BAB 3

Drama Completed 317

Tetapi ayahku adem-ayem saja, menikmati sisa puding buatan ibu sebagai penutup makan malam dan tidak menghiraukanku yang mulai kerasukan. Aku menghela nafas dan mulai merapikan bajuku, berpikir sesaat. Maafkan aku Bu, setelah kejadian ini kau boleh mencoretku dari kartu keluarga atau mengutukku menjadi batu kapur setidaknya aku bisa terbebas dari pria imut nan gemulai ini.

Mula-mula aku bernafas cepat, jatuh pingsan serta memegangi dadaku secara dramatis dan menaikkan bola mataku ke atas seperti orang terserang penyakit ayan, ibuku yang melihatku panik luar biasa kerana sebelumnya aku tidak pernah seperti ini. Yang lebih mengejutkan teman ibuku histeris bersama anaknya yang (sok) ganteng mencurigaiku mempunyai penyakit keturunan dan ayahku ah, mukanya memerah kerana menahan tawa jika tidak dimarahi ibu untuk membawaku ke rumah sakit terdekat.

Satu minggu lamanya berada di rumah sakit, dokter akhirnya memperbolehkanku pulang sebagai tambahan aku hanya dinasihati oleh dokter untuk tidak kecapaian saat bekerja meski sebenarnya aku tidak benar-benar sakit.

Setelah kepulanganku dari rumah sakit, teman ibuku memutuskan kontak dengan ibuku, pura-pura lupa ingatan bahwa akan menjodohkanku dengan anaknya. Ibu sebenarnya tahu bahwa aku sengaja berulah malam itu. Kekecewaan tergambar jelas di wajah ibuku sebagai hukumannya ibuku puasa bicara denganku. Aku tahu aku salah jadi saat ibuku sibuk merajut di waktu senggangnya aku menyentuh punggung tangannya dan mulai berbicara.

“Maaf, jika kelakuanku keterlaluan Bu tapi percayalah dia bukan laki-laki yang baik saat memutuskan perjodohan kerana melihatku pingsan dengan pose aneh kerana dari awal dia tidak pernah benar-benar menerimaku.”

Aku tersenyum tetap menggenggam tangan ibuku, ibu menghentikan aktivitas merajutnya, menghembuskan nafas panjang dan membalas tersenyum padaku. Aku memeluk ibuku dan akhirnya gencatan senjata dengan ibuku berakhir. Kadang saat meminta maaf dengannya tidak perlu quote-quote haru, cukup realistis dan menyesal kerana ibu selalu punya sisi lapang untuk memaafkan kelakuan ajaib anak-anaknya.

“Lagi ngobrol apa nih, sepertinya seru” ujar ibuku yang sudah membawa sepiring kudapan bergabung bersama kami dengan teh melatinya.

Aku tersentak mendengar suara ibuku cepat menggelengkan kepalaku dan berkata, “tidak ada yang penting kok ibu”.

Aku melirik cepat ke ayah memberi kode padanya agar tidak membahas soal lelaki lagi.

Beginilah akhir pekanku bersama dua orang penting dalam hidupku, tak ada kata kerja, apalagi sibuk untuk mereka. Kerana mereka selalu punya waktu untukku sejak saat aku belum tahu menggunakan kakiku berjalan hingga aku dewasa seperti ini. Bersama kopi susu, kopi hitam, dan teh melati membuat lupa sejenak memeras otak, tulisan rumit, hingga suara sumbang dari atasan kerja.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience