Makan malam antara mereka berdua berjalan dengan tenang dan berakhir tanpa kendala apapun. Hari sudah sangat malam, Mia bermaksud untuk segera pulang agar kakak laki-lakinya tak khawatir. Sebelum pulang, mereka bertukar nomor telepon.
Sambil melambaikan tangannya, "Aku akan merindukanmu, Mia." Ucapnya tersenyum tipis.
"Ya..."
Mengangkat sebelah alisnya, sedikit tak puas atas reaksi pasif orang yang dihadapannya yang notabenya kekasihnya, "Apa kau juga tak akan merindukanku, Mia?" Tanya Yong menatap Mia.
"Kau setidaknya lebih baik dariku, Yong. Aku hanya mencoba berpikir bahwa ini bukan mimpi... Atau sebaliknya.." Jelas Mia cepat.
Mendengar penjelasan itu, rasa tidak puasnya entah mengapa hilang, lalu berkata, "Apakah semengejutkan itu menjadi kekasihku, Mia? Bukankah kau menganggap diriku terlalu tinggi, Mia?"
Termenung, "Sebenarnya tidak begitu. Lagipula sejujurnya ini bukan pertama kalinya aku... Berpacaran." Ucap Mia jujur. "Aku masih menganggap ini sulit diterima karena... Dari sekian kalinya, durasi kita berkenalan hingga memiliki hubungan terlalu singkat."
"Hanya sekitar sehari, bukan?" Itu diangguki setuju oleh Mia. "... Apa yang sulit diterima? Kita masing-masing hanya mencoba jujur, benar? Yang sulit diterima justru dimana mereka yang lama menjalin hubungan tapi berakhir pisah." Mia hanya diam atas itu. Yong melanjutkan, "Dan lagi, mengapa mereka pisah jika selama itu untuk waktu yang terbilang berharga, pada akhirnya tak bersama? Bukankah itu sulit diterima?"
Agak lama saat Mia membalas perkataan Yong, "Ah, kau secara tidak langsung mengingatkanku pada masa laluku, Yong."
Yong tercengang.
"Aku mengalami hal seperti yang kau katakan." Lanjutnya dengan nada datar. "Kami saat itu baik-baik saja. Tapi sayangnya, aku yang bodoh selama itu. Aku kira aku mendapatkan pria terbaik yang pernah ada di hidupku. Tak menyangka bahwa aku sebenarnya hanya merupakan kekasih gelapnya. Aku tak menyadari itu hingga tiga tahun lamanya."
Yong hanya menjadi lebih tercengang.
"Aku mencoba lagi dan jatuh cinta pada seorang pria selama sekitar 2 tahun. Aku berusaha menyampaikan perasaanku padanya, tapi saat itu, ia memutuskan segala hubungannya denganku. Ia mencium sahabatku di depanku dan mengatakan bahwa mereka sudah bertunangan."
Kini Yong tak bisa berkata-kata.
Ini, masa lalu kekasih barunya, bukankah sangat traumatis?
Mengapa wajahnya dari awal sangat datar seakan-akan ia hanya sedang berpidato?
"Ah... Mereka pasti buta. Dan pasti ini keberuntungan bagiku karena telah mempertemukanku denganmu, Mia."
Mia mengangguk, "Benar, mereka buta. Kebanyakan para pria memang buta karena mereka lebih suka memilih perempuan yang secara fisik luar biasa, dengan latar belakang istimewa, dan penampilan rupawan."
"Aku... Apakah aku terlihat seperti itu dimatamu, sayang~?" Goda Yong dengan wajah terluka.
"Tidak, untuk sekarang." Jawabannya membuat Yong tersenyum kecut. "Panggilan 'sayang' itu lumayan baik-baik saja." Lanjut Mia entah berupa pujian ataupun bukan.
Yong tak bisa mengatakan lebih lanjut. Mia yang melihat bahwa Yong tak berbicara lagi, bersiap-siap untuk pergi. Namun, sebelum pergi, Mia menghampiri Yong dan memberi ciuman singkat pada pipi sebelah kanannya.
"Ciuman selamat tinggal." Ucap Mia singkat, namun sedikit tersipu.
"Bagaimana dengan ciuman selamat malam dan tidurku?" Lanjut Yong tersenyum lebar karena bahagia.
"Bukankah berarti aku harus mencium dirimu dua kali lagi?"
"Satu baik-baik saja. Disini." Pintanya sembari menunjuk bibirnya.
"... Bahkan jika aku pernah dalam hubungan selama 3 tahun, ia bahkan hanya beberapa kali untuk mendapat sebuah pelukan dariku." Ucap Mia dengan cemberut.
"Pantas saja,... Oke, baiklah, kau boleh menciumku sesukamu, dimana saja. Hanya satu saja, oke?"
Pada akhirnya Mia mencium Yong di pipi sebelah kirinya.
Besoknya....
Mia terbangun dari tidurnya pada saat matahari tak lama terbit. Lalu menatap teleponnya sementara dan menelusuri nomor seseorang, itu Yong.
Beberapa detik, ia berniat untuk menelepon Yong. Tak disangka, teleponnya kini berdering, Yong menelepon.
'Halo?'
'Mia, ini kau?'
'Uhm.'
'Baru bangun?'
'Iya.'
'Aku tidak mengganggu tidurmu, bukan?'
'Ya.'
'...'
'Aku baru saja berniat meneleponmu.'
'Mengapa??'
'Berpikir bahwa apakah malam itu adalah hal yang nyata atau hanya mimpi.'
'Ah... Kita memiliki pikiran yang sama.'
'Baguslah bahwa sekarang sudah terbukti nyata dan seharusnya keraguan kita telah hilang.'
'Ya, itu benar.'
'Semangatlah untuk pekerjaanmu hari ini, Yong.'
'Kau juga, Mia.'
Sambungan berakhir.
Share this novel