Tiba-tiba bus yang melaju berhenti sejenak. Entah ada apa, Purnawa Dwi sendiri juga tidak tahu. Bus itu berhenti di sebuah tempat ramai seperti pasar. Purnawa Dwi menghela napas panjang. Di dalam sesak dan pengap. Kemudian, ada pengamen yang memainkan gendang, dan satunya lagi membawa sebuah topi. Kemudian mereka langsung menyanyi dan memainkan gendangnya.
“Ayang ku rindu kamu. Ingin mencium kening kamu. Ayang ku rindu kamu. Ingin memeluk mesra kamu
Sungguh rinduku menggelitik. Ingin bertemu ingin bertemu sama kamu. Ay dimana kamu. Bagaimana keadaannmu
Oh Ay di sini aku. Melamun memikirkan kamu.”

Purnawa Dwi pun merogoh uangnya dari saku celananya. Kemudian memasukkan ke dalam topi yang di todongkan ke arah mukanya. “Terima kasih…” Kata laki-laki itu. Kedua pengamen tersebut turun dan bus pun kembali melaju. “Kenapa sebuah kepercayaan memisahkan kita. Apa hubungannya anak ketiga dan pertama? Aku sangat mencintainya dan aku juga tahu bahawa abang Jalal juga mencintaiku. Kenapa?” Tanya Purnawa Dwi dalam hati.

“Tidak, aku tidak boleh bersedih.” Kata Purnawa Dwi menyemangati dirinya sendiri, dan mengusap air matanya. “Aku harus bisa melupakan Mas Jalal . Aku harus bisa bangkit dari kesedihan ini. Perjalananku masih panjang. Aku harus melupakan kejadian di bandar memori itu. Bandung , aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku ke sana. Keindahanmu sudah terhapus oleh memori pahitku dengan Mas Jalal .” Kata Purnawa Dwi dalam hatinya.

Bandung , bandar yang begitu diagungkan dan tempat yang menjadi tujuan wisata banyak orang, hanyalah bandar memori di hati Purnawa Dwi . Setiap kali ia mendengar nama bandar itu, hatinya selalu teriris. Melihat perjuangannya, datang, mencari Jalal dan berusaha mencari jawaban atas hubungannya. Namun hanya kesedihan yang ia bawa pulang sebagai oleh-oleh. Tak ada apel, keripik buah dan oleh-oleh khas lainnya. “Bandung , selamanya kau hanya akan menjadi bandar memori yang menyisakan kesedihan di hatiku.”