BAB 4

Drama Completed 321

Sinar bulan tak sebenderang dulu. Cahayanya kian meredup seiring waktu yang mengikisnya. Awan mendung menari indah di depan bulan. Tertawa menghina. Kerana bulan tak lagi memberi sinarnya pada malam.

Klek!

Terdengar suara pintu dibuka. Aku yang tengah berdiri di dekat jendela sambil menyandarinya langsung menoleh seketika mendengar suara langkah kaki memasuki bilik sederhana yang kutempati di rumah Eyang.

Kulihat Eyang Putri berjalan tergopoh mendekatiku.

“Rupanya kau belum tidur.” suara serak Eyang kembali mengingatkanku pada masa kanak-kanakku.

“Eyang. Kenapa Eyang belum tidur?”

Aku mendekati Eyang dan memapahnya ke tepian tempat tidur.

“Kau belum ngantuk nduk?”

Tangan keriputnya mengusap pipi kiriku. Kebiasaan yang semanjak kecil ia lakukan padaku. Kebiasaan yang membuatku merasa seperti berada di awan.

“Belum Eyang. Belum ngantuk.” jawabku sekenanya. Berusaha menyembunyikan perasaanku. Namun aku keliru pada orang yang satu ini. Ia tak mudah di kelabui. Ia terlalu mudah mengetahui perasaan orang lain, sampai tak ada satu rahasia pun yang dapat disembunyikan darinya.

“Kenapa murung? Ada pikiran yang mengganggumu?”

Wanita baya itu menatapku dengan sorotan menusuk.

“Tidak. Tidak sekarang Eyang. Aku belum siap.” jawabku lemah. Tak lagi memandangnya. Aku lebih memilih memainkan jariku, mengaitkannya lalu di lepaskan. Seperti itu berulang-ulang.

Tangan kasar Eyang menarik tangan kiriku dan membawanya ke pangkuannya. Lalu menggosok-gosokannya dengan lembut.

“Kalau belum siap, tidak apa-apa nduk. Cuma satu pesan Eyang. Jangan kau simpan perasaanmu. Jika suka ya bilang suka. Jika tidak ya tidak. Jangan kau tidak suka, tapi bilang suka. Dan satu hal lagi, raihlah bahagiamu. Sudah saatnya kau mendapatkannya.”

Eyang bangkit dari duduknya dan menundukkan kepalanya, lalu mencium keningku.

Aku duduk terdiam sambil memandang kepergian eyang

Mungkinkah ini saatnya aku mendapatkan kebahagiaanku, batinku berbicara.

Aku bimbang. Dadaku bergejolak. Hatiku gamang. Jiwaku melemah.

Selama ini aku berpura-pura aku baik-baik saja. Tapi hatiku terluka selama ini aku berpura-pura tersenyum, padahal hatiku menangis. Selama ini aku berpura-pura mengalah, padahal hatiku ingin menang.

‘Haruskah wajah baru mengganti wajah lama yang terrlihat menurut? Ataukah topeng itu akan terus kukenakan sampai akhir nafasku?’

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience