Bab 1- Selamat Datang Di Gedung Timur

Romance Series 264

Panas matahari yang menyengat bukan penghalang bagi Chika untuk berdiri di depan gedung administrasi SMA Laksmana.

Diangkatnya rambut panjangnya yang berwama hitam kecoklatan. Kemudian, ia kipas belakang lehernya dengan tangan, berharap mendapat sedikit kesejukan.

"Chika!"

Chika menoleh, menatap Tante Bunga, wanita yang sudah merawat Chika selama 6 tahun sejak kematian ibunya.

Wanita itu tersenyum ramah, mendekati Chika dari arah gedung administrasi.

"Sayang, nunggu lama, ya?"

"Nggak, Tan," jawab Chika tersenyum lebar.

Pria tua yang sejak tadi berjalan di sebelah Tante Bunga berdehem pelan. Kemudian, ia membetulkan posisi kaca mata bundarnya. "Chandrika Angela?" tanyanya memastikan.

"Iya. Saya, Pak." Chika mengangguk sopan.

"Kenalkan, saya Pak Budiono, kepala sekolah. Senang menerima kamu di SMA Laksmana," ucap Pak Budiono sambil mengulurkan tangan.

Seperti robot yang sudah terprogram, tangan Chika bergerak begitu saja dan membalas uluran tangan Pak Budiono, dengan tatapan yang tak lepas dari kedua mata keriput pria itu.

Sosok kepala sekolah sungguh berwibawa. Kecerdasannya sangat ketara. Tegas, di saat yang sama terlihat ramah. Sangat mirip dengan tokoh dari anime kesukaan Chika.Yusaku Kudo!

"Chika...." Tante Bunga mengguncang lengan Chika berkali-kali hingga menyentakkan cewek itu ke alam sadar.

Chika terperanjat. Buru-buru ia melepaskan tangannya yang masih mencengkram tangan keriput Pak Budiono. Cewek itu tertunduk malu.

"Ma-maaf, Pak. Sa-saya—"

Pak Budiono tertawa nyaring. "Tak apa. Namanya juga anak muda. Mengkhayal itu bagus. Artinya imajinasi kamu tinggi."

Chika tersenyum kecut

Kemudian, Tante Bunga tersenyum. Ia mengusap rambut Chika lembut. "Tante mau urus surat kepindahan kamu dulu, ya. Masih agak lama kayaknya. Kamu ke kantin aja. Makan dulu sana."

"Kantinnya di mana, Tante?" tanya Chika pelan.

"Kantin gedung barat saja. Lurus dari sini, begitu ada kolam ikan, belok kiri," ucap Pak Budi.

"Iya. Makasih, Pak." Chika membenarkan posisi ranselnya. Kemudian, ia berbalik, hendak berjalan pergi.

"Tunggu sebentar, Chandrika." Namun, panggilan Pak Budiono menghentikan langkah cewek itu.

"Ini. Peraturan-peraturan yang harus kamu patuhi selama kamu sekolah di SMA Laksmana. Kamu baca-baca saja dulu, sambil makan di kantin."

Dengan perlahan, Chika mengambil kertas yang diulurkan oleh Pak Budi. Cewek itu membaca dalam diam. Isinya tentang aturan pakaian, larangan membawa senjata tajam, larangan membawa obat terlarang—

Tunggu!

Chika menyipitkan kedua matanya, menatap lekat peraturan nomor 30 yang ditulis dalam huruf kapital. Dicetak tebal pula! "Pak, peraturan yang nomor—"

"Pak Budi!" Seorang wanita setengah baya keluar dari gedung administrasi. Ia mendekati Pak Budi, kemudian berkata sopan, "Pak, sudah selesai. Tinggal tanda tangan."

"Baik, terima kasih, Bu Mareti," balas Pak Budi sambil tersenyum.

"Mari, Ibu Bunga. Ikut saya ke dalam," ajak Pak Budi sopan. Tante Bunga mengangguk. Kemudian, kedua orang itu menghilang ke dalam gedung administrasi.

Chika terdiam. Sekali lagi, ia lirik peraturan nomor tiga puluh. Ditatap lekat-lekat, dicerna baik-baik, ia pelototin kemudian.

Peraturan nomor tiga puluh...

30. DILARANG PERGI KE GEDUNG TIMUR!

*****

"Kenapa lo? Nyasar?"

Chika terperanjat. Dengan gerakan cepat, ia menoleh. Ditatapnya heran seorang cewek berseragam SMA Laksmana yang tengah berdiri di belakangnya.

Siswi SMA Laksmana itu mengamati Chika dari kepala-kaki ke kepala lagi. "Boleh juga lo," ucapnya ketus. Bahkan, lebih terkesan nyindir.

Chika memang cantik. Banyak yang mengakui hal itu. Matanya bulat dan indah, hidung mungilnya mancung, bibir tipisnya merah, serta rambut panjangnya lurus dan terawat.

"Elo anak SMA ini, ya? Boleh nanya?" tanya Chika pelan.

Siswi SMA Laksmana itu mendengus. "Mau nanya apa lo? Cepetan! Gue nggak punya banyak waktu!" ucap cewek itu ketus.

Mulut Chika ternganga dengan fantasi liar yang mulai menggelora, membayangkan siswi SMA Laksmana itu sebagai Kaguya dari komik Naruto, shinobi jahat yang berambisi menghancurkan dunia dengan menggunakan genjutsu-nya, Mugen Tsukuyomi.

Chandrika Angela. Cewek cantik, mungil, imut-imut pendek. Otaknya biasa saja. Kagak jenius menyaingi eyang Albert Einstein, John Dalton, atau Isaac Newton. Kagak idiot juga menyamakan otaknya si Neneng Pea.
Cuman satu kelemahan fatalnya, imajinasinya terlalu banyak diberi Fernifan. Alias, terlalu berkembang! Mengkaitkan dunia nyata dengan komik serta anime yang pernah ditontonnya.

Konyol? Ya! Chika juga mengakui. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa karena kebiasaannya itu sudah melekat erat, menyatu dengan kesehariannya.

Si cewek ketus itu melotot lagi. Kedua tangan terlipat di depan dada dan dagu terangkat tinggi, ingin menunjukkan besarnya kuasa yang ia miliki. "Anak kelas berapa lo? Sekarang, kan, lagi jam pelajaran. Lo bolos, ya?"

"Gue nggak bolos. Gue anak baru. Kelas X. Masuknya besok. "

"Anak baru? Pantes lo nggak tahu siapa gue," ucap cewek SMA Laksmana itu lebih pada diri sendiri.

Chika yang mendengar ucapan cewek itu barusan, kini mengerutkan keningnya. "Emang lo siapa?" tanya Chika bingung.

Lagi-lagi cewek SMA Laksmana itu memasang wajah sangar. "'Saya'! Yang sopan kalo ngomong sama senior! Gue kelas XII. Anak kelas X kayak lo mestinya hormat!"

"Iya. Maaf, Kak," jawab Chika lirih. Nih, cewek lama-lama nyeremin juga. Chika ingin segera menyingkir dari hadapan cewek galak ini. Akhirnya, Chika bertanya lagi, "Kak, gedung Barat yang mana, ya? Saya tadi disuruh ke kantin di gedung Barat. Tapi, saya nggak tahu yang mana gedungnya," ucap Chika pelan. Bahkan, terkesan sangat sopan.

"Oh... Lo mau ke gedung Barat. Bilang, dong, daritadi!" Cewek galak itu manggut-manggut. "Tuh, di balik pohon beringin. Lo liat ada gedung yang catnya warna gading, kan? Itu gedung Barat."

Chika menoleh. Kemudian, ia mengangguk sopan. "Makasih, Kak."

Cewek mungil itu berjalan pergi, sedangkan siswi kelas XII itu tersenyum jahat, tak sabar menanti kejutan yang akan terjadi nanti.

*****

Gedung warna gading, gedung megah yang entah kenapa memancarkan aura menyeramkan di mata Chika. Kedua mata bulatnya menatap lekat pintu cokelat besar di gedung itu. Mendekatinya perlahan, mendorong pintu itu hati-hati.

Dan ia terperangah!

Ia langsung disambut oleh lobby yang luas. Tepat di tengah lobby ada miniatur gedung. Di tembok dekat miniatur ada foto presiden dan wakilnya, tidak lupa dengan patung burung garuda. Banyak juga foto-foto pahlawan yang terpajang di sekeliling miniatur itu. Di tembok sisi kanan dan kiri lobby tertempel mading yang sangat luas.

Chika berdecak kagum. Sangat disayangkan, mading luas itu kosong. Hanya ada kertas-kertas resmi seperti pengumuman nilai, kegiatan sekolah, serta surat dari Pak Budi. Sama sekali tak ada poster, foto, atau karya-karya murid yang menghiasinya.

Beberapa saat kemudian, Chika berbelok ke salah satu koridor. Sisi kiri koridor dipenuhi jendela yang langsung mengarah ke halaman belakang, sedangkan sisi kanannya berupa tembok yang kokoh. Seperti ada yang menariknya dari dalam, cewek itu tak dapat berhenti melangkah.

Sampai akhirnya, seseorang menepuk pundak Chika dari belakang.

Cewek itu tersentak. Ia berputar dan refleks hendak mencakar orang yang barusan menepuknya.

Namun, siapapun dia dengan cekatan menangkap tangan Chika lalu memutarnya ke belakang punggung cewek itu. "Aduh, duh, duh, sakit! Ampun!"

Orang itu melepaskan Chika dengan kasar.

Sambil mengusap dan meniup tangannya yang sakit, cewek itu menoleh. Pada saat itulah kedua mata mereka bertemu.

Sosok di hadapannnya berdiri kokoh. Tatapan dari kedua mata tajamnya memerangkap, seolah-olah mengintimidasi siapa saja yang memandangnya. Garis wajahnya sangat tegas. Ketampanan absolut! Kewibaan yang ia miliki mutlak tak terbantahkan oleh siapapun.

Chika mengerjapkan matanya berkali-kali. Setelah mengatur kembali napasnya, ia menantang mata elang cowok itu. "Lo siapa? Kenapa ngendap-ngendap di belakang gue? Lo pikir lo ninja?"

Seketika kedua mata cowok itu melebar. Detik berikutnya, ia terbahak. "Apa kata lo tadi? Ninja?"

Muka Chika memerah. Ia menutup mulutnya, merutuki kebodohan dirinya yang tidak sengaja menyuarakan imajinasinya. "Sorry," ucap cewek itu dengan suara nyaris tidak terdengar. "Lo nggak apa-apa? Tadi nggak kena, kan?" Chika mengulurkan tangannya, tetapi ditepis oleh cowok itu.

Tiba-tiba wajah cowok itu berubah serius. Sambil bersidekap, kedua mata tajamnya mengintimidasi Chika. "Ngapain lo di sini? Lo bukan siswi gedung ini, kan?"

"Ng-nggak tahu...," jawab Chika takut-takut.

"Nggak tahu?"

"Iya. Gue masih belom tahu gedung gue yang mana."

"Lo anak baru?" tanyanya pelan yang dibalas dengan anggukan Chika. "Kelas?"

"Kelas X," jawab Chika lirih.

"Kelas X? Terus ngapain lo ke sini?"

"Disuruh Pak Budi."

Cowok itu mengerutkan kening. "Pak Budi nyuruh anak kelas X ke sini?"

"Iya," jawab Chika lagi.

"Nggak mungkin!" sangkal cowok itu cepat.

Kini Chika yang melongo. "Kenapa? Emangnya salah kalo gue ke kantin?"

"Ada tiga kantin buat murid di sekolah ini. Kantin selatan, kantin barat, kantin timur. Dari tiga kantin itu, nggak mungkin Pak Budi ngarahin lo ke kantin di gedung timur."

Chika menggeleng cepat. "Pak Budi emang nggak nyuruh gue ke kantin gedung timur, tapi kantin gedung barat."

Cowok itu menaikkan alisnya. Menatap Chika lama. Detik berikutnya, tawa cowok itu pecah.

Kedua alis Chika bertaut. "Kenapa lo?"

Cowok itu geleng-geleng kepala sambil terkekeh. "Luna, Luna. Anak baru mau lo jadiin tumbal," ucapnya pelan, lebih pada diri sendiri.

"Lo ngomong apa barusan?" tanya Chika.

Cowok itu menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya kasar. "Lo salah alamat. Di sini bukan gedung barat. Tapi, gedung timur."

"Oh, ya?"

Cowok itu mengangguk. Kemudian, menunjuk sesuatu di belakang Chika dengan dagunya.

Chika menoleh. Di dinding koridor dekat dengan lobby, terdapat poster cukup besar dengan kata-kata yang ditulis dengan tinta hitam.

Selamat Datang di Gedung Timur

Chika tersentak. Napasnya terhenti. Wajah cantiknya memucat. Dengan gerakan cepat, ia menoleh ke kiri dan kanan. Hati-hati. Waspada! Namun, gerakan awas Chika membuat kening cowok di hadapannya berkerut. "Kenapa lo?"

Chika menoleh ke arah cowok itu. Dengan perlahan, ia meletakkan jari telunjuknya di bibir. "Ssstt..."

Cowok itu menaikkan sebelah alisnya. Cewek berwajah pucat di hadapannya lagi-lagi menoleh ke kiri dan kanan dengan waspada. "Di peraturan yang gue baca dari Pak Budi, nomor tiga puluh tepatnya, gue nggak boleh ke Gedung Timur! Ditulis gede-gede, sampe di-Bold segala lagi!" Chika menarik napas panjang. "Serem banget, kan? Kayak tempat pesugihan aja, nih, tempat."

"Oh, ya?" Cowok itu menaikkan alisnya sambil menahan senyum. Bagi kebanyakan orang, cara berpikir Chika memang 'lebay'. Bagi cowok itu, sangat lucu dan menghibur.

"He-eh." Chika mengangguk mantap.

"Hmm... gimana, ya... gue nggak pernah ngeliat ada pesugihan, sih, di sini. Tapi—" Cowok itu mencondongkan badannya. Begitu dekat sehingga memaksa Chika memundurkan tubuhnya. "Seharusnya lo ikutin peraturan itu. Nih tempat nggak aman buat anak kelas X kayak lo. Apalagi di jam-jam segini. Free time, no teachers. Jalan di koridor kayak gini aja kudu pasang kuda-kuda. Minimal, nunduk lindungin kepala, deh."

Setiap bisikan yang keluar dari bibir cowok itu menggetarkan tubuh Chika. Cewek itu meringis ngeri. Sambil takut-takut, cewek itu berkata pelan, "Masa? Emang kenapa?"

PRRAAANG.

Tiba-tiba jendela di belakang Chika pecah akibat timpukan sebuah batu yang berasal dari luar gedung.

Dalam satu gerakan cepat, cowok itu menarik Chika. Ditutupinya cewek itu dengan tubuh tegapnya hingga tak ada satu pun pecahan kaca yang lolos dan mengenai cewek itu. "Wah, mulai lagi, deh," ucap cowok itu dengan suara tenang. Tenang yang mencekam! Sarat kengerian dapat dirasakan Chika ketika mendengar suara itu.

Dengan kedua alis terangkat, cowok itu melirik arloji di tangan kirinya. "Udah mau jam istirahat, nih. Gue rasa lo lebih baik pergi dari gedung ini, sebelum semua penduduk gedung ini keluar kandang, terus ngeliat ada kelinci kecil di sini."

"Maksud lo?" Belum sempat Chika mendengar jawaban, bel istirahat berbunyi. Disusul dengan sorakan riuh yang berasal dari bagian gedung yang terdalam.

Detik berikutnya, jantung Chika nyaris mencuat keluar. Dari balik jendela yang pecah tadi, meski tidak terlihat jelas, nampak seperti sebuah perkelahian. Satu dari dua orang yang berkelahi memegang pedang a.k.a kayu panjang. Satunya lagi memilih pertarungan jarak jauh dengan menjadikan benda apapun yang dapat diraihnya sebagai bom untuk dilempar.

"Cabut!" Cowok itu menarik tangan Chika, berlari menyusuri koridor menuju pintu depan. Chika yang ditarik, mati-matian menyamakan kecepatan cowok itu. Dengan wajah pucat, cewek itu menggigit bibirnya kuat-kuat.

Suara kegaduhan yang ia dengar tadi semakin mendekat. Derapan puluhan langkah kaki berlari ke arah mereka. Semakin dekat suara yang ia dengar, semakin berusaha Chika mempercepat larinya. Ia juga tidak tahu alasannya. Namun, ia merasa jika ia sampai tertangkap oleh suara-suara itu, ia tidak dapat keluar dari gedung ini dalam bentuk utuh!

Ketika mereka tiba di pintu depan, cowok itu mendorong Chika keluar dengan kasar. Ketika cewek itu menoleh ke belakang, yang dapat ia lihat hanyalah sebuah pintu besar cokelat yang sedang ditutup rapat-rapat, melarang siapapun masuk ke teritori gedung yang tidak tergapai itu.

*****

"Nah, itu Chika." Tante Bunga melambaikan tangan pada cewek yang sedang berjalan dengan langkah lunglai ke arahnya. "Kamu kenapa? Kamu sakit?" tanya Tante Bunga cemas sambil mengecek suhu kening Chika dengan punggung tangannya.

"Nggak, kok, Tan. Aku nggak papa." Dengan cepat, Chika menurunkan tangan tantenya.

"Bagaimana Chandrika? Kamu suka dengan sekolah ini? Pasti kamu tidak sabar ingin cepet-cepet besok, kan?" Saking serunya Pak Budiono tertawa, wajah Chika yang pucat pasi dengan kucuran keringat dingin tidak disadari olehnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience