Malam yang dingin hampir membekukanku. Kurapatkan jaketku untuk menahan rasa dingin.
Satu jam yang lalu, ayah menyuruhku untuk pergi ke rumah Eyang. Bukan untuk liburan atau pun menengok. Melainkan untuk tinggal sementara di sana.
“Kau tak mungkin tinggal sendirian di rumah. Sedangkan ayah dan ibu pergi bersama adik-adikmu. Nanti kalau ada apa-apa denganmu, kami juga yang repot. Sebaiknya kau pergi ke rumah Eyang saja.” kata ayah.
Bukannya aku tak mau ikut. Tapi kenyataan, ayah tak mengajakku, begitu pula dengan ibuku.
Aku tak pernah menyalahkan mereka. Atau pun membenci mereka. Aku tetap sayang pada mereka.
Aku duduk diam di dalam bus yang memang penumpangnya sedikit. Sesekali mataku memandang jendela. Kulihat tetesan-tetesan air menempel di kaca jendela. Bukan air hujan, tapi kerana udara malam sangat dingin yang menimbulkan titik–titik embun.
Jalan yang mulai sepi. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Lampu-lampu jalan menyala seperti bintang penghias malam.
Aku masih terjaga dalam diam. Tak ingin memejamkan mata sedetik pun.
Kubiarkan mataku menyapu puas pemandangan malam ini. Membiarkan semuanya terekam dalam memori otakku. Bus berhenti di pemberhentian berikutnya. Tak banyak yang naik, hanya beberapa yang ikut.
Sepintas aku melihat sosok cowok yang tengah menaiki bus. Ia tak asing bagiku. Aku seperti mengenalnya, tapi aku tak ingat.
Kualihkan kembali pandanganku ke luar jendela. Menikmati sisa malam yang begitu dingin hingga menusuk tulang-tulangku.
Sudah berapa lama bus melaju, aku tak menyadarinya. Hingga membuatku bosan. Mataku mulai mengantuk. Penyakit malam mulai menyerang diriku.
Perlahan kusandarkan wajahku ke jendela. Memejamkan mata, menyambut alam mimpiku. Hingga tanpa kusadari, seseorang duduk di sebelah kananku.
Aku bermain-main dengan mimpiku. Seperti tubuhku terseret ombak yang menggulung besar. Dan aku terombang-ambing di tengahnya tanpa dapat berenang kembali ke tepian pantai. Aku terlanjur terbawa ombak hingga terseret arus ke tengah samudera yang dalam.
Dalam mimpiku atau bukan, aku merasakan kepalaku disentuh seseorang. Dibawanya ke bahunya sambil tangannya dilingkarkan ke bahuku.
Aku tak menolak, bahkan menghindarinya. Seperti ditarik magnet yang sangat kuat. Membuat siluet yang tak mudah untuk dilepaskan.
Tangan kirinya membelai kepalaku. Aku merasakan seperti tetesan embun yang jatuh ke ubun-ubunku. Merasuk ke dalam tubuhku. Menyebar, menciptakan salju-salju putih di dalamnya.
Tangan kanannya membelai pipi kananku. Seperti panas matahari yang menyinari tumbuh-tumbuhan. Seperti itulah panas yang kurasakan di tubuhku. Menumbuhkan bunga-bunga kecil di setiap jalan yang dilewatinya.
Aku merasa seperti tertidur di atas ayunan di tengah hamparan rerumputan di tengah musim panas. Wajahku yang terlelap dihunjami sinar matahari pagi yang menyejukkan. Sesekali mataku mengernyit kerana silau oleh cahaya.
Aku tak ingin bangun. Aku tak ingin mimpi indah itu lenyap, begitu aku terjaga. Aku ingin terlelap terus dengan kehangatan cahaya-Nya.
Bruk!
Aku terjaga, oleh goyangan bus yang sepertinya menabrak sesuatu. Seketika aku memegangi kepalaku yang terasa pusing.
“Kamu tidak apa-apa?”
Aku menoleh ke sebelahku. Seketika aku tertegun menatap wajah teduh di sampingku. Lama aku menatapnya. Seperti ada duri yang menusuk dadaku. Rasanya sakit sekali.
Ia mengernyitkan dahinya. Memaksaku kembali dari lamunanku. ”Tidak. Aku tidak apa-apa.” ucapku pendek.
Kualihkan kembali pandanganku ke jendela. Menahan rasa pening di kepalaku, sepertii ditusuk-tusuk beribu-ribu paku. Terlebih dengan rasa nyeri yang ngilu di dadaku. Sakit sekali seperti tertimpa batangan logam yang berat.
Kutajamkan telingaku. Mencoba memperhatikan gerak-gerik cowok di sampingku. Hening. Tak ada suara. Sepertinya ia tertidur. Kerana sekarang sudah larut malam. Dan sepanjang malam itu, aku tak dapat lagi tertidur dengan pulas.
Share this novel