Putus Asa

Drama Series 1976

Setelah membeli  kuota untuk Mas Dandi, aku segera kembali pulang, mengingat pekerjaanku yang tertunda. Seperti biasa, setelah melaksanakan tugas yang diminta oleh Mas Dandi, aku bisa berjalan dan bergerak lebih santai daripada sebelumnya.

 Tiba dirumah, aku melihat jam dinding yang berada di atas televisi diruang tamu. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 13.00 aku hampir lupa, belum menunaikan sholat zuhur. 

Selesai sholat, aku kembali ke dapur membereskan pekerjaan yang sempat tertunda. Mencuci piring dan wajan bekas mengungkep daging ayam, menyimpannya dalam wadah Tupperware sampai dengan memasukkannya kedalam kulkas.

Haydar sebentar lagi harus dijemput. Sementara Jasmine belum tidur siang. Aku menidurkan Jasmine agar nanti jam tiga dia sudah bangun dan aku bisa segera menjemput Haydar. 

Untungnya Jasmine tidak bertingkah seperti biasanya kalau disuruh tidur. Baru saja kutepuk-tepuk punggungnya dia telah tertidur lelap.

Aku melanjutkan pekerjaanku lagi, membereskan dan membersihkan mainan Jasmine. Astaga, aku lupa kalau Jasmine belum makan siang.

 Aku merasa menyesal telah melupakan jadwal makan siang Jasmine.

Bagaimana bisa aku melupakannya. Tidak mungkin aku membangunkannya dan menyuapinya. Akhirnya kuputuskan untuk menyuapinya setelah dia terbangun dari tidur.

Selesai semua pekerjaan rumahku siang ini, aku kembali merebahkan punggungku di samping Jasmine yang tertidur pulas. Aku menghidupkan televisi menonton berita pada siang hari itu. 

Tiba-tiba ponselku bergetar, ada panggilan lagi. Takut kalau yang menelepon adalah Mas Dandi aku segera meraih ponselku diatas meja. Ternyata Bu Lara, Wali kelas Haydar menelepon.

“Assalamualaikum, Bu Lara,” sapaku pada Bu Lara.

“Waalaikumsalam. Bu Hanum, Haydar sepertinya tidak enak badan. Barusan muntah-muntah di sekolah, badannya juga panas. Bisa dijemput, Bu?” kata-kata Bu Lara mengejutkanku. 

Aku bertanya-tanya mengapa Haydar tiba-tiba muntah-muntah, sedangkan tadi pagi di rumah dia baik-baik saja.

“Oh, gitu ya Bu Lara. Tadi dirumah dia baik-baik saja. Haydar sudah memakan bekalnya belum ya Bu?” tanyaku lagi.

“Sepertinya sudah, Bu. Kotak nasinya sudah kosong," jawab Bu Lara.

“Saya ingin menjemputnya, Bu. Tapi Jasmine, adiknya Haydar baru saja terlelap dari tidurnya. Saya tidak mungkin meninggalkan dia dirumah sendirian. Bisakah Haydar dibawa ke UKS terlebih dahulu menjelang adiknya bangun dan saya bisa menjemputnya?” tanyaku sambil menjelaskan kondisiku saat ini.

“Oh. Baiklah kalau begitu Bu Hanum. Haydar saya bawa ke UKS dulu. Jangan lama-lama menjemputnya ya Bu. Takutnya Haydar menangis lagi,” kata Bu Hanum. 

Mendengar Haydar yang menangis sebelumnya membuat aku merasakan cemas. Aku ingin menghubungi Mas Dandi siapa tahu dia bisa menjemput Haydar.

“Ya, Bu Lara. Terima kasih. Assalamualaikum," kataku menyudahi sambungan telepon.

Aku mengkhawatirkan kondisi Haydar. Tidak biasanya dia seperti ini. Ataukah dia membeli jajan sembarangan sehingga perutnya tidak menerima? Aku terus bertanya-tanya dan memikirkan kemungkinan terburuk. Ingin meninggalkan Jasmine itu tidak mungkin.

Akhirnya aku mencoba menghubungi Mas Dandi di ponselnya. Beberapa kali aku menghubunginya namun tidak ada jawaban. Aku hampir putus asa. Aku berjalan menuju pintu keluar, berharap bisa meminta bantuan tetangga untuk menjaga Jasmine sementara aku menjemput Haydar.

Namun sayang sekali, di perumahan tempat tinggal mereka rata-rata adalah orang pekerja. Tidak mudah meminta bantuan saat siang hari begini. Aku semakin putus asa. Aku kembali melangkahkan kakiku masuk kedalam rumah. 

Aku ingin membangunkan Jasmine, dengan risiko dia akan menangis karena tidurnya terganggu. Bila Jasmine ditinggalkan, akan butuh paling sedikit 30 menit lamanya untuk perjalanan dari rumah, ke sekolah Haydar kemudian pulang ke rumah. Dalam kebimbangan, ponsel bordering "Suamiku'. Aku segera menjawab panggilan telepon itu.

“Assalamualaikum, Mas. Haydar sakit di sekolah, muntah-muntah dari tadi. Bu Lara memintaku menjemputnya. Tapi Jasmine baru saja tertidur. Bisakah Mas menjemput Haydar?” tanyaku segera.

“Kok bisa? Makan apa dia?” tanya Mas Dandi.

“Tidak tahu, Mas. Bu Lara baru saja membawa Haydar ke UKS. Dia sempat menangis minta segera dijemput. Bisa kan mas jemput Haydar?” tanyaku lagi.

“Mana bisa, Yang. Kamu tahu sendiri aku sedang bekerja. Kamu aturlah gimana baiknya. Sudah dulu ya,” Mas Dandi mematikan teleponnya. 

Aku menggigit kuku jari-jari  tanganku. Aku harus segera memutuskan. Memilih membangunkan Jasmine atau meninggalkannya dirumah selama kurang lebih 30 menit.

Aku berdiri, memutuskan untuk meninggalkan Jasmine sendiri dirumah. Aku segera memakai jilbab, jaket dan helmku. Saat akan melangkahkan kaki menuju pintu, Jasmine tiba-tiba memanggilku.

“Ibu mau kemana?” tanyanya yang membuatku terharu kemudian memeluk dan menciumnya.

 Aku merasa bersalah sejenak ingin meninggalkannya sendiri dirumah. Tentu dia akan menangis mencariku. Aku bersyukur dia akhirnya terbangun dengan sendirinya. Dia memang malaikat kecilku, dia mengerti saat ibunya sedang gundah. 

Aku pun segera memakaikan jaket dan helmnya, bersiap untuk berangkat menjemput Haydar. 

“Adik, kita mau jemput abang Haydar dulu ya. Jasmine belum lapar kan? Nanti setelah jemput abang pulang, kita makan ya?” ucapku pada Jasmine. Dia menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

Setelah  mengunci pintu rumah, aku melajukan motor ku dengan kecepatan sedang. Masih terbayang di pelupuk mataku bagaimana Haydar menantikan ibunya menjemputnya pulang. Dia tentu merasa tidak nyaman saat sakit tidak ada ibunya mendampingi.

Dalam waktu 10 menit aku akhirnya tiba di sekolah Haydar. Kuparkirkan motorku di parkiran halaman sekolah. Jasmine yang masih sedikit lesu baru bangun dari tidurnya mengikuti langkahku dengan langkah kecilnya.

Aku telah berada di UKS saat Bu Lara mengantarkan air minum hangat untuk Haydar. Kulihat Haydar terbaring lesu di pembaringan UKS. Wajahnya pucat, matanya sembab setelah menangis. Melihat kedatanganku, dia segera berlari memelukku.

“Ibu, Ibu kemana saja. Abang sakit," kata Haydar sambil menangis, aku segera memeluknya. Badannya panas sekali.

“Ibu menunggu adik bangun tidur dulu. Tapi adik pinter lho Bang. Adik bangun sendiri karena mendengar Abang sakit.” jelasku ingin memberikan pengertian pada Haydar. 

Jasmine yang masih sedikit mengantuk ikut memeluk Haydar.

“Saya tadi bertanya, Haydar habis makan apa tapi dia tidak menjawab, Bu Hanum,” kata Bu Lara memberitahuku.

“Abang habis makan apa kok bisa muntah? Abang jajan sembarangan, ya?” tanyaku lembut, tidak ingin dia merasa ketakutan.

“Abang cuma beli es rasa strawberry di abang yang jualan es di depan itu kok Bu. Tapi Abang sudah makan nasi kok,” jelasnya dengan sedikit rasa takut.

“Oh, Abang minum es? Abang lupa ya kalau perut abang tidak bisa menerima minuman dengan pemanis buatan? Makanya Ibu tidak mengizinkan Abang membeli minuman seperti itu. Sekarang rasa di perut Abang gimana? Apa masih sakit dan ingin muntah?” tanyaku lagi.

“Masih kepengen muntah, Bu,” jawab Haydar lagi.

“Ya sudah, kita berobat ke Puskesmas dulu, ya. Pamit dulu dengan Bu Lara," ucapku.

Haydar mencium tangan bu Lara. Kami berpamitan untuk pergi ke Puskesmas kemudian pulang ke rumah agar Haydar bisa beristirahat. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih pada Bu Lara telah menjaga Haydar.

Kami segera berangkat menuju Puskesmas yang jaraknya sekitar 1 km dari sekolah Haydar. Aku mendudukkan Haydar dan Jasmine di kursi ruang tunggu. 

Hari ini banyak sekali orang yang ingin berobat. Setelah mendaftarkan Haydar, aku ikut duduk disamping Haydar. Kemudian ponselku berdering lagi, “Suamiku” menelpon.

“Assalamualaikum, Mas," jawabku.

“Waalaikumsalam. Gimana Haydar? Sudah dijemput belum?” tanya Mas Dandi.

“Baru saja dijemput, Mas. Sekarang sedang di Puskesmas dengan Abang," jawabku lagi.

“Kamu pastikan anaknya jangan makan sembarangan. Perhatikan gizinya. Jangan boleh beli jajanan di sembarang tempat. Lebih baik kamu mengawasi Haydar selama dia di sekolah. Jangan sampai terjadi lagi kejadian seperti ini.” Mas Dandi berbicara cepat dengan nada sedikit marah.

 Aku hanya mendengarkan perkataannya tanpa menjawabnya hingga akhirnya Mas Dandi memutus sambungan teleponnya. Apakah aku salah lagi? Belum pantaskah aku disebut Penghuni surga?

 

***** 

 

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience