Bab 5 - Kegilaan SMA Laksmana

Romance Series 264

Apa yang ada di hadapannya benar-benar sanggup membuat ia lompat dari puncak menara Monas. Anak kelas XII yang ditakuti seantero sekolah ada di hadapannya. Bukan hanya satu, tapi bejibun! Berkumpul mengerumuninya seolah-olah ia adalah santapan makan siang mereka.

Salah seorang cowok kelas XII tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Lagi-lagi… kenapa, sih, adek-adek kelas kita demen banget ngebuang anak ke gedung ini? Emangnya mereka pikir kita biro penampungan?" Meski perkataanya terdengar seperti bercanda, tetapi Chika tidak yakin jika melihat ekspresinya.

"Buat tumbal kali," celetuk salah seorang cewek yang diiringi tawa keras teman-temannya.

Chika menelan ludahnya kaku. Sejak pertama kali melihat ekspresi anak-anak kelas XII itu, ia yakin 100,000,000% mereka tidak akan mengadakan pesta penyambutan untuk cewek itu, atau sekedar basa-basi saling berkenalan dan mengajak cewek itu berkeliling gedung.

Salah seorang cowok bersiul, kemudian berkata, "yah... tumbal kali ini lumayanlah. Girls, kayaknya yang ini buat kita-kita yang cowok aja, deh. Kalian minggir dulu, yah."

Sekalipun kata-kata itu diucapkan dengan sebuah senyuman, tetapi tak dapat membuat hati cewek itu merasa tenang karena ada hal yang ia tahu pasti, di balik senyum itu, tersembunyi sepasang taring yang siap menerkamnya.

"Toy, lo bawa, nggak?" tanya cowok itu pada temannya yang botak dan berbadan besar.

"Apaan?"

"Ya elah, pake belaga bego lagi. Entar sore lo niat nyulik anak SMA sebelah yang nyolot itu, kan?"

"Oh... tali tambang maksud lo?"

"Bukan. Tali BH lo!" jawab cowok itu kesal, sedangkan si Toy nyengir.

"Cuman ada 3 meter, nih."

"Kasih gue sini! Entar sore lo cari lagi aja."

"Woi! Mau ngapain lo? Anak orang, Man."

Cowok itu mengibaskan tangan tanda tak peduli. "Nggak bakal sampe parah-parah banget lah."

"Setan lo! Nanti sore bantu gue, ya!" ucap si Toy sambil menyerahkan tali tambang yang sejak tadi dibawanya di dalam kresek hitam.

"Gampang itu mah. Woi, lo pada pegangin tuh cewek! Sekalian dobrak nih pintu terus jaga di depan supaya nggak ada guru yang dateng!"

Beberapa cowok keluar gedung untuk mengamankan lokasi. Beberapa lagi mendekati Chika hendak menahan cewek itu. Dari cara mereka mengikuti perintah cowok yang ingin menangkapnya, Chika tahu cowok itu memiliki kuasa di gedung ini. Apa cowok ini si Kaisar yang dibicarakan itu?

Mereka semakin mendekat. Tangan-tangan besar itu hampir menggapai Chika. Namun, untuk pertama kalinya, cewek itu bersyukur dilahirkan dengan tubuh unyil. Ia melihat celah di antara badan-badan besar yang menghadangnya, menyeruak keluar, mencoba untuk lari dari nasib buruk yang menanti.

Sialnya, cowok yang sejak tadi memberikan perintah mempunyai refleks yang bagus. Ia menarik rambut Chika,mencegah cewek itu lari.

"Mau lari ke mana lo? Entar dulu, kita belom mulai main."

"Agus! Tunggu dulu, Gus!"

Cowok yang ternyata bernama Agus itu menoleh, begitu pula Chika karena ia yakin pernah mendengar suara itu.

"Apaan, sih, lo, Do? Ganggu kesenengan gue aja!"

'Do? Jad, bener cowok ini Aldo yang waktu itu?' pikir cewek itu.

"Gue yakin pernah ngeliat, nih, cewek di suatu tempat," ucap Aldo berusaha mengingat.

"Masa?" Agus mengerutkan keningnya. Detik berikutnya, ia mengibaskan tangan. "Bego lo! Ya, iya,lah lo pernah ngeliat. Sekolahnya aja sama."

"Yeee... nih anak, lo kira gue bakal ngingetin tiap wajah yang gue temuin? Ngapain kalo nggak penting?"

"Siapa tahu lo kepincut sama nih cewek," ucap Agus yang masih keukeh tidak mau melepaskan Chika.

Begitu serunya ia berdebat dengan Aldo, Agus tak sadar cengkramannya pada rambut Chika mulai melemah. Chika tidak melewatkan kesempatan ini. Dengan cepat, ia berlari menyelamatkan diri dari cowok itu.

"Woi! Jangan kabur lo!" teriak Agus.

Di luar dugaan, meski unyil, larinya seperti kelinci! Dalam sekejap, cewek itu sudah berada cukup jauh. Namun, lokasi dan situasi tidak ada untung-untungnya untuk Chika. Karena pintu depan yang tertutup, tak ada jalan lain selain berlari ke dalam Gedung, melangkah lebih dalam menuju gerbang kematiannya.

Agus berdecak kesal, memelototi Aldo. "Ini semua salah lo, Do! Mampus aja lo kalo tuh cewek sampe lepas," ancam Agus. "Ngapain lo pada diem?" Cowok-cowok lain saling berpandangan, bingung. "KEJAR GOBLOK!" bentak Agus.

Bak pasukan yang dibubarkan dalam barisan, serempak mereka berlari ke arah Chika menghilang, diikuti oleh komandan Agus yang berlari di barisan paling belakang.

"Gue yakin tuh cewek pernah gue liat," bisik Aldo sambil menggaruk kepalanya. "Oh, iya!" Aldo tersentak, kedua matanya terbelalak. Kemudian, ia berlari menuju suatu tempat di gedung itu.

"Mampus dah si Agus," gumam Aldo sambil berlari.

*****

"Niko, lo ngeliat cewek tadi?"

"Kagak! Ilang tuh cewek."

"Cepetan cari! Bisa bonyok kita kalo si Agus tahu tuh cewek nggak ditemuin."

Dua orang siswa kelas XII mencari ke sekeliling ruangan aula.

Mereka tak tahu, tak jauh dari tempat mereka mencari, target yang diincar sedang bersembunyi, berdoa setengah mati agar dua cowok kelas XII itu tidak menyadari keberadaannya.

"Luas banget nih aula. Males gue nyarinya. Terakhir aja, yuk, Nyok!"

"Mau cari di mana lagi lo?"

"Kantin? Lantai 2? Lantai 3? Masih banyak tempat yang belom kita liat."

"Bego! Semua orang udah nyari ke sono. Tapi, kagak ada."

"Siapa tahu mereka pada picek. Mentang – mentang tuh cewek mungil, jadi kagak keliatan. Buktinya sampe sekarang belom ada yang nemuin."

"Lo nggak mau liat ke balik meja panggung itu dulu?"

Chika tersentak. Di balik meja panggung itu ia menyembunyikan keberadaannya. Dengan tangan dan tubuh yang gemetar hebat, ia menutup mulutnya, menjaga agar suara tangis tak keluar dari bibir tipisnya. Cukup air mata saja yang mengalir deras dari kedua matanya.

Mendengar saran dari Nyokman, Niko nampak berpikir. Sedikit pun ia tidak mengeluarkan suara.

Setiap kesunyian yang dilalui mempercepat irama jantung Chika. Ketakutan yang ia rasakan kian memuncak. Ia tak lagi bisa mengatur irama napasnya. Sesak, sesak sekali...

"Nanti aja lah. Ruangan yang lain aja dulu. Lagian, di sini panas. AC kagak ada yang nyala. Mana ada yang betah nyumput lama-lama di sini," ucap Niko sambil berjalan ke luar ruangan diikuti dengan Nyokman di belakangnya.

Mereka telah pergi, meninggalkan Chika. Namun, kepergian mereka tak dapat membuat hati cewek itu tenang karena ia tahu, di luar sana, ia masih seorang MANGSA buruan!

Entah sudah berapa lama ia bersembunyi di tempat ini. Seharusnya istirahat 45 menit itu sudah lama berakhir. Namun, karena kuasa Agus, guru-guru yang bertugas mengajar di gedung ini sedang disibukkan oleh kedatangan tamu-tamu penting dari luar sekolah.

CKRAAK.

Suara pintu aula dibuka membuat Chika tersentak. Getaran tubuhnya semakin menjadi. Ketakutan yang sudah meluap dalam jiwanya tak dapat dibendung lagi. Apalagi ketika cewek itu dapat mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Seperti ada tali transparan yang mengikatnya, ia tak bisa menggerakkan badannya bahkan seujung jari pun.

Suara langkah kaki itu berhenti. Tubuh Chika menegang karena tanpa menoleh ke belakang pun, ia tahu siapa pun dia sudah berdiri tepat di depan meja panggung.

Cewek itu memejamkan matanya rapat-rapat. Napasnya menggebu-gebu, merasakan keberadaan orang itu yang semakin mendekat.

Mendekat... mendekat... mendekat...lalu...

"Ternyata di sini lo sembunyi."

Dengan gerakan cepat, cewek itu menoleh. Tepat di sebelahnya, seseorang yang ia kenal tengah berjongkok menyamakan tinggi dengan cewek itu. " K-kak Rio?" ucap Chika lirih. Tanpa sadar, sedikit kelegaan dapat ia rasakan ketika melihat wajah cowok itu.

"Ke- kenapa kakak bisa ada di sini? Ini, kan, gedung timur, gedung kelas XII. Anak kelas XI mana boleh masuk seenaknya," ucap cewek itu setengah sadar. Karena kejadian yang sejak tadi dialaminya, ia merasa tubuhnya sudah tak bertulang. Bahkan, ia langsung luruh begitu saja menyandarkan tubuhnya ke kaki meja.

Cowok itu mengerutkan kening. Ia menatap kedua mata Chika yang sembab dan digenangi air mata. "Kenapa lo? Lo nangis, ya?"

Cewek itu tidak menjawab. Seperti telah kehilangan seonggok jiwanya, dengan pandangan kosong, ia menatap lurus ke depan.

"Lo takut?" tanya cowok itu lagi.

Cewek itu tertawa sinis. "Takut? TAKUUUT?" pekiknya histeris hingga menggema ke seluruh penjuru ruangan. Jika aula itu bukan kedap suara, anak kelas XII pasti sudah berbondong-bondong muncul di pintu aula.

Chika kalap. Ia meluapkan semua emosi yang dari tadi ditekannya. "Lo nanya gue takut apa nggak? Hah! Nggaaaak, seru, kok! Fun, kok! serasa di film THRILLER! Gue dikejar-kejar sama orang-orang yang nggak gue kenal. Seolah-olah, gue itu mangsa mereka, makanan mereka! Bahkan, gue hampir aja diiket pake tambang kayak kambing atau sapi yang siap dijagal di pinggir jalan. Orang-orang di sini gila! Sinting! Nggak, gue rasa sekolah ini yang udah GILA—"

Cowok itu menarik Chika berdiri, sangat dekat jarak di antara mereka. Bahkan,hembusan napas cowok itu dapat dirasakan mengusap pipi halus Chika.

"Ini terakhir kalinya gue bantuin lo!" ucap cowok itu pelan, tetapi tegas dengan mata tajamnya. Kemudian, ia merangkul pundak Chika yang kebingungan dengan tangan kanannya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience