Wanita Sholehah

Drama Series 1976

Sejak aku mengingat pesan yang disampaikan ibu mertua padaku, aku mulai menyadari betapa manjanya aku. Kemudian aku mulai mengambil alih semua pekerjaan rumah yang biasa Mad Dandi kerjakan. Mas Dandi sempat protes, mengatakan bahwa sebenarnya tugas istri hanyalah melayani suami dan merawat anak-anaknya.
“Yang, tugas istri itu hanya melayani suami dan merawat anak-anaknya. Pekerjaan rumah dan mencari nafkah adalah tugasku. Aku harus ridho akan itu semua. Jangan lagi kamu ambil alih pekerjaan rumah yang biasanya aku lakukan.” Kata Mas Dandi saat itu.
Aku sempat berdebat dengan Mas Dandi, bahwa aku merasa menjadi istri yang durhaka yang membiarkan suaminya bekerja keras mencari nafkah juga bekerja menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.  
Akhirnya Mas Dandi mengalah dan menyerahkan semua pekerjaan rumah tangga padaku. Dengan catatan bahwa aku juga harus mampu merawat diriku dan melayani Mas Dandi dengan sepenuh hati.
Akupun mulai melaksanakan tugasku sebagai istri dan mengerjakan semua pekerjaan rumah. aku berusaha melakukan segala sesuatunya tanpa harus diminta oleh Mas Dandi.
Aku harus belajar memahami apapun kebutuhan sebelum diminta. Sejak saat itu, aku berusaha mempersiapkan segala keperluannya tanpa kubiarkan dia mempersiapkan sendiri kebutuhannya. Dengan kata lain, aku memanjakannya.
Dengan semua pelayanan dan perlakuanku, Mas Dandi selalu merasa puas. Karena tanpa diminta, aku sudah mengerti dan segera memenuhinya. Mas Dandi pun mulai berubah. Dia tidak pernah lagi menyentuh pekerjaan rumah bahkan hanya membantuku.  Mungkinkah suamiku menjadi manja?
Dulu, sewaktu kami belum memiliki anak, aku menikmati setiap tugas dan kerjaku selama dirumah melayaninya. Aku bahkan memiliki waktu untuk diriku sendiri berdandan dan berhias untuk Mas Dandi agar dia betah dirumah. Aku memberikan pelayanan maksimal padanya.
Setelah Haydar lahir didunia Mas Dandi menemukan kebahagiaannya. Dia begitu menyayangi Haydar. Dia mulai kembali seperti Mas Dandi yang dulu. Yang selalu melayaniku tanpa pamrih, memenuhi kebutuhanku tanpa kuminta. Begitu pula dengan pekerjaan rumah tangga yang mulai diambil alihnya lagi.
Aku merasa tersanjung, merasa berada di awing-awang dengan perlakuannya. Aku menyadari bahwa suamiku bukan suami yang manja, dan bukan suami yang kumanjakan. Toh dia juga masih mengerti dan masih mau mengerjakan pekerjaan rumah.
Selama 40 hari lamanya Mas Dandi mengerjakan tugas rumah tangga menggantikanku. Aku kembali lagi merasa tidak tega melihatnya melakukan semua itu. Aku meminta padanya agar semua pekerjaan rumah tangga dikembalikan lagi padaku.
Semula Mas Dandi masih ingin berdebat karena tidak menyetujui keinginanku. Tapi kemudian dia mengalah dan kembali bertugas sebagai kepala rumah tangga yang bertugas hanya mencari nafkah.
Tidak pernah sekalipun aku mengeluh dengan semua yang telah kulakukan demi melayaninya. Aku ikhlas. Aku ingin mencari surga. Dalam setiap waktu selalu kusempatkan memanjatkan doa demi keselamatan dan kebahagiaan kami. Aku bahagia melayaninya.
 

Kumenjalankan motorku dengan kecepatan 40 km/jam. Pukul 06.50 aku sudah tida didepan gerbang sekolah Haydar. Aku menurunkan Haydar dan Jasmin terlebih dahulu untuk  mengeluarkan bekal dari bawah jok motorku, untuk kemudian menyerahkannya kepada Haydar.
“Abang, yang pinter sekolahnya ya. Jangan berlari-lari terus, nanti capek. Jangan main panas-panasan. Nanti siang Ibu jemput, Abang tunggu di Gazebo ya. Inget, jangan mau diajak sama orang yang Abang ga kenal ya.” Ucapku pada Haydar sambil memasangkan tas ransel dipunggungnya.
“Iya, Bu. Dadah adik.” Kata Haydar kepada adiknya. Dia mencium tangan kananku kemudian berjalan masuk kedalam halaman sekolah masih dengan lambaian tangannya pada adiknya Jasmine.
“Dadah Abang.” Jasmine melambaikan tangannya kearah abangnya. Mereka akan Nampak manis bila akur dan bersahabat.
Aku menaiki motorku, disusul jasmine yang duduk didepanku.  Saat akan menstarter motorku, kurasakan getaran di dalam saku bajuku. Ponselku bergetar beberapa kali menandakan adanya panggilan. Kukeluarkan ponselku dan tertulis “Suamiku”. Aku segera menjawab telepon dari Mas Dandi.
“Assalamualaikum, Mas.” Jawabku pada sambungan telepon darinya.
“Yang, berkasku di meja kerja tertinggal. Aku ga mungkin mau balik lagi. Terlalu jauh. Tolong antar ke kantor ya. Kalau bisa sekarang. Jangan lama-lama, karena mau dipakai untuk rapat jam delapan nanti.” Kata Mas Dandi meminta tolong.
“Ya, Mas. Aku pulang dulu mengambil berkasnya. Assalamualaikum.” Jawabku.
Telpon langsung ditutup oleh Mas Dandi tanpa menjawab salam dariku. Aku hanya mampu menghembuskan nafas.
Setelah menerima telepon dari Mas Dandi, segera kutancap gas untuk pulang kerumah mengambil berkas yang dibutuhkannya. Padahal rencananya sepulang mengantarkan Haydar ke sekolah, aku mau belanja untuk keperluan memasak esok hari. Agar di pagi hari aku tidak terburu-buru harus ke warung untuk belanja sayur dan lauk.
Jarak antara sekolah Haydar dan rumahku membutuhkan waktu sekitar 15 menit, dengan jarak kurang lebih 7 Km.  sedang jarak dari rumah kekantor Mas Dandi berjarak 12 km dan berlawanan arah.  
Berhubung aku harus segera mengantarkan berkas yang diperlukan Mas Dandi untuk rapatnya pagi ini, aku melajukan kendaraan sedikit kencang, takut kalau nanti berkas yang dibutuhkan tidak sampai tepat pada waktunya.
Aku hanya membutuhkan waktu 10 menit saja untuk tiba dirumah. Kuparkirkan motorku di teras rumah setelah menurunkan Jasmine. Aku mengambil kunci rumah yang diletakkan dibawah pot bunga oleh Mas Dandi. Segera kubuka pintu rumah. tanpa membuka alas kaki, aku melangkahkan kakiku masuk kedalam rumah.
Kondisi rumah masih berantakan sisa-sisa tadi pagi. Piring bekas sarapan Mas Dandi dan Haydar masih tergeletak dimeja. Tapi kuabaikan saja. Aku melangkah ke ruang kerja Mas Dandi. Kucari berkas yang dimaksudnya.
Ternyata berkas-berkas itu telah disiapkan diatas meja namun sepertinya Mas Dandi lupa membawanya. Segera kuambil berkas itu kemudian aku melangkah keluar rumah lagi, bersiap-siap akan berangkat mengantarkan berkas ke kantor Mas Dandi.
Jasminne yang sedari tadi mengikutiku tidak bersuara seperti biasanya. Tumben, tidak banyak celotehnya seperti biasa. Sepertinya dia mengerti dengan kondisi ibunya yang sedang diburu waktu.
Setelah berkas yang dibutuhkan Mas Dandi kutemukan, aku segera berangkat menuju kantornya yang berjarak 12 km. Tidak lupa aku mengunci pintu rumah terlebih dahulu dan membonceng Jasmine.
Aku berkendara dengan kecepatan sedang, karena jalan menuju kantor Mas Hadi merupakan jalur ramai, apalagi pada jam jam segini, tentu banyak yang lalu lalang untuk berangkat kerja.
Kurang lebih 15 menit, aku sampai di kantor Mas Dandi. Kulihat dia sudah menunggu di depan pintu gerbang dengan gelisah. Pasti berkas ini sangat penting, pikirku.
Saat melihat aku tiba di gerbang, Mas Dandi segera menghampiriku untuk mengambil berkas yang kubawa. Setelah mengambil berkas itu, Mas Dandi langsung kembali masuk kedalam gedung, tanpa berkata sepatah katapun.
Aku hanya menatap punggungnya yang menjauh, ingin rasanya ku genggam erat tangannya, mencium tangannya, dan berkata :
“Terima kasih, suamiku, atas kerja kerasmu selama ini, maafkan aku apabila tidak bisa menjadi istri yang sempurna bagimu, istri penghuni surga.”
Kemudian, aku mengajak Jasmine pulang kerumah. Tapi kali ini, aku mengendarai motorku perlahan. Aku melajukan motorku dalam pikiran dan tubuh yang lelah setelah berpacu dalam waktu di pagi hari.
 
***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience