BAB 1

Drama Completed 550

“Aisyah..” panggil seseorang yang suranya sudah tak asing lagi bagiku. Akupun menoleh ke belakang dengan senyuman hangat yang ku persembahkan hanya untuknya.
“Kamu kapan kembali lagi kesini?” tanya lelaki itu, Fadza l. Ia menatapku dengan sorot mata penuh pengharapan. Tetapi langsung ku tepis pandangan itu dengan mengucap istigfar. Aku tidak mau menambah catatan amal keburukanku hanya kerana menatap yang bukan mukhrimku.
“Hei,Arini .” ucapnya lagi, menyadarkan lamunanku.
“Oh ehm.. Aku nggak tau Fad, mungkin aku nggak balik lagi kesini. Memangnya kenapa?” jawabku gugup, lalu memalingkan wajahku ke arah anak kecil yang sedang asyik bermain bola
Sekilas kulihat raut wajah Fadza yang berubah menjadi murung. Aku jadi kasihan melihatnya, dan mencuba menanyakan sesuatu padanya, “Fadza l, apa kamu sedang ada masalah?” tanyaku.
Fadza tampak diam membisu. Pandangannya terlihat kosong. Tak lama, ia menghela napas berat. “Aisyah, aku mencintaimu. Dan masalah yang akan kuhadapi, aku harus kehilanganmu. Entah seberapa lama atau mungkin selamanya.” ucapnya gemetar seraya menitikkan beberapa air mata yang buru-buru dihapusnya. Mungkin ia tidak mau terlihat sebagai lelaki cengeng dihadapanku. Kerana selama ini, ia selalu berpenampilan rapi, santun dan juga sangat menjaga lisannya ketika berbicara padaku.
Tapi entah mengapa kata-katanya sangat menyentuh. Padahal sudah berulang kali ia menyatakan cintanya padaku, namun baru kali ini kata-katanya mampu mengetuk lubuk hatiku. Ya! rasanya telah tak terhitung berapa kali ia mengucap kata cinta untukku. Namun selalu kutepis. Aku selalu mengatakan untuk konsisten tidak ingin berpacaran. Selain melanggar hukum agama, pacaran juga pasti banyak menghabiskan uang. Sedangkan aku ingin lebih fokus untuk menjalani masa SMA-ku supaya bisa meraih beasiswa di perguruan tinggi. Dan aku juga harus menyisihkan uangku untuk keperluan masuk ke perguruan tinggi itu.
Walaupun aku juga memiliki rasa lebih dengannya. Tapi, tak apalah aku hanya ingin membuktikan bahwa imanku lebih kuat daripada nafsu yang menyeringai.

Suasana hening sesaat sampai Fadza menepis keheningan ini.
“TapiArini , jika ini memang cita-citamu. Kejarlah! kau lebih pantas meraih cita-cita daripada harus mengorbankan cinta.” Lanjutnya menghentakanku.
Seakan kata-katanya berubah menjadi siraman rohani yang begitu mudah masuk kedalam sanubari. Jarang sekali ia berucap bagai malaikat seperti ini. Atau mungkin memang aku yang belum terlalu mengenalnya.

Kutengadahkan pandangaku langit, mencari sisa-sisa cahaya senja yang masih menyelimuti langit sore ini. Kicauan burung pun mulai bersahut-sahutan menyambut datangnya petang. Sungguh indah ciptaanmu ini, ya Allah. Sama indahnya seperti kau ciptakan manusia yang hidup berpasangan.
”Fadza l, setiap orang yang mempunyai cita-cita pasti orang tersebut ingin mewujudkannya. Tidak ada satu pun orang yang membiarkan cita-citanya terhapus oleh ombak dan terbawa arus lautan. Aku yakin kamu pun begitu. Dan bilamana Allah telah mentakdirkan kita untuk berjodoh, pasti suatu saat nanti kita akan dipertemukan kembali oleh-Nya. Percayalah Fadza l.” ucapku mengakhiri perbincangan yang terjadi sekitar 3 tahun lalu. Ya! aku masih ingat, bahkan setiap detail gerakannya pun masih terlukis indah di memoriku. Senyumannya seakan tak pernah terhapus terakan oleh waktu. Aku merinduinya. Ya, aku merinduinya.

Petang mulai datang menyambar. Semilir angin yang sudah mulai dingin terasa semakin menusuk kulitku. Entah mengapa, petang selalu melukiskan keceriaan yang diliputi kesedihan. Sedih kerana sang raja siang telah pergi bersama cahaya indahnya dan senang kerana ‘kan datang malam yang dihiasi kelap-kelip cahaya bintang dan bulan yang selalu menjadi primadona malam. Dan mungkin kerana petang mempunyai kenangan tersendiri bagiku.

Tak lama, terdengar suara azan maghrib yang begitu lembut bergetar ditelingaku. Dengan sigap ku alihkan pandanganku dari misteri petang dan ku percepat langkahku untuk mengambil air wudhu yang selalu menyengarkan jiwa.

Kubentangkan sajadah kearah kiblat-Nya dan memulai sholat Maghrib ini dengan penuh kekhusyukan, demi mengharap ridho dan rahmat-Nya. Hatiku terasa lebih damai daripada sebelumnya, sungguh rahmat yang luar biasa telah kurasakan. Kini, kuangkat kedua tanganku dengan penuh pengharapan.
“Ya Allah.. Terimakasih atas rahmat dan kasih sayang Mu yang telah kau curah limpahkan kepada hambamu ini. Ya Robb, engkaulah Dzat yang maha mengetahui segalanya. Engkau pun tau, siapakah imam yang akan memimpin keluarga hamba nanti. Apakah ia ya Robb? Yang selalu datang menyusup melewati rongga-rongga kesepian di hati ini? Aku hanya mampu berharap. Namun jangan biarkan cinta ini tumbuh terlalu dalam padanya. Tapi sesungguhnya engkaulah yang maha tau siapa yang terbaik untuk hamba. Siapapun ia, jagalah dia selalu. Sempurnakanlah akhlaknya, agar bisa menuntun hamba menuju ke surga-Mu nanti. Aamiin”

Kutapakkan kaki di atas jalan aspal yang telah di jemur seharian oleh terik matahari. Menyusuri liku jalan yang penuh kebisingan dari suara kendaraan yang sedang berlalu lalang.

Semilir angin sejuk menemaniku yang sedang duduk terpaku bersender di bawah pohon mahoni. Ya! Terpaku dalam kesendirian yang semakin menyesakkan dada. Langsung ku ambil buku diary yang tersimpan rapi di tas ku. Dan kurangkai kata-kata rindu, rindu akan sosok lelaki yang kan menjadi imamku kelak. Ingin cepat rasanya bertemu dengannya. Ya Allah sabarkanlah hati hambamu ini. Hamba yakin kau pasti punya cara terbaik untuk mempertemukan hamba dengannya.

Tak lama, ku tutup buku diary itu, kupandangi langit malam yang tertabur bintang dengan cahaya kelap-kelipnya. Aku terenyuh memandangnya. Tanpa ku sedari i, sosok lelaki yang sepertinya tak asing lagi bagiku sudah duduk disampingku. Entah sejak kapan ia berada disitu. Apa ia mendengar curhatan hatiku pada sang Khalik? Apakah ia mengetahui isi hatiku? Ah sudahlah, lagipula ia tak ada urusan denganku. Tapi, siapakah ia? Sepertinya aku sangat mengenalinya.

Aku masih mencuba mengingat wajahnya sambil terus memperhatikan ia yang sedari tadi diam membisu, menatap lekat layar handphone yang ia genggam erat. Ingin rasanya kusapa ia yang masih terpaku. Tapi nampaknya nyali ini lebih kecil daripada inginku. “a..a” Payah! Kenapa lidahku menjadi kelu? Mulutku seperti terkunci oleh gembok yang begitu kuat. Entah kenapa detak jantungku berubah, berdetak lebih kencang daripada sebelumnya. Ternyata yang berada disampingku sejak tadi, ialah Fadza l. Oh! Sosok yang tak pernah ku fikir akan kujumpai lagi, sosok yang selama ini ku rindukan, sosok yang selama ini ku impikan menjadi imam dalam keluargaku. Aku tak percaya, dapat bertemu lagi dengannya.
“Aisyah.”
“Fadza l.”
“Aisyah, apa betul ini kau?”
“Ya ini aku,Arini . Temanmu dulu.”
“Aisyah, aku tak menyangka dapat bertemu kamu lagi disini.” ucap Fadza dengan mimik yang hampir sama ketika aku masih berada di Bandung, satu pondok pesantren dengannya.
“Aku juga Fadza l. Ini terasa seperti mimpi.” Balasku. ‘mimpi yang menjadi nyata’ lanjutku dalam hati

Aku dan Fadza masih meneruskan perbincangan itu. Namun, malam lebih cepat datang. Aku mengakhiri perbincangan itu, takut nanti akan menjadi fitnah jika sudah larut malam masih berbincang berdua dan kami pun berjanji besok akan bertemu kembali di taman ini.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience