BAB 2

Family Completed 304

Kita tidak perlu terburu-terburu dalam bercerita. Lebih baik kita mencoba menelusuri jejak-jejak masa lalu Sukarelawan agar kita tahu, apa yang membuatnya bisa begini bisa begitu.

Hari ketiga belas bulan ketujuh, lahirlah seorang bayi laki-laki dari rahim seorang guru matematika. Kalau tidak salah, peristiwa ini terjadi pada masa dimana tren memfoto diri sendiri dan aplikasi percantik wajah merajalela.

Guru matematika yang mengajar di sekolah SMP negeri yang paling bobrok di kota itu, berhasil melahirkan dengan selamat sentosa di bawah lampu merah. Kala ia sedang meraung kesakitan, pertanda si orok akan keluar, banyak orang- orang berkumpul di area tersebut. Mereka semua, kira-kira sekitar sembilan puluh sembilan kepala manusia, menjadi saksi atas rasa sakit melahirkan seorang wanita di tempat umum lagi terbuka. Tidak, tidak. Kerumunan orang sebanyak itu ada bukan untuk menolong atau membantu proses lahiran, tapi kerana lampu merah yang ada di jalan itu mulai hidup dan memulai angkanya dari angka 500. Cukup lama ya untuk sebuah lampu merah. Tentu saja, lampu merah tersebut berhasil menciptakan sebuah kemacetan yang luar biasa.

“Yang, itu ada yang melahirkan, sana bantu! Kasihan loh ibu itu.” Ucap salah seorang pengendara di barisan pertama, tepat di sebelah guru matematika tersebut.

“Eits, nggak boleh, yang. Kalau sudah lampu merah itu nggak boleh jalan kemana-mana. Tungguin sampai selesai lampu merahnya!” Jawab wanita yang ada di belakangnya.

“Pak, lihat ada yang mau melahirkan!” Seorang siswi SMP menggoyang-goyangkan pundak ayahnya yang sedang mengantuk menunggu selesainya lampu merah.

“Lah terus bapak harus ngapain? Bapak itu sarjana kalkulator, bukan sarjana melahirkan. Mana mudeng yang begituan!”

Banyak pengendara yang terjebak macet tersebut mulai memperhatikan peristiwa lahiran tersebut. Mulai terdengar bisik sana bisik sini sesama pengendara. Mulut-mulut mereka terus meramaikan kemacetan di siang yang begitu terik. Namun tak ada seorang pun yang hatinya tergerak untuk menolong proses lahiran si guru matematika tersebut. Ia mulai merasa sakit yang luar biasa. Sampai pada akhirnya, datanglah presiden kita dengan kaus oblongnya. Ia berjalan gagah walaupun tak terlihat sama sekali wibawanya, padahal ia telah menggunakan minyak kemiri di rambutnya hingga tampak klimis betul. Ia muncul dibalik ramainya kendaraan yang terjebak macet. Para maceterz (Sebutan untuk yang terjebak macet) hanya bisa melongo saat tahu presiden kita telah tiba. Ia tak sungkan-sungkan mendekatkan diri ke guru matematika. Walau hanya bisa memberi semangat tanpa ada menyentuh apapun atau siapapun, anehnya, bayi itu berhasil keluar. Para Maceterz bersorak gembira. Bahkan ada yang menangis penuh haru dan saling berpelukan. Para pengamen sekitar langsung menyanyikan lagu penuh pujian untuk presiden kita. Guru matematika itu sangat berterima kasih kepada presiden kita. Kedatangannya membuat anaknya berhasil keluar dengan selamat. Banyak orang yang mendatanginya dan segera memeluknya.

“Ini baru namanya presiden kita!”

“Ya, akhirnya negara kita berhasil mendapatkan presiden idaman!”

“Baru kali ini ada presiden yang benar-benar blusukan! Tanpa pengawal, benar menolong, tak cuma hanya jalan-jalan dan pencitraan!”

“Kita harus memilihnya menjadi presiden seumur hidup!”

Presiden kita hanya bisa mesem-mesem saja menanggapi berbagai pujian yang menghampirinya. Melambai-lambaikan tangan, mengangguk-anggukkan kepala, betapa sederhana sekali.

“Oh, presidenku, apa yang harus saya lakukan untuk membalas budi baik anda?” Tanya si guru matematika yang masih terduduk lemas di atas trotoar sembari menyusui si bayi.

Presiden kita lagi-lagi hanya bisa nyengir. Ia tak menjawab atau berkata apapun. Orang-orang mulai merasa aneh.

“Pak presiden, kenapa anda tak berkata apapun?”

Dibalik kerumunan tersebut, muncul seorang pria berkacamata berlari tergopoh-gopoh. Ia memegang secarik kertas sampai di hadapan presiden kita, ia terjatuh.

“Ini, pak. Maaf agak lama, printernya tadi error kemasukan keringat saya.”

Setelah kertas itu sampai ke tangan presiden kita, barulah ia berbicara, walau sebatas membaca teks.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience