BUKU SATU - KEJADIAN

Mystery & Detective Completed 9676

BUKU SATU

KEJADIAN

BAB 1

Hari ini mulai berkembang menjadi agak kacau ketika Keith Duffy dan putri kecilnya membawa kijang betina malang yang nyaris remuk itu ke Inn-Patient, nama yang kuberikan untuk rumah sakit hewanku yang kecil di Bear Bluff, Colorado. Letaknya sekitar sembilan puluh kilometer di barat laut Boulder, di sepanjang jalan raya "Peak-to-Peak". Sheryl Crow sedang bernyanyi serak seperti biasanya di tape deck. Kumatikan Sheryl yang menawan itu ketika kulihat Duffy berjalan masuk sambil menggendong si kijang betina malang, berdiri bagai orang tolol di depan Abstraction, White Rose II, poster Georgia O'Keefe yang saat ini tengah kusukai.

Aku dapat melihat bahwa kijang yang luka parah itu tengah hamil. Dia membelalak dan menendang-nendang waktu Duffy meletakkannya di meja periksa. Sebenarnya cuma setengah menendang-nendang, karena aku curiga tulang punggungnya patah di tengah. Dia telah ditabrak Chevy 4x4 yang dikemudikan Duffy.

Si gadis kecil bersimbah air mata dan sang ayah tampak sengsara. Aku menduga dia juga akan menangis.

"Uang bukan masalah," katanya.

Dan uang memang bukan masalah karena aku tahu tak ada yang dapat menyelamatkan kijang betina itu. Anak yang dikandungnya kemungkinan masih bisa ditolong. Jika usia kehamilannya sudah cukup tua. Jika

induknya tidak luka terlalu parah setelah dihantam truk seberat dua ton. Dan beberapa "jika" lagi.

"Aku tidak bisa menyelamatkan kijang betinanya," aku memberitahu ayah si gadis. "Maafkan aku."

Duffy mengangguk. Dia kontraktor lokal, juga salah satu pemburu setempat. Tak punya otak, kalau menurut pendapatku yang bodoh ini. Ceroboh mungkin istilah yang paling tepat untuk menggambarkan dirinya, dan mungkin itulah sifat terbaiknya. Aku cuma bisa membayangkan bagaimana perasaannya saat ini, pria yang biasanya membanggakan kemampuan membunuhnya ini, yang anaknya sekarang memohon-mohon agar nyawa binatang itu diselamatkan. Di antara kebiasaan-kebiasaan buruknya yang lain, Duffy sesekali mampir dan dengan kurang ajar mencemoohku. Stiker di bumper truk 4x4-nya berbunyi: Dukung Kehidupan Satwa Liar. Bikin Pesta.

"Anak kijangnya?" dia bertanya.

"Mungkin," kataku. "Bantu aku menidurkannya. Kita lihat nanti." Dengan lembut kupasang masker gas di wajah kijang betina itu. Kutekan pedal dan gas halotan mendesis melalui tabung. Mata cokelat binatang itu menampakkan kengerian, tapi juga kesedihan yang tak terbayangkan.

Dia tahu.

Si gadis kecil memeluk perut kijang betina tersebut dan mulai menangis tersedu-sedu. Aku sangat menyukai anak itu. Matanya memancarkan keberanian dan tekad. Paling tidak Duffy telah menghasilkan satu kebaikan dalam hidupnya.

"Sialan, sialan," kata si ayah. "Aku baru melihatnya setelah dia tergeletak di tutup mesin mobilku. Berusahalah sebaik mungkin, Frannie," dia berkata padaku.

Dengan lemah lembut kutarik gadis kecil itu dari kijang. Kupegang bahunya dan kuputar tubuhnya agar dia menatapku. "Siapa namamu, Manis?"

"Angie," isaknya.

"Angie, sekarang dengarkan aku, Sayang. Kijang ini tidak merasakan apa-apa sekarang, mengerti? Dia tidak kesakitan. Aku janji."

Angie menyurukkan wajahnya ke tubuhku dan memelukku dengan seluruh tenaga gadis kecilnya. Kuusap-usap punggungnya dan kuberitahu dia bahwa aku akan "menidurkan" kijang betina itu, namun kalau anaknya bisa diselamatkan, akan banyak yang harus dilakukan.

"Tolong, tolong, tolong," kata Angie.

"Kau akan membutuhkan kambing. Untuk susunya," aku memberitahu

Duffy. "Mungkin dua atau tiga ekor."

"Tidak masalah," katanya. Kalau kusuruh, dia pasti bersedia mencari gajah sekalipun. Asal gadis kecilnya mau tersenyum kembali. Aku lalu meminta mereka berdua keluar dari ruang periksa dan membiarkan aku bekerja. Aku akan melakukan operasi yang penuh darah, sulit, dan tidak menyenangkan.

BAB 2

Anak-beranak Duffy datang ke Inn-Patient pukul 19.00 tadi, dan mungkin dua belas menit telah berlalu. Tubuh kijang betina yang malang itu sudah dingin dan aku merasa sangat sedih atas kematiannya. Frannie si Cengeng--itulah julukan saudaraku, Carole, untukku. Itu juga panggilan sayang David suamiku bagiku.

Kurang dari satu setengah tahun yang lalu, David tewas ditembak di tempat parkir dokter di Boulder Community Hospital. Aku masih belum bisa menyembuhkan luka hatiku, kesedihanku belum tuntas. Perasaanku akan lebih baik jika polisi sudah menangkap pembunuh David, tapi sampai saat ini mereka belum berhasil.

Dengan pisau bedah aku mengiris sepanjang garis perut. Kubuka lapisan yang menyelubungi rahim, kulipat ke arah perut si kijang betina yang sudah terbuka. Aku memotong lagi, kali ini menembus dinding rahim. Kutarik anak kijang itu keluar, berdoa semoga aku tidak perlu mengakhiri hidupnya.

Anak kijang tersebut berusia kira-kira empat bulan, hampir cukup umur, dan sejauh yang bisa kulihat, tidak terluka. Perlahan-lahan kubersihkan

rongga udara bayi itu dengan jari-jariku dan kupasang masker mungil di moncongnya.

Lalu kunyalakan mesin oksigen. Dada anak kijang itu bergetar. Dia mulai bernapas.

Kemudian dia melenguh. Ya Tuhan, suara yang sangat luar biasa. Kehidupan baru. Wow, Louise, kejadian menakjubkan ini tetap mampu membuat perasaanku tidak keruan. Frannie si Cengeng. Darah tepercik ke mukaku selama operasi, dan aku menghapusnya dengan lengan baju. Anak kijang itu menjerit-jerit di balik masker oksigen dan kubiarkan makhluk yatim piatu itu bergelung pada induknya beberapa lama. Siapa tahu kijang punya jiwa, siapa tahu... biarkan ibu mengucapkan selamat tinggal pada anaknya.

Lalu kupotong tali pusarnya, kuisi alat suntik, dan kuakhiri hidup si kijang betina. Kejadiannya berlangsung cepat. Dia tidak pernah tahu kapan dia berpindah dari alam fana ke alam kematian. Di kulkas ada sekaleng susu kambing. Aku mengisi botol susu dan menghangatkannya di dalam microwave selama beberapa detik. Kubuka masker oksigennya dan kususupkan puting botol susu ke mulut si bayi kijang, dan makhluk itu mulai mengisap. Anak kijang itu sangat indah, mata cokelatnya lembut sekali. Ya Tuhan, kadang-kadang aku amat menyukai pekerjaanku.

Ayah dan anak duduk rapat di tempat tidur siang antikku ketika aku keluar ke ruang tunggu. Kuserahkan bayi kijang tadi pada Angie.

"Selamat," kataku, "ini kijang betina."

Aku mengantarkan keluarga yang mendapat anggota baru itu menuju truk 4x4 yang sudah reyot dan penyok-penyok. Kuberikan kaleng berisi susu kambing, nomor teleponku, dan melambai. Aku sempat merenungkan sejenak ironi bahwa si anak kijang pulang naik kendaraan yang telah membunuh ibunya.

Lalu aku memikirkan mandi air panas yang mengepul-ngepul, segelas

Chardonnay dingin, mungkin sebutir kentang panggang dengan Wisconsin

Cheddar-hadiah kecil kehidupan. Aku merasa agak bangga pada diriku sendiri. Sudah lama aku tidak merasa begini. Kematian David mengubah hampir segala hal dalam hidupku.

Aku baru saja akan masuk ketika menyadari ada mobil di tempat parkir, Jeep Cherokee hitam mengilap.

Pintunya terbuka dan seorang pria pelan-pelan turun. Lampu depan mobil menyinarinya dari belakang dan sesaat dia bermandikan cahaya. Pria itu tinggi, langsing, namun berotot, dengan rambut pirang lebat. Matanya dengan cepat memandang berkeliling. Teras besar yang dihiasi beberapa tempat makan burung hummingbird dan beberapa penanda arah angin. Sepeda gunung kesayanganku yang berdebu. Bunga liar di mana-mana-lupine gunung, daisy, Indian paint-brush.

Nah, bagian yang ini agak aneh. Aku belum pernah melihat laki-laki itu. Namun otak limbik-ku, organ kecil tolol yang begitu primitif sehingga tidak mau menerima pikiran logis, terpaku pada sosoknya dan tidak mau bergerak. Kupandangi dia, dan aku merasakan suatu gelombang pengenalan. Dan jantungku, yang telah mati selama beberapa tahun terakhir ini, mendadak hidup, tersendat, dan berdebar-debar kencang selama paling tidak beberapa detik.

Aku menduga bahwa siapa pun dia, pria misterius itu tersesat.

"Kami sudah tutup," kataku.

Dia menatapku, tidak minta maaf meskipun telah memasuki halaman depan tempatku tanpa izin.

Lalu dia menyebutkan namaku. "Dr. O'Neill?"

"Apakah dia berutang uang padamu?" aku bertanya. Itu kalimat lama Comedy Store, tapi aku menyukainya. Lagi pula, aku membutuhkan lelucon ringan setelah menyudahi hidup kijang betina tadi. Dia tersenyum, dan mata biru mudanya berbinar. Kudapati diriku tak mampu mengalihkan pandangan dari mata itu. "Anda Frances O'Neill?"

"Yeah. Tapi cukup Frannie saja."

Kupasang tampang datar namun mengandung secercah kehangatan. Tatapan tajam matanya bagai membuatku terpaku di tempat. Dia memiliki hidung yang bagus, dagu yang kuat. Raut wajahnya terlalu sedap dipandang. Agak mirip Tom Cruise, bahkan mungkin sedikit Harrison

Ford. Kurang-lebih begitulah, atau seperti itulah kelihatannya malam itu dalam sorotan lampu depan Jeep.

Pria itu membuka topinya yang agak merosot, dan rambut pirang pasirnya yang lebat berpindah tempat dan berkilauan. Lalu dia berdiri di hadapanku, menjulang dengan tingginya yang 185 sentimeter, bagai foto di kertas mengilap katalog L.L. Bean, atau mungkin Eddie Bauer. Tapi ekspresinya sangat serius.

"Saya datang dari Hollander and Cowell." "Anda makelar rumah?" tanyaku serak.

"Saya datang di saat yang salah, ya?" dia bertanya. "Maaf." Setidaknya dia sopan.

"Kenapa Anda mengira begitu?" tanyaku. Aku sangat menyadari jinsku berlumuran darah. Kaus tangan panjangku tampak seperti lukisan Jackson Pollock.

"Saya tidak ingin bertemu orang yang telah Anda kalahkan," komentarnya, sambil mengamati penampilanku. "Atau Anda sedang belajar ilmu santet?"

"Ada yang menyebutnya kedokteran hewan," kataku. "Nah, ada apa ini?

Mengapa Hollander and Cowell mengutus Anda malam-malam begini?" Dia mengarahkan ibu jarinya ke arah pusat kota Bear Bluff, tempat kantor real estate itu berada.

"Saya penyewa baru Anda. Tadi siang saya sudah menandatangani suratsuratnya. Mereka bilang Anda menyerahkan segalanya pada mereka."

"Anda bercanda. Anda menyewa pondok saya?"

Aku hampir lupa telah menawarkan pondok itu. Letaknya 400 meter di dalam hutan di belakang klinik, dan dulunya tempat itu merupakan pondok berburu, sampai aku dan David pindah kemari. Setelah David meninggal, aku tidur di ruangan kecil di klinik. Banyak perubahan terjadi pada diriku saat itu, tak satu pun merupakan perubahan baik.

"Bagaimana? Boleh saya melihat tempat itu?" tanya L. L. Bean.

"Ikuti saja jalan tanah di belakang klinik," aku memberitahunya.

"Jauhnya sekitar empat atau lima menit jalan kaki. Tidak terasa kok. Pintunya tidak dikunci."

"Saya tidak diantar?" tanyanya.

"Meskipun sangat ingin melakukannya, saya masih harus menyembelih beberapa ekor ayam dan mengucapkan mantera-mantera sebelum tidur. Biar saya ambilkan senter-"

"Di mobil saya ada," katanya.

Aku berlama-lama di ambang pintu ketika dia berjalan kembali ke Jeep.

Cara berjalannya bagus. Percaya diri, tidak sok jagoan. "Hei," seruku padanya. "Siapa nama Anda?" Dia menoleh-ragu-ragu setengah detik.

"Kit," katanya akhirnya. "Saya Kit Harrison."

BAB 3

Aku takkan pernah melupakan apa yang terjadi selanjutnya. Kejadian itu begitu mengagetkan, bagai tendangan di perut, atau mungkin bahkan di kepalaku.

Kit Harrison meraih ke dalam Jeep-dan melakukan perbuatan yang tak terbayangkan-dia mengeluarkan senapan berburu dari rak senjata logam. Dasar bangsat.

Aku tak bisa mempercayai apa yang kulihat. Darahku mendidih.

Aku berteriak padanya, keras-keras, sama sekali bukan kebiasaanku.

"Tunggu! Hei! Kau! Tunggu dulu, misteri Jangan bergerak!" Dia berbalik untuk memandangku. Ekspresi di wajahnya tenang, sedatar sebelumnya. "Apa?" katanya. Apakah dia menantangku? Beranikah dia? "Dengar." Kubiarkan pintu kasa besar terempas di belakangku dan aku berjalan tegap dan cepat melintasi halaman berkerikil. Aku tak sudi di tanahku ada orang yang membawa senapan berburu. Tak sudi! Sampai kapan pun.

"Aku berubah pikiran. Ini tidak baik. Ini takkan berhasil. Kau tidak boleh tinggal di sini. Tidak boleh ada pemburu di tempatku. Titik!"

Tatapannya kembali ke bagian dalam Jeep. Ditutupnya kompartemen dasbor. Dikuncinya. Dia seolah tidak mendengar perkataanku.

"Maaf," katanya tanpa memandangku. "Kita sudah mencapai kata sepakat."

"Kesepakatannya batal! Kau tidak dengar omonganku?"

"Tidak. Kesepakatan yang sudah tercapai tidak dapat diganggu gugat." Dia menyambar senter dari dalam mobil, tas kain berwarna kemerahan, lalu memegang senapan mengerikannya di tangan yang satu lagi. Aku tercengang, tanpa henti mengoceh, "Nanti dulu." Namun dia mengabaikan aku, tampak seperti tidak mendengar sepatah kata pun. Kit Harrison menendang pintu Jeep sampai tertutup, menyalakan senter Durabeam, dan dengan santai menyusuri jalan setapak menuju hutan. Hutan mengisap cahaya senter dan suara langkah kakinya yang makin jauh.

Darahku berdentum-dentum di gendang telingaku.

Ada pemburu sialan tinggal di rumahku.

BAB 4

Hari sudah hampir gelap dan para pemburu tetap belum menemukan tubuh gadis itu. Mereka sangat kedinginan, kelaparan, dan amat frustrasi, dan mereka juga takut. Jika mereka gagal, konsekuensinya berat.

Mereka harus menemukan anak perempuan itu.

Dan juga anak laki-laki itu-Matthew.

Mereka berlima berjalan menembus area yang rapat ditumbuhi pepohonan. Mereka yakin di sanalah gadis itu jatuh. Dia pasti ada di sana! Mereka harus menemukan spesimen bernama Tinkerbell dan menghancurkannya, kalau dia belum mati karena jatuh dan ditembak. Tidurkan Tinkerbell, pikir Harding Thomas sambil memimpin regu pencari. Itu eufemisme yang digunakannya untuk membuat saat-saat seperti ini terasa lebih ringan: Tidurkan seseorang. Seperti yang mereka lakukan pada binatang. Bukan kematian, bukan pembunuhancuma tidur yang damai.

Dia merasa tahu di mana persisnya gadis itu jatuh bagai batu dari langit, namun tidak ada

mayat tergeletak di tanah, atau tergantung di pepohonan fir yang menjulang.

Mereka jelas tidak boleh meninggalkannya di luar sini, tidak boleh mengambil risiko para pelintas alam atau orang-orang yang berkemah menemukan tubuhnya. Bencana yang akan terjadi luar biasa dahsyatnya. "Tinkerbell, kau bisa mendengarku? Kau ter-luka, Sayang? Kami cuma ingin membawamu pulang kok. Itu saja." Thomas berseru-seru dengan suaranya yang paling lembut. Tidak sulit melakukannya, dia toh cukup menyukai Max dan Matthew.

Tinkerbell adalah kode, dan dia selalu memanggil anak itu dengan nama itu. Peter Pan adalah kode si kecil Matthew. Dia sendiri Paman Tommy. "Tinkerbell, di mana kau? Ayo keluar, ayo keluar. Kami takkan menyakitimu, Manis. Aku bahkan tidak marah padamu. Ini Paman Tommy. Kau bisa mempercayaiku. Kalau kau tidak bisa mempercayaiku, siapa yang bisa kaupercayai?"

"Bisakah kau mendengarku? Ayolah, Nak. Aku tahu kau di sana.

Percayalah pada Paman Thomas. Tidak ada lagi yang dapat menolong-mu.

BAB 5

Dia masih hidup. Menakjubkan, menakjubkan, menakjubkan! Namun Max terluka, tertembak, dan dia tidak tahu seberapa parah lukanya. Mungkin tidak terlalu parah, sebab sampai saat ini dia belum pingsan, dan tampaknya darahnya tidak banyak.

Dia berpegangan di puncak sebatang pohon selama berjam-jam, tersembunyi di balik dahan-dahan rimbun. Paling tidak dia berharap dia tersembunyi. Max berusaha tidak bergerak. Juga tidak bersuara. Dan tidak kelihatan.

Max menggigil, dan seluruh ingatannya langsung kembali tanpa bisa dikontrol.

Dia amat sangat berharap Matthew ada di sini bersamanya. Mereka akan saling memberi kekuatan, harapan, dan nasihat. Mereka berdua selalu begitu. Mereka tak terpisahkan di Sekolah. Mrs. Beattie, satusatunya orang baik di sana, menjuluki mereka "kembar Siam", dan "si Kembar Bobbsey"-siapa pun mereka. Ketika Mrs. Beattie meninggal, semua berubah jadi buruk. Buruk sekali. Seburuk ini. Hutan penuh orang. Orang-orang jahat- makhluk-makhluk paling mengerikan yang pernah ada. Jumlah mereka paling tidak enam orang. Pemburu-pembunuh. Mereka sibuk mencarinya, juga Matthew. Mereka membawa senjata dan senter.

Paman Thomas salah satu dari mereka, dan dialah yang paling menakutkan. Paman Thomas berpura-pura jadi teman mereka... tapi dia yang akan menidurkanmu. Dia pernah menjadi guru, ilmuwan, dan sekarang dia cuma pembunuh.

"Kami takkan menyakitimu, Manis. "Max menirukan suara pria itu, sikapnya yang palsu dan tidak tulus.

Satu-satunya hal yang menyenangkan adalah dia tidak perlu melihat mereka berjalan di hutan. Pendengarannya sangat tajam. Dia mampu memisahkan suara-suara yang berjarak sampai seperseribu detik. Itulah salah satu kehebatannya yang paling asyik. Dia dapat mendengar dengung halus nyamuk-nyamuk di kejauhan, dan cicit marah burung wren. Dia mendengar daun-daun aspen berdesir hampir satu kilometer dari sini. Dia ingin tahu apakah Matthew berada di sekitar tempat ini.

Apakah dia mendengarkan juga?

"Tinkerbell, kau bisa mendengarku?"

Ya, dia dapat mendengar bandit-bandit payah itu memburunya. Dia sudah mendengar mereka ketika mereka masih jauh. Dia mendengar setiap langkah, setiap batuk dan dengusan pelan mereka, setiap tarikan napas mereka yang panas dan bau, sambil berharap itulah napas terakhir mereka.

Salah seorang dari mereka berbicara, dan Max mengenali suara penjaga Sekolah yang sedikit pun tak berperasaan itu. "Mestinya kita membawa anjing-anjing."

"Mestinya, harusnya." Salah satu anggota regu mencemoohnya dan tertawa. "Dia kan cuma anak kecil. Mereka berdua sama-sama anak kecil. Kalau menemukan anak kecil saja kita tidak bisa, lebih baik kita bubar saja."

Anjing-anjing! Max menggigit bibir supaya tidak berteriak. Anjing akan menemukannya. Anjing lebih jago melakukan ini daripada manusia. Anjing juga punya kekuatan istimewa. Manusia adalah spesies paling lemah. Barangkali itulah sebabnya mereka dapat menjadi binatang paling jahat. Angin bertiup lagi, marah dan melolong, dan Max jadi merasakan betapa dingin di luar sini. Dicengkeramnya pohon kuat-kuat, dipasangnya telinga dengan cermat, sampai dia sama sekali tidak dapat mendengar para pemburu itu. Untuk saat ini, mereka sudah pergi.

Perlahan-lahan, sambil menahan sakit, dia menuruni batang pohon pinus dan dengan hati-hati melangkah.

Lalu dia berlari. Dia harus menemukan tempat berlindung. Dia harus menemukan Matthew sebelum terlambat.

BAB 6

Anaknya yang berusia tiga tahun, si kecil Mike, sering mengatakan dia "takut gelap setengah hidup." Kit suka sekali ungkapan itu. Dia tertawa terbahak-bahak dan memeluk Mike the Tyke ke dadanya setiap kali anak itu mengatakannya. Dia masih dapat merasakan pelukannya yang hangat. Ingatan tentang semua itu membuatnya merasa mual dan hampa, seakan dia telah dikorek dan inti dirinya dicampakkan. Tentu saja, dia merasakan segala macam hal saat ini. Dia tengah menyelidiki apa yang diyakininya sebagai kasus paling penting sepanjang kariernya-dan dia mestinya tidak berada di sini. Dia sudah ditarik dari persoalan sialan ini. Dia bahkan tidak yakin kasus ini sekarang masih aktif.

Jadi yeah, dia takut "setengah hidup".

Disimpannya peralatan mendaki gunung dan pakaian di dalam pondok, namun dia berbuat begitu hanya supaya semua akan tampak normal seandainya dia diawasi, atau seandainya seseorang kebetulan memeriksa ruangan ini. Mungkin saja, bahkan sangat mungkin, Frannie O'Neill atau orang lain mengawasinya.

Pondok ini sederhana, dekorasinya tidak berlebihan, tapi ternyata terasa nyaman dan hangat. Ada perapian Rumford yang dibangun dengan granit lokal. Lentera-lentera memenuhi hampir seluruh permukaan rak.

Di tempat tidur terhampar selembar kulit domba empuk. Kit menurunkan tirai dan cepat-cepat melepas pakaian. Lalu dia mematikan lampu dan naik ke tempat tidur. Mendorong senapan ke kolong. Senjata itu bagian dari cerita samarannya sebagai pemburu, namun dia tidak keberatan membawanya sebagai perlindungan ekstra.

Tidak ada ruginya.

Seharusnya aku sedang berlibur di Nantucket Menenangkan diri; menjernihkan pikiran. Mungkin mestinya aku pergi ke sana. Tapi itu tidak kulakukan, bukan? Untuk kedua kalinya aku bikin kacau.

9 Agustus 1994 adalah kekacauan pertama.

Kit memejamkan mata, tapi tidak tidur. Dia menunggu.

Dengan mata tertutup rapat, dia teringat pembicaraan empat matanya dengan asisten direktur FBI. Untuk bisa mengadakan pembicaraan itu dia harus melangkahi atasannya.

Dia ingat garis besarnya, seolah kejadiannya baru kemarin. Asisten direktur itu memasang ekspresi tertentu di wajahnya, seolah posisinya tinggi sekali, dan dia tak habis pikir mengapa mau membuang waktu untuk berbicara dengan agen lapangan.

"Aku akan bicara, kau akan mendengarkan, Agen Brennan." "Rasanya itu akan melanggar tujuan pertemuan ini," begitu komentar Tom.

"Hanya karena kau tidak memahami tujuan pertemuan ini."

"Ya, Sir, saya rasa begitu."

"Kami berusaha mentolerir kelakuanmu karena adanya tragedi dalam kehidupan pribadimu. Kau membuat kami sulit melakukannya, nyaris mustahil. Dengarkan omonganku ini, dengarkan baik-baik. Sudahi pencarian tak beralasanmu. Akhirilah perburuan ngawurmu. Lepaskan kasus dokter-dokter hilang itu, kalau tidak kami yang akan melepaskanmu. Mengerti?"

Kit berbaring dalam kegelapan, dan ingat arti, jika bukan kata-kata persis si asisten direktur. Dan ya, dia mengerti.

Jadi di sinilah dia berada sekarang, di Colorado. Jelas dia telah menentukan sikap. Dengan sadar dia menamatkan kariernya.

Begitu juga riwayatnya.

BAB 7

Sudah pukul 23.15 ketika dia menyibakkan selimut kulit domba dan turun dari tempat tidur.

Dia bergegas berpakaian dalam gelap. Kaus dan celana panjang hitam menutupi sosoknya yang seberat 90 kilogram. Topi bisbol hitam. Sepatu Converse yang menutupi pergelangan kaki-sepatu Larry Bird. Sepatunya sendiri sejak dia berusia sepuluh tahun dan berlari-lari di jalanan dan tanah keras taman bermain di South Boston.

Di luar tampak bulan purnama. Dia mengamati pohon-pohon pinus yang tinggi, dari jendela kamar memandang ke kiri dan ke kanan. Diulanginya prosedur itu sampai dia yakin tidak ada orang di luar sana-mengawasi, menunggunya muncul.

Kit membuka pintu pondok dan menyelinap ke udara malam yang bersih dan sejuk di luar. Dia merasa agak mirip Mulder di X-Files. Salah, sebetulnya dia merasa sangat mirip Mulder- dan Mulder sinting. Kit Harrison kembali menyusuri jalan setapak berkelok-kelok di hutan menuju rumah sakit binatang itu. Dia tahu Frances O'Neill punya kamar di sana, dan dokter hewan itu tinggal di klinik sejak kematian suaminya, David. Dia juga tahu tentang Dr. David Mekin. Sebenarnya, dia tahu lebih banyak tentang David daripada tentang istrinya. David Mekin

kuliah embriologi di MIT pada tahun delapan puluhan. Setelah itu pria tersebut bekerja di San Fransisco. Kit punya catatan setebal dua belas halaman mengenai Dr. Mekin.

Tapi dia pun mengetahui beberapa hal menyangkut Frannie. Kit sudah melakukan penyelidikan. Wanita itu memperoleh gelar dokter hewan dari Colorado State Teaching Hospital di Fort Collins. CSU juga pusat nasional untuk biologi kehidupan liar, dan Frannie mengambil kuliah tambahan tentang kehidupan liar. Sekolah itu punya reputasi bagus, terutama untuk ilmu bedah. Frannie O'Neill adalah pendiri "perkumpulan orang-orang yang ditinggal mati binatang piaraannya" setempat. Sebelum suaminya meninggal, praktek kedokteran hewannya sangat sukses. Dialah yang membiayai keluarga. Akhir-akhir ini Frannie membiarkan prakteknya mundur.

Kit cuma butuh waktu tak sampai tiga menit untuk tiba di rumah sakit binatang itu. Inn-Patient, begitulah Frannie menyebutnya. Di sinilah segalanya akan benar-benar dimulai bagi Kit.

Lampu teras depan terang benderang, dan dari jendela di salah satu sisi rumah terpancar cahaya kekuningan. Seekor kucing Manx duduk di salah satu jendela lainnya, menatapnya curiga, tak bergerak sedikit pun.

Kit berhenti untuk menenangkan napas, atau mungkin hanya untuk menghentikan jantungnya berdebar begitu kencang. Dia mengecek apakah ada orang lain di luar sini bersamanya.

Dia perlu memeriksa bagian dalam rumah sakit binatang ini-tapi barangkali bukan malam ini. Kit berjalan di balik sepasang pohon pinus tinggi. Jaraknya dari salah satu jendela yang terang itu kurang dari empat meter.

Tiba-tiba dia terlonjak mundur.

Ya Tuhan! Wanita itu membuatnya kaget bukan main.

Frannie O'Neill berdiri persis di depan jendela, diselubungi cahaya lembut. Wanita itu telanjang bulat. Napas Kit tersentak. Dia sama sekali tak mengira akan melihat pemandangan seperti itu. Rasanya seperti ditinju di mata.

Frannie tidak melihatnya. Syukurlah. Wanita itu tengah sibuk mengeringkan rambut cokelat panjangnya dengan handuk putih tebal.

Rambut yang bagus. Sebetulnya, semua bagian tubuhnya bagus. Dokter hewan tersebut jauh lebih menarik daripada kesan yang sengaja ditimbulkannya. Matanya sangat indah, sangat hidup. Tubuhnya langsing, dan indah. Betul-betul indah, malah. Kulitnya berkilau sehat. Kit ingat catatannya bahwa wanita itu berumur 33 tahun. Suaminya, Dr. David Mekin, berusia 38 tahun ketika meninggal dunia. Ketika dibunuh. Kit membuang muka. Frannie belum tidur, jadi tak mungkin dia bisa memeriksa rumah itu malam ini. Dia tidak ingin mengintai Drh. O'Neill yang sedang telanjang dari jendela kamar tidurnya. Kit jadi merasa seperti maniak sinting. Dia bisa saja menjadi apa pun, tapi yang jelas bukan tukang intip.

Dia kembali ke pondok-bayangan Frannie O'Neill masih melekat di benaknya. Sebetulnya, wanita itu terpatri dalam ingatannya. Mata Frannie memancarkan binar istimewa yang menandakan dia memiliki selera humor yang tidak dirasakan Kit selama pertemuan mereka tadi sore. Frannie jauh lebih cantik daripada yang dikiranya.

Dan dia mungkin saja pembunuh.

BAB 8

Selasa pagi akhirnya datang juga.

Anne Hutton sudah lama menunggu dengan tubuh penuh klep dan jarum, namun saat ini dia merasa baik-baik saja, relaks dan siap. Sebetulnya, Annie Hutton merasa sangat nyaman dan enak setiap kali mengunjungi klinik in vitro di Boulder Community Hospital. Staf di klinik ini kelihatannya sudah memikirkan segalanya dan efek negatif atau positifnya terhadap para calon ibu. Mereka luar biasa dan dia beruntung bisa bekerja dengan mereka.

Dinding ruang tunggunya yang mewah berwarna kuning hangat dengan hiasan putih terang. Rasanya di sini selalu ada bunga-bunga segar. Dan

juga berbagai majalah yang tepat, edisi terbaru pula: Mirabella, AD, Town & Country, Parents, Child.

Yang paling hebat adalah "orang-orang atas", staf yang andal dan terlatih baik, dan terutama dokternya, John Brownhill. Dr. B. sedang berbicara dengannya sekarang, mengajukan seluruh pertanyaan wajib sepanjang pemeriksaan kehamilannya yang sudah berusia delapan bulan ini. Pria itu tampak begitu tertarik pada bagaimana perasaannya. Apakah dia mengalami kontraksi Braxton Hicks, apa saja yang tidak biasa? "Tidak, semua baik-baik saja, mulus," Annie memberitahu. Dia tersenyum mantap, menunjukkan rasa yakin yang dirasakannya dari Dr. B. dan stafnya.

Dr. B. balas tersenyum. Tidak terlalu lebar, bukan senyum ramah atau yang semacam itu, melainkan senyum yang pas. "Bagus. Mari kita lakukan beberapa tes supaya kau bisa pergi dari sini pada waktunya sehingga tidak ketinggalan pertunjukan 'Rosie'."

Annie tahu bahwa meskipun perasaannya relatif sehat, dia tetap pasien berisiko tinggi. Dr. Brownhill mengatakan plasentanya tidak cukup. Pada kunjungan ini, Dr. Brownhill dan perawatnya, Jilly, akan menggunakan monitor jantung janin untuk mengecek tingkat stres terhadap janin selama kontraksi. Annie agak gugup mendengar soal tes dengan monitor itu, namun berusaha bersemangat seperti dokter dan perawatnya. Jilly mengoleskan jeli konduktor-elektro ke perut Annie. Annie menyadari jeli itu telah dihangatkan dulu supaya dia tidak kaget. Di sini segalanya sudah diantisipasi. Jilly kemudian meletakkan dua strip plastik lebar di sekeliling perutnya. Sangat lembut.

"Merasa enak? Ada lagi yang bisa kami lakukan?" tanya Dr. Brownhill.

"Aku baik-baik saja. Suhu jelinya pas."

Peristiwa itu terjadi begitu mendadak, nyaris seperti mimpi buruk.

"Detak jantung bayi menurun," kata Dr. Brownhill. Suaranya bergetar.

"Seratus, sembilan puluh tujuh, sembilan puluh lima." Dia berpaling pada Jilly. "Kita harus membukanya, stat Bertahanlah, Annie. Teruslah bertahan."

Semua bergerak begitu cepat setelah itu, dan efisien, mengingat situasinya yang demikian kritis dan tegang. Segalanya tampak kabur di mata Annie. Lalu dia pingsan.

Kurang dari empat puluh menit kemudian, jauh lebih cepat dari yang diperkirakan, Dr. John Brownhill membawa sendiri si anak ke kamar bayi. Menurut skor Apgar dari ruang bersalin, bocah laki-laki itu sangat sehat, namun semua tindakan pencegahan tetap dilakukan.

Tabung yang bersih dimasukkan ke batang tenggorokan si bayi, tudung bertekanan udara dipasang di sekitar kepala mungil itu. Ini untuk memastikan paru-paru yang agak prematur itu terus-menerus menerima suplai oksigen bertekanan rendah.

Analisis darah dilakukan dari tabung plastik yang dimasukkan ke tali pusar.

Thermometer elektronik direkatkan ke kulit bayi.

Tabung makanan nasogastric dimasukkan ke hidung. Air susu ibu diberikan melalui tabung itu, untuk berjaga-jaga seandainya si bocah belum siap mengisap.

Dokter spesialis perawatan intensif neonatal berdiri di dekat bayi mungil Annie Hutton, memeriksa segalanya, memastikan anak itu baikbaik saja.

"Dia sehat. Sangat sehat. Kondisi bocah ini bagus, John," salah seorang dokter spesialis

memberitahu Dr. Brownhill. "Ngomong-ngomong, kepalanya empat puluh satu sentimeter. Besar kepala juga." "Sudah semestinya."

John Brownhill akhirnya meninggalkan kamar bayi dan naik dua lantai ke tempat Annie Hutton memulihkan diri setelah dioperasi Caesar. Ibu berusia 24 tahun itu tampak tidak sesehat bayinya. Rambutnya yang pirang abu-abu basah karena keringat, menggumpal membentuk ikal-ikal kecil. Matanya kosong dan menerawang. Dia benar-benar kelihatan seperti orang yang baru saja menjalani operasi Caesar yang tak direncanakan.

Dr. Brownhill mendekati tempat tidurnya. Dia membungkuk dan berbicara dengan nada lembut dan menghibur. Dokter itu bahkan menggenggam tangan Annie.

"Annie, maafkan aku. Kami tidak bisa menyelamatkannya," dia berbisik.

"Anak laki-lakimu telah tiada."

BAB 9

Bayi Hutton itu tiba di Sekolah beberapa jam setelah kelahirannya di klinik Boulder. Sebuah tim yang mengenakan seragam seperti pakaian ruang angkasa bergegas keluar untuk menyambut ambulans Boulder Community. Mereka cepat-cepat membawa si bayi ke dalam. Terasa suasana sangat bersemangat, kegembiraan meluap-luap, nyaris histeris. Dokter kepala di Sekolah hadir selama pemeriksaan dan mengawasi dengan teliti, menyelia, sesekali mengajari.

Detak jantung, pernapasan, warna kulit, kelenturan otot, respons refleks diperiksa. Bayi Hutton mencapai angka 10 sempurna. Panjang dan berat bocah itu diukur. Berbagai tes diadakan untuk mengecek desiran abnormal jantung, kapasitas jantung, pendarahan subkonjungtival, penyakit kuning, aseksualitas, pertumbuhan abnormal pinggul, patah tulang selangka, burik kulit.

Di pinggul kanan ada nevus, tanda lahir mungil. Nevus itu dicatat sebagai "cacat".

Sebagian besar tes melibatkan koordinasi motor kasar dan halus bocah itu, juga kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan. Dokter kepala tetap berada di lab selama masing-masing tes, berkomentar setiap kali tes selesai.

"Lingkar kepala empat puluh satu sentimeter. Itu normal untuk bayi berumur empat bulan. Itu alasan perlunya dilakukan operasi Caesar, tentu saja. Jantungnya juga lebih besar, dan lebih efisien. Detak jantungnya di bawah seratus. Luar biasa. Benar-benar jagoan kecil. "Tapi awasi Bayi Hutton. Itu kuncinya. Di situlah terletak drama sesungguhnya. Dia mendengarkan kita, dan dia memperhatikan. Lihat.

Pandang matanya. Mata bayi yang baru lahir biasanya tidak menatap dan mengikuti-tak pernah. Dia berusaha mengenali kita satu per satu. Kau tahu apa artinya itu?

"Bayi tidak pernah mengingat objek setelah objek itu menghilang. Dia berbeda. Dia betul-betul mengawasi kita. Lihat mata kecilnya. Dia sudah punya memori. Dia memang bayi super.

BAB 10

Aku bangun dengan napas terengah-engah, menangis pelan karena mimpi mengerikan dan menyedihkan tentang suamiku, David. Akhir-akhir ini hampir setiap hari aku terbangun dalam keadaan seperti itu. Aku sangat merindukan David dan tak ada yang berubah sejak malam satu setengah tahun yang lalu, ketika orang sinting itu menembaknya di tempat parkir sepi di Boulder.

Sebelum kematiannya, David dan aku tak terpisahkan. Kami main ski di seluruh penjuru Colorado dan daerah-daerah lain di Barat. Menghabiskan hari Minggu di klinik kesehatan untuk kaum migran di Pueblo. Membaca begitu banyak buku sehingga kedua rumah kecil kami bisa juga berfungsi sebagai perpustakaan. Teman kami banyak sekali sehingga kadang-kadang kami tidak tahu harus berbuat apa dengan mereka. Kami sangat menyukai dan menjalani hidup sepuas-puasnya setiap hari.

Aku memiliki klinik pengobatan binatang besar dan kecil yang sukses. Pagi-pagi setiap hari, aku pergi ke berbagai pertanian dan peternakan tempat aku memeriksa kuda dan binatang-binatang

besar lain. Orang-orang dari seluruh county ini membawa binatang piaraan mereka yang lebih kecil padaku di Inn-Patient. Aku diberi gelar "Dokter Hewan Tahun 90-an" oleh Denver Post, entah apa sebabnya. Sekarang, semua berubah, kurva hidupku berbelok ke arah yang salah, dan tampaknya tak bisa dikembalikan seperti semula. Aku selalu memikirkan penembakan David. Kurecoki polisi di Boulder sampai

mereka memintaku supaya tidak mengganggu mereka lagi. Aku jarang mengunjungi pasien lagi, meskipun kasus-kasus masih mendatangiku. Kupaksa diriku turun dari tempat tidur. Kukenakan mantel kotak-kotak biruku yang setia dan kuselipkan kakiku ke sandal hadiah Natal dari beberapa anak manis. Aku pernah mengobati anak anjing mereka yang luka-luka diserang coyote.

Sandal itu berbentuk kepala anjing cocker spaniel. Mata sayu memandang ke atas, lidah pink menjulur, telinga menjuntai, begitulah. Aku menyalakan tape deck- ratapan serak Fiona Apple yang khas. Delapan belas tahun dan penuh kepahitan dan kegilaan kreatif. Aku menyukai hal-hal itu pada seorang diva.

Kubuka pintu dari "suite utama" dan masuk ke lab. Aku disambut poster favoritku bulan ini: Perburuan rubah adalah perbuatan mahakeji bagi tindakan memburu sesuatu yang tidak bisa dimakan-Oscar Wilde.

Lakukan yang penting dulu. Kuiisi teko kopi dengan hazelnut vanilla.

Begitu kopi memanas, aku mulai memeriksa pasien-pasienku.

Frannie O'Neill, inilah hidupmu.

Bangsal Satu adalah ruangan berukuran 3,6 x 3,6 meter dengan wastafel, jendela tunggal, dua deret bertingkat kandang-kandang yang rapi dan bersih. Deret bawah diisi tiga penghuni: dua anjing dan teman sekamar salah satu di antara mereka, ayam leghorn biasa.

Salah seekor anjing, pudel standar, telah menggigit kateternya sampai lepas lagi, padahal aku sudah memakaikannya kerah pengaman. Kuomeli dia dengan enam belas kata dalam bahasa Prancis yang kuketahui supaya dia bisa memahami omonganku. Lalu kupasang lagi tabung itu. Kuacakacak bulu di kepalanya dan kumaaf-kan dia. "Je t'aime,"kataku. Bangsal Dua mirip Bangsal Satu, namun sedikit lebih kecil, tanpa jendela. Beberapa pasien "eksotis"-ku dikandangkan di sini: kelinci yang terkena radang paru-paru, takkan bertahan; marmut yang dikirim menggunakan jasa UPS tanpa selembar pun surat pengantar. Dan ada angsa bernama Frank yang diselamatkan saudaraku Carole dari kolam di dekat arena balap. Carole menganggap dirinya St. Theresa bagi

binatang-binatang liar. Saat ini saudaraku itu tengah berkemah di salah satu cagar alam negara bagian bersama putri-putrinya. Aku nyaris ikut dengan mereka.

Kopiku sudah matang! Aku menuang secangkir kopi yang mengepul-ngepul untuk diriku sendiri, kutambahkan susu dan gula. Mmm, mmm, enak. Pip membuntutiku. Pip anjing terrier Jack Russell, anak anjing jantan yang lucu. Dia diserahkan kemari sebagai anjing liar, tapi sebenarnya mungkin dibuang tuannya. Pip menari-nari di atas kaki belakangnya, dia tahu aku menyukai tariannya itu. Kucium dia, lalu kutuangkan semangkuk biskuit anjing, kucampur dengan sisa Rice Chex.

"Kau suka?"

"Guk."

"Senang mendengarnya."

Aku berjalan santai ke depan rumah. Saat itulah aku melihat Jeep macho hitam pekat itu. Si pria L.L. Bean. Kit Anu. Pemburu itu kembali berada di halamanku. Dia berdiri di samping Jeep, senapan tersandang di bahu.

Lalu sekilas aku melihat sosok lemas tergeletak di tutup mesinnya. Oh, Tuhan, tidak! Dia sudah menembak sesuatu! Dia membunuh binatang di tanahku. Dasar bangsat! Bajingan!

Aku sudah sering melihat bangkai binatang di hutan-hutan ini, namun ini tanahku, wilayah pribadiku, dan aku memandangnya sebagai suaka perlindungan dari kegilaan dunia.

"Hei, kau," teriakku. "Hei. Hei!"

Aku sudah melintasi setengah teras depan, napasku terengah-engah karena marah besar, ketika dia melangkah dan membuka pintu Jeep. Aku menyadari bahwa warna benda yang tadi kukira bangkai itu tidak mungkin merupakan warna binatang. Warnanya merah tua. Lebih mirip tas kain.

Si Kit Anu berbalik untuk menghadapku begitu mendengar suaraku. Dia setengah melambai, melontarkan senyumnya yang amat memikat itu,

yang kubalas dengan tatapan setajam belati yang mestinya bisa membuatnya mati, tewas seketika. "Pagi," dia berseru. "Wah, indah sekali di atas sini. Seperti surga, ya?"

Sambil mencengkeram mantelku, aku membungkuk, dan memungut koran

"duka". Aku menyebut Post begitu, sebab koran itu selalu penuh berita buruk.

Kemudian aku berbalik, menabrak cocker spaniel-ku, dan masuk bergegas-gegas.

BAB 11

Semua harus tutup mulut.

Hari itu udara sore di Boulder terasa sangat hangat dan lembap, namun tidak di bawah pohon-pohon fir tinggi dan besar yang tumbuh di halaman belakang yang lapang dan rapi rumah Dr. Francis McDonough. Dan jelas tidak di dalam kolam renangnya yang berukuran 25 meter dan berisi air biru berkilauan. Suhu di situ sekitar 22 derajat Celsius, seperti biasanya.

Kolam renang tersebut dikelilingi pagar besi tuang putih, perabot berukir, sofa besar dan nyaman, dan bangku panjang bersandaran yang dilapisi kain Sunbrella bermotif bunga-bunga. Beberapa jambangan berisi bunga yang sedang musim ditempatkan di sekitar kolam, juga payung-payung besar dari kain kanvas.

Frank McDonough sudah berenang beberapa putaran, dan dia terkejut sendiri waktu menyadari bahwa meskipun sudah hampir dua puluh tahun sejak menjadi perenang Pac-10 di Califor-nia-Berkeley, dia masih suka berenang seolah ingin memecahkan rekor.

Dr. McDonough amat menikmati hidupnya di daerah Boulder. Rumahnya yang luas dan bergaya ranch memiliki pemandangan menakjubkan kota, juga pemandangan dataran di sisi timur. Dia menyukai udaranya yang segar dan bersih, langitnya yang sangat biru. Dia bahkan pergi ke National Center for Atmospheric Research untuk mengetahui mengapa itu bisa terjadi, mengapa langit di sini begitu biru? Dr. McDonough

pindah dari San Fransisco enam tahun yang lalu, dan tidak pernah ingin kembali ke sana.

Terutama pada hari seperti hari ini, dengan Flatiron Mountains menjulang tak jauh dari rumahnya, dan istrinya Barbara akan sampai di rumah kurang dari satu jam lagi.

Dia dan Barbara mungkin akan memanggang ikan bass hitam di patio, membuka sebotol Zinfandel, bahkan barangkali mengundang keluarga Solie. Atau bertanya pada Frannie O'Neill apakah dia mau meninggalkan binatang-bina-tangnya di Bear Bluff sebentar dan datang kemari. Frannie dulu atlet renang juga, dan Frank McDonough selalu senang mengobrol dengannya. Dia juga mengkhawatirkan wanita itu, sejak kematian tragis David.

Frank McDonough mendadak berhenti berenang. Dia berhenti tepat ketika akan mencapai ujung selatan kolam dan berbalik untuk yang ke-91 kalinya sore ini. Dia tadi melihat kilasan gerakan cepat di patio. Dekat panggangan We-ber.

Ada seseorang di sana.

Tidak, lebih dari satu orang berada di patio-nya. Malah, beberapa orang.

Dia merasa takut. Apa-apaan ini?

Frank McDonough mengangkat kepalanya dari air dan melepas kacamata berenangnya yang meneteskan air. Empat pria yang mengenakan pakaian santai-jins, celana dari bahan khaki, kaus polo-berjalan cepat ke arahnya.

"Ada yang bisa kubantu?" dia berseru. Sudah insting alaminya untuk bersikap ramah, berprasangka baik terhadap orang lain, bersikap sopan dan menyenangkan.

Pria-pria -itu tidak menjawab. Aneh sekali. Agak menjengkelkan. Mereka malah terus berjalan melintasi dek menuju ke arahnya. Kemudian mereka mulai berlari!

Sebuah meja di dek terjungkal. Lilin-lilin hias berpatahan, koran-koran dan majalah-majalah berserakan di dek.

"Hei! Hei! Dia memandang mereka dengan perasaan takjub.

Keempat pria itu terjun ke bagian dangkal kolam sehingga sama-sama berada dalam air dengan Frank McDonough.

"Ada apa ini?" McDonough berteriak-teriak marah pada orang-orang yang mengganggu ketenangannya itu. Dia bingung dengan apa yang tengah terjadi, juga ketakutan.

Mereka menyerbunya bagai segerombolan anjing buas. Mereka menyambar lengan dan kakinya, mencengkeramnya, memitingnya kuatkuat. Dia mendengar bunyi krak yang mengerikan dan menduga pergelangan tangan kirinya telah patah. Gerakan cepat dan kuat itu sakitnya setengah mati. Dia tahu betapa kuatnya mereka karena dia sendiri pun kuat, dan mereka menguasainya seolah dia kurus kerempeng. "Hei! Hei!" teriaknya lagi, hidungnya kemasukan air. Mereka mendongakkan kepalanya sehingga dia memandang lurus ke langit biru. Lalu mereka membenamkan kepalanya. Dia berusaha menarik napas cepat-cepat, namun malah terminum air dan klorin, dan terbatuk-batuk. Mereka menahannya di bawah permukaan air, tidak mau membiarkannya naik. Lengan dan kakinya dipiting kuat. Dia tengah ditenggelamkan. Oh Tuhan, dia sama sekali tidak memahami semua ini.

Dia berusaha memberontak.

Berusaha melepaskan diri.

Berusaha menenangkan diri.

Frank McDonough mendengar lehernya berderak. Dia tidak sanggup melawan mereka. Dia merasa nyawanya menyurut, mengalir meninggalkannya.

Dia dapat melihat sosok-sosok yang basah kuyup itu bergerak-gerak di hadapannya di dalam air biru jernih yang berkilauan. Matanya terbuka lebar. Begitu juga mulutnya. Air menyerbu tenggorokannya dan memasuki paru-parunya dengan kecepatan mengerikan. Dadanya terasa seakan mau pecah, dan dia ingin itu terjadi. Dia ingin sekali tekanan dan rasa sakit internal yang menyiksa ini segera berakhir.

Dalam sedetik, Dr. Frank McDonough mengerti. Dia melihat kebenaran itu sejelas dia melihat kematiannya yang semakin mendekat. Ini menyangkut Tinkerbell dan Peter Pan.

Mereka melarikan diri sewaktu berada dalam pengawasannya.

BAB 12

Lama perjalanan dari Bear Bluff ke Boulder sekitar empat puluh menit, jika kau menekan pedal gas dalam-dalam, jika kau betul-betul terbang. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengemudi dengan waras dan tenang, namun gagal total. Semua yang kulihat sepanjang perjalanan dan malam ini tampak kabur.

Aku tak bisa berhenti mengingat Frank McDonough sebagaimana aku mengenalnya selama enam tahun terakhir ini-penuh senyum, dan amat sangat bersemangat. Akhir-akhir ini aku jarang pergi dari Bluff. Sudah 493 hari. Sekarang, aku harus pergi ke Boulder.

Frank McDonough meninggal. Istrinya, Barb, meneleponku sambil menangis. Aku sama sekali tak bisa mempercayainya. Aku tak sanggup memikirkan hal yang menyakitkan, mengerikan, menakutkan itu.

Mula-mula David, dan sekarang Frank. Rasanya mustahil.

Aku mencoba menelepon teman baikku Gillian di Boulder Community Hospital. Yang mengangkat cuma mesin penjawab teleponnya dan kutinggalkan pesan yang semoga saja bisa dipahaminya. Aku berusaha menghubungi saudaraku Carole, namun Carole tidak mengangkat telepon di lokasi perkemahan tempat dia berada bersama kedua putrinya. Sialan, aku membutuhkannya sekarang.

Aku sudah mendengar sirene polisi meraung-raung sebelum aku benarbenar sampai di rumah ranch Frank dan Barb McDonough di Boulder. Mereka tinggal dekat dengan Boulder Community Hospital. Pilihan yang bijaksana, karena mereka sama-sama bekerja di sana. Barb adalah perawat kamar bedah dan Frank adalah dokter anak top.

Frank tadinya dokter anak. Oh, Tuhanku, Frank telah tiada. Temanku, teman David. Bagaimana ini bisa terjadi?

Raungan sirene polisi Boulder memekakkan telinga, dan terdengar begitu menyeramkan, begitu pribadi, seakan ditujukan buatku.

Baru mendengar suara sirene polisi saja aku langsung teringat pada begitu banyak kenangan buruk. Selama berbulan-bulan aku mendesak kepolisian Boulder agar menuntaskan penyelidikan kasus pembunuhan David. Sialan, aku bahkan berusaha melakukannya sendiri. Kutanyai para petugas parkir, dokter-dokter yang menggunakan tempat parkir itu sampai larut malam.

Sekarang segalanya, semua kenangan pahit tentang pembunuhan David, kembali melandaku. Aku tak sanggup menahannya.

BAB 13

"Aku Dr. O'Neill," kataku, dan memaksa masuk melewati seorang polisi Boulder tinggi besar yang ditempatkan di teras putih yang familier itu.

"Aku teman Barb dan Frank. Dia meneleponku."

"Ya, Ma'am. Dia di dalam. Anda boleh langsung masuk," katanya, sambil mengangkat topi.

Aku hampir tak memperhatikan rumah ranch luas ini ataupun halamannya yang rapi dan merupakan kesayangan Frank. Kuabaikan hamparan rumput hijau tebalnya, ratusan tanaman kecil dan warna-warni yang menghiasinya. Frank merancang semuanya dengan mempertimbangkan konservasi air. Memang begitulah dia. Selalu memikirkan kepentingan orang lain, berpikiran jauh ke depan. Aku tercenung, dan sulit menerima kenyataan ini. Keluarga McDonough adalah teman paling dekat David dan aku waktu David bekerja di rumah sakit itu. Mereka segera datang ke rumah kami pada malam David ditembak. Barb, Carole, dan sahabatku Gillian Puris bahkan menginap untuk menemaniku. Sekarang aku berada di Boulder dalam situasi yang hampir sama.

Seorang wanita menghambur keluar dari pintu kasa depan rumah ketika aku bergegas menaiki tangga. Bukan Barb McDonough.

"Oh, Tuhan, Gillian," bisikku. Gillian adalah sahabatku yang paling karib di dunia ini. Kami berpelukan di teras. Kami sama-sama menangis, saling

merangkul, berusaha memahami tragedi ini. Aku sangat bersyukur dia ada di sini.

"Bagaimana dia bisa tenggelam?" gumamku.

"Oh, Tuhan, Frannie, aku tidak tahu bagaimana peristiwa itu bisa terjadi. Leher Frank patah. Dia pasti mencoba terjun di air dangkal. Kau baik-baik saja? Tidak, tentu saja tidak. Begitu juga Barb yang malang. Kejadian ini sangat menyedihkan, sangat mengerikan."

Aku menangis di pundak temanku. Begitu juga sebaliknya.

Gillian adalah dokter riset di Boulder Community dan dia sangat jago. Dia begitu hebat sehingga berani membangkang "dengan alasan", selalu menentang birokrat rumah sakit, para bajingan dan bandit di bagian administrasi. Dia juga janda, beranak satu, Michael, yang sangat kusayang.

Dia memakai seragam rumah sakit dan jas lab, pin namanya masih menempel di kelepak jas. Dia datang langsung dari tempat kerja. Hari yang panjang dan menyedihkan baginya. Bagi kami semua. "Aku harus menemui Barb," kataku pada Gillian. "Di mana dia, Gil?"

"Ayo. Biar kuantar kau. Gandenglah aku. Aku akan menggandengmu."

Gillian dan aku memasuki rumah yang sudah

tidak asing lagi bagiku ini, yang sekarang gelap, senyap, dan muram. Kami menemukan Barb di dapur bersama seorang teman dekat lagi, Gilda Haranzo. Gilda adalah perawat bagian anak di rumah sakit. Dia termasuk kelompok kami.

"Oh, Barb, aku turut berduka. Aku turut bersedih," bisikku. Kata-kata rasanya tak pernah memadai untuk saat seperti ini.

Kami berpelukan erat. "Aku tidak mengerti soal David. Oh, Frannie, aku tidak mengerti," Barb tersedu-sedu di dadaku. "Seharusnya waktu itu aku lebih berperasaan padamu."

"Kau dulu sangat menghiburku. Aku sayang padamu. Aku sangat sayang padamu." Aku tidak berbohong, dan itulah sebabnya saat menyedihkan ini terasa begitu menyakitkan. Aku bisa merasakan kesedihan Barb seolah aku sendiri yang tertimpa musibah.

Lalu kami berempat saling memeluk dan menghibur sebisa kami. Rasanya baru kemarin kami semua masih punya suami dan berkumpul untuk makan bersama, berenang, menyelenggarakan acara sosial, atau cuma mengobrol berjam-jam.

Barb akhirnya melepaskan diri dan membuka lemari di atas bak cuci. Dia mengeluarkan sebotol Crown Royal. Barb membuka tutupnya dan menuangkan wiski sebanyak empat gelas besar.

Aku memandang keluar jendela dapur dan melihat beberapa orang dari

Boulder Community berdiri di halaman belakang, dekat kolam. Rich Pollett, kepala pengacara Boulder, hadir juga. Dia teman baik Frank, partner memancingnya.

Lalu aku melihat Henrich Kroner, presiden rumah sakit. Teman-

temannya memanggilnya Rick. Henrich sombong, beranggapan pandangan sempitnya tentang hidup membuatnya istimewa, dan tidak menyadari itu justru menyebabkan dia sangat biasa. Rumah pasangan McDonough memang sangat dekat dengan rumah sakit, tapi aku tetap merasa aneh Henrich ikut hadir. Tapi, yah, semua orang memang menyukai Frank. Tiba-tiba di benakku melintas kenangan menyakitkan yang menusuk hatiku bagai belati. Beberapa tahun yang lalu, David dan aku mengarungi sungai deras naik rakit bersama Frank dan Barbara. Setelah itu, kami berenang di air yang lebih tenang. Frank selincah ikan di air. Aku masih ingat ayunan lengannya yang mantap ketika dia berenang dengan gaya bebas.

Bagaimana dia bisa meninggal di kolam renangnya sendiri?

Bagaimana Frank dan David bisa sama-sama meninggal? Saat menyesap wiski yang menambah semangat aku tak dapat menemukan sepotong jawaban pun. Aku merasa seperti gasing yang tidak mau berhenti berputar. Aku minum segelas lagi dan setelah itu satu gelas lagi sampai akhirnya perasaanku membeku.

Selain mengkhawatirkan Barbara, Gillian tampak mencemaskan aku juga. Dia begitu sejak kematian David, apalagi karena aku tidak rela si

pembunuh masih berkeliaran. Aku seperti anak angkat baginya. Kuduga Emma Thompson seperti dia-cerdas, namun sensitif, serius, juga lucu.

"Menginaplah di rumahku malam ini. Ya,

Frannie?" pintanya dan memasang tampang memelas. "Akan kunyalakan perapian. Kita mengobrol sampai ambruk."

"Yang akan terjadi tidak lama lagi. Gil, aku tidak bisa," kataku dan menggeleng. "Tadi pagi seekor anjing collie sakit masuk klinik. Inn-

Patient penuh."

Gillian melotot, tapi lalu tersenyum. "Akhir pekan ini kalau begitu. Tidak ada alasan. Kau harus datang."

"Aku akan datang. Aku janji."

Kubantu Barbara naik ke tempat tidur; kucium Gillian dan Gilda sebelum berpisah; lalu aku pulang.

BAB 14

Di antara kabut kelabu kebiruan yang berputar-putar, menjulang papan tanda yang familier itu: BEAR BLUFF PINTU KELUAR SELANJUTNYA. Aku memberi tanda untuk belok kanan, melaju di jalur keluar, dan merasakan dua tonjolan yang biasa di jalan itu.

Kemudian aku melesat menuju Fourth of July Mine & Run Road, jalan sempit dua jalur yang membelah hutan sepanjang hampir sembilan kilometer sampai tiba di Bear Bluff. Bluff pada dasarnya cuma kota transit. Di sana ada satu pompa bensin, Quik Stop, toko video, dan aku. Kami semua tutup kalau hari sudah gelap. Ada pepatah lokalkebahagiaan adalah melihat Bear Bluff di kaca spionmu, tapi sebaiknya kau tidak berlama-lama melihatnya.

Aku tidak sabar untuk sampai di rumah. Aku ingin melarikan diri ke alam mimpi. Aku merasa jauh, tidak nyata. Aku juga terlalu banyak minum tadi.

Jalanan tak berpenerangan ini meliuk di antara tanah berbatu-batu, menerobos hutan. Pepohonan yang tumbuh rapat seolah tidak rela menepi untuk jalan beton sempit ini, dan untuk cahaya lampu Suburbanku.

Kupelankan mobil, dan berkonsentrasi supaya bisa tiba di rumah dalam keadaan selamat.

Sewaktu-waktu bisa saja ada kijang menyeberang, dan aku sedang tidak dalam kondisi yang tepat untuk mengambil keputusan dalam sekejap mata.

Aku melihat sesuatu yang aneh, kilatan putih di hutan sebelah kanan. Pelan-pelan kuinjak pedal rem. Mengurangi kecepatan lagi. Memicingkan mata ke hutan yang gelap.

Kuharap aku salah lihat, namun kilatan putih tadi tampak seperti anak perempuan berlari. Tidak wajar ada anak kecil di luar sini tengah malam begini.

Kurem mobil sampai berhenti. Jika anak perempuan itu tersesat, aku jelas bisa mengantarkannya pulang. Namun aku merasa ada yang tidak beres. Mungkin dia tengah dikejar seseorang? Atau dia memang tersesat?

Kubiarkan mesin mobil tetap menyala dan turun dari Suburban. Kabut sudah menipis sedikit, jadi aku berjalan beberapa meter memasuki hutan. Bulu kudukku meremang.

Berhenti.

Lihat.

Dengar.

"Halo," aku berseru dengan suara lembut, ragu-ragu. "Siapa di sana?

Aku Frannie O'Neill. Dokter hewan di kota?"

Lalu aku melihat kilatan putih itu lagi, kali ini melesat dari balik pohon spruce biru-hijau yang tinggi. Aku memicing, melihat dengan cermat, berkonsentrasi, menyipitkan mata.

Memang anak perempuan!

Tampaknya dia berusia sebelas atau dua belas tahun, dengan rambut pirang panjang dan gaun longgar. Gaun itu robek dan kotor. Apakah dia baik-baik saja? Dari tempatku berdiri kelihatannya tidak begitu. Dia telah mendengarku, melihatku, pasti. Gadis itu mulai lari lagi. Dia tampak takut, kalut. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Kabut kembali menebal.

"Tunggu!" seruku. "Kau tidak boleh di luar sini sendirian. Sedang apa kau? Tolong, tunggu."

Dia tidak menunggu. Dia malah berlari makin kencang, tersandung batang pohon, jatuh berlutut. Dia meneriakkan sesuatu yang tidak bisa kutangkap dari tempatku berdiri.

Jantungku berdebar makin cepat. Ada yang tidak beres dengan semua ini. Aku mulai berlari mendatanginya. Kupikir dia mungkin terluka. Atau barangkali dia tengah teler? Masuk akal juga. Mungkin dia lebih tua daripada yang tampak dari jauh. Sulit melihatnya dari balik kabut setebal ini.

Satu-satunya cahaya cuma dari bulan sepotong, jadi susah memastikannya, namun menurutku proporsinya agak janggal. Lengannya terbungkus sesuatu-

Aku berhenti berlari. Seketika! Jantungku mulai berdentam-dentam.

Aku bisa mendengarnya.

Tak mungkin.

Tentu saja tidak mungkin.

Aku nyaris menjerit. Aku terengah-engah, bersandar di pohon spruce tinggi.

Gadis kecil itu tampaknya memiliki sayap berwarna putih dan perak.

BAB 15

Apa yang kulihat melebihi kemampuan berkhayal-ku, melebihi pemahamanku, sistem kepercayaanku, dan mungkin melebihi kemampuanku untuk menceritakannya saat ini. Lengan gadis kecil itu

terlipat ke belakang dengan aneh, dan ketika dia mengangkatnya-bulubulu mengembang.

Itu tidak masuk akal secara manusiawi, tapi dia ada di sana-gadis bersayap!

Mataku langsung berkunang-kunang. Warna-warna, merah dan kuning berkilauan, menari-nari. Aku memang agak teler karena Crown Royal, tapi aku tidak mabuk. Atau jangan-jangan aku sangat mabuk? Apakah aku begitu terpengaruh kematian Frank McDonough sehingga berhalusinasi?

Tutup matamu, Frannie.

Sekarang buka lagi, pelan-pelan...

Dia masih ada di sana! Tidak lebih dari 18 meter. Gadis itu juga memandangiku.

Jangan pingsan, Frannie. AWAS KALAU KAU PINGSAN, kataku dalam hati.

Perlahan-lahan. Lakukan sangat perlahan-lahan. Jangan bikin suara atau gerakan mendadak yang bisa membuatnya ketakutan.

Aku mengamati ketika gadis itu menggerakkan kedua kakinya dengan kaku. Sebelah sayapnya terlipat rapi di belakangnya. Yang sebelah lagi agak terkulai. Apakah dia terluka?

"Hei," aku memanggil lagi, lembut. "Tidak apa-apa kok."

Gadis muda berambut pirang itu menoleh ke arahku. Kutebak tingginya 150 sentimeter lebih. Dengan matanya yang besar dan terpisah jauh, dia menatapku tajam. Aku berdiri di lapangan penuh semak yang bermandikan cahaya putih bulan. Semua yang ada di sekelilingku bergerak-gerak. Aku memandangi, pusing dan tersengal-sengal, tidak tahu siapa yang lebih takut, dia atau aku.

Anak itu menatapku ngeri dan berlari kembali, menembus malam, makin jauh memasuki hutan yang mengelilingi Fourth of July Road sampai nyaris tidak kelihatan lagi.

Aku membuntutinya sampai hutan lebat sekitarku terlalu gelap sehingga aku tidak bisa melihat apa-apa. Akhirnya aku bersandar di pohon dan

berusaha menganalisis beberapa menit terakhir. Aku tak bisa melakukannya. Kepalaku serasa berputar terlalu kencang.

Entah bagaimana caranya, aku berhasil kembali ke Suburban. Aku masuk dan duduk dalam kegelapan.

"Tidak mungkin aku barusan melihat gadis bersayap," bisikku keraskeras. Tidak mungkin.

Tapi aku yakin telah melihatnya. Ketika sudah mampu mengemudi lagi, aku pergi ke kantor polisi terdekat di Clayton. kota

berpenduduk sekitar tiga ribu jiwa. Sebetulnya, kantor itu cuma cabang kantor utama di Ne-derland. Kuhentikan Suburban-ku di Miller Street, tak sampai satu blok dari gedung kantor tersebut.

Aku ingin sekali terus melaju di jalan desa yang tenang ini sampai ke kantor polisi, namun tidak dapat melakukannya, tidak bisa memaksa ?

diriku melakukannya.

Aku telah minum alkohol... dan mengemudi. Sekarang sudah pukul 02.00 lewat, jauh melebihi jam tidur di Clayton.

Karena sekarang aku sadar tadi tidak betul-betul melihat gadis itu...aku tidak terlalu yakin pada apa yang telah kulihat. Aku tidak bisa begitu saja menceritakan kisahku pada polisi setempat. Setidaknya, tidak malam ini. Mungkin besok.

Aku pulang untuk memikirkannya semalaman-atau lebih tepatnya, untuk melupakannya.

BAB 16

Kit mandi keringat, persis seperti ketika dia berada di pesawat American Airlines dari Boston. Sialan, dia masih saja merasa tidak enak kalau terbang. Namun dia harus melakukannya.

Pilot helikopter Bell itu memandangnya dari seberang kokpit. Dia tidak menyembunyikan senyum mencemoohnya. "Kau tidak apa-apa? Belum pernah naik burung besi ini, ya? Kelihatannya kau tidak sehat, Mr. Harrison. Mungkin sebaiknya kita kembali saja?"

Kit nyaris kehilangan kesabaran menghadapi orang itu. Pilot itu bajingan kelas kakap. Sebetulnya, dia pernah menerbangkan banyak helikopter, terbang dalam badai salju, hujan badai hebat, dan dalam berbagai penyerbuan berbahaya. Sebelum Agustus '94 tak pernah ada masalah. Sampai saat itu dia adalah agen yang andal, salah satu yang terbaik. Banyak akal, cerdas, pekerja keras, cukup tahan banting. Itu cuma masalah catatan di arsip personalianya. Jadi apa yang telah terjadi pada dirinya?

"Warna asli kulitku memang hijau. Aku baik-baik saja. Aku tidak sakit kok." Dia berusaha bercanda.

"Terserahlah, Kermit. Toh kau yang membayar."

Ya, memang dia yang membayar segalanya, dan uangnya tidak banyak. Seharusnya dia tidak menghambur-hamburkannya untuk pengintaian mahal seperti ini. Namun dia merasa memerlukan pengamatan dari udara; dia harus melihat keseluruhan masalah; mengetahui kondisi tempat ini. Dan keseluruhan masalah sesungguhnya berhubungan dengan subjek-subjek yang sama mulia dan pentingnya dengan bertahannya umat manusia. Dia percaya itu, kalau tidak dia takkan berada di sini atas biaya sendiri.

Kit mencoba mengamati puncak pohon-pohon lagi. Berekar-ekar pinus ponderosa dengan belukar aspen di bawahnya. Sesekali tampak "lubang"petak-petak pepohonan yang rubuh saat musim dingin. Dan, tentu saja, puncak-puncak bersalju Continental Divide.

Ada lab di suatu tempat di dekat Divide ini. Kit tahu itu. Di manakah letaknya?

Helikopter terbang melewati Gross Reservoir. Lalu dia dapat melihat area ski Eldora, dan kota kecil Nederland. Setelah itu reservoir indah lainnya-mungkin Barker, jika dia tidak salah membaca peta. Di kejauhan, Kit melihat Flagstaff Mountain. Lebih dekat dari itu ada Magnolia Road, Sunshine Canyon.

Dia tahu apa yang dicarinya... akhir peradaban seperti yang kita ketahui.

Dunia baru yang berani. Hanya itu. Tempat itu berada di suatu lokasi di sini.

Dia memikirkan Dr. Frank McDonough lagi. Dr. McDonough termasuk dalam daftarnya. McDonough, juga David Mekin dan istrinya. Dia tadinya ingin menemui Dr. McDonough-dokter anak dengan latar belakang embriologi.

Sayang, dia terlambat sehari datang kemari. Salahkan bosnya, Peter Stricker, untuk keterlambatan itu. Brengsek, tidak, salahkan dirinya sendiri.

Dr. McDonough adalah korban keempat. Sepanjang pengetahuannya, empat dokter telah dibunuh. Empat dokter dengan masa lalu mencurigakan, masa kini meragukan, dan sekarang, sama sekali tak punya masa lalu.

Dia memandang beberapa paraglider yang melayang di kejauhan. Mereka tampak seperti terbang. Mereka kelihatan begitu bebas.

"Oke, ayo kita turun," katanya akhirnya pada si pilot helikopter sewaan. Dia toh telah melakukan pengamatan dari udara seperti yang diinginkannya; dia sudah mengetahui kondisi tempat ini. Itulah langkah pertama yang tepat untuk penyelidikannya.

Pilot itu nyengir dan memberi isyarat dengan membalik ibu jarinya.

Dasar brengsek. "Awas isi perutmu... Kermit."

Bangsat kau, Raja Langit, pikir Kit. Dia tidak berkomentar, tidak mau menimbulkan keributan di sini. Terutama di atas sini.

Helikopter berbelok dan menukik tajam. Dia tahu yang dirasakannya tidak mungkin terjadi, namun perutnya terasa seperti jatuh lebih dulu daripada helikopter dan isinya.

Kit merasa tidak puas dan kesal waktu meninggalkan Bandara "High Pines" yang mungil sekitar pukul 10.30. Dia membutuhkan bantuan, tapi tahu tidak bisa memintanya dari FBI. Dia sendirian, dan itu sangat menjengkelkan.

BAB 17

Percayalah dan kejar akhir yang tak diketahui itu. Itu perkataan Oliver Wendell Holmes dan Kit selalu mempercayainya. Sampai sekarang pun masih, dan karena itulah dia saat ini berada di Rocky Mountains. Mengejar akhir yang tidak diketahui, dan berusaha setengah mati agar tetap percaya.

Dia butuh jawaban-jawaban, atau barangkali dia cuma ingin mendengar suara yang familier. Kit menelepon kantor Peter Stricker di

Washington. Ini akan sulit, namun menurutnya dia mampu melakukannya.

Dia mungkin akan dapat memperoleh bantuan dari Biro. Peter Stricker bertanggung jawab atas sektor Tenggara FBI. Mereka masih berteman baik. Sampai dua setengah tahun yang lalu, Peter bekerja untuknya.

Lalu dunia Kit kacau-balau, dan akhirnya malah dia yang bekerja untuk Peter. Dan minggu lalu, Peter mengancam akan memecatnya jika prioritas kerjanya tidak sama dengan yang ditentukan Biro. Dan Peter memberinya peringatan itu dalam bentuk tertulis.

Sebelum peringatan resmi tersebut, tanda-tandanya sebetulnya sudah

ada. Kit tidak mendapat promosi setelah kecelakaan tahun '94 itu- meskipun cuma Tuhan yang tahu apakah betul itu penyebabnya. Lebih tepat jika dikatakan sikap keras kepala dan suka membangkangnyalah yang menyebabkan kariernya di FBI mandek. Juga, obsesinya pada kasus-kasus yang menarik atau membuatnya ketakutan. Seperti kasus yang membuatnya pergi ke Colorado ini. Dia dapat melihat berbagai petunjuk potensial, masalah yang menonjol, solusi yang mungkin, sementara orang lain tidak.

Sejak dulu dia memang agen FBI yang "tidak biasa". Brengsek, mereka bilang itulah sebabnya mereka merekrutnya begitu lulus dari Sekolah Hukum NYU. Selama interviu dia diberitahu bahwa Biro menginginkannya sebab mereka terlalu "lurus" dan tradisional, dan karenanya terlalu mudah ditebak. Dia mestinya merupakan perwujudan agen baru yang berbeda. Dan memang begitulah adanya dia! Setidaknya, sampai beberapa lama.

Mereka berkoar-koar bahwa mereka berniat melintasi batas-batas konvensional, tidak ingin menjadi katak dalam tempurung; namun begitu dia masuk ke organisasi itu, Kit mendapati FBI ternyata tidak sungguhsungguh ingin berubah. Sebenarnya, Biro yang malah berusaha mengubahnya. Dan ketika dia bergeming, mereka marah besar. Salah seorang atasannya berkata, "Bukan kami yang bergabung denganmu, Tom. Kau yang bergabung dengan kami. Jadi mengapa tidak kausudahi saja omong kosongmu dan mengikuti program seperti kami?"

Karena dia berbeda. Dia mestinya berbeda. Itulah kesepakatannya-dan kesepakatan tidak bisa diganggu gugat. Namun Biro tidak menepati kata-kata mereka.

Mereka membenci jaket sport korduroi, topi bisbol tanpa logo, jins, sepatu dock yang ngotot dipakainya ke tempat kerja, dan bukan cuma pada hari Jumat. Dan bahwa dia membaca novel-novel "serius" seperti Underworld dan Ma-son & Dixon dan semua yang ditulis Toni Morrison. Dan bahwa kadang-kadang dia naik sepeda balap Cannondale untuk pergi ke kantor di Boston.

Mereka gusar dengan rambutnya yang sedikit kepanjangan, kebiasaan bercukurnya yang dua hari sekali, dan gaya berjalannya yang agak berirama. Dia berjalan seperti itu bukan karena ingin bergaya, tapi cuma karena dia ingin berjalan diiringi musik yang terdengar di kepalanya.

Namun, yang paling berat, Biro tidak menyukai sikapnya yang menganggap enteng disiplin. Sejak awal, dia sudah dijuluki biang kerok. Yang gawat, dia mungkin memang biang kerok. Dia pernah ditakuti waktu masih menjadi petinju kelas ringan utama di Boston Golden Gloves, dan sarjana banyak omong dan agak tidak konvensional di Holy Cross, bahkan di Sekolah Hukum NYU. Sialan, dia kan anak sopir bus, lima bersaudara. Dia tidak punya urusan di Sekolah Hukum NYU, atau mungkin bahkan di Cross. Kenapa dia tidak boleh mengungkapkan pikirannya?

Dia berhasil lolos di sekolah, namun tidak di

Biro Federal. Tak seorang biang kerok pun diizinkan hidup di FBI. Tidak juga biang kerok yang berhasil memecahkan dua kasus pembunuhan "tak terpecahkan" selama lima tahun terakhir.

Ahh, hentikan omong kosongmu, katanya dalam hati akhirnya. Dia berada dalam kesulitan karena sudah satu setengah tahun ini memburu kasus "eksperimen manusia" ini. Bertentangan dengan perintah. Dia sudah berulang kali melawan perintah atasannya, bahkan sampai yang dari pucuk pimpinan. Dia masih menentang perintah, dan jauh lebih buruk dari itu.

"Ini Tom Brennan untuk Agen Stricker," katanya waktu terdengar suara asisten Stricker yang terlalu ramah dan terlalu efisien. "Apa kabar,

Cindy? Peter ada?"

"Oh, senang mendengar kabar darimu, Tom. Tunggu sebentar ya." Seperti biasa sikap sopan Cindy berlebihan. "Aku harus melihat dulu apakah dia ada di ruangannya. Sebentar lagi aku kembali." Anehnya, Stricker segera mengangkat telepon. Dia berbicara dengan suara berbisik-selalu. Membuatmu terpaksa mendengar dengan cermat.

Ciri khas Stricker.

"Tom si Jagoan. Bagaimana surga? Bagaimana Nantucket? Kau seharusnya berlayar, menerjang ombak. Jalan-jalan di pantai. Tutup teleponnya."

"Aku menelepon dari pantai," Kit berhasil tertawa riang. "Aku sangat menikmati tempat ini. Sebentar lagi aku akan menjadi cowok paling top sedunia. Tapi ada masalah kecil."

"Selalu ada, Tom. Selalu ada masalah kecil, selalu ada ganjalan. Seharusnya kau membiasakan diri untuk tidak mengkhawatirkan hal-hal kecil itu," Stricker berkata dengan nada lembutnya yang biasa.

"Bukankah itu kesepakatan kita?"

"Aku tahu, aku tahu. Memang kita sepakat begitu. Dan aku berterima kasih atas liburan beberapa minggu ini. Cuma-tadi pagi aku membuka Web. Kebetulan aku membaca bahwa seseorang bernama Dr. frank

McDonough tewas tenggelam di Colorado kemarin. Aku jadi terusik. Kau membacanya, Peter?"

Stricker tidak mampu menutupi kekesalannya lebih lama lagi. Bisikannya mengeras sedikit. "Tom, tolong biarkan saja kasus misterius itu. Jangan buka Web dulu. Ya Tuhan, man. Kariermu yang cemerlang mulai hancur gara-gara kasus itu."

"Tidak juga. Bagaimanapun, ada seorang Dr. McDonough di kelompok pemikir Berkeley awal. Aku yakin. Kau keberatan jika seseorang menyelidikinya? Mungkin Michael Fescoe? Atau Manny Patino? Cuma

supaya pikiranku tenang? Cek dan lihat apakah orang itu Frank

McDonough."

Dia bisa menebak bahwa Stricker sama sekali tidak senang dengan pembicaraan ini. "Oke, Tom. Aku bisa melakukannya untukmu. Akan kucek orang yang meninggal itu. Namanya Frank McDonough, bukan?

Bereskanlah masalah-masalah pribadimu. Berjemurlah. Cari cewek

Nantucket. Nikmati hidup, jangan cari masalah."

"Jika dia McDonough yang sama, dia nomor empat, Peter. Dokter Kim,

Heekin, Mekin, McDonough."

"Ya, aku tahu detail-detail kasus itu, Tom. Aku tahu kau beranggapan ada bagian yang hilang, meskipun orang-orang di Quantico tidak

sependapat. Biar kutangani. Tugasmu cuma menikmati matahari dan laut."

"Terima kasih untuk bantuanmu, Peter. Kau yang paling hebat. Tapi aku tetap akan mengecek soal McDonough. Mungkin besok?" Dia dapat mendengar helaan napas Stricker. Suaranya makin pelan.

"Beritahukan nomor teleponmu di pulau. Nanti kutelepon kau."

"Tidak, tidak usah. Aku saja yang akan meneleponmu. Tidak apa-apa kok. Besok kutelepon. Yah, matahari dan laut sudah memanggil. Aku bahkan berkenalan dengan seseorang yang ku-suka. Paling tidak, aku menyukai penampilannya. Terima kasih sekali lagi atas bantuanmu, Peter." Dia harus memasang telinga baik-baik agar dapat mendengar tanggapan Stricker.

"Sama-sama. Berusahalah untuk relaks. Berjanjilah padaku, Tom. Ini bukan masalah yang perlu kaukhawatirkan lagi. Tidak ada omong kosong soal biang kerok. Itu kesepakatan kita. Akan kucarikan info yang kauperlukan mengenai Dr. McDonough. Aku mau melakukannya karena persahabatan kita."

Kit meletakkan telepon umum itu, dan mengembuskan napas dalam. Man, dia tidak suka membohongi Peter-dan sekarang itulah yang dilakukannya sebagai mata pencaharian. Seluruh hidupnya mendadak menjadi kebohongan besar.

BAB 18

Hentikan, Matthew! Jangan main-main dengan kepalaku sekarang. Aku sedang tidak kepingin.

Max baru saja teringat salah satu teka-teki konyol Matthew: Mengapa pilot kamikaze memakai helm? Dia dapat mendengar suara tawa konyol Matthew menertawakan lelucon konyolnya sendiri. Ha-ha-ha! Matthew selalu begitu. Menyebalkan, tapi juga lucu.

Dia masih belum menemukan adiknya itu dan tidak tahu akan mencari di mana lagi. Mungkin di rumah kecil berkesan modern di dalam hutan itu?

Atau mungkin dia setidaknya bisa memperoleh sedikit makanan di sana. Air?

M-a-k-a-n-a-n memenuhi pikirannya. Bukan, m-a-k-a-n-an menguasai pikirannya.

Uh-oh, Spaghettios! Max ingat kalimat favoritnya di TV. Dia tahu hampir segala hal yang pernah muncul di TV. Semua pertunjukan, semua iklan konyol, semua tokoh dalam semua pertunjukan. TV merupakan pengasuhnya, ibu dan ayahnya, ratusan teman terdekatnya di Sekolah. Max berhenti berjalan, berhenti memikirkan hal-hal sepele. Dengan waspada dia mengamati

rumah yang berdiri di depannya. Hati-hati. Ber-sikaplah sangat hatihati.

Rumah itu tampak gelap dan sepi dan membuatnya waswas dan takut. Pagar dari semak brier tumbuh di sekelilingnya. Oh, tolong jangan lempar aku ke rumpun brier.

Max berjalan di sepanjang pagar dan menaiki tanjakan terjal menuju bangunan modern yang terbuat dari lembaran kaca tebal dan balok kayu kasar itu.

Tidak ada orang, tidak ada orang! Semoga tidak ada orang di dalam.

Semoga, semoga.

Semoga ada M-A-K-A-N-A-N di sini.

Dengan jantung berdebar, dia berjingkat-jingkat naik tangga kayu dan sampai di teras belakang. Max mengintip ke balik pintu dorong kaca yang sangat kotor. Dia memperhatikan hal-hal seperti itu. Orang jenius adalah orang yang peduli pada detail, kan?

Terlarang, terlarang, terlarang, pikirnya. Tidak seorang pun boleh melihatnya. Sama sekali. Jika mereka melihatnya, maka mereka akan mati juga.

Max menyentuh ujung pintu dan mendorongnya. Dula/ibu jarinya telah dimodifikasi menjadi tangan. Jari-jarinya berfungsi dengan baik. Dia memang dibuat seperti itu.

Pintu bergerak, membuka. Dia di dalam! Jebakan! pikirnya, tapi sudah terlambat.

BAB 19

Ternyata tempat ini sama sekali bukan perangkap. Tidak ada orang di dalam rumah. Pemiliknya rupanya goblok, atau sangat ceroboh, sebab mereka membiarkan pintu belakang tidak dikunci dan diamankan. Tapi tidak ada siapa-siapa di sana yang akan menangkap, atau mungkin bahkan membunuhnya.

Bagian dalam rumah kotor dan berantakan. Tapi jelas yang tinggal di sini keluarga. Dia dapat menebaknya dari berbagai mainan anak kecil yang berserakan. Sepeda, in-line skate, video game.

"Matthew," bisiknya. Dia sangat berharap Matthew menemukan rumah yang sama. Mungkin anak itu bersembunyi di suatu tempat di sini. "Di mana kau, Dik? Ini aku. Max!"

Dia mengendap-endap ke dapur. Kulkas mendengung ribut. Kulkas-oh, Tuhan, yes. Max membuka pintunya. Dinikmatinya semburan udara sejuk dan cahaya redup lampunya. Matanya dengan cepat memeriksa rak-rak.

Disambarnya sekaleng minuman. Sprite. Lepaskan dahagamu!

Oke, rasanya aku akan melakukannya.

Sesaat timbul perasaan bersalah. Dia tidak boleh mencuri makanan dan soda pop. Itu bukan perbuatan yang baik.

Oh, masa bodoh. Aku telah ditembak. Aku telah diburu. Aku perlu makan dan mengisi cairan tubuhku. Titik.

Max minum, lalu mulai melahap segalanya. Terbang benar-benar- membuatmu lapar. Energimu jadi terkuras.

Dibukanya plastik lengket yang membungkus mangkuk kaca. Uh-oh, Spaghettios! Dijejalkannya spaghetti dingin ke dalam mulut. Dia tak peduli spaghetti itu dingin, pokoknya itu makanan. Bukan makanan enak, bukan makanan lezat, cuma makanan-makanan.

Ada susu? Yipiii! Ada susu juga. Dia mengendus-masih bagus. Hampir basi. Dia meminumnya langsung dari karton.

Max menemukan pisau di piring pai dan menggunakannya untuk mengambil sepotong besar pai apel yang lengket.

Itulah pai paling enak yang pernah dimakannya. Tak tertandingi. Tidak ada pertandingan makan pai, pikirnya. Dia nyengir. Dia sangat suka permainan kata, jenis apa pun. Pai pepaya, seperti itulah. Dia pintarsangat pintar. Begitulah mereka membuatnya, bukan? Max mencari-cari makanan lain di dalam kulkas.

Ooohh! Ooohh! Coba lihat ada apa di freezer/ Es krim Klondike-sekotak penuh! Apa yang rela kaulakukan supaya dapat es krim Klondike? Dimakannya dua es krim Klondike, masing-masing tangannya memegang satu. Dia suka sekali gula.

Tiba-tiba, perasaan waswas merayapi tengkuknya. Bulu kuduknya berdiri. Max waspada dan mendengarkan.

Apakah di luar sana ada para pemburu? Apakah Paman Thomas ada di dekat sini, siap menyergapnya? Mungkin dia akan. membawanya pulangatau mungkin langsung menidurkannya.

Tapi Max ingin sekali melihat-lihat seluruh rumah ini. Rasa ingin tahu membunuh si kucing, pikirnya. Tapi bukan si gadis.

Dia berjalan tanpa suara di koridor. Dia tidak bisa menahan diri-ini rumah sungguhan. Tidak ada penghuninya. Mengasyikkan sekali! "Kucing penakut. Kucing pengecut," bisiknya. Itu kata-kata dari Sekolah-waktu dia masih kecil, waktu dia masih berpikir seperti anak kecil. Mungkin yang mengajarkannya Mrs. Beattie, wanita yang pernah menjadi pengasuhnya, lalu gurunya. Semua hal menyenangkan dalam hidupnya terjadi sebelum Mrs. Beattie meninggal.

Di balik pintu di ujung koridor tampak kamar mandi. Seram! Semua hitam di dalamnya. Toilet hitam, bathtub hitam, wastafel hitam, bahkan sabun pun hitam. Dengan perasaan kepingin Max menatap bilik pancuran, hitam dan mengilap di balik tirai bening. Badannya lengket dan kotor. Menjijikkan! Dia menginginkan tubuhnya bersih hampir lebih dari menginginkan tidur. Dia ingin merasakan air hangat mengaliri tubuhnya dan sayapnya yang sakit, persis di atas persendian kedua. Tapi rasanya sayapnya tidak terluka terlalu parah. Mungkin cuma terkilir. Max menyibakkan rambut pirang panjangnya

ke belakang dan ke balik telinga, lalu mendengarkan kalau-kalau ada suara di dalam rumah.

Tidak ada. Dia yakin. Jari-jarinya menemukan sakelar lampu.

Mengelusnya. Menekannya!

Cahaya menerangi kamar mandi hitam ini. Menyeramkan.

Tubuhnya menegang, bersiap-siap lari-tapi rasanya kok konyol amat. Dia kan sendirian di sini. Jadi Max terus memasuki kamar mandi dan menutup pintunya. Menguncinya.

Lalu dia melihat dirinya di cermin.

Tubuhnya yang 130 sentimeter lebih, dengan sayap paling indah yang pernah ada.

Disentuhnya rambutnya. Dimajukannya sedikit wajahnya.

"Aku cantik," dia berbisik. "Aku memang cantik, bukan? Aku anak yang baik, dan aku cantik. Jadi mengapa mereka berusaha membunuhku?"

BAB 20

Gillian meneleponku pagi-pagi sekali. "Aku benci memikirkan kau sendirian jauh di pegunungan sana. Kau tidak apa-apa, Frannie?" "Aku baik-baik saja. Pukul berapa sekarang? Di mana kau?"

"Di rumah sakit, di mana lagi. Sekarang pukul delapan. Jadi kau bisa tidur?"

"Pulas seperti bayi, Gil."

"Bohong."

"Kau begitu mengenalku," aku membalas dan tertawa. Aku hampir terjaga sekarang. Pemandangan di luar jendelaku indah sekali. "Dan itu menyenangkan, bukan?" kata Gillian. "Bagi kita berdua." Kubiarkan dia kembali bekerja, lalu sebuah pikiran melintas di benakkupikiran jelek. Aku merasakan ketakutan yang seratus persen tidak rasional namun kuat bahwa sesuatu bisa saja menimpa Gillian, bahwa mungkin semua temanku dalam bahaya.

Aku tahu itu tidak masuk akal. Tapi aku tetap merasakannya. Kuhabiskan sebagian waktu pagiku untuk mengemudi ke tempat aku menghentikan mobil tadi malam. Tempat aku melihat, atau tidak-apa?

Aku merasa gelisah, mungkin agak pusing, dan bahkan sedikit spiritual. Rasa pusing sehabis minum alkohol itulah yang membuatku berpikir lagi, dan merasa ragu. Apakah tadi malam aku mabuk?

Apakah kematian Frank McDonough mempengaruhi jiwaku yang memang sudah terganggu?

Masalahnya, semakin aku berusaha meyakinkan diriku bahwa aku tidak melihatnya, semakin yakin diriku bahwa aku telah melihatnya.

Dua ide muncul di otakku.

Cacat bawaan.

Dan keajaiban bioteknologi.

Aku tahu sedikit tentang kedua bidang itu, jadi kubiarkan pikiranku bermain-main sementara aku melaju naik Suburban biru berdebuku untuk mencari gadis bersayap tadi malam. Aku berkata dalam hati, Mari kita berpikir tentang abnormalitas genetis, cacat, kelainan, sindrom halhal yang menyimpang. Ketika memikirkannya, aku teringat pernah membicarakan masalah itu sepanjang siang bersama David. Kami bahkan menghubungi Mutter Museum yang prestisius, bagian dari Philadelphia College of Physicians.

Dengan senang hati Mutter memberitahukan contoh-contoh kelainan yang mereka temukan beberapa tahun terahir. Mulai dari bocah-bocah di Mexico yang sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu seperti monyet sampai anak-anak yang bagian-bagian tubuhnya mengalami duplikasi, abnormalitas kelenjar pituitary, seperti yang dialami orang bertubuh cebol dan raksasa, dan penyakit-penyakit kulit yang membuat beberapa orang

kelihatan lebih mirip kadal daripada manusia.

Aku tidak ingat apa persisnya penyebab David dan aku mendiskusikan topik tersebut, namun kami membicarakannya selama beberapa minggu. Dia juga mengeluarkan buku tentang masalah itu dari koleksinya yang banyak: Anomalies and Curiosities of Medicine. Aku merasa Anomalies masih ada di rumah, namun tak bisa menemukannya tadi pagi. Mungkin ada di pondok bersama si Neanderthal modern itu, Kit Harrison. Ketika melaju di sekitar Bluff dan Clayton, aku berusaha membiarkan otakku berpikir sebebas-bebasnya. Aku tidak mau menolak pikiran apa pun. Aku bahkan mempertimbangkan kemungkinan makhluk luar angkasa. Akhirnya ku-lupakan kemungkinan itu, pikiran tentang E.T., tapi mungkin mestinya tidak.

Aku punya ingatan yang lumayan kuat. Aku dulu selalu juara satu selama di sekolah menengah, dan kepalaku ternyata berisi lebih banyak

informasi daripada yang kukira. Aku pernah memeriksa seorang hermafrodit, anak yang memiliki organ reproduksi laki-laki dan perempuan. Aku juga pernah bertemu manusia dan binatang yang bagian tubuhnya tidak lengkap, dan beberapa yang bagian tubuhnya terduplikasi. Aku pernah melihat dua telinga di satu sisi kepala seorang gadis kecil. Anak laki-laki dengan enam jari kaki. Gadis dengan empat payudara. Di sekolah kedokteran hewan aku juga pernah menyaksikan akibat yang bisa ditimbulkan toksin dan pestisida terhadap ternak. Bukan pemandangan yang indah, dan takkan pernah dapat kaulupa-kan.

Sedangkan kalau cuma gambar, aku pernah melihat "jari-jari berbentuk", tanduk, di kepala manusia. Tubuh parasitis kuda tumbuh dari tubuh kuda normal. Kepala kedua tumbuh di kepala sapi. Aku teringat tulisan dari Babilonia kuno: Jika ada anak yang lahir dengan wajah singa berarti Raja takkan punya rival. Aku pernah melihat anak bertelinga singa.

Namun tidak pernah aku melihat gadis yang sangat cantik dan tampak normal jika tidak ada sayap indahnya yang berwarna putih dan perak!

Mungkin dia memang makhluk luar angkasa.

Tentu saja, ada bioteknologi dan rekayasa genetika. Bidang yang dipilih David, kataku mengingatkan diri.

Ingatanku tentang bidang spesialisasi David ternyata tidak seluas yang kukira. David dan aku sering saling bercerita, namun dia tidak terlalu suka bicara tentang pekerjaannya.

Aneh, kalau kupikir sekarang. David jarang membawa pulang pekerjaannya. Aku, di lain pihak, selalu senang mengobrol tentang InnPatient, atau anak kuda cantik yang kubantu kelahirannya pukul empat pagi tadi di peternakan kuda seseorang.

Jadi apa yang kuketahui mengenai bioteknologi? Secara Sangat mendasar, bioteknologi berarti pemanfaatan proses biologis alami mikroba dan sel-sel binatang dan tanaman. Riset dan eksperimen persilangan antarspesies juga termasuk bidang biologi molekuler. David

ahli biologi molekuler, dan ahli yang andal, meskipun penghasilannya sebagai periset tidak banyak.

Aku ingat beberapa hal yang pernah dibicarakannya yang mungkin ada sangkut pautnya dengan gadis kecil ber-katakan, Frannie-bersayap perak dan putih yang indah. Ketika film Jurassic Park diputar di Boulder, David memberitahuku bahwa masalah genetika persilangan antarspesies sebetulnya tidaklah semustahil yang tampak di film bagus itu. Katanya berbagai eksperimen antarspesies saat ini tengah dilakukan di beberapa lab independen. Eksperimen-eksperimen itu terkadang ilegal.

Bioteknologi jelas merupakan dunia baru dalam ilmu pengetahuan yang menantang untuk dijelajahi. Bioteknologi bisa, dan tidak diragukan lagi akan mendorong evolusi lebih jauh dan lebih cepat daripada apa pun sepanjang sejarah. Tapi masalahnya adalah, apakah kita sudah siap, dari segi emosional dan moral, untuk menghadapi apa yang akan mampu kita ciptakan tak lama lagi. Aku ingat David mengatakan bahwa sebagian besar hasil penting yang telah berhasil dicapai masih pada tahap lalat buah, dan aku menganggap informasi itu sangat menenangkan hati. David juga memberitahuku sesuatu yang menarik sehubungan dengan apa yang terjadi padaku tadi malam. Dia mengatakan bahwa di bidang manipulasi genetika, "Kesalahan bisa saja terjadi. Itu sering terjadi, Frannie. Memang begitulah adanya." Kesalahan bisa saja terjadi.

BAB 21

Hari ini hari yang sibuk dan produktif bagi Kit. Dia menjadi agen lapangan FBI lagi. Rasanya enak, menyenangkan. Dia bekerja sendirian, namun setidaknya dia lepas dari kendali Biro yang panjang dan membatasi.

Dia mencoba-coba dengan menanyai janda Frank McDonough. Barbara McDonough tampaknya tidak tahu apa-apa, namun makin lama mereka berbicara, makin yakit Kit bahwa Dr. McDonough tewas karena dibunuh.

Salah satu alasannya, McDonough perenang andal, mantan bintang college. Alasan lain, lehernya patah karena diduga ia terjun ke air dangkal, namun istrinya mengatakan selama ini pria itu tidak pernah terjun ke kolam.

Dia telah berbicara dengan tiga rekan McDonough di Boulder

Community Hospital. Dia juga sudah minta tolong pada teman baiknya di Quantico. Nama McDonough dicek dengan semua dokter yang bekerja di daerah sekitar Boulder. Dia mencari hubungan yang kuat, hanya itu tindakan yang dapat dilakukannya pada hari pertamanya di kota itu. Kit baru saja kembali dari Boulder ketika melihat Frannie O'Neill berjalan di hutan di belakang pondok tempat dia tinggal. Saat itu hampir pukul 17.00.

Frannie tampak gelisah dan gugup. Tentu saja, Kit memang tidak mengenalnya dengan baik, tapi itulah kesan yang ditangkapnya. Mau ke mana dia?

Wanita itu berjalan cepat, punya misi. Tapi, apa misinya? Kit menganggap tidak ada salahnya mengecek, dan dia memang tidak punya kegiatan yang lebih baik selama satu atau dua jam mendatang. Frannie memakai celana pendek khaki dan kemeja flanel kotak-kotak merah, dan Kit tidak bisa mencegah munculnya ingatan tentang bagaimana penampilan wanita itu tadi malam. Bayangan itu masih melekat di benaknya. Kenangan yang indah, jadi mungkin dia tidak ingin melupakannya begitu saja.

Diikutinya Drh. Frannie menembus hutan dari jarak yang aman. Wanita itu tidak pernah menoleh ke belakang, namun dia memang kelihatannya tengah mencari sesuatu. Dia bergerak begitu cepat sehingga Kit akhirnya kehilangan jejak.

Sialan.

Kit mendekatkan teropong Rangemaster ke mata. Dicarinya Frannie O'Neill ke segala arah. Tampak berbagai pemandangan. Dia jadi dapat melihat dengan jelas sekali kulit pohon pinus, bentuk daun, sepetak langit biru.

Akhirnya dia melihat kemeja kotak-kotak merah itu lagi. Frannie masih berjalan cepat menerobos hutan, di punggungnya ada ransel biru terang, wajahnya serius. Wanita itu tenggelam

dalam pikirannya sendiri, tidak sadar Kit diam-diam membuntutinya.

Atau sadar?

Apa sih yang dilakukannya di luar sini? Apakah berhubungan dengan pekerjaan suaminya? Atau barangkali dengan kematiannya? Atau kematian Dr. McDonough?

Dia berbelok tajam ke kanan. Jangan pergi ke sana, Frannie. Sial! Sial!

Dia menghilang lagi di antara batang-batang pinus, aspen, dan ek scrub. Setelah lima belas menit mengikuti wanita itu melewati bukit dan dataran tinggi, Kit jadi tahu Frannie O'Neill bukan wanita yang gampang menyerah. Kit terus bergerak ke atas, berharap Frannie akan muncul di bawahnya.

Beberapa detik kemudian, dia melihat Frannie O'Neill kelihatan lagi. Cahaya matahari sore menyinari wajahnya. Dokter hewan itu memang manis; kecantikan wanita midwestern sejati, dan dia menyukainya. Mata biru-hijaunya berbinar, dan terus mencari-cari sesuatu.

Jalan setapak yang sejak tadi ditelusurinya melebar, lalu bercabang ke jalan tanah yang lebih lebar. Jalan tanah menuju ke mana? Apakah ada sesuatu yang penting di sana? Bangunan lain? Mungkin lab yang tersembunyi di hutan? Apakah Frannie O'Neill bekerja di sana? Dia terus berjalan, malah makin cepat. Dia benar-benar menerobos hutan, bukan? Dia tahu jalannya?

Kit merasa dapat mendengar suara lalu lintas sekarang. Dia hampir yakin.

"Apa-apaan? Lalu lintas di atas sini?" gumamnya.

Jalan tanah itu berakhir di bagian belakang

lapangan parkir dari aspal! Tempat yang gelap itu berbentuk persegi, terletak di belakang pasar kecil. Tampaknya Frannie mengambil jalan

pintas ke Clayton dengan menembus hutan. Dia berada di kota tetangga.

Apa yang dilakukannya?

Kit mengawasi dengan rasa takjub samar ketika wanita itu berhenti di dekat batu datar di pinggir hutan. Diturunkannya ransel birunya dan dibukanya. Dia lantas mengeluarkan beberapa kotak kecil, kaleng, benda dari kertas, dan meletakkannya di tanah.

"Apa yang sedang dilakukannya?" Kit tidak mengerti sedikit pun.

Perbuatan Frannie tidak masuk akal.

Kit mengatur fokus teropong. Diamatinya isi ransel itu. Dia bahkan dapat mendengar suara Frannie melayang ke arahnya. Dia menyukai nadanya yang berirama, meskipun situasi saat ini sangat misterius.

"Pesta!" seru Frannie.

Pesta? Pesta untuk siapa? Pesta untuk apa? Ini bukan saat untuk pesta!

"Ayo, anak-anak." Anak-anak?

Kit terus mengawasi sementara wanita itu menuangkan berkaleng-kaleng makanan ke piring kertas.

Tiba-tiba, datang banyak sekali kucing. Mereka bermunculan dari kolong mobil, dari balik kotak-kotak di belakang toko swalayan, dari antara rumput tinggi. Dengan buntut tegak, mereka bergegas-gegas datang, mengeong-ngeong.

"Saat untuk pesta. Kucing-kucing manis," katanya. Bukan anak-anakkucing-kucing, pikir Kit.

Dia terus meneropong, terpesona melihat segerombolan kucing: hitam legam, Jingga, ber-totol-totol, bergaris-garis, satu yang berkaki tiga, dan seekor anak kucing berkumpul di dapur umum Frannie. Dia menyayangi mereka. Dia memang kelihatan manis dan ramah. Dia bertindak persis seperti kesan yang timbul dari penampilannya: orang yang baik.

"Ayo, Mama Kucing," Kit mendengar Frannie memanggil. Wanita itu berseri-seri-senyumnya lebar, tulus, sepenuh hati. "Whitey. Big Boy. Freakazoid. Apa kabar Susie Q?"

Ya, si Frannie O'Neill ini memang pantas diawasi. Tak diragukan lagi, dialah kunci segalanya.

BAB 22

Kit akhirnya tertawa. Mungkin inilah pertama kalinya dia tertawa sejak tiba di Colorado. Sejak dahulu dia sangat mampu menertawakan diri sendiri. Sesaat dia duduk menonton makhluk-makhluk di bawah sana saling mengelus, mengobrol, makan. Mengamati "pesta". Tidak, dia mengamati Frannie O'Neill. Dia mengagumi caranya yang manis dalam menghadapi binatang, mendengarkan alunan suaranya, mengingat tubuh indahnya. Ya Tuhan-dia mabuk cinta seperti remaja pada wanita itu, bukan? Jelas. Sebetulnya bukan masalah, namun saat maupun tempatnya tidak cocok.

Kit cepat-cepat berbalik dan bergegas kembali menerobos hutan. Sekarang saat yang tepat untuk memeriksa rumah Frannie, memeriksa segalanya. Dia berpikir dan bertindak seperti agen lapangan lagi. Dan mengkhianati kepercayaan Frannie juga merupakan cara yang tepat untuk meloloskan diri dari bahaya jatuh cinta padanya. Frannie tidak mengunci pintu kliniknya, tentu saja. Jadi Kit menggeledah kamarnya di Inn-Patient, dan dia melakukannya dengan cermat.

Wanita itu tak bakal tahu tadi ada orang memasuki kamarnya. Namun Kit tetap merasa bersalah karena masuk rumahnya tanpa izin. Mungkin

Frannie tidak tahu apa-apa mengenai masalah yang melibatkan suaminya. Tapi mungkin juga sebaliknya. Dan mungkin dia juga terlibat. Kit tidak tahu cukup banyak tentang Frannie O'Neill untuk menyingkirkannya dari daftar orang yang dicurigainya. Wanita itu bisa saja tidak seperti yang diduganya dan sangat berbahaya.

Kit mencatat beberapa hal ketika memeriksa. Dia melakukannya benarbenar sesuai prosedur, meskipun sebenarnya tidak harus.

Pakaian-pakaian dan barang-barang biasa. Jins, sepatu bot koboi, kaus berkantong. Tidak ada bukti Frannie menghabiskan banyak uang untuk diri sendiri.

Tapi seleranya bagus. Sederhana, atraktif, klasik-sesuai dugaan Kit. Beberapa sangkar burung. Mengapa sangkar burung? Foto-foto pernikahan, ada yang menampakkan Frannie dan David berciuman di bawah payung biru. Mac Performa 575. Model lama, dan tidak mahal. Di sana-sini tampak barang-barang mahal: gaun formal dari sifon sutra hitam; cincin koktail bermata berlian dan safir; setengah ons Eau d'Hermes.

Kit merasa ingin melihat Frannie memakai gaun sifon hitam itu, dan mencium harum parfumnya.

Tidak ada karya tulis-ilmiah maupun tidak. Tidak ada hasil kerja David.

Agak aneh. Di mana

tulisan-tulisan David? Frannie tidak mungkin membuangnya. Atau mungkin?

Buku-buku-beberapa di antaranya terbentang di sekeliling kamar: If

Wishes Were Horses: The Education of a Veterinarian; Veterinary Epidemiology; Into Thin Air; In Search of Human Beginnings; Midnight in the Garden of Good and Evil. Tidak ada yang mencurigakan di sana, malah sebaliknya.

Kenang-kenangan yang mengharukan. Perahu model yang dibuat, ditandatangani, dan ditanggali suaminya. "Kapal David-22 Maret 1969." Di kulkas menempel gambar bikinan anak kecil yang menampilkan seorang anak perempuan dan seekor anjing. "Untuk Drh. Frannie. Kami menyayangimu. Teman-temanmu, Emily dan Buster." Kit akhirnya memasukkan notesnya ke saku belakang, memandang berkeliling untuk terakhir kali, kemudian pergi sebelum Frannie O'Neill kembali. Penggeledahan tadi bisa dibilang berakibat buruk baginya. Dia jadi tidak percaya Frannie terlibat.

Bagaimanapun, dia merasa makin dekat pada sesuatu. Hatinya mengatakan demikian, dan sejak awal sudah begitu.

Kenapa tidak ada yang mempercayainya?

BAB 23

Sekarang sudah pukul 22.00 lebih sedikit. Hutan dan pegunungan tampak sudah lelap, namun aku tahu itu tidak benar. Aku memikirkan si gadis bersayap lagi.

Untuk kesekian kalinya, aku serius mempertimbangkan untuk menelepon sherif di Clayton, atau bahkan Polisi Negara Bagian Colorado. Tapi mana mungkin? Apa yang akan kukatakan pada mereka? "Hai. Belakangan ini saya tinggal sendirian di Bear Bluff. Biasanya pikiran dan tubuh saya sehat. Tapi masalahnya begini, saya yakin telah melihat gadis kecil yang memiliki sayap. Malam itu saya minum alkohol sedikit karena sedih dengan kematian teman saya. Ayo datang ke atas sini dan melihatnya sendiri. Sebaiknya kalian membawa jaring besar-untuk menangkap saya!" Aku bekerja sampai larut malam di Inn-Patient, memikirkan apa yang harus kulakukan- semua pilihan yang ada. Aku sudah berbicara dengan Barb McDonough dan Gillian lewat telepon genggam. Aku baru saja membius kucing liar yang kubawa pulang setelah melakukan salah satu misi sosialku di Clayton.

Dengan hati-hati kucukur perut kucing liar itu sebelum memandulkannya. Aku tengah berkonsentrasi pada pemotong listrik ketika kudengar seseorang di belakangku berkata, "Halo? Ada orang di sana?" Aku terlonjak kaget. Dari tadi aku memang merasa agak seram. Perutku mulas tidak keruan. "Halo? Drh. O'Neill?"

Aku menoleh ke arah pintu kasa dan melihat tak lain tak bukan Kit Harrison berdiri di sana. Kupandang dia dengan tatapan yang bisa membunuhnya, atau setidaknya melukainya sampai parah. "Kaulihat akibat perbuatanmu? Tolong pergi sekarang."

Dia malah masuk. Kit berjalan mendekat, menatap pasienku. "Tidak. Apa?" tanyanya.

"Kau membuatku memotong puting susunya."

Dia mengernyit dan mengatakan betul-betul minta maaf. Tindakan yang bagus, lumayan simpatik. Aku hampir percaya dia bersungguh-sungguh karena mata birunya itu. Dengan cepat dia menjelaskan bahwa pintu tadi terbuka, dia sudah memanggil-manggil tapi aku tidak menjawab. "Seberapa serius?" dia bertanya, memandangi si kucing. "Yah," kataku, tidak mau menatap Kit, "kariernya sebagai penari telanjang bisa dibilang sudah tamat."

Sebetulnya lukanya tidak seberapa. Toh kucing itu tidak akan membutuhkan puting susu lagi. Kukencangkan pengikatnya, kusapukan Betadine banyak-banyak. Lalu kututup bagian tengah tubuhnya dengan kain steril yang bolong di tempat yang akan dioperasi.

"Dekatkan lampu itu kemari," kataku pada Kit Harrison. "Tolong." Aku terkejut ketika dia mematuhi kata-kataku. Mungkin dikiranya aku akan mau tidur dengannya. Dia tampak seperti tipe lelaki yang sering memperoleh apa yang diinginkannya.

Kubuka lineum alba si kucing dengan pisau bedah, lalu aku mengiris sampai rongga panggul. Kulirik Mr. Kit Harrison untuk mengetahui bagaimana reaksinya melihat operasi ini. Dia tampak baik-baik saja, aku jadi kecewa. Aku tadinya berharap dia semaput.

Rambut pirangnya basah, seolah dia barusan keramas. Wanginya khas pria Amerika gaya lama-sabun Ivory. Bocah ini tidak kenal Hermes Equipage.

"Jadi, ada apa?" aku bertanya padanya sambil bekerja. "Punya cukup handuk? Air panas? Pelayanan kamarnya oke?"

"Pondoknya lumayan," jawabnya. "Aku sangat menyukainya. Kuberi tempat itu empat bintang, lima berlian, peringkat paling tinggi." Sayang.

Dia melanjutkan. "Kudengar ada tempat makan yang enak di Clayton.

Setidaknya berbintang dua."

"Ya, memang ada. Mungkin kelezatan masakannya hampir seperti masakan buatan ru-mahan, jika kau pernah diundang makan malam, yang

rasanya mustahil. Penduduk sini tidak terlalu percaya pada orang kota. Lalu ada Danny's Grill. Dan Villa Vittoria untuk pizza dan pasta enak."

"Ayo makan denganku setelah kau selesai 106

mengoperasi. Atau aku bertaruh kita bisa memperoleh undangan untuk makan di rumah penduduk sini," katanya.

"Tidak, terima kasih," jawabku, sambil menggerakkan pisau bedah, memegangnya di antara ibu jari dan telunjuk. "Kalau kau memang ingin melakukan perbuatan baik, perbuatan yang akan kuhargai- kau bisa mengepak senjatamu dan barang-barangmu, dan pergi dari sini."

Dia berdeham sebelum berbicara. "Tampaknya aku mengawali hubungan kita dengan cara yang salah, Drh. O'Neill. Dan kau tahu... kau sebetulnya tidak tahu apa-apa tentang aku," katanya dari balik punggungku. "Kau sama sekali tidak tahu siapa aku."

Aku kembali memperhatikan si kucing, menangani ligamen kandungannya, lalu mulai menjahit. Kitty sekarang mendengkur, yang berarti dia mulai sadar. Tapi dia nanti akan ketakutan dan mendesis-desis. Aku sendiri pun agak ketakutan, dan aku tidak menyukai kondisi itu. Tiba-tiba bulu kudukku meremang. Aku telah membiarkan pintuku terbuka. Seorang pria duduk di belakangku, dan seperti katanya tadi, aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya.

Aku berbalik untuk menghadapinya, namun bangku di belakangku sudah kosong.

Seperti kedatangannya, dia pergi tanpa suara.

BAB 24

Max tidur nyenyak sekali di dalam rumah itu, siapa pun pemiliknya. Rumah keluarga yang berantakan, sembrono, namun menakjubkan, indah dan penuh makanan enak. Dia berdiri di teras saat subuh dan langit diwarnai berbagai nuansa pink dan merah yang menyebar ke bagian berwarna biru.

"Selamat pagi, hutan! Selamat pagi, langit yang indah! Selamat pagi, sinar matahari! Aku merasa ingin terbang tinggi ke Rockies. Siapa yang tidak kepingin? Mungkin aku akan menemukan Matthew hari ini." Max berdiri seimbang di pagar kayu teras rumah tempatnya bersembunyi. Dia masih mengenakan gaun terusan tanpa lengan dari katun putih, juga sepatu balet yang sama. Semangatnya menggebu-gebu.

Hari ini sangat sempurna untuk terbang.

Matthew? Matthew? Di mana sih kau? Mau terbang denganku?

Turunlah, Matthew. Kumohon, jangan mati.

Angin berembus ribut ketika mengenai bukit terjal di belakang rumah dan Max dapat merasakan angin sejuk yang bergerak ke atas dan membelai kakinya. Diangkatnya sayapnya sedikit. Testing, satu, dua, tiga, empat.

Dia ingin mengecek seberapa sakit lukanya, apakah dia bisa menahannya atau tidak; namun Max sudah tahu bahwa dia merasa sangat sehat. Lukanya tidak terlalu parah. Dia masih hidup, setidaknya untuk saat ini. Udara bertiup di bulu-bulunya, menimbulkan suara ketukan lembut, suara timpani yang sangat halus. Detak jantungnya meningkat. Max mengirup dalam-dalam udara segar pegunungan, wangi bunga-bunga liar, jarum-jarum pinus, dan sebelum keberaniannya lenyap, dia segera tinggal landas!

Kali ini dia lebih siap menghadapi vertigo dan sensasi seolah perutnya naik ke dada. Insting mengambil alih. Max mengepakkan sayap kuat-kuat di udara. Kepakan menentang gravitasi, katanya dalam hati. Dia belajar soal terbang dari Mrs. Beattie di Sekolah. Tapi dia tidak diperbolehkan terbang. Terbang terlarang.

Ketika lengan bagian atasnya berayun, tulang-tulang bahunya berputar dengan mudah dan alami di dalam rongganya. Persendian siku otomatis membuka, pergelangan tangan menjulur, dan bulu-bulunya mengembang.

Tiba-tiba Max merasa dirinya naik tanpa dia perlu melakukan apa pun!

Sepi sekali di atas sini. Dia melayang di udara, dan rasanya seratus kali lebih mudah daripada berenang. Lebih gampang dibanding berjalan.

Max naik dalam pusaran termal. Udara seolah hidup, mendorongnya ke atas dari bawah. Dia tahu sedikit tentang pusaran termal. Dia membaca semua yang bisa dibaca di Sekolah, dan ingatannya merekam sebagian besar bacaannya. Menurut standar Sekolah, dia ini jenius. Begitu juga Matthew, tentu saja. Jadi mana dia?

Max dapat mendengar burung-burung ribut mencicit, namun hanya sedikit yang kelihatan. Tanpa susah payah dia terbang berputar sambil terus naik. Terbang sangat mengasyikkan. Tidak ada tandingannya.

Pantas saja dia dan Matthew dilarang terbang.

Orang-orang lain harus memakai obat bius untuk merasakan sensasi yang mirip dengan ini. Setiap helai bulunya berhubungan langsung dengan sistem sarafnya, supaya otaknya tahu penjajaran yang tepat. Ketika dia sudah begitu tinggi sehingga dapat menutup rumah itu dengan ujung jari, Max menemukan satu lagi keajaiban. Bukit di belakang rumah itu berhubungan dengan bukit-bukit lain, sambung-menyambung sampai jauh, melebihi jarak pandangnya. Angin yang berembus ke punggung perbukitan itu tidak punya jalan keluar lain selain ke atas, jadi angin itu membentuk gelombang udara tegak di sepanjang lengkung perbukitan.

Max memeluk udara dengan sayap mengembang, dan dia merasakan gelombang itu. Angin meniup rambut pirang panjangnya ke belakang.

Rambutnya tampak seperti aliran air di tengah embusan angin. Lalu tanah terhampar sunyi di bawahnya. Selain bisikan udara di antara bulu-bulunya, di atas ini sangat senyap. Max melayang seolah tak terpengaruh hukum gravitasi.

Dan dia melihat makhluk-makhluk lain memanfaatkan aliran udara yang sama.

Seekor elang berbuntut merah, sepasang burung bangkai, dan gagakgagak yang lebih kecil melayang seringan dia. Si elang mengitarinya, memandanginya. Max balas menatap matanya yang tajam dan berwarna gelap.

"Pergi sana," katanya pada burung itu.

Dia meluncur di atas puncak pepohonan, lalu turun ke bawahnya, dan akhirnya terjun ke dalam bayang-bayang hijau tua hutan. Ujung sayap Max bersinggungan dengan tepi pohon-pohon.

Dia meliuk-liuk di antara pepohonan, membentuk angka delapan sempit.

Asyiknya! Max merasa sangat dekat dengan alam, dengan jagad raya ini.

Dia diciptakan untuk ini!

Tiba-tiba dia mengurangi kecepatan. Tanah seolah naik menyambutnya. Dia mendarat terlalu cepat, terlalu keras. Gelombang rasa sakit menjalari sekujur tubuhnya dan menusuk bahunya yang luka. Max memandang lurus ke depan dan terpana melihat pemandangan di hadapannya.

Wanita itu lagi.

Beberapa meter di depannya.

BAB 25

"Terkutuklah kau, siapa pun yang melakukan ini. Semoga kau masuk neraka!" aku memaki keras. Suaraku terdengar makin keras karena bergema.

Aku mengulurkan tangan dan menarik jebakan kaki yang mengerikan dari balik hamparan daun basah dan berlumpur di selokan. Untunglah jebakan itu belum terinjak binatang apa pun.

Tiba-tiba, aku mendengar sesuatu yang besar bergerak di dalam hutan. Suara itu dekat Pasti binatang besar. Atau mungkin si pemasang perangkap sendiri?

Aku terpaku sambil memegang jebakan yang tergantung di tanganku. Pelan-pelan aku berputar.

"Oh Tuhan," bisikku tak terdengar. Si gadis burung berdiri dua puluh langkah dariku. Gadis yang sama dengan yang kulihat dulu. Dia menatapku, memandangiku tajam. Apa yang kulihat ini rasanya tidak mungkin ada. Tapi gadis itu berdiri di sana. Dan dia memang punya sayap.

Wajahnya, dan barangkali rambut pirangnya yang panjang, mengingatkanku pada Jessica Dubroff, pilot berusia tujuh tahun yang meninggal tragis ketika pesawatnya jatuh beberapa tahun yang lalu. Gadis yang berdiri di hadapanku itu memiliki semangat dan keberanian yang sama. Aku bisa melihatnya dari matanya. Sekilas dia tampak seperti anak perempuan yang cukup normal-tapi dia punya sayap yang indah.

Aku gemetar hebat. Kakiku goyah seperti kaki meja dapurku yang sudah tua. Ini cuma khayalan. Ini tak mungkin sungguhan. Kendalikan dirimu sekarang juga. Tarik napas dalam.

Gadis itu berhenti berjalan di tengah hutan. Gaun putihnya, terusan longgar sebetulnya, sudah robek-robek dan kotor kena tanah. Rambut pirangnya kusut dan menggumpal.

Dia sama sekali tak bergerak, mengawasiku. Seperti elang. Apakah aku menemukannya, atau sebaliknya? Apakah dia membuntutiku?

Kali ini aku seratus persen waras. Matahari terang benderang. Ini sungguhan. Dia sama nyatanya dengan aku-bisa dibilang begitu. Dan dia tak sampai tiga puluh meter dariku.

Lama kami berpandangan tanpa suara. Mata hijaunya yang sangat bening menatapku. Bagian yang berwarna hijau dikelilingi warna kuning. Matanya tidak menampakkan rasa takut, namun bahasa tubuhnya waspada.

"Hai," sapaku lembut. "Jangan pergi ya. Kumohon." Kulihat tatapannya turun sedikit ke tanganku.

Aku masih mencengkeram jebakan binatang tadi. Gigi-gigi dan rahang metal menyeramkan yang dihubungkan dengan rantai berkarat. Alat itu kelihatan mengerikan, haus darah.

Tiba-tiba gadis itu tampak ketakutan, sangat ketakutan. Dia berbalik, dan buru-buru menjauh.

"Bukan punyaku kok," aku berseru padanya. "Tunggu. Kumohon."

Kujatuhkan jebakan sialan itu dan bergegas keluar dari selokan untuk mengejarnya. Dia bergerak cepat sekali. Aku melihat kilatan putih jauh di depanku.

Dari mana asalnya? Semacam cacat bawaan tak masuk akal di pegunungan ini? Suatu eksperimen? Kesalahan bisa saja terjadi. Tanah seolah menentangku ketika aku memanjat. Serpihan-serpihan tanah berlepasan dan jatuh ke dalam selokan. Kularang diriku lari. Dia bisa-bisa mengira aku memburunya. Tapi aku ternyata lari juga. Aku tidak mau kehilangan jejaknya.

"Aku takkan menyakitimu," teriakku. "Aku dokter, dokter hewan." Aku terkejut ketika melihat gadis itu malah berlari makin kencang. Mengapa? Karena tadi kukatakan aku dokter? Kubuntuti dia secepat yang bisa kulakukan di hutan yang lebat ini, tapi aku segera sadar telah kehilangan dia.

Aku merasa mual, kalah total. Aku punya dua kesempatan besar untuk melakukan kontak, dan aku gagal memanfaatkannya. Bagaimana jika aku tidak pernah melihatnya lagi? Apakah ada orang lain yang pernah melihatnya juga di sekitar sini?

Lalu aku mendengar bunyi keras ranting patah.

Datangnya tepat dari atasku. Aku mendongak.

Gadis itu berdiri di dahan besar pohon ek tinggi. Aku yakin usia anak itu tidak lebih dari sebelas atau dua belas tahun. Dia mengawasiku lagi. Apakah dia memilihku karena alasan tertentu? Dan, mengapa aku? Aku teringat terus pada David, entah kenapa. Hubungan apa yang mungkin ada antara David dan anak perempuan ini?

"Kumohon. Jangan lari. Aku tidak akan menyakitimu. Jebakan binatang itu bukan milikku- aku tadi menyingkirkannya. Aku juga membencinya.

Namaku Frannie. Siapa namamu?"

Dia tidak menjawab dan aku bertanya-tanya dalam hati apakah dia bisa bicara, atau bagaimana dia bicara. Gadis itu membentangkan sayapnya yang menakjubkan; sayap itu seperti sayap elang, atau mungkin sayap malaikat.

Tiba-tiba dia melompat dari dahan tinggi itu. Luar biasa. Dia tampak seperti atlet loncat indah, yang terhebat yang pernah kulihat, atau yang akan pernah kulihat.

Lalu persis di depan mataku, dia terbang.

Dia benar-benar terbang bagai burung. Tidak, dia terbang sebagaimana mestinya anak perempuan terbang, jika manusia memang ditakdirkan

dapat terbang. Dia melesat membelah udara Dan itu mengubah hidupku untuk selamanya.

BAB 26

Matthew, bocah berusia sembilan tahun itu, tidak bisa menghentikan tubuhnya yang gemetaran seperti boneka Slinky di tangga batu yang dingin dan curam, yang menuju penjara bawah tanah. Dia tidak bisa berhenti gemetar sejak dia dan Max meninggalkan Sekolah dan mereka berpisah demi keselamatan.

Matthew, belok kanan.

Matthew, belok kiri.

Ini peluang terbaik kita. Ayo, ayo!

Kita bertemu lagi suatu hari nanti.

Tapi dia ragu apakah akan pernah bertemu kakaknya itu lagi. Matthew tak bisa membayangkan tidak bertemu Max, dan dia nyaris tidak sanggup bertahan karena sudah dua hari penuh tidak melihatnya. Sebelum ini tak pernah mereka berpisah lebih dari beberapa jam. Di Sekolah mereka dihukum dengan jalan dipisahkan, dan keduanya samasama menganggap itu sangat menyiksa. Paman Thomas tahu itu. Dasar pengkhianat. Dia pura-pura jadi teman mereka, namun dia juga yang sekarang memburu mereka. Dialah yang akan menidurkan mereka. Matthew harus mengalihkan pikirannya ke masalah lain untuk saat ini. Dia tidak boleh berbaring di tempat persembunyian yang gelap dan kotor ini sambil terus memikirkan Max yang hilang. Masalahnya, gawatnya, tidak ada hal lain dari masa lalunya yang dirindukannya. Oh, mungkin TV di ruang rekreasi, tapi itu pun tidak terlalu dirindukannya

kok. Barangkali makanan tidak enak di Sekolah, tapi itu hanya karena dia sangat lapar sekarang. Mungkin Mrs. Beattie, tapi wanita itu sudah meninggal. Mungkin dibunuh.

Dia berusaha menceritakan lelucon pada dirinya sendiri, teka-teki konyol: Bagaimana orang tolol bisa memperoleh uangnya? Dia tidak tertawa. Hari ini tidak bisa, dia tengah berada di tempat gelap dan dingin, wajahnya menempel di tanah.

Dia dan Max telah berjanji akan bertemu lagi di suatu tempat, entah bagaimana caranya, dan itulah yang mengobarkan semangatnya. Waduh, dia sangat merindukan senyum Max. Dia bahkan kangen pada kecerewetan Max yang tidak pernah berhenti.

Matthew memiringkan kepala dan mendengarkan dengan cermat. Dia mendengar suara di dekatnya, di permukaan tanah. Desir dedaunan?

Langkah kaki?

Cuma angin mendesau di antara pohon-pohon. Tidak ada yang lain. Dia mengembuskan napas lega. Lalu, "Matthew si Hebat? Keluarlah, Nak. Keluarlah dari sana. Aku tahu kau di dekat-dekat sini. Aku sudah

melihat jejakmu. Apakah kakakmu yang manis bersamamu?"

Itu Paman Thomas, dan sekarang Matthew mulai benar-benar gemetar. Dia merasa perutnya mulas dan dia tidak bisa bernapas dengan baik. Dia yakin akan mati karena serangan jantung meskipun baru berusia sembilan tahun.

"Sejak dulu kau anak yang baik. Kita sama-sama mengetahuinya, Nak.

Keluarlah sendiri, aku takkan memarahimu. Sumpah kelingking." Dia memang anak yang baik, penurut. Matthew tahu itu. Dia kesal mendengar Paman Thomas tadi mengatakan "sumpah kelingking". Itu istilah di antara Max dan dirinya sendiri, orang lain tidak boleh menggunakannya. Mereka saling mengaitkan kelingking dan berjanji pada satu sama lain, "bersumpah kelingking". Hanya Max dan dia. Tapi sekarang tamat sudah riwayatnya. Tidak ada jalan keluar. Bocah itu berdiri dengan kaki goyah. Man, sekujur tubuhnya gemetar: kaki, lengan,

otot-otot wajah, bahkan pantatnya pun gemetar. Dia juga kotor, sangat bau. Matthew jadi malu.

Dia mengintip keluar dari tempat persembunyian.

Itu Paman Thomas. Bersama antek-anteknya. Man, dia ingin sekali mempercayai mereka. Dia bahkan agak ingin pulang.

"Ah, di sana kau rupanya, Matthew. Di sana kau rupanya," kata Paman Thomas. Omongannya lumayan ramah, kedengaran seperti teman.

Paman Thomas memandangi bocah berambut pirang yang menakjubkan itu pelan-pelan maju. Matthew menarik, persis kakaknya. Sayapnya putih kusam, dengan warna perak dan biru laut di sana-sini. Spesimen luar biasa.

Matthew suka sekali menceritakan lelucon, bahkan saat ini pun. Dia bercanda kalau sedang gugup atau ketakutan. "Jika kau menembak pemain pantomim," katanya, "apakah kau mesti memakai peredam? Haha-ha-ha."

Paman Thomas menembak sekali. Tidak perlu peredam. Matthew, si anak manis, tersungkur keras ke tanah hutan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience