Sabar

Drama Series 1976

“Yang, kopiku  mana?” Mas Dandi berteriak meminta kopinya yang belum sempat kuhidangkan.
“Sebentar, pancinya masih dipakai untuk masak sayur, Mas.” Jawabku segera, takut dia akan marah bila aku tidak menjawab panggilannya.
“Gimana sih. Mestinya kalau pagi, buatkan dulu kopinya, baru masak. Cepat buatkan kopi dulu.”
Mas Dandi berbicara dengan nada kasar. Aku menyadari kesalahanku yang tidak mempersiapkan secangkir kopi untuknya terlebih dahulu.
Padahal yang harus kukerjakan  dahulu adalah membuatkan kopi untuknya. Maklumlah, pagi ini ini harus bangun kesiangan. Aku baru terbangun pukul 05.30.
Semalam aku tidak dapat memejamkan mataku. Aku baru dapat memejamkan mata sekitar jam 02.30. Bisa dibayangkan dengan waktu tidur selama tiga jam membuat aku merasakan sedikit pusing pada kepalaku.
Apalagi saat bangun tadi aku terkejut karena takut kesiangan. Aku segera bangun untuk menunaikan sholat shubuh.
Rutinitas di pagi hari pada hari Senin sangatlah merepotkan. Aku terkadang harus berkejaran dengan waktu. Waktu untuk mempersiapkan kebutuhan Mas Dandi mulai dari sarapan pagi, kopi, pakaian kerjanya hingga bekalnya untuk makan siang.
Belum lagi aku harus juga mempersiapkan untuk anakku Haydar berusia 8 tahun, kelas 2 SD yang harus segera berangkat ke sekolah. Semua akan lancar-lancar saja bila si kecil Jasmin yang masih berumur 4 tahun tidak meminta perhatian. Setelah menyelesaikan semua keperluan mereka, barulah aku berpikir untuk memanjakan diriku.
Aku mengangkat panci rebusan sayur diatas kompor, menggantinya dengan Teflon yang telah kuisi air untuk membuat kopi. Setelah air mendidih, kutuangkan air rebusan dalam cangkir kecil yang telah kuisi dengan kopi dan gula. Kuaduk hingga gula larut kemudian menghidangkannya di meja tempat Mas Dandi duduk.
“Ini kopinya, mas.” Kataku meletakkan secangkir kopi permintaannya diatas meja tepat dihadapannya. Mas Dandi langsung meraih cangkir kopi kemudian menyeruputnya, tanpa mengatakan sepatah katapun.
Aku segera kembali ke dapur untuk  melanjutkan memasak. Jam sudah menunjukkan 06.00 sementara Haydar  belum juga bangun dari tidurnya, begitu pula Jasmin si adhik. Sambil menunggu sayur matang, aku menuju kamar Haydar untuk  membangunkannya.
Setelah Haydar bangun, kuminta dia untuk segera mandi, takutnya dia akan terlambat datang ke sekolah karena kesiangan.
Mendengarku membangunkan Haydar, Jasmin ternyata ikutan bangun juga. Jasmin ku bawa ke kamar mandi agar ikut mandi sekalian dengan Haydar. Kuminta mereka menggosok gigi terlebih dahulu.
Sambil mondar-mandir kamar mandi dan dapur untuk menyelesaikan masakan untuk sarapan pagi dan bekal suami dan Haydar. Aku mempersiapkan bekal untuk suamiku dan bekal Haydar yang kukemas dalam wadah Tupperware.
Selesai membungkus bekal, aku mendinginkan nasi di piring untuk Mas Dandi dan untuk Haydar. Mas Dandi tidak bisa makan dengan nasi yang masih panas. Aku juga berencana menyuapi Haydar selagi dia berpakaian.
Di kamar mandi Haydar dan Jasmin lagi-lagi bertengkar dan membuat Jasmin menangis. Kali ini mereka berdua berebutan gayung untuk mandi.
Aku yang sedang menyendokkan nasi ke piring seketika berhenti dan langsung menuju kamar mandi untuk melerai mereka berdua takut Mas Dandi terganggu dengan tangisan mereka.
“Yang, anaknya itu kenapa lagi di kamar mandi? Apa tidak bisa ya pagi-pagi suasana damai, tanpa ada suara keributan?” Benar dugaanku, Mas Dandi terganggu dengan ulah anak-anaknya. Aku segera mematikan kompor, kemudian berlari menuju kamar mandi untuk melerai mereka berdua.
“Abang, kalau di kamar mandi tidak boleh berisik, adiknya jangan dibikin nangis. Adik juga, jangan cengeng ya. Masak pagi-pagi sudah ada suara berisik di rumah? Malu dong di denger sama tetangga. Jangan diulangi ya.” Jelasku pada kedua orang anakku.
“Adik tuh nakal, Bu. Abang mau cepet-cepet mandi, biar ga terlambat.” Haydar membela diri.
“Abang nakal, ma, gayung adik diambil.” Adikpun tidak mau kalah.
“Sudah-sudah, sini ibu mandikan. Selesai mandi, Abang langsung pakai seragam sendiri ya, sudah ibu siapkan di atas tempat tidur. Jangan lupa tempat tidurnya dirapikan.” Jelasku lagi setelah memandikan Haydar dan.
“Ya, Bu. Siap Kapten.” Haydar menjawab sambil memberi hormat padaku. Aku tersenyum melihat tingkahnya.
“Nah, gitu dong. Itu baru anak ibu. Adik juga sini, ibu mandikan, biar cepat selesai. Adik bisa pakai baju sendiri kan?” tanyaku pada Jasmin.
“Bisa, kaptem.” Aku tersenyum mendengar jawaban si adik yang sering salah dalam penyebutan “Kapten”. Padahal sudah di ingatkan, tapi masih juga diulangi. Namun dengan kelucuannya membuat aku terhibur.
 Setelah selesai kumandikan adik segera kubawa ke kamar.  Kusiapkan bajunya dan kubiarkan Jasmin memakai pakaiannya sendiri.
Aku masih harus menyiapkan sarapan untuk Mas Dandi dan Haydar. Takutnya Mas Dandi meminta sarapannya namun nasi belum dingin sehingga akan membuatnya marah.
“Yang, sarapannya mana? Sudah hampir jam tujuh ini, nanti aku terlambat lagi.” Teriak Mas Dandi lagi meminta sarapannya yang belum sempat kuhidangkan.
“Iya, Mas. Sebentar, nasinya masih panas tadi.” Jawabku agar Mas Dandi mau menunggu sementara aku mendinginkan nasinya terlebih dahulu. Saat menyiapkan sarapan Mas Dandi, Jasmin mendekatiku dan merengek ingin dipakaikan baju olehku.
“Bu, pakein baju, adik ndak bisa pakai sendiri.” Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya.
“Iya sayang, sebentar ya. Ibu siapin sarapan untuk ayah dulu.” Jawabku agar Jasmin mau bersabar menunggu.
Jasmin pun mau mengerti. Kududukkan dia diatas kursi makan menungguku menyiapkan sarapan untuk ayahnya. Setelah nasinya dingin  kusajikan lauk beserta sayur di piring, segera kuberikan kepada Mas Dandi. Nasi segera disantapnya tanpa mengatakan sepatah katapun.
Aku kembali lagi ke dapur untuk mempersiapkan sarapan Haydar. Takut terlambat, Haydar terpaksa makan disuapi sekaligus menyuapi Jasmin. Di sela-sela waktu menyuapi mereka, aku memakaikan baju Jasmin.
Selesai memakaikan baju Jasmin, aku memindahkan bekal untuk Haydar yang telah kusiapkan dalam Tupperwar tadi kedalam tas sekolahnya.
Disekolah Haydar telah diberlakukan 5 hari sekolah jadi hamper setiap hari Haydar akan pulang sore hari. Bekal untuk makan siang Mas Dandi juga telah kupersiapkan diatas meja. Dengan tergesa-gesa, aku mengeluarkan sepeda motor ke teras untuk  memanasinya.
“Yang, sekalian sepeda motorku juga dipanasi ya. Aku mau mandi dulu, biar bisa langsung berangkat.” Mas Dandi yang mendengarku menyalakan motor berteriak dari arah dapur.
Akupun mengeluarkan motor Mas Dandi untuk kemudian memanasinya juga. Setelah selesai, aku menyiapkan perlengkapan keberangakatan Haydar.
Aku memeriksa isi tasnya, kelengkapan seragam sekolahnya hingga bekal makan siangnya. Kuletakkan tasnya di bawah jok motorku. Tak lupa aku memakaian jaket dan helm Haydar, karena cuaca pagi dinginnya sangat menusuk kulit. Begitupun dengan Jasmin, kupakaikan jaket dan helmnya.
Aku masuk ke dapur lagi, mengecek bekal makan siang Mas Dandi didalam Tupperware dan memasukkannya ke dalam bagasi motornya.
Jam sudah menunjukkan pukul 06.30. Kami masih menunggu Mas Dandi untuk berpamitan. Hal yang menjadi tugas rutin bagi kami bila ingin bepergian.
Setelah Mas Dandi selesai berpakaian, Haydar datang menyalami ayahnya sekaligus berpamitan. Aku mengenakan jaket dan helmku. Jasmin kududukkan di depanku sementara Haydar kubiarkan duduk dibelakangku.
“Nanti kuncinya ditaruh dibawah pot kembang aja mas. Bekalnya sudah di dalam bagasi. Mau nganterin anak-anak dulu.” Kataku sebelum melajukan motorku menuju sekolah Haydar.
“Ya, hati-hati.” Jawab Mas Dandi singkat.
Akupun segera berangkat mengendarai motor dengan kedua orang anakku melintasi jalan yang cukup padat pada jam-jam pagi begini. Terutama untuk aktifitas keberangkatan anak sekolah. Bahkan tak jarang jalan yang kami lalui harus mengalami kemacetan, terutama saat hari hujan. Bersyukur hari ini tidak hujan, jadi perjalanan akan lancar, dan Haydar tidak perlu takut terlambat datang kesekolah lagi.
Suamiku pegawai negeri sipil golongan 3 di kantor dinas pendidikan di salah satu kota di Jawa Timur setelah lulus mengikuti tes CPNS. Setelah menikah, kami memilih hidup jauh dari kedua orangtua kami yang tinggal di Sumatera.
Diawal pernikahan Mas Dandi memperlakukanku seperti putri raja yang dimanja. Semua pekerjaan rumah dikerjakan olehnya tanpa meminta bantuanku.
Aku hanya diminta untuk melayaninya dan merawat anaknya kelak bila punya anak.  Melihat Mas Dandi yang kelelahan dengan pekerjaan kantor dan pekerjaan rumah membuat aku menjadi tidak enak hati. Kemudian aku teringat dengan pesan ibu mertuaku.
“Nduk, kalau kita mau mencari surga, mudah kok. Patuhi suamimu, turuti apa kata suamimu, jangan pernah membantah apapun yang dikatakannya. Jangan pernah melawan sama suami. Manjakan suamimu. Itulah surgamu, nduk.” Begitu pesan ibu mertua saat usia pernikahan kami berusia satu minggu.
Aku mencoba memaknai ucapan ibu mertuaku  dan mencoba menjadi apa yang dimaksud olehnya. Saat Mas Dandi marah dengan nada tinggi, aku hanya mampu diam, mendengarkan dan mengiyakan apa yang dikatakannya.
Aku bahkan tidak berani membantah atau menjawab apapun saat Mas Dandi marah, atau jika ada yang salah dengan apa yang kukerjakan. Aku menerimanya tanpa berkomentar ataupun menjawab semua kemarahannya. Aku ingin mencari surga.

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience