang mendadak timbul, dia membentangkan sayapnya. Sayapnya berwarna putih dengan ujung perak dan tampak seperti kipas yang baru dibuka. Sayap itu terentang sampai ke atas kepalanya, kelihatan seolah bergerak sendiri. Panjang bentangannya 2,7 meter.

Sinar matahari memantul di seluruh bulunya.

Max mulai berlari lagi, mengepak-ngepakkan sayap dengan kuat dan cepat. Kakinya yang bersepatu terangkat dari tanah. Dia terbang melewati kawat berduri tinggi itu bagai burung.

II

Lima pria bersenjata berlari tanpa suara dan tanpa kesulitan di antara batu-batu besar berusia sangat tua, pohon-pohon aspen yang menggapai langit, dan pepohonan pinus ponderosa. Mereka belum melihat anak itu, tapi tahu takkan lama lagi dapat menyusulnya.

Mereka berlari sudah cukup cepat, namun pria yang paling depan masih terus menambah kecepatan. Mereka semua pencari jejak yang andal, jago melakukan ini,.tapi pria itulah yang terbaik, pemimpin alami. Dia lebih fokus, lebih terkontrol, pemburu paling hebat.

Pria-pria itu dari luar tampak tenang, namun di dalam lain lagi. Ini saat kritis. Gadis itu harus ditangkap, dan dikembalikan. Dia tidak boleh

berada di luar sini. Sikap bijaksana memang sangat diperlukan. Sejak dulu begitu, namun tak pernah lebih diperlukan daripada sekarang. Gadis itu baru berumur sebelas tahun, tapi dia punya "bakat-bakat", dan di alam terbuka itu bisa menimbulkan masalah besar. Pancaindranya luar biasa tajam. Dia sangat kuat untuk ukuran besar tubuhnya, usianya, jenis kelaminnya. Dan tentu saja, ada kemungkinan dia mencoba untuk terbang.

Tiba-tiba, mereka dapat melihatnya jauh di depan: gadis itu terlihat jelas dengan latar belakang langit biru tua.

"Tinkerbell. Barat laut, lima puluh derajat," seru pemimpin rombongan.

Gadis itu dinamai Tinkerbell, tapi dia tahu anak itu membenci nama itu. Dia cuma mau menjawab kalau dipanggil Max, yang bukan kependekan dari Maxine, atau Maximillian, melainkan Maximum. Barangkali karena anak itu tidak pernah setengah-setengah. Dia selalu mengerahkan segenap kemampuannya. Tepat seperti yang sedang dilakukannya sekarang.

Itu dia, dalam segala kemegahannya! Dia berlari dengan kecepatan penuh, dan sangat dekat dengan pagar luar. Tak mungkin dia mengetahui adanya pagar itu. Belum pernah dia sejauh ini dari rumah. Semua mata mengawasinya. Tak seorang pun dari mereka sanggup mengalihkan pandangan, sedetik pun. Rambutnya yang panjang terurai di belakangnya, dan Tinkerbell tampak seperti melayang di lereng bukit yang terjal dan berbatu-batu. Dia sangat fit; gerakannya sangat menakjubkan untuk gadis semuda dirinya. Dia kekuatan yang harus diperhitungkan di alam terbuka ini.

Pria yang berlari di depan tiba-tiba berhenti. Harding Thomas berhenti berlari. Dia mengangkat sebelah lengan untuk menghentikan yang lainlain. Mula-mula mereka tidak mengerti, karena mengira telah berhasil mendapatkan anak itu.

Kemudian, seolah laki-laki tersebut tahu

Tinkerbell akan melakukannya-Tinkerbell tinggal landas. Dia terbang. Dia melewati kawat berduri di puncak pagar batas yang tingginya tiga meter.

Pria-pria itu membisu dan terpukau ketika memandangnya. Mata mereka membelalak. Darah mengalir ke otak mereka dan menimbulkan suara berdentam-dentam di telinga.

Tinkerbell membentangkan sayapnya seutuhnya dan gerakan itu tampak begitu luwes. Dia peterbang yang indah, alami. Dikepakkannya sayap putih dan peraknya naik-turun, naik-turun. Udara tampak seperti meniupnya, bagai sehelai daun dibawa angin.

"Aku tahu dia akan berusaha menyeberang." Thomas berpaling pada yang lain dan berkata singkat, "Sayang sekali."

Diangkatnya senapan ke bahunya. Gadis itu sebentar lagi akan menghilang di balik tepi terdekat dinding ngarai. Sedetik atau dua detik lagi, maka dia akan lenyap dari pandangan.

Thomas menarik picu senjata apinya.

III

Kit harrison pergi ke Denver dari Boston. Dia cukup tampan untuk membuat para wanita di pesawat memandangnya: rapi, 185 sentimeter, rambut pirang pasir. Dia lulusan Sekolah Hukum NYU. Namun Kit merasa seperti pecundang.

Dia mandi keringat di kursi baris tengah Boeing 747 American Airlines yang sempit dan penuh sesak. Kegugupannya begitu jelas sehingga pramugari yang ramah dan penuh perhatian itu berhenti dan bertanya apakah dia baik-baik saja. Apakah dia sakit?

Kit memberitahu wanita itu bahwa dia tidak apa-apa, namun itu kebohongan lagi, induk segala kebohongan. Kondisinya disebut kelainan stres pascatrauma dan kadang-kadang menimbulkan serangan panik hebat yang membuat dia merasa bisa mati saat itu juga. Sudah hampir empat tahun dia menderita kelainan ini.

Jadi yeah, aku sakit, Nona Pramugari. Cuma, masalahnya sedikit lebih buruk dari itu.

Kau tahu, mestinya aku tidak pergi ke Colorado. Seharusnya aku sedang berlibur di Nantucket. Sebetulnya, aku mestinya sedang cuti, menjernihkan otak, membiasakan diri dipecat dari pekerjaan yang sudah dua belas tahun kutekuni.

Membiasakan diri dengan kondisiku yang bukan agen FBI lagi, yang tidak berada di jalur cepat FBI lagi, yang tidak punya banyak arti lagi. Nama yang dicetak komputer di tiket pesawatnya adalah Kit Harrison, namun itu bukan namanya yang sesungguhnya. Namanya adalah Thomas Anthony Brennan. Dia Agen Senior FBI Brennan, orang yang pernah menjadi bintang. Dia berusia 38 tahun, dan akhir-akhir ini, untuk pertama kali seumur hidupnya dia merasa kondisi fisiknya mulai menurun.

Mulai detik ini, dia akan melupakan namanya yang lama. Melupakan pekerjaannya yang dulu juga.

Aku Kit Harrison. Aku pergi ke Colorado untuk berburu dan memancing di Rockies. Aku akan tetap berpatokan pada cerita sederhana itu.

Kebohongan sederhana itu.

Kit, Tom, siapa pun dia, sudah hampir empat tahun tidak naik pesawat. Sejak 9 Agustus 1994. Dia tidak ingin memikirkan hal itu sekarang. Jadi Kit berpura-pura tidur sementara keringat terus mengalir di wajah dan lehernya. Ketakutan di dalam hatinya meningkat sampai melewati tingkat berbahaya. Dia tak bisa memaksa pikirannya beristirahat, beberapa menit sekalipun. Dia harus berada di pesawat ini.

Dia harus bepergian ke Colorado.

Semua berhubungan dengan 9 Agustus, bukan? Pasti. Saat itulah kelainan stres ini mulai menyerangnya. Ini untuk Kim, untuk Tommy, dan untuk Michael-si Mike the Tyke kecil.

Dan oh yeah, ini juga kebetulan sangat menguntungkan bagi hampir semua orang lain di planet ini. Sangat aneh-namun kejadian terakhir yang luar biasa itu sangat benar, mengerikan tapi benar. Menurut

pendapatnya, tak ada peristiwa dalam sejarah yang lebih penting daripada apa yang akan diselidikinya di sini.

Kecuali kalau dia gila.

Kemungkinan yang tidak kecil.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience