BAB 3

Drama Completed 492

Seminggu setelah Mbok Sinar mengangkat anak aku, ia jatuh sakit. Tengah malam, ia mengerang-erang sambil memegangi perutnya bagian bawah. Aku panik. Seorang lelaki bertubuh kekar, turun dari truk yang dikemudikannya, menghampiriku. Ia menolongku membawa Mbok Sinar ke rumah sakit terdekat. Tapi hanya bertahan seminggu, Mbok Sinar lalu meninggal pas tengah malam. Entah mengapa, lelaki bertubuh kekar itu datang kembali saat aku kebingungan membawa pulang jenazah Mbok Sinar. Lelaki bertubuh kekar itulah yang membawa jenazah Mbok Sinar kembali ke rumahnya. Tapi ia lalu pergi seperti angin, tak menampakkan batang hidungnya ketika Mbok Sinar dimakamkan. Baru ia muncul kembali, setahun setelah Mbok Sinar dipanggil-Nya. Ia mengetuk rumah pintu Mbok Sinar, rumah yang kutempati.

“Ohh…sampeyan, Mas? Kok baru kelihatan setelah lama tak muncul? Ada apa malam-malam begini kok datang?” sapaku waktu itu, gugup.
“Tolong, kaki saya sakit.” Sahut lelaki bertubuh kekar, bertopi pet seperti biasanya.
“Ohhhh,” tanggapku, sambil mengamati kedua kakinya yang bengkak.
“Punya garam?” tanyanya, suaranya memelas.
“Punya?” sahutku spontan.
“Tolong, rendam kaki saya dengan air suam-suam kuku bergaram, nanti bengkaknya akan hilang. ” Pintanya halus dan sopan. “Dua puluh menit kemudian, tolong keringkan dengan handuk ini. Biar nyaman.” Sambungnya, sambil menyerahkan handuk kecil padaku. Kuamati, handuk itu berwarna coklat berbulu lembut. Selembut telapak tangannya yang menyentuh ujung-ujung jariku.

Lelaki yang bertubuh kekar, bertangan lembut dan bertopi pet adalah dirimu, Mas: Lelaki-ku. Lelaki yang kukenal tiga tahun, tapi sangat asing – sebetulnya. Betapa tidak? Aku tak tahu namamu yang sesungguhnya. Kau mengaku sebagai sopir truk, tapi telapak tanganmu begitu lembut. Setahuku, umumnya sopir truk bertelapak tangan kasar, bahkan kapalan. Kedua telapak kakimu juga bersih dan tumitnya utuh, mulus. Tak lazim sopir truk bertelapak kaki begitu rupa. Tubuhmu juga wangi, sewangi rambutmu dan mulutmu. Gigimu juga putih, berderet-deret rapi. Kumismu memang tebal, tapi kala mencium pipiku terasa empuk seperti sapuan beludru. Ketika kau makan, tak terdengar lidahmu berkecap-cepak. Mas, kau mengunyah dengan lumatan santun. Begitu pula saat kau meneguk air. Siapakah engkau yang sebenarnya?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience