BAB 1:KEMATIAN YANG TAK SEHARUSNYA TERJADI

Drama Series 18

Hari Terakhir Aurora

Hujan turun pelan, seperti ikut meratap atas hidup Aurora yang hampir habis.

Di sudut ruang pesta keluarga Hartono, Aurora berdiri sendiri dengan gaun putih sederhana—gaun yang sebelumnya ia banggakan, tetapi kini mengingatkannya pada satu hal:

Ia bukan siapa-siapa.
Bukan pewaris.
Bukan tunangan.
Bahkan bukan anak yang dianggap keluarga.

“Jadi ini keputusan akhir kalian?” suara Aurora bergetar.

Ibunya—atau perempuan yang ia kira ibu—hanya menatap dingin.
“Kamu tidak dibutuhkan lagi, Aurora. Jangan membuat masalah.”

Ayahnya menambahkan dengan nada datar,
“Kami sudah memilih. Adikmu lebih berguna.”

Lebih berguna.
Kata itu menghantam lebih keras dari tamparan manapun.

Aurora menarik napas panjang, menahan hatinya yang retak.
Jika ia menangis, mereka akan menang.
Jika ia jatuh, mereka akan puas.

Ia ingin bangkit.
Tapi dunia tidak memberinya waktu.

Karena malam itu… seseorang menjatuhkannya dari balkon lantai empat.

Dan hidupnya berakhir begitu saja.

Gelap.
Sunyi.
Sakit—lalu hilang.

Namun saat ia membuka mata… ia mendapati dirinya kembali tiga tahun sebelum kematian itu.

Kembali ke Titik Awal

Aurora terduduk di atas kasur, terengah-engah.
Dadanya naik turun, keringat dingin mengucur.

“Ini… kamar lamaku?”

Poster kuno di dinding.
Jam yang rusak di meja.
Buku tahunan yang dulu ia buang karena terlalu menyakitkan.

Semua… kembali seperti semula.

Aurora memegang wajahnya.
Kulitnya lebih halus, tidak lagi penuh luka-luka akibat kekerasan fisik dari keluarganya.
Tangannya gemetar.

“Aku kembali… sebelum semuanya hancur.”

Ingatan tentang kematian itu menabrak kepalanya seperti film berputar cepat.

Balkon.
Dorang kuat.
Rasa sakit di tulang belakang.
Wajah seseorang yang samar-samar terlihat dalam gelapan…

Aurora mengepal.

“Kali ini, aku tidak akan jatuh. Aku tidak akan jadi korban mereka lagi.”

Namun tekadnya baru saja ia ucapkan ketika suara ketukan keras terdengar dari luar kamarnya.

BRAK!

Pintu dibuka paksa.

“Bangun!”
Suara ibunya—marah, penuh perintah seperti biasa.

Aurora terlonjak.
Tubuhnya mengingat rasa takut itu, meski kini jiwanya sudah kembali kuat.

“Ada apa?” suara Aurora kini tidak serapuh dulu.

Ibunya meliriknya dengan tatapan meremehkan.
“Jangan banyak tanya. Cepat siap-siap. Perusahaan Tuan Adrian akan berkunjung hari ini. Jangan mempermalukan keluarga!”

Aurora membeku.

Tuan Adrian?
Adrian… Leone?
Pria dingin yang di kehidupan sebelumnya menghancurkan rencananya secara tidak sengaja… dan akhirnya menjadi pelindungnya?

Aurora mengepalkan selimut.

“Jadi pertemuan itu… hari ini.”

Di kehidupan sebelumnya, ia takut dan bersembunyi.
Sekarang?
Ia justru ingin bertemu pria itu.

Karena satu hal yang ia tahu:

Adrian Leone adalah titik awal perubahan segalanya.

Sang Pengacau Takdir

Sore harinya, rumah Hartono dipenuhi orang bersetelan rapi.

Aurora turun perlahan dari tangga. Semua orang sibuk menyambut tamu penting.

Dan di sana—berdiri tegap, dingin seperti es kutub—seorang pria berjas hitam yang auranya begitu kuat hingga ruangan seolah berhenti bernapas.

Rambut hitam rapi.
Wajah tampan dengan garis rahang tegas.
Tatapan tajam yang tampak mampu membongkar rahasia terdalam seseorang.

Adrian Leone.

Pria yang seharusnya tidak peduli padanya.
Pria yang sebelumnya ia benci… dan diam-diam ia harapkan.

Adrian mengalihkan tatapannya.
Mata mereka bertemu.

Aurora tidak menunduk seperti dulu.
Ia menatap balik—tenang, elegan, dan penuh rahasia.

Alis Adrian terangkat… hanya sedikit, tapi cukup untuk menunjukkan ketertarikan.

“Aku tidak ingat ada seseorang seperti ini,” gumam Adrian pelan.

Aurora menahan senyum kecil.

Dalam hidup sebelumnya, ia tak pernah menjadi apa-apa.
Sekarang?
Ia akan menjadi seseorang.

Langkah pertama?
Membuat pria ini tidak bisa melupakannya.

Aurora melangkah mendekat, mengulurkan tangan dengan senyum halus.

Tatapan yang Tidak Seharusnya Terjadi

“Halo, Tuan Adrian. Selamat datang.”

Aurora membungkuk sedikit, sopan, anggun. Tidak berlebihan—cukup untuk menunjukkan penghormatan tanpa menjatuhkan harga dirinya.

Adrian menatap Aurora seperti seseorang yang baru saja melihat teka-teki rumit.
Tatapannya tidak sekadar memeriksa… tetapi menilai.

“Suara yang tenang,” gumamnya pelan. “Jarang ada yang bisa menyapaku tanpa gemetar di rumah ini.”

Aurora tersenyum.
Kalau kehidupan sebelumnya, ia pasti sudah pucat ketakutan di hadapan pria ini.

“Tentu saja,” katanya santai. “Saya hanya menyambut tamu ayah saya.”

Adrian mengangkat satu alis.
“Begitukah?”

Ada nada penasarannya—Adrian tidak biasanya tertarik pada perempuan yang tidak ia kenal.

Para pegawai dan keluarga Hartono menoleh ke arah mereka, jelas terkejut.
Ayahnya bahkan tampak mencoba menahan rasa kesal—karena dalam kehidupan sebelumnya, Adrian tidak pernah menyadari keberadaan Aurora.

Tetapi sekarang… semuanya berubah.

Luka Lama yang Mulai Terbuka

Saat Aurora hendak mundur, suara familiar terdengar dari belakangnya.

“Kak Aurora, tolong jangan ganggu Tuan Adrian. Dia datang untuk bisnis, bukan untuk ngobrol denganmu.”

Adiknya, Bian.

Gadis cantik, lembut di depan publik, namun menakutkan di balik layar.
Pelaku utama yang menjatuhkan Aurora pada kehidupan sebelumnya.

Aurora menoleh pelan.

“Aku hanya menyambut tamu. Itu tugas dasar seorang tuan rumah, bukan?”

Bian tersenyum manis—senyum palsu yang dulu membuat semua orang terpesona.

“Tapi kamu tidak perlu berlebihan. Aku bisa menanganinya.”

Aurora menahan tawa kecil.
Dulu dia diam saja… sekarang tidak.

“Tenang saja, Bian. Aku tidak berniat mengambil bagianmu. Kamu selalu dapat perhatian, kan?”

Bian membeku.
Itu sindiran halus, dan Aurora melakukannya dengan wajah semanis mungkin.

Adrian melirik keduanya, jelas memperhatikan dinamika itu.

“Dia tidak mengganggu,” kata Adrian tiba-tiba.
Sikapnya datar, tapi kalimat itu cukup membuat semua orang menoleh.

Bian pucat, ayah mereka menegang, ibu mereka memaksa senyum kaku.

Aurora mengedip pelan.
Ia baru saja mendapat dukungan dari pria yang paling sulit didekati.

Dan ia sama sekali tidak meminta.

Mata Tersembunyi dari Masa Depan

Aurora melangkah mundur dan berdiri di samping ruangan, memberi ruang bagi ayahnya dan Adrian untuk membicarakan bisnis.

Tetapi perhatian Adrian… masih kembali kepadanya beberapa kali.

Pandangan pria itu selalu cepat, tajam, dan tidak gampang terbaca.
Tapi ketika ia melihat Aurora, ada sesuatu yang berbeda di matanya.

Seolah ia tengah berusaha mengingat seseorang.
Seseorang yang tidak pernah ia temui.

Aurora merasakan bulu kuduknya berdiri.
“Dia mulai tertarik… lebih cepat dari sebelumnya.”

Di kehidupan pertama, ia baru bertemu Adrian setahun setelah semuanya hancur.
Sekarang? Mereka sudah terhubung sejak hari pertama.

Satu kata terlintas di pikiran Aurora.

Kesempatan.

Namun sebelum ia bisa berpikir lebih jauh—

Ibunya mendekat dengan senyum yang tampak hangat… namun nadanya tajam.

“Kamu membuat masalah lagi,” bisiknya. “Jangan dekat-dekat dengan Tuan Adrian. Dia bukan levelmu.”

Aurora mengangkat dagu sedikit.

“Kenapa? Takut aku mencuri perhatian darimu?”

Wajah ibunya memucat, jelas tidak menyangka jawaban itu.

Aurora sudah bukan Aurora yang dulu.

Detik Dimulainya Takdir Baru

Acara berjalan sampai sore. Kontrak ditandatangani. Semua keluarga sibuk memuji Bian yang menjadi wajah perusahaan.

Aurora berdiri di balkon, melihat kota yang sama dengan hidup yang berbeda.

“Tidak ada yang berubah di sini…” gumamnya.

Tapi dirinya—berubah sepenuhnya.

Ketika ia hendak berbalik masuk, pintu balkon terbuka.

Adrian berdiri di sana.

Angin sore menyapu rambutnya, membuat auranya semakin dingin dan berwibawa.

“Kamu,” panggil Adrian pelan.

Aurora menegakkan tubuh.

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan Adrian?”

Adrian berjalan mendekat, menghentikan langkahnya hanya satu meter dari Aurora.

Tatapannya tidak lagi sekadar observasi.
Ada ketertarikan.
Ada rasa ingin tahu mendalam.
Ada… sesuatu yang tidak ia sadari sendiri.

“Aku jarang salah menilai orang,” katanya pelan. “Dan kamu… bukan gadis biasa.”

Dadanya berdebar halus, tetapi Aurora tetap tenang.

“Kita baru bertemu, Tuan.”

“Benar.” Adrian menatap langit sejenak. “Namun aku punya firasat… kita akan bertemu lagi.”

Angin membawa aroma mawar merah yang tertinggal dari dekorasi pesta.

Aurora tersenyum kecil.

“Kalau begitu… aku menantikannya.”

Adrian menatapnya dalam-dalam, lalu berbalik tanpa berkata apa-apa lagi.

Begitu Adrian pergi, Aurora menggenggam pagar balkon.

Ini dia.

Detik itu—
detik ketika ia memutar takdir.

Kehidupannya yang kedua… resmi dimulai.
Dan kali ini, ia akan menulis jalan ceritanya sendiri.

Dengan tangan yang jauh lebih kuat.
Dengan hati yang tidak lagi mudah dihancurkan.
Dan dengan seorang pria dingin yang… tiba-tiba tertarik padanya.

Share this novel

Shadow Queen
2025-11-16 07:17:40 

Bagus aku suka


NovelPlus Premium

The best ads free experience