Bunga bermekaran di tengah musim gugur. Hujan turun di musim panas. Dan daun berguguran di musim hujan.
Matahari bersinar di tengah malam yang menyelimuti hati. Menyilaukan sinarnya pada pandangan yang tak biasa terang.
Mereka menutup mata mereka dengan sinarnya kerana terlalu silau. Mereka berpaling dan memilih kegelapan menjadi background kehidupan mereka. Menyusuri jalan yang sebenarnya berduri. Tapi mereka tak menghiraukan. Tak peduli kerana tak terlihat oleh mata mereka.
“Pagi!”
Aku menoleh pada sosok cowok yang tengah berdiri di hadapanku. Ia ikut duduk di sampingku yang tengah membaca novel.
“Asmara yang menghilang!” ucapnya sambil menatap cover novel yang kupegang. “Bagus kok ceritanya. Aku juga suka.” katanya sambil tersenyum memandang anak-anak kecil yang tengah berlarian di rerumputan di depan kami.
Aku ikut memandang pada arah anak-anak kecil yang tengah asyik bermain. Mereka seperti malaikat kecil yang tertawa lepas di tengah kebahagiaan. Aku mengingat kembali masa kecilku. Dimana masa kanak-kanakku yang bahagia bersama Eyang. Tak ada ikut campur tangan ayah dan ibu. Semenjak kecil, aku diasuh Eyang. Hanya satu bulan sekali atau saat liburan saja ayah dan ibu menengokku. Membawaku pulang ke rumah.
Di rumah, aku hanya dijadikan boneka hiasan mereka saja. Mereka terlalu sibuk mencurahkan kasih sayang mereka pada kedua adik-adikku. Bahkan sampai usiaku menginjak tujuh belas tahun. Mereka masih menganggapku hanya benalu di antara mereka yang harus cepat-cepat dibersihkan.
Mereka menyemai luka padaku sejak kecil. Sejak aku belum tahu apa-apa. Dan sekarang, mereka masih melakukannya. Menyemai banyak luka di hatiku. Sampai tempat di hatiku tak lagi muat untuk luka itu.
“Kau lapar?” tanyanya lembut. “Ayo ikut! Kau pasti suka!”
Tanpa menunggu jawaban dariku, tangannya langsung menarik lenganku dan membawaku ke parkiran motor.
Ia mengambil helm dan memakainya, lalu menaiki motornya dan menyuruhku naik. Dengan enggan, aku membonceng ke motornya.
“Pegang yang kencang!” serunya setelah motornya melaju.
Kuikatkan tanganku pada pinggangnya.
Beberapa menit kemudian, kami berhenti di sebuah restoran Jepang. Aku sempat menatap ragu pada restoran di depanku. Ragu untuk memasukinya.
Ada rasa yang tak enak mengerumuni perasaanku. Membuatku pusing.
“Ayo masuk! Apa kau akan berdiri terus di situ sambil menatap restoran itu?”
Laki-laki itu menarikku. Melingkarkan tangannya ke punggung leherku. Dan kami memasuki restoran itu.
Ketika pintu restoran dibuka, bukan aroma masakan Jepun yang lazat ku hidu, Tapi aroma pertengkaran seorang lelaki dan wanita di dalam restoran. Entah apa yang dikecohkan sangat oleh mereka. Tapi mereka telahberjaya menarik perhatian pengunjung lain menancapkan mata pada mereka berdua bukan pada makanan yang dihidang di hadapan mata atau menu-menu yang ada di dalam buku menu. Dashyat aura mereka, mengalahkan pemain sinetron!
Pertengkaran dua orang itu memaksaku berhenti begitu pula dengan cowok di sampingku. Pertengkaran itu tak diusahakan untuk dilerai atau berhenti. Semua orang hanya diam menyaksikan. Seperti tontonan gratis yang harus di saksikan dan sayang kalau dilewatkan.
Dua orang itu yang merupakan suami istri itu, terus bertengkar. Mereka tak peduli wajah malu kedua anaknya dan kedua orangtua mereka yang baya itu. Bahkan kedua anak mereka terus terisak menangis sambil berteriak berhenti! Pada ayah dan ibu mereka. Tapi bagi sang ayah dan ibu, jeritan anaknya hanya suara angin yang berhembus lalu menghilang.
“Dia harus tahu semuanya.” teriak si suami.
“Tidak! Ia tidak boleh tahu. Apa kau ingin menyakiti hatinya?” teriak si istri yang tak mau kalah kerasnya dari suaminya.
“Tapi ia sudah besar. Ia dapat menilai mana yang benar dan mana yang salah.”
“Tapi bukan sekarang!”
“Kapan?! Kapan lagi kau terus menutupi kebenaran tentangnya. Kapan lagi kau akan terus membohonginya? Ia sudah tujuh belas tahun dan biarkan ia memilih kehidupannya.”
“Tapi kita harus menunggu waktu yang tepat!”
“Kapan?! Sampai Rena tahu dari orang lain, kalau ia bukan anakku! Ia anak hasil luar nikah. Bahwa ayah kandungnya meninggalkannya saat ibunya tengah mengandung dirinya. Hingga membuat keluarganya tercoreng di mata masyarakat, kerana aib yang ditanggungnya. Dan untungnya ada aku, ayah yang ia kira ayah kandungnya. Menikahi ibunya dan memberi status padanya.”
“Kak Rena!” seru anak laki-laki yang merupakan anak bungsu mereka.
Seketika dua orang itu menatap ke arah pintu, arah di mana anak laki-laki itu memanggilnya diikuti dengan yang lainnya.
Dua orang itu tertegun. Terlihat wajah yang ketakutan dan cemas.
“Rena!” seru seorang wanita separuh baya yang semalam membelai dan mengusap pipiku. Yang semalam menasehatiku dengan perasaanku tentang kebahagiaan. Wajah keriput yang semalam memberikan kasih sayangnya padaku, yang selama ini tak kudapatkan dari orangtuaku sendiri.
“Rena!” pekik sang istri yang tak lain adalah ibuku.
Aku bingung.
Aku terperanjat.
Aku syok. Aku sedih.
Aku marah.
Semua rasa itu bercampur menjadi satu kesatuan yang tak dapat dijelaskan bagaimana rasanya.
Aku bingung harus berbuat apa, sampai aku tak dapat menghapus air mataku yang deras membanjiri pipiku. Aku mematung dalam seribu rasa yang menghujam hatiku. Bibirku kelu untuk berkata. Berteriak pun tidak. Hanya diam berdiri sambil memandang pada ayah ibu tanpa berkedip dan terus menitikan air mata.
Setelah cowok di sampingku memegang tangan kiriku dan meremasnya, barulah aku tersadar. Dapat kukendalikan diriku dan otakku langsung meresponku untuk melakukan tindakan selanjutnya.
Berbalik dan keluar dari tempat itu adalah jalan yang kupilih. Diikuti cowok itu.
Di halaman restoran, cowok itu menarik lenganku. Ia membalikkan tubuhku lalu membawanya ke dadanya.
Aku menangis dalam pelukannya. Tak ada rasa malu menghinggapiku. Hanya rasa nyaman yang aku butuhkan saat ini.
Aku butuh sebuah penjelasan atas kejadian ini. Mimpi atau nyata?!
Ayah dan ibu begitu juga kedua Eyang dan kedua adikku mengejarku dan berhenti di depan pintu.
Mereka diam sambil memandang ke arahku yang tengah dipeluk seorang cowok yang tak mereka kenal.
“Rama!”
Cowok itu melepaskan pelukannya begitu mendengar namanya di panggil seseorang.
“Ayah!” seru cowok di sampingku.
“Diro!” Seru ibuku disertai tanda tanya di setiap wajah yang tengah menyaksikan.
“Mira!” Orang yang disebut ayah oleh Rama terlihat kaget. “Kau ada disini? Kudengar kau sudah menikah.”
“Iya. Aku memang sudah menikah. Ini suamiku dan ini anak-anak kami.” Jawab ibuku tanpa menoleh padaku
Aku merasakan sakit yang luar biasa. Luka yang selama ini mereka semai tak sebanding luka yang saat ini mereka hujamkan. Aku ingin berteriak. Aku ingin protes. Kenapa hanya aku yang tak disebut anak olehnya.
“Mira!” seru Eyang pada ibuku sambil menunjuk ke arahku dengan dagunya.
“Oh ya, aku sampai lupa. Kenalkan dia Rena, putriku… juga putrimu.”
Tak terllihat kekagetan di wajah ayah Rama, begitu pula dengan Rama itu sendiri.
Ayah Rama menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya mengusap kepalaku. Ada rasa haru di matanya. Tapi bagiku, itu seperti bukan rasa haru tapi rasa menghina.
“Kau sudah besar, ya. Dulu aku hanya dapat melihatmu di perut ibumu. Dan hanya melihatmu dari setiap potret yang ibumu kirimkan. Dari dulu, Rama ingin sekali melihatmu. Melihat adik perempuannya yang cantik.”
Kembali aku menitikkan air mata. Bukan air mata terharu atau senang, tapi air mata kepedihan.
Aku merasa dibohongi. Selama ini, aku hidup dalam kebohongan di balik kebenaran yang tersimpan. Mereka sudah tahu. Dan mereka menyembunyikan fakta dariku.
“Apa ini?!” tanyaku dengan suara serak yang hampir mirip bisikan.
“Sayang, maafkan mama. Selama ini, mama tidak mengatakannya padamu. Padahal mama memberitahu semua tentangmu pada papa kandungmu.” terang mama dengan deraian air mata.
Aku menunduk lemah, memejamkan mataku sejenak. Berharap saat aku membuka mata kembali ini hanya mimpi buruk belaka.
Tapi pikiran itu tak membantu. Kenyataan, suara mereka masih terdengar jelas. Dan aku masih berada dalam mimpi burukku yang ternyata adalah sebuah kenyataan pahit.
‘Bukan ini yang ku mau. Bukan!!!’ Hatiku menjerit. Aku menggeleng lemah dengan cucuran air mata yang terus membanjir.
Kurasakan tangan Rama kembali memegang tanganku dan meremasnya. Seketika itu, aku langsung menarik tanganku dan berbalik. Lalu berlari meninggalkan tempat itu.
Aku terus berlari. Berharap menjauh dari tempat itu. Sesekali air mataku berterbangan.
Hatiku terlalu sakit untuk mendengar dan melihat semuanya. Tanganku terlalu gemetar menerima uraian tangan penuh kebohongan.
Aku masih berlari dan terus berlari. Menyusuri jalan-jalan dengan tatapan orang-orang yang penuh tanya di benak mereka.
Aku tak mempedulikan mereka. Aku terus berlari dan berlari. Aku hanya ingin membuang semua luka yang menjatuhi hatiku.
Aku terus berlari dan menangis tanpa memperhatikan langkahku dan jalan, sampai aku tak menyadari sebuah mobil hitam melaju dengan kencangnya dan menuju ke arahku.
Sepintas aku menoleh ke arah mobil. Hanya silau lampu bagian depan mobil yang sempat terlihat oleh mataku. Aku berhenti berlari. Diam menatap silau lampu mobil dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap.
Sempat aku merasa tubuhku terjatuh dan terpelanting beberapa lama, sampai akhirnya tubuhku terhenti berguling, saat kurasakan kepalaku membentur aspal dengan keras. Aku merasakan sakit, tapi itu sementara. Setelah itu aku tak merasakan apa-apa lagi. Kecuali gelap yang kulihat. Sampai-sampai tak dapat kulihat jari-jari tanganku sendiri.
‘Disinikah akhir hidupku? Berakhir seperti inikah? Berakhir dengan jawaban yang tak memuaskan? Berakhir tanpa senyum yang selalu kunanti?’
Kemudian hanya gelap yang mencekam penglihatanku.
Gelap…
Gelap…
Gelap…
Gelap…
Gelap…
Share this novel