Asal Mula Sungai Serayu

Mythic Series 915

Alkisah, di Jawa Tengah terdapat sebuah sungai yang mengalir dari hulu Pegunungan Dieng hingga bermuara di Laut Selatan yang letaknya tidak jauh dari Gunung Srandil tepatnya Bedhahan Winong.
Konon, dahulu di wilayah itu ada sebuah
kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Dewanata. Prabu Dewanata memimpin dengan sangat arif dan bijaksana. Ia memiliki dua orang istri. Salah satu istrinya bernama Dewi Kunthi.
Pernikahan sang prabu dengan Dewi Kunthi Nalibrata menghasilkan lima orang putra yang
sering disebut dengan Pandawa Lima.
Salah satu putra sang Prabu dari pernikahan tersebut adalah Bima atau lebih dikenal dengan nama Werkudara.
Bima adalah seorang senopati penegak Pandawa, bersifat jujur, gagah berani, berkemauan keras, tidak mudah ditundukkan. Bima juga dikenal memiliki tekad yang keras, jika ia memiliki keinginan harus tercapai. Tidak seorang pun dapat mengurungkan niatnya. Jiwa dan hatinya telah menyatu dengan watak dan sifatnya yang tegas. Ia dikenal dengan semboyan
“Rawe-rawe rantas, malang-malang putung” yang berarti ‘tidak gentar dengan apa pun, semua penghalang akan dimusnahkan’Suatu ketika Pandawa Lima mendapat perintah dari sang ayah, yakni membangun sebuah candi yang akan digunakan sebagai tempat pemujaan di dataran tinggi Dieng.
Kelima saudara yang terdiri atas si sulung Puntadewa, Bima si kuat dan tegas, si tengah gagah perkasa Arjuna, serta si kembar Nakula dan Sadewa memiliki tekad baja untuk melaksakan titah ayahanda mereka tersebut.
Mereka melakukan perjalanan yang sangat jauh melewati daerah yang tidak mudah, terjal, licin, dan hutan belantara yang belum terjamah
manusia. Namun, sudah menjadi tekad Pandawa sehingga hal ini bukanlah suatu halangan bagi mereka. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Bima berkata, “Wahai saudara- saudaraku, mohon berhentilah sejenak. Aku sudah tidak tahan,” kata
Bima dengan muka gugup seperti menahan sesuatu.
Saudara Bima yang lain terlihat kebingungan.
“Tidak tahan mengapa, Adik Bima?” tanya Puntadewa menanyai dengan suaranya yang lembut berwibawa.
“Kakang Bima, ada apa? Kau baik-baik saja kan?” tanya Arjuna
menghampiri saudaranya yang berbadan tegap dan tinggi tersebut.
“Ssstt...! Tenanglah saudara-saudaraku. Aku baik-baik saja,” balas
Bima dengan memberi isyarat pada saudara-saudaranya. Nakula dan Sadewa yang juga bingung hanya saling bertatapan tidak tahu harus berkata apa. Bima tersenyum kecut dan mengangkat tangannya sebagai tanda isyarat.
Bima segera menghambur ke arah semak-semak dan berdiri di balik pohon. Tidak lama kemudian terdengar suaranya dari balik pohon tersebut.
“Aaahh, lega rasanya. Saudara-saudaraku, mari kita lanjutkan perjalanan,” kata Bima dengan senyum lebar. Saudara-saudara Bima hanya tersenyum melihat kelakuan Bima tersebut.
Konon, air seni Bima tersebut menjelma menjadi aliran sungai yang cukup deras alirannya.
Tidak berapa lama berjalan tibalah mereka di sebuah desa. Namun anehnya, suasana di desa tersebut sangat mencekam. Seluruh penduduknya tidak ada yang berani keluar rumah. Semua rumah penduduk tertutup rapat.
Tidak terlihat aktivitas layaknya sebuah
kehidupan desa yang tenteram. Pandawa heran dan penasaran dengan apa yang terjadi di desa yang belum mereka ketahui namanya
tersebut.
“Apa gerangan yang terjadi?” Puntadewa atau Yudistira membuyarkan keheningan.
“Kita coba mencari tahu saja dari penduduk, Kakang!” sergah Arjuna.
“Tetapi, tidak ada satu pun pintu rumah penduduk yang terbuka.
Kita hendak bertanya pada siapa, Adi?” lanjut Puntadewa gusar.
Mereka berlima terus berjalan menyusuri lorong desa yang sepi senyap itu.
Mereka merasakan aroma anyir di mana-mana. Setelah beberapa lama mereka dihinggapi rasa penasaran dan gusar, sampailah mereka di sebuah gubuk yang pintunya terbuka sedikit. Dengan hati-hati Puntadewa selaku pemimpin Pandawa mengucapkan salam di depan pintu gubuk tersebut.
“Sampurasun, apakah ada orang di dalam?” tanyanya sopan dan lembut. Tidak ada jawaban dari gubuk tersebut. Puntadewa pun mengulangi salamnya. Bima yang sedari masuk wilayah tersebut sudah penasaran merasa sangat tidak sabar. Ia hendak masuk ke dalam gubuk untuk mencari tahu apakah ada penduduk yang da-
pat memberikan keterangan tentang keadaan desa yang sangat mencekam tersebut.
Ketidaksabaran Bima tersebut segera dicegah oleh
Puntadewa dan Arjuna.
“Sabarlah, Adik Bima. Ayahanda dan Ibunda mendidik kita untuk
tahu adab sopan santun. Bukan begitu caranya bertamu. Aku mohon
jagalah sikapmu!” cegah Puntadewa dengan penuh kewibawaan.
“Iya, Kakang Bima. Kita coba mengucap salam dahulu. Siapa tahu
penghuni gubuk ini tidak mendengar,” tukas Arjuna dengan senyum
mengembang menenangkan sang kakak yang tampak sudah tidak
sabar tersebut. Sementara itu, Nakula dan Sadewa hanya berdiri
santun. Puntadewa mengulangi lagi salamnya untuk kali ketiga.
Tidak berapa lama muncullah seorang lelaki renta dari arah belakang
gubuk tersebut.
“Ada apa, Ki Sanak? Siapa kalian? Apakah kalian utusan Bakasura?”
tanya lelaki itu dengan wajah ketakutan.“Tenang, Ki. Kami datang dengan maksud yang baik. Perkenalkan,
kami Pandawa. Putra Prabu Dewanata. Saya Puntadewa, mereka ini
adik saya Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa,” jawab Puntadewa de-
ngan tenang sembari memperkenalkan diri pada penghuni gubuk
tersebut.
“Mau apa kalian datang ke desa ini? Desa ini hampir mati, Anak
Muda. Bakasura menghabisi hampir seluruh penduduk desa. Ia sa-
ngat tamak dan tidak berperikemanusiaan. Bahkan, kemarin ia su-
dah memakan kepala desa kami. Pergilah kalian, pergilah sebelum
Bakasuran memangsa kalian juga!” jelas lelaki tua tersebut.
“Aki, mohon maaf. Bolehkah saya tahu siapa Bakasura itu? Me-
ngapa ia memangsa seluruh penduduk desa? Apa yang se be narnya
terjadi, Ki?” cecar Arjuna didorong oleh rasa penasaran yang teramat
sangat.
“Anak Muda, masuklah dahulu ke gubukku. Aku khawatir Ba-
kasura datang dan tiba-tiba menyergap kita semua di sini,” ajak lelaki
tua tersebut mempersilakan para tamunya masuk ke gubuknya.
“Terima kasih, Ki. Ayo adik-adikku, kita masuk!” ajak Puntadewa
kepada adik-adiknya.
Lelaki tua itu menggelar sebuah tikar lusuh dan mempersilakan
para tamunya duduk di atasnya. Ia menghidangkan sebuah kendi
ber isi air dan sepiring makanan kepada para tamunya tersebut.
“Anak Muda, silakan dinikmati. Mohon maaf, saya hanya memiliki
makanan itu. Maklumlah, sudah hampir setengah bulan saya tidak
bekerja karena takut termangsa oleh Bakasura,” terang sang lelaki tua
dengan wajah sendu penuh kegundahan.
“Terima kasih, Ki. ini sudah lebih dari cukup. Keramahan dan
penerimaan Aki sudah sangat menyamankan kami,” jawab Punta-
dewa dengan senyuman khasnya yang penuh kharisma.
“Mohon maaf, Aki. Sebenarnya siapakah Bakasura itu?” tanya
Arjuna sudah mulai tidak sabar.
“Anak Muda, Bakasura adalah sosok raksasa penguasa Hutan
Kalimalang. Ia sangat kejam dan tamak,” jawab lelaki tua itu mulai
menjelaskan.
“Lalu, mengapa ia memangsa seluruh penduduk desa ini, Ki?
Apakah ada perselisihan antara penduduk desa dengan Bakasura?”
tanya Bima dengan mengernyitkan dahinya tanda keingintahuan
yang tinggi.
“Sebenarnya ini adalah sebuah kesalahpahaman, Anak Muda.
Tepat satu purnama yang lalu, penduduk desa ini merayakan merti
desa. Suasana pesta begitu gempita karena banyak atraksi dan per-
sembahan yang kami lakukan untuk memuja dewata. Namun, kami
melupakan satu hal. Kami tidak memberikan persembahan berupa
lembu betina kepada Bakasura. Kealpaan kami ini membuatnya
marah dan akhirnya ia bersumpah hendak menghabisi kami semua
satu per satu,” beber sang lelaki tua dengan menunduk.
“Lalu, mengapa kalian tidak lari atau keluar meninggalkan desa
ini? Mengapa kalian masih di sini menunggu giliran untuk di-
mangsa?” cecar Bima dengan nada geram.
“Sabar, adikku. Biarkan Aki ini menjelaskan dengan tenang agar
kita tahu duduk persoalan yang terjadi di desa ini!” sergah Puntadewa
menepuk pundak sang adik yang tampak tidak sabar.
“Bakasura bukanlah raksasa sembarangan, Anak Muda! Ia me-
miliki kesaktian yang luar biasa. Ia memagari desa ini dengan ke-
kuatannya. Siapa saja yang berani melanggar batas gaib yang ia pa-
sang akan mati secara mengenaskan. Kami tidak punya pilihan, Anak
Muda!” terang lelaki tua itu dengan terbata-bata menahan isak yang
mulai menjalar.
“Istri dan kedua anakku sudah menjadi korban pagar gaib itu.
Mereka terbakar dan terlilit ular api. Entah, bagaimana nasib kami
yang tersisa di sini?” tangis sang lelaki mulai pecah mengingat ke-
luarganya yang telah menjadi korban dari kemarahan Bakasura sang
raksasa tamak.
“Aki, kami turut prihatin dengan kejadian yang menimpa ke-
luargamu dan seluruh penduduk desa ini. Namun, aku yakin pasti
ada cara untuk menghentikan kekejaman Bakasura, Ki. Kami mohon
Aki tidak putus asa dengan pertolongan dari Sang Hyang Widi Wasa,”
tukas Arjuna dengan tersenyum yang tersungging terlihat sangat
tampan dan memesona.
Ketika sedang berbincang-bincang, tiba-tiba terdengar suara
dentuman semacam langkah kaki besar yang mengguncangkan
bumi. Sang lelaki tua spontan berteriak dan menghambur di bawah
kolong dipan.
“Ayo Anak Muda, sembunyi. Itu Bakasura. Ia pasti akan memangsa
kitaaa... Lekas sembunyiiii...,” teriak lelaki tua mencoba memperingati
Pandawa akan kedatangan Bakasura, raksasa tamak yang sedang
diceritakan tersebut. Sesaat dentuman suara langkah kaki besar dan
goncangan terhenti lalu terdengar suara serak yang menggelegar se-
olah memecahkan gendang telinga manusia normal.
“Hahahahaha... Hai, penduduk Ekacakra, hari ini ada be rapa
gerobak makanan buatku?” tanya Bakasura dengan suara meng-
gelegar dan suara tertawa yang memekakkan telinga. “Daging siapa
lagi yang akan kalian persembahkan kepadaku? hahahahaha...,” lan-
jutnya sambil terus tertawa membahana.
Melihat kejadian itu para Pandawa menjadi geram. Mereka keluar
dari gubuk sang lelaki tua dan menghadapi sang raksasa yang tampak
sangat lapar. Bima segera maju turun tangan menghadapi hal tersebut.
Dengan suara lantang ia menantang sang raksasa yang tamak itu.
“Hai, Bakasura, hari ini ada segerobak makanan buatmu. Ma-
kanlah dagingku sebagai santapanmu!” tantang Bima tanpa sedikit
pun merasa jeri. Puntadewa dan saudara-saudara Bima yang lain
tersentak kaget mendengar tantangan Bima kepada Bakasura itu.
Namun, mereka tetap yakin Bima akan mampu mengalahkan raksasa
tersebut.
“Oohh, siapa kau?” bentak raksasa yang ternyata bermuka bu-
ruk itu.“ Beruntung sekali aku hari ini. Makanan begitu banyak dan
daging sebesar kamu, hahahaha,” tukasnya dengan tawa lebar mem-
bahana.
“Aku sudah tidak sabar lagi menyantap dagingmu yang pasti lezat
itu.”
Dengan membawa segerobak makanan bekal para Pandawa,
Bima memamerkan kepada Bakasura. Kemudian Bima menghampiri
Bakasura.
“Hai, Bakasura, mari makan... hahaha,” ledek Bima sambil me-
nyantap segerobak makanan bekalnya dengan lahap. Bakasura sangat
marah melihat kelakuan Bima. Ia naik darah, matanya melotot tajam,
giginya menggerutuk, tangannya mengepal geram.
“Kurang ajar, kau manusia hina, apa maksudmu?” geramnya
marah sembari menyerang Bima membabi buta. Pertarungan se-
ngit pun terjadi antara Bakasura dan Bima. Bima menangkis se-
rangan Bakasura dengan gesit. Ia juga mengayun-ayunkan gada sakti
rujakpala, pusaka andalannya untuk melawan Bakasura yang ber-
tubuh kuat itu.
Pertarungan sengit pun terjadi antara Bakasura dan Bima.
“Makhluk serakah kau, Bakasura! kau harus mati!” teriak Bima.
Dengan satu ayunan gada sakti itu tubuh Bakasura tersungkur
menghunjam bumi. Tubuhnya yang besar itu hancur berkeping-
keping. Kemenangan Bima ini tidak mengherankan para Pandawa
yang lain. Mereka sangat mengenal kepiawaian Bima dalam hal
menggunakan pusaka tersebut. Setelah itu keajaiban terjadi. Suasana
yang tadinya redup mencekam berangsur menjadi terang dan cerah.
Rupanya pengaruh kekuatan pagar ghaib yang ditanam Bakasura
mulai sirna.
Singkat cerita, semenjak itu penduduk Desa Ekacakara pun kem-
bali hidup tenang dan tenteram. Keluarga Pandawa pun melanjutkan
perjalanan melewati aliran sungai yang merupakan jelmaan dari
air seni Bima. Akhirnya, sampailah mereka di suatu tempat. Di
tempat tersebut tinggallah beberapa penduduk. Keseharian mereka
memanfaatkan air sungai untuk mencuci, mencuci beras, mandi, dan
lain-lain.
Pada suatu hari, ada seorang gadis jelita penduduk desa tersebut
sedang mencuci di sungai itu. Konon, namanya adalah Dewi Drupadi.
Ia tampak sudah selesai mencuci baju di sungai itu. Cucian yang
sudah bersih diletakkan di pinggir sungai, sedangkan Dewi Drupadi
kembali ke sungai untuk mandi. Ia mandi dengan sangat asyiknya.
Ia berenang ke sana kemari menikmati kesejukan air dan keindahan
pemandangan sambil sesekali bermain riak air sungai. Suara ketipak
air yang dimainkan sang dewi itu clung plak clung clung clung plak
clung clung clung plak clung clung clung clung... .
Dari kejauhan Bima mendengar suara ketipak air tersebut. Se-
mentara, saudaranya yang lain beristirahat di bawah pohon yang
rindang. Bima mendengar harmonisasi suara indah yang diciptakan
ketipak tersebut bak alunan nada yang menawan. Bima mencari
sumber suara yang menggelitik indra pendengarannya tersebut.
Tidak sadar ia telah agak jauh meninggalkan keempat saudaranya
yang sedang beristirahat. Ia berjalan mengendap-endap mendekati
sumber suara, makin lama, makin dekat, dan makin jelas. Bima ter-
kesiap dan terpana dengan pemandangan di depannya. Tampak oleh-
nya sesosok gadis beraut menawan dan molek.
“Siapa gerangan perempuan yang cantik itu? Putri kayangankah?”
gumam Bima.
“Cantik sekali, anugerah Sang Dewata,” lanjutnya. Sesekali Bima
memukulkan tangan di kedua pipinya. “Apakah aku sedang ber-
mimpi?” tukasnya.
“Ah, tidak, ini nyata,” lanjutnya lagi. “Sira ayu tenan,” desisnya da-
lam kekaguman. Berkali-kali Bima mengucapkan kalimat itu sehingga
suaranya terdengar oleh sang dewi yang masih asyik bermain ketipak
air di sungai berair jernih itu.
“Siapa di sana? Siapa Ki Sanak? Siapa Ki Sanak?” tanya sang Dewi
mulai gusar dan berenang menjauh dari sosok Bima yang berjalan
mendekatinya.
“Jangan coba-coba mengganggu saya, beraninya Ki Sanak meng-
intip saya, pergi!” hardik Dewi Drupadi sambil terus berenang ke
tengah sungai.
“Jangan takut, Adinda. Perkenalkanlah, aku Bima!” teriak Bima
lantang berusaha mengejar sang Dewi yang terlihat begitu gugup dan
takut.
“Toloong... toloong,” teriak sang Dewi tidak menghiraukan te-
riakan Bima. Ia berteriak minta tolong sambil terus berenang ke
tengah sungai. Tiba-tiba saja tubuhnya tenggelam, rupanya tengah
sungai itu dalam sekali.
“Haapp... haappp, tooo... loong”, teriak sang Dewi yang mulai
tenggelam. Sayup-sayup suara minta tolong dari Dewi Drupadi
menghilang seiring tenggelamnya tubuhnya. Melihat kejadian itu
Bima segera menceburkan diri ke sungai mencoba menolong sang
Dewi yang tenggelam. Namun, usaha Bima gagal.
“Duhai, Adinda... di manakah engkau kini... sira ayu, sira ayu...,”
isak Bima menyesali perbuatannya. Ia terus menangis dan mende-
siskan kata sira ayu. Sejak saat itu masyarakat di sekitar sungai me-
namai sungai tersebut Serayu. Serayu berasal dari desisan kata Bima
sira ayu yang bermakna ‘kamu cantik’.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience