Prabu Brawijaya tiba-tiba menumpahkan minumannya ketika seorang abdi dalem kerajaan menghampirinya. Raut wajahnya seketika berubah menjadi pucat pasi dan keringat dingin bercucuran mendengar laporan dari abdi dalem tersebut. Jantungnya berdegup dengan kencang dan hatinya bertanya-tanya siapakah gerangan di luar sana yang menyebabkan para prajuritnya terluka.
“Siapa yang telah lancang menginjakkan kaki ke kerajaanku?” tanya Prabu kepada para abdi dalem kerajaan.
Dari kejauhan terdengar teriakan seorang pemuda dengan suara lantangnya, “Saya, Prabu!”
Seketika Prabu membangkitkan tubuh dari singgasananya kala tubuh berpawakan tinggi dan besar memasuki pendopo Kerajaan Majapahit. Para penghuni kerajaan pun menunduk gelisah memperhatikan langkah kaki pemuda yang semakin mendekat. Langkahnya terhenti beberapa meter tepat di depan Sang Prabu. Setelah terlihat dengan jelas pemuda dengan raut wajah bengis dan menyeramkan itu, Prabu justru menarik senyum di bibirnya. Suasana menegangkan pun sedikit mereda.
“Anakku. Ada apa gerangan Engkau mendadak mengunjungiku?” tanya Prabu dengan ekspresi mengernyit heran.
“Prabu, saya mengerti betul bahwa tindakan Prabu yang memiliki selir baru, kini semakin menyakiti hati ibunda. Saya ingin ibunda tinggal bersamaku!” pinta pemuda itu dengan tegas.
“Hahaha. Lelucon macam apa itu? Tidak bisa, Campa akan menemaniku di sini selamanya!”
“Saya sudah menyerang para prajurit Prabu. Jika Prabu tak memenuhi permintaanku, ini adalah pertanda bahwa bahaya akan mengancam Majapahit!” Pemuda itu dengan berani mengancam Prabu sembari beranjak pergi meninggalkan wilayah Kerajaan Majapahit.
“Tak tahu diri kau, Patah! Masih kurangkah pemberian kekuasaan di Demak dariku?” ucap Prabu Brawijaya penuh gejolak dalam hatinya meneriaki berlalunya Raden Patah, yang tidak lain dan tidak bukan adalah anak kandungnya sendiri.
Prabu Brawijaya dibuat gelisah setiap harinya semenjak peristiwa tersebut. Akhirnya, beliau meminta penasihat kerajaan untuk menafsirkan apa maksud ancaman tersebut. Si Penasihat hanya mampu menjelaskan bahwa akan terjadi masa di mana Majapahit kehilangan arah hingga porak-poranda. Rasa khawatir pun mulai menjalar ke seluruh tubuhnya dan menghantuinya setiap hari. Bahaya telah benar-benar mengancam Majapahit.
Kekhawatiran Prabu Brawijaya semakin bertambah ketika beliau tidak menemukan Ratu Campa di kamarnya. Yang tersisa hanyalah sepucuk surat berisi penjelasan bahwa Ratu Campa pergi ke luar wilayah kerajaan sementara waktu guna menenangkan diri dan memohon agar Prabu tidak mencarinya.
***
Sringg…
Suara gesekan pedang yang dingin nan tajam seakan siap menembus kulit siapapun yang menghalanginya telah mengagetkan Prabu Brawijaya yang tidak pernah bisa hidup dengan tenang memikirkan nasib Majapahit dan keberadaan istrinya.
Seketika angin berembus dengan kencang, dari kejauhan terdengar derap langkah kuda saling bersahutan dengan kecepatan penuh. Wajah garang para ksatria terlihat jelas menampakkan aura ingin segera menghabisi musuhnya untuk merebutkan limpahan kejayaan.
“Prabu, saya mohon keluarlah! Hari ini telah tiba saatnya. Karena Engkau tak mau menyerahkan ibunda kepadaku, terimalah balasannya,” seru Raden Patah dari luar gerbang kerajaan. Sorot matanya tajam penuh dengan kebencian. Kehadirannya telah mengusik ketenangan seisi Kerajaan Majapahit.
Sang Prabu menapakkan kakinya menuju sumber suara sembari berusaha mengontrol keresahan dalam hatinya. Meskipun telah puluhan kali bahaya mengancam Majapahit, ancaman kali ini dianggapnya paling mengerikan karena terjadi akibat kesalahannya dan dilakukan oleh anak kandungnya.
“Patah, tenangkan dirimu. Mari kita selesaikan hal ini secara kekeluargaan.”
“Tidak bisa! Ibunda sudah merasakan rasa sakit bertubi-tubi, saya tidak bisa menerima kenyataan seperti itu lagi.”
Prabu menghela napas sejenak, “Anakku, asal engkau tahu, saat ini Campa tak ada bersamaku, bahkan aku pun tak tahu di mana dia berada.”
“Apa maksud perkataanmu, Prabu? Kemarin Engkau berkata tidak akan menyerahkan ibunda. Lantas, sekarang Engkau justru berkata bahwa ibunda tak bersamamu. Apa Engkau benar-benar ingin mempermainkanku?” Kemarahan Patah semakin membara. Hal itu membuat debar jantung Prabu kian mengencang.
Tiba-tiba serangan dadakan dilontarkan pasukan Raden Patah. Momentum itu membuat gairah kedua pasukan memuncak. Bagai sebuah lonceng kematian, gemuruh suara pedang dan pukulan mulai terdengar. Aura sekitar kerajaan berubah menjadi menyeramkan, para insan Tuhan saling menumpas tanpa ampun, burung berwarna hitam beterbangan di atas langit kelabu.
Di tengah keramaian peperangan, tampak menonjol adu kekuatan antara Raden Patah dan Prabu Brawijaya, dua manusia yang saling terikat darah. Keduanya sama sekali tak terlihat saling berkeluarga, hawa nafsu dan kebencian telah membutakan hati dan pikiran mereka.
Keletihan dan kewalahan setiap saat terus terlihat dalam diri pasukan Prabu Brawijaya. Hingga pada akhirnya, tersisalah beliau dan beberapa pengikut setianya menjadi harapan terakhir untuk mempertahankan Majapahit. Namun, harapan seakan tak ada lagi, dengan langkah kaki pincang dan tubuh berpeluh serta berlumuran darah, larilah mereka meninggalkan Majapahit. Raden Patah masih tidak berputus asa dan terus mengejarnya meskipun pada akhirnya Patah kehilangan jejak.
***
Dalam pelariannya, Prabu Brawijaya dan para pengikutnya merasa aman ketika berada di sebuah bukit kecil dengan jalan yang terjal di sekitar wilayah bernama Banyubiru. Prabu merasakan sesak mendalam dalam hatinya. Beliau merasa gagal menjalankan kehidupannya sebagai pemimpin sekaligus seorang ayah. Melihat tuannya gundah gulana, para utusannya memutuskan untuk membuat sebuah candi sebagai tempat singgah dan tempat beribadat.
Prabu jatuh bersimpuh pada lantai candi yang telah selesai dibuat. Hatinya yang semula beku, seketika luluh setelah tangannya menengadah memohon kepada Yang Maha Kuasa. Gumpalan air mata sudah tak terbendung dan mulai menetes membasahi pipinya.
“Tuhan, Hamba memohon ampun dan petunjuk kepada-Mu.” suara Prabu terdengar lirih menggetarkan hati. Para pengikutnya pun ikut terbawa suasana.
Kerajaan yang membesarkan Prabu telah runtuh. Prabu sudah kehilangan tujuan, beliau tidak mengerti untuk apa lagi kehidupannya saat ini.
***
Setelah beberapa waktu, Prabu merasa mendapat sebuah ilham, yaitu jawaban atas doanya lewat sebuah mimpi. Namun, mimpi tersebut masih rancu maknanya. Berbulan-bulan lamanya Prabu Brawijaya melakukan refleksi diri, lahirlah sebuah kejelasan mimpi tersebut. Prabu pun dapat menafsirkan akar dari permasalahan yang terjadi yakni karena beliau tidak merasa pantas mengenakan mahkota dan kemegahan busana.
“Mohon maaf, Prabu, sekiranya ucapan Hamba tidak berkenan di hati maka maafkanlah Hamba. Hamba memiliki usulan untuk mengganti busana kemegahan dan mahkota yang dikenakan Prabu dengan busana lurik dan ikat kepala. Seorang pemimpin tidaklah harus mengenakan busana yang mewah, tetapi setidaknya mampu menunjukkan eksistensi kepada kehidupan tradisional.” Sebuah saran telah lahir dari buah pemikiran seorang penasihat kerajaan.
Sang Prabu menyetujuinya, “Baiklah, mulai sekarang akan kuminta seluruh keluargaku untuk mengganti busana megahnya. Sejak saat ini juga kerajaan akan ku kosongkan dan berpindah sementara ke candi tempat kita singgah ini.”
Nama Prabu Brawijaya pun berganti menjadi Ki Ageng Kaca Negara. Wilayah Kerajaan Majapahit berpindah sementara ke Banyubiru, buah maja yang pahit harus dimakan untuk memperbaiki tatanan kehidupan. Hal tersebut menjadi sebuah proses ‘pengruwatan’ yaitu menangkal atau melepaskan kekuatan buruk yang memengaruhi kehidupan seseorang akibat ciri-ciri tertentu yang dimilikinya.
***
Ratu Campa keluar dari persembunyiannya selama ini karena mendengar berita pertikaian Majapahit dan Demak. Hatinya tersontak kaget mengetahui suami dan anaknya terlibat dalam pertikaian yang berakibat besar. Dalam perjalanannya kembali, Ratu Campa bertemu dengan seorang pengikut Prabu Brawijaya dan memintanya untuk dipertemukan dengan Sang Prabu.
Sesosok wanita berparas rupawan dengan perawakan tinggi semampai tiba-tiba datang mengagetkan Prabu yang sedang menyesalkan nasib hidupnya.
“Campa. Maafkan aku.”
Seorang raja yang berwibawa dan gagah itu seketika nampak rapuh tak berdaya ketika berada dihadapan istrinya.
“Sebelum Prabu memohon maaf, saya sudah memaafkan Engkau, Prabu. Apa yang telah terjadi sampai Engkau berada di sini?”
Akhirnya, Prabu menceritakan apa yang telah terjadi. Mendengar saksi lengkap dari Prabu, Ratu Campa seketika terdiam seperti menyadari sesuatu.
“Prabu, sebenarnya saa…yaa.” suaranya tercekat, mengisyaratkan sebuah kegelisahan. Prabu menatapnya heran penuh rasa penasaran.
“Saya pernah mendapat sebuah mimpi yang mungkin berkaitan dengan penyelesaian masalah ini. Dalam mimpi tersebut, Prabu berada dalam perjalanan menuju Gunung Lawu. Menurut riwayat, mimpi itu adalah sebuah isyarat perjalanan suci.”
Prabu menganggukkan kepala seakan memahami arti mimpi Ratu Campa tersebut. Keesokan harinya, atas restu dari Ratu Campa dan usulan para brahmana, pergilah Prabu menapak tilas jejak Sang Prabu Airlangga ke Gunung Lawu. Dalam pandangan raja-raja terdahulunya, Gunung Lawu merupakan tempat yang memiliki energi positif. Sesampainya di sana Sang Prabu Brawijaya atau Ki Ageng Kaca Negara melakukan pengasingan diri dan pada akhirnya melakukan ‘moksa’ yang berarti melepaskan atau membebaskan diri dari ikatan duniawi.
Sebelum pergi, Prabu telah berpesan kepada para keluarga kerajaan untuk menjaga candi tempat selama ini mereka tinggal. Baginya, candi tersebut sangat bermakna karena menjadi saksi bisu beliau memperbaiki kehidupannya. Candi itu pun kini dikenal dengan nama Candi Brawijaya. Namun, masyarakat lebih akrab dengan nama Candi Dukuh sesuai nama dusun tempat candi itu berada yakni di Dusun Candi Dukuh, Desa Rowoboni, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Pemandangan menakjubkan termasuk Rawa Pening dapat terlihat dari candi yang berada di bukit kecil itu.
Share this novel