Bab 3 - Dia Lagi

Romance Series 264

Chika turun dari bus. "Mampus gue, mampus gue, mampus gue," gumam Chika sambil berlari. Terjang sana, terjang sini. Tak peduli sepadat apa jalanan di Jakarta pagi itu. Tiap detik waktu yang ia lewati, semakin mempercepat larinya.

Chika dapat melihat gerbang sekolahnya. Sialnya, pintu gerbang sudah ditutup, dijaga oleh Pak Kusman, guru olahraga yang menurut Dora paling killer di sekolah.

Bapak itu berdiri sambil melipat tangan di depan dada, bak Himura Kenshin yang siap menebaskan samurainya kepada siapapun yang mendekat!

"Gue bener-bener bakal mati," ucap Chika lirih.

Cewek itu mengubah tujuannya. Ia berlari ke samping sekolah. Tempat itu tidak dijaga siapapun, hanya tembok setinggi 2 meter yang memisahkan pekarangan sekolah dengan jalan raya. Dengan menggunakan tong sampah sebagai pijakan, Chika berusaha memanjat tembok itu.

Setelah usaha kerasnya, akhirnya ia berhasil mengangkat setengah tubuhnya ke atas tembok.

Namun, gerakannya terhenti ketika ia mendengar suara tawa kecil.  "Siapa di sana?" tanya Chika setengah berteriak. Chika mengangkat kepalanya. Tak jauh dari tempatnya, ia melihat seorang cowok super guanteng teng teng, sedang mengawasinya dengan kedua tangan terlipat, dan punggung yang disandarkan di pilar sekolah.

"Elo?" Kedua mata cewek itu membulat. Cowok itu, tak lain adalah cowok yang ia temui 2 hari lalu di gedung Timur. "Ngapain lo di sini?" tanya Chika spontan.

Cowok itu mengangkat kedua alisnya. "Lagi nonton topeng monyet," ejeknya.

"Sialan lo!" Melihat wajah Chika yang memerah, tawa cowok itu pecah.

Detik demi detik terlewati. Namun, cowok itu tak bergerak dengan kedua mata tak lepas dari Chika. Begitu pula Chika yang mematung sambil memandang cowok itu.

"Kenapa lo? Kok diem? Nggak dilanjutin?"

"Mmm... Lo nggak merasa... perlu ngebantuin gue?" tanya Chika hati-hati.

Cowok itu tersenyum geli. "Lo nyangkut? Nggak bisa turun?"

"Ketawanya tunda dulu, dong! Keburu pada dateng gurunya, nih. Kalo ketahuan, gue bisa dipasung!"

Lagi-lagi omong kosong Chika berhasil membuat cowok itu terbahak keras. "Sumpah, gue rasa gue bakalan gila kalo ngomong sama lo terlalu lama."

Cowok itu mendekati Chika. Ketika ia sudah berada tepat di bawah cewek itu, ia mengulurkan kedua tangannya.

"Apa?" tanya Chika bingung.

"Lompat!" perintah cowok itu tegas.

"Hah? Gue nggak minta lo nangkep gue, kok. Lo cuman butuh ambilin tangga bambu yang nyander di tembok itu," tunjuk Chika.

"Lo mau lompat, apa nggak?"

"Nggak mau! Lo kira ini adegan komik?"

"Oh, ya, udah" Cowok itu berbalik hendak meninggalkan Chika. "Eh eh eh, tunggu!" Melihat satu-satunya harapan pergi, cewek itu kalang kabut.

"Hmm...? Kenapa?"

Chika menggigit bibirnya. Ragu, tapi tak ada pilihan.

"Jangan jauh-jauh, dong! Gue nggak bisa lompat sejauh itu," ucapnya dengan nada kalah.

Sekelibas, cepat, dan tak disadari oleh Chika ketika ujung bibir cowok di hadapannya terangkat. Kemudian, cowok itu kembali berjalan mendekati Chika. Ia mengulurkan kedua tangan, menunggu cewek mungil keras kepala itu terjatuh ke pelukannya.

"Cepetan!" perintah cowok itu yang mulai kehilangan kesabarannya.

Chika menghela napas panjang. Ia menyingkap sedikit roknya untuk mempermudah geraknya. "Gue lompat sekarang, ya," ucapnya sebelum akhirnya ia benar-benar melompat.

"Woi, Yo!" Tiba-tiba seseorang memanggil cowok itu. Refleks kalo dipanggil, ya, nengok. Alhasil, Chika yang benar-benar sudah melompat, mendarat bukan di landasan yang sudah disiapkan.

"Aduh, sialan lo! Katanya mau nangkep gue!" gerutu Chika sambil meringis kesakitan.

Setengah mati cowok itu menahan senyum. Kemudian, ia berjongkok menyamai tingginya dengan Chika. "Sorry. Gue ke-disturb sama si Aldo tadi."

"Untung gue jatoh cuman dari tembok 2 meter. Kalo gue jatoh dari gedung setinggi 100 meter gara-gara lo nggak nangkep gue, gue hantuin lo sampe ke akhirat."

Cowok itu terkekeh geli mendengar ocehan cewek di depannya yang sepertinya lupa, kalau ia akan tetap mati sekalipun cowok itu menangkapnya, jika ia melompat dari ketinggian 100 meter.

"Ngapain lo di sini?" ucap Aldo yang kini berdiri di sebelah cowok itu.

"Lagi refreshing. Abis ini, kan, Pak Tikno 3 jam. Bisa gila rumus matematika gue"

"Siapa dia? Cewek lo?" tanya Aldo sambil melirik Chika.

Cowok itu mengibaskan tangan. "Nope. Anak baru. Kelas X."

Seketika Aldo bersiul nyaring. "Oh... Kelas X... Gue heran, kelas X jaman sekarang cakep-cakep banget! Si Pak Budi nambahin syarat buat masuk sekolah ini, ya? Bukan cuman otak, tampang juga dinilai gue rasa."

Tubuh Chika bergetar. Ujung jarinya mendingin. Cowok yang bernama Aldo mendekatinya dengan raut wajah menyeramkan di mata Chika. Erat-erat ia cengkram roknya, penuh harap muncul pahlawan bertopeng yang datang menyelamatkannya.

Dan...

Terkabulah!

Tiba-tiba cowok tampan misterius itu menangkap pergelangan tangan Aldo hingga langkah Aldo terhenti.

"Bukan wilayah lo, Do!" ucap cowok itu dengan tatapannya yang dingin. Tatapan yang dapat membuat Chika mengepalkan tangan kuat karena tekanan yang ia rasakan.

"Sorry, Man. Bukan maksud gue," ucap Aldo sambil membentuk lambang peace.

"Balik kelas sana! Entar gue nyusul."

"Oke, Bos!" Aldo berjalan pergi meninggalkan mereka. Setelah Aldo hilang dari pandangan, cowok itu mengalihkan perhatian kepada Chika. "Bisa jalan?" tanyanya sambil melihat kaki Chika yang memerah dan bengkak.

"Bisa, bisa. Jangankan jalan, gue bahkan masih bisa sprint," jawab cewek itu cepat. Karena kejadian tadi, ia sedikit takut dengan cowok ini.

Dengan susah payah, Chika bangkit berdiri. Kemudian, ia berjalan sambil menyeret kakinya yang sakit. Sebisa mungkin ia menahan agar rintihan tidak keluar dari mulutnya. Sebisa mungkin pula ia tidak menoleh ke arah cowok yang ia yakini sedang memperhatikannya dari belakang. "Apaan, nih?"

Namun, pertanyaan cowok itu refleks membuat Chika menoleh. Kedua matanya membulat. Terutama melihat apa yang sedang berada di tangan cowok itu.

"Cerita bergambar?" Cowok itu mengangkat alisnya sambil membalik halaman-halaman kertas HVS yang sudah terkliping dengan rapi.

"Heh! Jangan liat sembarangan!" Secepat yang ia bisa, Chika meluncur ke arah cowok itu. Ia berusaha merebut klipingannya. Namun, diangkat tinggi-tinggi hingga tidak bisa ia gapai. "Itu punya gue! Balikin!"

"Lo ngegambar cerita?" tanya cowok itu dengan ekspresi terkesima bak seorang bocah yang menemukan mainan baru.

"Bukan urusan lo! Balikin!" bentak Chika judes dengan muka merah menahan malu. Secepat kila, ia rebut klipingan tersebut. Kemudian, didekapnya erat-erat.

Cowok itu menggeleng pelan sambil tersenyum geli. "Gue ngerti sekarang kenapa imajinasi lo overdosis."

"Diem lo!" bentaknya dengan wajah memerah. Sialnya, tawa cowok itu malah makin keras.

Chika mendengus kesal. Kemudian, ia berbalik, berjalan tertatih-tatih.

Tiba-tiba Chika merasa kakinya tidak menapak. Wajah cewek itu seketika memucat. Apalagi setelah ia sadar cowok menyebalkan itu yang telah mengangkatnya bak tuan puteri di dongeng-dongeng.

Chika menjerit. Ia memberontak. Terpaksa cowok itu menurunkan Chika. Dibekapnya mulut cewek yang nyaring itu dengan tangan kanannya. "Diem! Reaksi lo kayak mau diapain aja sama gue."

Chika menarik tangan cowok itu menjauhi mulutnya. Dengan tatapan kesal bercampur takut, ia menatap kedua manik hitam tajam milik cowok itu. "Emang gitu, kan? Gue sering liat adegan kayak gini di anime atau komik. Cowok yang suka meluk cewek sembarangan pasti ada maunya."

Cowok itu mendengus. Ia melipat tangannya sambil mengangkat kedua alisnya. "Sorry, gue nggak level sama anak kecil."

"Gue bukan anak kecil!"

"Oh, ya?" ucapnya pura-pura kaget.

Chika pun mendelik kesal.

"Woi, Cewek Alien! Simpen dulu, deh, imajinasi lo. Gue cuman mau bantu lo doang. Lo mau nyampe kapan kalo jalan sambil nyeret kaki gitu?"

"Cewek alien?" ucapnya tidak percaya dengan pendengarannya.

"Buruan! 8 menit lagi doa pagi selesai. Pelajaran keburu mulai, nih," ucapnya yang mengabaikan protes Chika.

"Nggak! Gue jalan sendiri."

"Yakin? Seinget gue pagi ini anak kelas X ada upacara. Kira-kira lima belas menit-lah lo baru nyampe ke lapangan. Jam segitu ya... Bu Indah tuh lagi jaga di bawah pohon jambu. Kalo Pak Titus biasanya di samping pager. Lain lagi sama Pak Budi. Kalo dia, segala arah dipantau! Matanya kagak ada berhentinya nyari korban buat nemenin tiang bendera kebanggaannya."

Chika menggigit bibirnya. Telat di tengah pelajaran? Ya, itu masalah. Telat di tengah upacara? Waduh, itu, sih, bencana. Bisa-bisa ia harus lari keliling lapangan upacara yang seluas gelora bung karno sebanyak 5 kali sebelum menemani tiang bendera.

Tak ada pilihan, lagi-lagi ia mengalah. Ia naik ke punggung cowok itu dan melingkarkan lengan di lehernya. "Nah, dari tadi, dong," ucap cowok itu.

Chika menarik napas panjang. "Kenapa, sih, lo maksa banget pengen nganter gue?"

"Ini masalah harga diri. Mau taro dimana muka gue kalo orang tahu ngebiarin cewek yang kakinya bengkak gitu aja?"

"Udah? Cuman karena itu?"

Tidak ada jawaban yang terucap dari bibir cowok itu.

Chika menghela napas. "Oh, iya, kita belom kenalan, nih. Gue Chika. Chandrika Angela. Nama lo siapa? Lo kelas berapa?" tanya Chika berusaha mencari topik.

"Nama gue Rio. Gini-gini, gue kakak kelas lo."

"Oh, ya? Berarti gue-- eh, maksud gue, saya...."

Rio terkekeh. "Kagak usah pake 'saya'. Geli gue dengernya."

"Kakak kelas berapa? Kelas XI, ya?" tanya Chika lagi.

Rio tertawa kecil. "Yah... Kira-kira begitulah."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience