Bab 4 - Aku Tidak Ingin Masuk!

Romance Series 264

Siang itu kelas sangat sepi. Sejak bel istirahat berbunyi, hanya segelintir orang yang memilih untuk tinggal di kelas. Salah satunya adalah cewek mungil itu, Chika. Dengan berlembar-lembar kertas HVS di atas meja dan pensil kayu di tangan, ia mengerjakan sesuatu yang sangat disukainya.

"Ya ampun, Chika. Masih ngegambar aja? Lo nggak mau berbaur sama yang laen?" Dora yang datang dengan sepotong roti daging di tangannya, duduk di sebelah Chika.

"Nanti. Tanggung," jawab Chika tanpa menoleh.

"Gue nggak heran kenapa khayalan lo setinggi langit. Awas aja, jangan sampe disangka anak autis," ledek Dora, kemudian menggigit rotinya dengan suapan besar.

"Nggak papa. Hidup, hidup gue. Gue yang tahu apa yang gue suka dan yang gue nggak suka."

"Emang nanti lo mau jadi apa? Komikus?" tanya Dora setengah bercanda.

"Kedua mata Chika berbinar. "Lo tahu aja, Dor! Kalo sampe kesampean, ibadah gue diperajin, deh! Mudah-mudahan,ya." ucapnya cengengesan.

Dora melotot. Detik berikutnya, ia terbahak keras hingga segelintir anak yang menetap di kelas sampai menoleh ke arah mereka. "Gila lo! Mau makan apa kalo nanti jadi komikus? Batu? Di negara kita komikus nggak dianggap kali," ucapnya, kemudian tertawa lagi.

Chika berdecak. Kesal. "Lo tuh, ya, temen punya mimpi bukannya didukung, malah diejek." Chika mencubit lengan Dora.

"Aduh, duh, duh, ampun, Non, ampun." Sambil cengar-cengir, Dora melepaskan cubitan Chika. "Aduh, gila! Nenek moyang lo kepiting, ya? Sampe biru gini. Untung kagak putus." Dora meringis, mengusap-usap lengannya yang sakit.

Chika tertawa lucu, kemudian ia mencubit kedua pipi Dora gemas.

Tiba-tiba dari arah pintu, segerombol cewek masuk dengan dagu yang diangkat tinggi. Segelintir orang yang ada di kelas menghentikan aktifitas mereka, sedangkan Dora dan Chika yang sejak tadi tenggelam dalam candaan, masih belum menyadari keberadaan cewek-cewek itu.

Hingga akhirnya, cewek di barisan terdepan menggebrak meja Chika keras hingga cewek itu terperanjat, kemudian menoleh.

"Heh! Lo anak baru, tapi udah sok,ya!" bentak cewek yang menggebrak meja.

Chika tahu cewek ini. Maya, si medusa, pemimpin dari geng cewek di angkatannya yang paling ingin ia hindari.

"Sorry, maksud lo apa, sih?" balas Chika dengan tatapan membara, tak senang dengan cara bicara Maya.

Maya tertawa sinis. Cewek itu mendekatkan tubuhnya. Dengan suara berbisik tapi tegas penuh perintah, ia berkata, "Lo ikut gue!"

Lo ngajak perang? Siapa takut!

Chika berdiri, berjalan mengikuti Maya, meninggalkan kelas yang sudah mulai ramai oleh penonton dari berbagai kalangan. Beberapa ingin mengikuti kelanjutan cerita. Namun, tidak bisa karena dijaga oleh anggota geng cewek lain yang sudah mendapatkan perintah dari bos Maya.

*****

Maya membawa Chika ke halaman di samping gedung barat yang jarang dilalui orang. Setibanya di sana, cewek mungil itu dirapatkan ke dinding oleh Maya dan 3 anggota lainnya sehingga tak ada jalan baginya untuk lari.

"Ngapain kalian bawa gue ke sini?"

Maya mendekati Chika sambil berkacak pinggang bak model jalanan. Dengan tampang angkuhnya, ia menatap cewek mungil itu. "Lo dianter siapa kemarin?" tanyanya galak.

"Kemarin?" Chika mengetuk dagunya. "Oh... Mas Anton, tukang ojek di samping sekolah."

"Bukan waktu lo pulang, Bego!"

"Terus, maksud lo apa?" tanya Chika santai sambil melipat kedua tangannya.

Maya melotot melihat kelakuan Chika. Hatinya yang sudah terbakar, malah disiram bensin oleh salah satu anggotanya. "Anak nggak tahu diri kayak dia mah libas aja, May!"

Maya mengatur napasnya yang sudah menggebu-gebu. Dengan tatapan setajam mata pisau, ditatapnya kedua mata bulat Chika. "Gue tanya sekali lagi, kemarin lo dianter ke lapangan upacara sama siapa?"

Chika mengerutkan keningnya. "Kemarin? Lapangan upacara?" Ia terdiam beberapa saat. "Oh! Yang itu! Gue dianter Kak Rio, anak kelas XI. Ada masalah?"

Maya and the gengs ternganga tidak percaya. Mereka saling berpandangan dengan tampang nyureng. Diam sesaat, menoleh ke arah Chika, saling berpandangan lagi, sampai akhirnya tawa mereka lepas mengangetkan kucing tetangga yang sedang tidur di atas genting.

"Sumpah! Elo tolol banget, sih, jadi cewek!" ucap Maya dengan wajah meremehkan.

"Wah... elo beneran ngajak ribut rupanya." Chika mendelik kesal.

"Lo serius nggak tahu siapa cowok yang nganter lo kemaren?"

Chika memutar bola matanya, bertolak pinggang.

Maya melirik arloji di tangannya. Seketika senyuman licik terukir di wajah cewek itu. Kemudian, ia menoleh ke para anggotanya. "Udah waktunya, Girls."

Mereka serempak mengangguk. Dua anggota Maya memegang lengan kanan dan kiri Chika, sedangkan satu anggota lagi menjaga Chika dari belakang.

Laksana seorang komandan dalam pasukan, Maya memberikan intruksi untuk menyeret Chika pergi.

"Lo pada mau bawa gue ke mana?"

Ketiga anggota geng Maya mengabaikan pertanyaan Chika. Merasa kesal diperlakukan seperti narapidana, Chika memberontak. Namun, tak mampu menyingkirkan cengkraman dua anggota Maya dari lengannya. "Heh,Tuli! Gue tanya lo mau bawa gue ke mana? Kandang macan? Rumah hantu? Gerbang cerberus? Lo pikir gue takut?"

"Lo nggak usah bawel, deh! Gue kasih tahu, ya, tempat yang bakal kita tuju tuh jauh lebih horor daripada semua tempat imajinasi lo!"

"Emang ada tempat kayak gitu?" Chika berdecak kesal.

"Kita udah sampe"

Ampunilah hamba-Mu yang angkuh ini, Tuhan!

Detik itu juga, Chika telan kembali kata-katanya barusan! Matanya terbelalak, tubuhnya menegang, dan darah di dalam nadinya serasa mengalir berjuta kali lebih deras dibanding biasanya.

Gedung warna gading yang menjulang itu berada di depannya. Gedung penuh misteri yang dapat membuat Dora, teman sebangkunya, memucat hanya dengan mendengar namanya, serta membuatnya nyaris pingsan di hari pertama kedatangannya di sekolah ini.

"Lo mau ngapain?" Suara Chika bergetar. Keberanian dan keangkuhannya tadi telah menguap tanpa sisa.

Salah satu anggota geng Maya mendekatkan tubuhnya ke Chika. "Lo tahu? Dulu, ada anak sama resenya kayak lo. Dia berani ngelawan Maya padahal dia bukan apa-apa. In the end, dia kita seret ke gedung ini di jam istirahat kelas XII. Kita juga nggak tahu apa yang terjadi sama dia. Tapi, besoknya tuh anak ngundurin diri dari sekolah. Menurut saksi mata, sih, dia sampe nangis-nangis," bisik salah satu anggota geng Maya tepat di telinga Chika.

Ketegangan yang Chika rasakan semakin menjadi. Keringat dingin mengucur di pelipisnya.

"Gimana kalo lo cari tahu sendiri apa yang terjadi sama anak itu dulu?" ucap anggota geng Maya dengan seringai
mengerikan.

"GUE NGGAK MAU! LEPASIN!" Chika histeris. Sekuat tenaga ia memberontak. Namun, anggota geng Maya yang sejak tadi menjaga di belakang, kini ikut memeganginya sehingga cewek mungil itu mati langkah.

Matanya melebar begitu pintu besar cokelat yang selalu tertutup setiap kali ia melihat gedung ini dari kejauhan, kini semakin mendekat seolah-olah akan segera terbuka, menelan cewek itu ke kegelapan tak berujung.

"LEPASIN GUE!" Chika menghentakkan kakinya, menarik-narik kedua tangannya.

Tidak berhasil.

Tarikan kasar dari ketiga anggota geng Maya memaksa cewek itu terus bergerak maju.

Salah satu anggota geng Maya memegang kenop pintu, membukanya, kemudian mendorong paksa Chika masuk ke dalam.

Sontak cewek mungil itu berbalik, mencoba berlari. Namun, berapa kali pun ia mendorong, menendang, memukul keras pintu itu, tetap saja tertutup rapat. Berani taruh, anggota geng Maya pasti sudah mengganjalnya dengan sesuatu.

"DASAR PENGECUT! BUKA PINTUNYA!" teriaknya meskipun ia tahu percuma karena tidak pernah ada kisahnya, tokoh antagonis menyelamatkan korbannya.

"Wedew, ada siapa,nih?"

Napas Chika tertahan. Tubuhnya kaku. Pelan dan rikuh, ia berbalik, menatap puluhan wajah dengan senyum mengerikan menyertai mereka.

Ya, Tuhan...

Chika menelan ludah, membayangkan kematiannya yang sudah berada di depan mata.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience