BAB 3

Family Completed 304

Beberapa tahun kemudian, Sukarelawan mulai tumbuh sebagai anak ingusan sebagaimana mestinya. Hanya saja, ia sangat miskin. Tapi itu bukan jadi alasan untuk Sukarelawan mengeluh dengan hidupnya. Ia terlihat sangat bahagia walau hanya bisa makan dengan ubi godok dan keong rebus. Kini, ia tinggal bersama seorang ayah yang sangat sayang padanya. Ibunya yang guru matematika itu, mati setelah melahirkannya akibat ditembak peluru nyasar si penembak jitu yang berniat menembak kepala presiden.

“Pa, kenapa kita miskin terus? Bukannya Papa sudah kerja setiap hari?”

Walaupun miskin, Sukarelawan tak merasa aneh memanggil ayahnya dengan sebutan papa.

“Nak, kita miskin bukan kerana kita malas bekerja,”

“Terus kenapa?”

“Kita terus bekerja pun tapi kalau gajinya hanya habis untuk makan ya kita tak akan pernah jadi kaya.”

Sukarelawan hanya bisa menggaruk-garuk pantatnya. Diperhatikannya betul-betul saat ayahnya sedang memotong keong-keong rebus itu. Beberapa menit kemudian, ia pergi ke rawa belakang rumah untuk mencari keong lagi.

Sukarelawan itu tidak pernah ke sekolah bahkan sehingga dia beranjak remaja. Dia tidak pernah merasa iri saat teman-teman sedesanya bernyanyi gembira kala berjalan menuju sekolah negeri terdekat yang tak ada gerbangnya. Namun, ia akan selalu bergabung dengan temannya waktu mereka belajar bersama atau kerja kelompok. Disitu ia suka sekali membuka buku-buku temannya dan membacanya habis-habisan.

“Sukarelawan , kenapa kau tak bersekolah saja? Aku bisa membuatmu bersekolah tanpa harus bayar.” Tawar seorang temannya.

“Masa’ sih? Tidak mengeluarkan uang sedikitpun?”

“Iya.”

“Caranya?”

“Aku nanti akan mengajukanmu ke kepala sekolah untuk menjadi pembersih bilik mandi sekolah kami. Kerana tak ada seorangpun yang mau untuk bekerja di bagian itu.”

“Serius? Wah, ini luar biasa! Aku bisa sekolah hanya dengan mencuci wc! Beruntung sekali aku!”

“Hei, Sukarelawan . Bilik mandi sekolah kami dinobatkan sebagai bilik mandi terkotor sekabupaten, loh! Ada banyak kotoran bergeletakan, bau pipis yang begitu menyengat, kau tidak gentar?”

Sukarelawan menggeleng semangat penuh bahagia. Ia bergegas pulang sembari membawa karung penuh berisi keong untuk memberitahukan pada ayahnya kalau ia bisa bersekolah gratis.

Alangkah malangnya Sukarelawan itu , setibanya di rumah dia mendapati ayahnya sudah tergantung kaku membiru di bilik . Tubuh dingin ayahnya berpusing-pusing perlahan-lahan di hadapannya. Karung yang penuh keong itupun seraya jatuh berserakan di lantai. Sepatutnya dia tidak perlu terkejut lagi, memang sudah lama ayahnya ingin bunuh diri sebab sudah tak mampu menyara anaknya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience