Rate

BAB 1

Drama Completed 684

Rintik hujan kembali membasahi kota Bandung. Langit menangis tiada henti-hentinya. Ku tatap tingkap bilik di depan sana. kosong. Jam segini biasanya dia sudah keluar dari bilik nya, menenteng bola basket dan memantulkannya lalu bermain di lapangan apartemen. Bersama kakak dan juga teman-temannya. Mungkin kerana hujan dia tidak kelihatan. Meski hatiku berharap ingin melihat wajahnya walau hanya sesaat. Tapi aku tidak bisa memaksa kemauan Tuhan. Dialah yang merencanakan, dan aku? hanya bisa berharap. Semilir angin berhembus bisu. Menyeruak aroma mint di bilik biruku. Aku kembali membuka buku. Di temani sekuntum mawar diatas tingkap.

Seminggu yang lalu. Saat aku pulang sekolah dimana langit juga masih menangis pilu. Aku berjalan di trotoar, menyusuri tapak menahan rintikan hujan. Bulan November, Kota Bandung terus di guyur hujan. Menyebalkan atau menyenangkan? Entahlah. Tapi hujan kukira cukup memberiku peluang untuk lebih dekat dengannya. Aku duduk dihalte menunggu jemputan. Arloji menunjuk pukul 14:35 Wib. Aku belum shalat Ashar, tapi kakakku tidak juga kunjung datang. Tidak ada angkutan, tidak ada tumpangan.

Cowok di Balik Tingkap

“ Boleh ikut duduk!” ketus seseorang berdiri tak jauh dariku. Tanpa menoleh aku memberinya ruang. Lalu aku melengosnya. Di-dia?

Seketika jantungku berdetak tidak beraturan, darah mengalir deras dan kacau. Salah tingkah? Mungkin. Ku tatap pendar wajah remaja itu. Dia basah kedinginan, seragam SMA-nya kuyup. Dengan jelas aku melihat dada bidangnya yang mengagumkan. Dia memang tampan. Alisnya tebal, hidungnya mancung, dan bibirnya…tipis menawan.

“ Nunggu siapa?” tanyanya kemudian.

“ Kakak-ku.” Lirihku seraya menyodorkan handuk kecil. Aku biasa membawanya di musim hujan. Remaja itu menerimanya dan berterima kasih.

“ Kalau nggak salah, kita satu kelas ‘kan?” Aku mengagguk.

Namanya Irwan. Dia anak baru di kelasku. Dan ini hari pertamanya. Kami sama-sama duduk di bangku kelas XI IPA 3. Kami memang belum lama saling mengenal, tapi aku dan Irwan sudah sempat berbincang di ruang guru tadi. Kebetulan kami berdua terpilih mengikuti Olimpiade Fisika Nasional. Suatu kebetulan.

“ Namamu siapa tadi, aku lupa?” lirihnya hendak menyalamiku.

“ Nisa. Nisa Al-Latif.” Sahutku sembari mengatupkan kedua telapak tangan didada. Agaknya Irwan mengerti kalau kami bukan muhrim. Dia tersenyum agak malu. Pandanganku beralih pada buku yang ku genggam. Aku pun membacanya.

Hampir setengah jam kami duduk menjauh dan saling diam. Matanya menatap gedung yang berdiri di seberang jalan. Sebisa mungkin aku menata hati dan pura-pura tidak memperdulikannya. Padahal, hasrat hati ingin mengenalnya lebih jauh.

***

Selepas shalat Isya di Masjid aku langsung pulang. Aku izin pada Ustazah Maimunah kerana tidak bisa mengikuti pengajian, kerana mbak Fia akan pulang ke Semarang. Aku pun pamit. Malam ini cuaca cukup terang. Bulan dan bintang serasi di balut selimut langit malam. Udara semilir hangat menepis wajahku. Aku berjalan mempercepat langkah. Sesampainya di depan pintu, aku melihat mbak Fia berbincang dengan seseorang. Siapa?

“ Asalamu ‘alaikum?” ketusku kemudian.

“ Wa ‘alaikum salam.” Jawab mbak Fia dan orang itu serempak.

“ Irwan?!” lirihku terkejut.

Remaja itu tersenyum ramah. Mbak Fia berdiri dan menghampiriku.

“ Maaf Nisa, mbak terburu-buru. Sekarang mbak harus berangkat. Kamu jaga rumah baik-baik. Oh ya, Irwan datang ingin mengajakmu kerumah pak Wardi. Katanya kalian ada tugas. Kalau begitu mbak langsung pamit yah.” cerocosnya lalu memelukku.

“ Malam ini juga berangkatnya, mbak?” tanyaku.

“ Ya, Nisa. Ada tugas dari kantor untuk mbak berangkat kesana. Mbak pergi yah?”

“ Hati-hati ya mbak.”

Mbak Fia mengangguk. Setelah menenteng koper ia kemudian berlalu dan menuruni tangga menuju lantai dasar.

“ Sudah lama nunggunya?” tanyaku pada Irwan. Jujur, aku tampak blushing saat ia menatapku dalam. Entah apa arti tatapan itu.

“ Nggak kok, belum ada sepuluh menit. Kita langsung berangkat ‘kan?”

“ Ya. Aku ganti baju dulu.”

“ Kalau begitu aku nunggu diluar.”

Setelah Irwan keluar aku segera masuk kedalam bilik . Memakai pakaian sesopannya. Semua badan tertutup rapat. Kerudung putih panjang sebahu ku kenakan. Tanpa make up lebay, sekarang aku berdiri didepan cermin. Berdandan? Tentu. Hanya pelembab dan lip gloss yang aku sematkan. Biar nggak tampak kering. Aku juga mengenakan parfum tanpa alkohol khusus wanita. Harumnya tidak terlalu menyengat. Aku suka wangi parfum yang lembut dan teduh.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience