Bab 2 - Misteri Gedung Timur

Romance Series 264

Chika menghela napas panjang. Sudah lama ia tidak merasa se-nervous ini, seperti saat ia mengenalkan diri pada Tante Bunga untuk tinggal bersama.

Semua mata memandang Chika, ingin mengupas kepribadian murid baru yang sedang berdiri di depan kelas. "Hai, salam kenal. Gue Chandrika Angela. Panggil aja gue Chika," ucapnya sambil mengepal kuat.

Berbagai macam reaksi muncul dari teman-teman di kelas barunya. Beberapa cowok yang duduk di pojok belakang bersiul menggoda, diikuti oleh tawa keras karena sesuatu yang mereka anggap lucu. Beberapa yang lain menatapnya datar, tanpa ekspresi. Beberapa cenderung tak peduli dan lebih memilih nge-Date dengan buku cetaknya.

Namun, itu semua masih tak jadi masalah. Yang paling ngebuat Chika Nyes...  adalah tatapan yang diberikan segerombolan cewek di belakang dengan penampilan modis, yang Chika yakini sebagai sebuah komunitas rese, atau yang sering disebut Geng CEWEK. Tatapan tidak suka cenderung iri. Sebisa mungkin, cewek cantik itu menghindari tatapan mereka.

"Kamu boleh duduk, Chika." Cewek itu mengembuskan napas lega setelah mendengar perkataan Bu Ina, wali kelasnya di X-3.

"Baik, kita mulai pelajaran. Semuanya buka buku paket kalian halaman 56!" Bu Ina berbalik. Ia mulai memenuhi papan putih yang menempel di dinding kelas dengan pengetahuan biologinya.

"Psssttt! Woi!" Chika menoleh pada cewek teman sebangkunya. "Anak baru, nama lo Chika, kan?" Tidak perlu Chika jawab, cewek itu langsung melanjutkan bicara, "kenalin, gue Ayu Darmaya. Tapi, gue dipanggil Dora sama anak sekelas. Lo boleh ketawa karena, Ya! Gue penggemar Dora, si anak petualang yang ada di teve itu. Lo liat sendiri, kan? Tas pink dan model rambut gue udah sama kayak tuh bocah. Tapi, sayang, gue nggak punya monyet. Apalagi yang pake sepatu boots merah."

Chika berusaha menahan tawanya. Mendapat first impression yang buruk apalagi oleh wali kelas sama sekali bukan hal yang menyenangkan, kan?

"Lo pindahan mana?"

"SMA Gading Emas. Lo tahu, kan? Yang di Bandung itu."

"Oh... lo anak Bandung?"

Chika menggeleng pelan. "Bukan, gue asli Jakarta. Tapi, sempet tinggal di Bandung selama 10 tahun."

"Lo tinggal sama tante lo? Emang Bonyok (Bokap dan Nyokap) lo mana?"

"Mereka udah lama meninggal."

Dora sontak menutup mulutnya dengan satu tangan. "Oops... sorry..."

Chika tersenyum kecil. Sepuluh tahun menjadi anak yatim piatu, sudah cukup menempa hati gadis itu menjadi sekeras baja. "Oh iya, Dora. Lo udah sekolah di sini sejak awal semester, kan?"

Dora mengangguk.

"Lo tahu gedung timur?" tanya Chika lagi.

Wajah Dora memucat. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Pemandangan yang cukup untuk membuat Chika menautkan kedua alisnya. Terutama ketika ia melihat Dora gelagapan melihat ke sekeliling, memastikan tidak ada satu pun yang akan mendengar percakapan mereka. "Lo tahu dari mana?" bisik Dora takut-takut.

"Oh... gue..." Chika tidak melanjutkan bicara. Apa yang harus ia katakan? Jujur dan bilang kemarin ia tanpa sengaja kesasar seperti bocah tolol ke gedung itu? Ayolah, ia tidak bodoh. Hanya menyebutkan nama gedung itu di depan Dora saja sudah cukup membuat gadis ini begitu ketakutan.

"Gu-gue baca dari kertas yang dikasih Pak Budi." Ia tidak berbohong, kan?

Dora mengembuskan napas lega. "Oh.... gue pikir lo punya masalah sama salah satu anak di gedung itu." Sangat pelan. Bahkan, nyaris tidak terdengar jika Chika tidak memiliki pendengaran yang tajam.

"Lo tahu gedung itu?" tanya Chika dengan sangat hati-hati.

Dora mendekatkan tubuhnya pada Chika. Berbisik sangat pelan agar hanya cewek cantik itu yang dapat mendengarnya. "Chik, SMA di sekolah ini, tiap angkatan punya gedung masing-masing," ucap Dora dengan penuh ketegangan sampai membuat Chika menelan ludahnya. "Lo tahu gedung di deket gerbang masuk? Itu gedung selatan, gedungnya kelas XI. Gedung barat yang kita tempatin sekarang, itu gedung kelas X. Nah, kalo gedung timur yang lo maksud—"

"Gedung kelas XII?" timpal Chika.

Dora mengangguk takut, membenarkan ucapan Chika.

"Terus, emang kenapa kalo tuh gedung punya anak kelas XII? Kok Pak Budi sampe segitunya ngelarang gue masuk ke gedung itu? Emang kalo gue masuk, bakal terjadi sesuatu?"

"Lo masih baru sih Chik. Jadi, lo belom tahu sistem kekuasaan yang ada di sekolah ini."

"Maksud lo?" Chika menyipitkan matanya.

Lagi-lagi Dora menoleh ke sekeliling. Dilihatnya teman-teman sekelasnya sedang asik mendengarkan celotehan Bu Ina.

"Anak kelas XII yang ada di sekolah ini, beda sama anak kelas XII bayangan lo." Dora menarik napas panjang. "Hampir semua anak kelas XII di sini, anak orang kaya. Kayak di drama-drama gitu. Kebanyakan orang tuanya pada sibuk, nggak ada waktu buat nunjukin kasih sayang ke mereka. Anak kurang perhatian suka cari pelampiasan, kan? Temperamen mereka buruk. Parah malah. Lo tahu nggak, 4 bulan lalu, gedung SMA nggak dipisah-pisah kayak gini. Gedung barat, timur atau selatan, semua gedung milik bersama. Tapi...."

"Tapi...?" Chika yang sudah tidak sabar mendengar kelanjutannya, menggigit bibirnya kuat-kuat.

"Waktu itu, bagi anak kelas X sama XI, tempat ini bukan sekolah. Tapi, NERAKA! Dalam sehari, bisa lebih dari 10 orang yang jadi korban. Dijadiin kacung doang, sih, masih mending. Anak-anak cowok, berangkat pagi seragam lengkap, pulang sore bisa cuman cangcut! Kalo buat cewek, kudu ikhlas jadi gulingnya anak-anak kelas XII. Peluk sinilah, nemplok sana. Belom lagi anak-anak kelas XII yang betina. Wuih... kalo mereka merasa ada cewek yang rese, dengan senang hati mereka adain pangkas rambut gratis sampe gundul."

Mulut Chika ternganga. "Mereka...bullying?" tanya Chika lirih. Dora mengangguk, membenarkan omongan Chika.

"Loh, loh, loh? Kok lo pada bego, sih? Kenapa nggak lapor Pak Budi aja?"

"Nggak segampang bayangan lo."

"Kenapa?

"Siapa juga yang berani lapor? Mereka anak pengusaha sukses. Lah, kita cuman rakyat jelata. Kalo mereka ngebuat kita keluar dari sekolah doang, sih, masih mending. Masalahnya, bisa-bisa keluarga berantakan gara-gara usaha ortu diancurin. Money can do everything, iya nggak?" Dora mengangkat alisnya.

"Lagian, ya, Chik, gue rasa guru-guru sebenarnya udah mulai nyadar. Cuman nggak ada bukti. Soalnya aksi mereka kagak ada yang dilakuin di depan guru. Makanya yang bisa guru-guru itu lakuin buat ngelindungin kita, ya, ngejauhin kita dari anak kelas XII. Gedung dipisah. Aktifitas juga dipisah. Bahkan, kita nggak pernah upacara bareng anak kelas XII lagi."

Chika meringis. Merinding. Ngeri banget, sumpah.

"Anehnya, ya, mereka tunduk banget sama kasta yang lebih tinggi," ucap Dora lagi.

"Kasta?" kedua alis Chika bertaut.

"Mereka nggak berani ngelawan orang yang lebih berkuasa. Berkuasa dalam hal harta dan power. Lo tahu, nggak? Di sekolah ini, ada yang dipanggil Kaisar dan Permaisuri."

Chika terkekeh geli. Dora yang melihatnya berdecak kesal. "Kok lo malah ketawa, sih?"

"Sorry, Dor. Abis lucu, sih. Emangnya ini komik kerajaan?"

"Jangan ngomong sembarangan lo meskipun di kawasan kelas X! Kadang-kadang ada pengkhianat. Bisa – bisa, ucapan lo dilaporin buat carmuk (cari muka) sama anak kelas XII."

"Oh, ya?" Chika melotot kaget. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Kemudian, ia melirik ke seisi kelas untuk memastikan tidak ada yang mendengar ucapannya. Setelah ia merasa aman, ia mengembuskan napas lega. "Emangnya siapa, sih, si Kaisar sama Permaisuri ini?"

Dora menurunkan volume suaranya, semakin memperkeras usaha Chika untuk memasang telinganya baik-baik. "Yang dipanggil Kaisar, cowok kelas XII. Orang terkaya, bintang kelas, terlebih lagi ter-HOT di sekolah ini! Namanya... Ravelio Leoniel!"

'Buset, ribet amat namanya' "Orang bule?"

"Bukan! Biasa, anak kota. Semua orang takut banget sama si Kaisar. Bahkan, menurut rumor yang beredar, lo kudu nundukin kepala kalo Kaisar lewat di depan lo."

Chika mengerutkan keningnya, tak mengerti jalan pikiran siswa-siswi di sekolah ini. "Terus, si Permaisuri siapa?"

"Nah, itu dia! Sampe sekarang posisi itu masih kosong."

"Kenapa?"

"Permaisuri itu pendamping Kaisar, kan? Cuman Kaisar yang berhak nentuin siapa cewek yang jadi Permaisuri. Banyak banget, deh, yang ngincer posisi itu. Lo bayangin aja! Posisi Permaisuri, posisi yang berada persis di sebelah Kaisar. Kurang tentram apa hidup lo nanti?"

"Ya, udah, deketin aja sono si Kaisar. Siapa tahu dia kepincut sama lo," ucap Chika santai.

Dora melotot mendengar ucapan Chika. "Lo pikir segampang itu? Sebelum Kaisar kepincut, gue udah ko-it duluan kali. Apalagi sama Kak Luna."

"Kak Luna?"

"Iya, cewek paling cantik di kelas XII. Menurut gosip, si Kak Luna ini Permaisuri masa depan. Apalagi dia cewek yang selalu gelayutan di lengan si Kaisar."

"Mereka pacaran?"

"Nggak kayaknya, deh. Atau pacaran, ya? Gue juga nggak tahu. Si Kaisar misterius banget, sih."

"SIAPA YANG MISTERIUS?"

Chika dan Dora sontak terlompat kaget. Di depan meja mereka, Ibu Ina berdiri dengan wajah super galak. Matanya melotot. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Tak lupa sambil mengetukkan sepatu haknya hingga mempertegang suasana. 'Mampus! Demon Queen!' jerit Chika dalam hati.

"Chandrika! Ayu! Ibu perhatiin daritadi kalian ngobrol terus. Nggak keberatan, kan, kasih tahu kami di depan kelas apa yang kalian omongin?" tanya Bu Ina yang lebih mirip seperti perintah.

Ceritain isi obrolan tadi di depan kelas? Wih... kagak ada pilihan bunuh diri yang lebih kerenan dikit apa, ya?

"Kalian nggak ada yang mau cerita?" tanya Bu Ina galak.

Chika dan Dora hanya menundukkan kepala. Sesekali mereka bertukar pandang, siapa tahu teman senasibnya mempunyai ide untuk keluar dari situasi mematikan ini.

Melihat tidak ada yang merespon, Bu Ina mengangguk-angguk. "Baik, kalo kalian tidak mau cerita, kalian harus menerima oleh-oleh dari saya. Saya mau kalian berdua, ringkas seluruh Bab 6 buku paket Biologi. Tulis tangan! Lalu kumpulkan pada saya besok paling lambat istirahat makan siang. Mengerti?"

Napas Chika tertahan, memperhatikan sosok Bu Ina yang sedang berjalan menuju papan tulis. Dengan gerakan pelan, cewek itu mengambil buku paket biologinya dari dalam tas. Hati-hati ia buka buku paket itu hingga tiba di halaman yang berjudul BAB 6.

Kedua mata cewek itu membulat..

'100 halaman? TIDAAAAAK!'

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience