Air dan Api

Drama Series 1976

Aku mampir disebuah pasar kaget dekat rumahku. Aku menurunkan Jasmine dari motor dan menuntunnya kearah pasar kecil itu. Kupilih beberapa macam sayur, ikan dan ayam untuk kumasak keesokan harinya. Sengaja aku membeli bermacam-macam untuk stok didalam kulkas.
Sampai dirumah akan segera kuolah bahan makanan ini agar esok hari aku hanya perlu menggoreng dan menumis saja. Aku membayar belanjaanku, seratus dua puluh ribu rupiah pada penjualnya. Dengan belanjaan segini aku bisa memanfaatkannya untuk 3-4 hari kedepan pikirku.
Aku kembali mengendarai motorku bersama Jasmine kembali kerumah. Masih dengan perlahan namun pasti agar aku sampai dirumah. Yang kubayangkan adalah aku ingin sejenak merebahkan punggungku di kasur tempat tidurku. Bahuku terasa nyeri begitu pula dengan kepala yang nyut-nyutan karena kurang tidur semalam.
Jalanan mulai sepi dari para pekerja dan orangtua yang akan mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. Jasmine mulai mengeluarkan suaranya. Dia bernyanyi seperti biasanya. Dia sudah tidak merasa tegang lagi seperti yang dirasakan ibunya tadi.
Setibanya dirumah, aku segera memarkirkan motor di teras rumah. Ternyata halaman didepan rumah juga belum disapu sejak kemarin sore. Setelah membuka helm dan jaket Jasmine, aku membuka helm dan jaket yang kupakai. Segera kuambil sapu dan menyapu halaman yang kotor oleh dedaunan yang gugur dari pohon Klengkeng di depan halaman rumah.
Selesai menyapu, aku masuk kedalam rumah. Masih dengan bayanganku untuk merebahkan punggungku sejenak di pembaringan. Jasmine kubiarkan bermain sendiri didalam rumah. Kupastikan semua pintu terkunci, jadi aku tak perlu khawatir jika Jasmine akan bermain keluar rumah.
Tiba didalam rumah, melihat rumah berantakan membuat aku akhirnya mengurungkan niatku untuk merebahkan diri di pembaringan. Aku mulai membersihkan piring sisa sarapan tadi pagi, menyapu dan mengepel lantai. Kemudian aku teringat dengan belanjaanku lagi.
Aku duduk di kursi disamping meja makan sambil memegangi kepalaku. Aku merasakan nyeri mulai terasa lagi. Aku memilih meletakkan belanjaanku kedalam kulkas, kemudian segera berbaring kursi sofa ruang tengah.
Kulihat Jasmine masih asyik dengan permainannya. Sekarang ruangan itu berantakan lagi oleh ulah Jasmine. Melihat hal itu aku merasakan sakit kembali di kepalaku. Melihat aku yang berbaring dan memegangi kepala, Jasmine rupanya penasaran.
“Ibu kenapa? Cakit ya? Yang mana? Bial Adik Min yang pijet-pijet.” Katanya dengan suara cadelnya. Aku tersenyum melihatnya. Jasmine adalah pelipur laraku dikala aku sedang bersusah hati. Tingkahnya akan membuatku tersenyum geli.
“Ibu tidak apa-apa. Ibu Cuma mau tiduran sebentar. Jasmine tidak apa-apa kan bermain sendirian?” tanyaku lagi. Jasmine menganggukkan kepalanya.
Aku mencoba untuk memejamkan mataku namun tidak berhasil. Paling tidak, punggungku yang terasa nyeri sudah mulai mereda. Aku mengamati Jasmine yang sedang asyik bermain sambil berbicara sendiri. Dia membuatku tersenyum kembali.
Pernah suatu ketika Mas Dandi pulang kerumah dengan mood yang kurang baik. Karena saat itu dia pulang lebih awal, aku belum sempat memandikan Jasmine dan Haydar. Mas Dandi begitu marahnya melihat hal itu. Aku jadi serba salah. Ingin menjawab tentu aku semakin salah. Aku hanya mampu diam sambil memandikan anak-anak.
Belum selesai anak-anak kumandikan, Mas Dandi kembali memarahiku karena tidak membuatkan kopinya terlebih dahulu. Dengan tergopoh-gopoh akhirnya aku menyuruh Haydar dan Jasmine untuk memakai handuk dan ganti pakaian sendiri.
“Tolonglah, Yang. Kamu tuh ngapain aja coba seharian dirumah. Sudah sore anaknya ga dimandiin. Kopi belum disiapkan. Gimana sih kamu ini?” kata Mas Dandi dengan nada tinggi.
“Maaf, Mas. Biasanya jam segini mas kan belum pulang. Lagian hari masih panas, takutnya kalau mandi siang-siang nanti bakal keringatan lagi.” Jawabku menjelaskan.
“Masih saja membantah. Kalau mandi ya mandi. Jangan bikin alasan.” Sahutnya semakin bertambah marah. Aku kembali terdiam. Setelah meletakkan kopi untuknya di meja kerjanya, aku segera menuju ke kamar, melihat anak-anak yang sedang memakai baju.
Dan ternyata, bukannya memakai baju tapi mereka berdua bermain bedak tabor milik Jasmine sehingga mengotori lantai dan lantaipun menjadi licin. Aku sedikit merasakan kekesalan saat itu, namun kutahan. Karena bila aku bersuara tentu Mas Dandi akan berbalik memarahiku lagi.
Kemudian aku teringat akan pesan ibu kandungku pada malam sebelum pernikahanku dengan Mas Dandi.
“Nanti, setelah menikah, kaum pria itu ibaratnya api. Nah, kita sebagai perempuan, harus menjadi air, yang mampu memadamkan api. Jangan sampai saat suami panas, kita ikut panas juga. Bakal hancur rumah tangga.” kata ibu sambil menepuk bahuku kala itu.
Sepertinya kali ini aku merasakan akibat dari perkataan ibu. Hampir saja aku meluapkan kemarahanku dengan menjawab perkataan Mas Dandi dan hampir saja aku meluapkan amarahku kepada anak-anak.
Sejak memiliki Jasmine, anak kedua kami Mas Dandi sudah benar-benar melupakan sosok dirinya yang dulu. Yang menyayangiku dan memanjakanku. Mas Dandi tidak pernah lagi membantuku mengerjakan pekerjaan rumah selagi aku sedang menjalani masa 40 hari setelah kelahiran.
Aku mulai menyadarinya sekarang. Bahwa sejak naik jabatan,  Mas Dandi seolah seperti orang lain. Mas Dandi benar-benar menjadi manja. Dan aku telah ikut andil merubahnya menjadi seperti itu. Namun, salahkah aku bila memperlakukannya seperti raja? Aku adalah istrinya, dia adalah suamiku, imamku. Sudah kewajibanku untuk selalu melayaninya.
Aku mulai merasakan kekecewaan. Aku mencoba untuk bersabar menghadapinya. Walau begitu marahnya Mas Dandi, dia tidak pernah memukul aku dan juga anak-anak. Paling tidak aku harus bersyukur untuk hal itu.
Karena tidak juga bisa tidur, akhirnya aku kembali lagi ke dapurku. Membuka kulkas dan mengolah ikan dan daging ayam yang telah kubeli. Ikan dikukus, daging ayam diungkep. Besok tinggal menggorengnya saja. Sayur-sayuran ku simpan kulkas agar tetap segar.
“Ibu, ada tepon ayah.” Tiba-tiba Jasmine mendekatiku sambil memegang ponselku. Aku segera melihat pada layar, dan “Suamiku” kembali menghubungiku.
“Assalamualaikum, Mas.” Kataku menjawab panggilannya.
“Waalaikumsalam. Yang, aku kehabisan paket internet. Tolong belikan ya, paket yang biasanya. Aku pulang terlambat, sedang dinas luar. Buruan ya. Aku tunggu.” Kata Mas Dandi langsung menutup panggilan teleponnya.
Aku segera mematikan kompor dan meninggalkan pekerjaanku yang belum selesai. Segera aku mengenakan jilbab, jaket dan helmku untuk keluar membeli quota Mas Dandi. Hampir saja Jasmin kulupakan. Kalau saja dia tidak buru-buru mengekoriku mungkin aku akan benar-benar meninggalkannya dirumah sendirian.
Aku menyalakan motor dan segera melajukannya menuju kios penjualan pulsa di luar lorong rumahku yang berjarak sekitar satu kilometer. Baru tiba di kios, Mas Dandi kemballi menelepon.
“Assalamualaikum, Mas.” Jawabku segera.
“Kok lama sekali, Yang. Buruan.” Kata Mas Dandi di seberang sana.
Aku segera membeli pulsa untuk mengisi quota internet Mas Dandi. Untuk memastikan pulsa telah masuk, aku menghubungi Mas Dandi.
“Assalamualaikum, Mas. Pulsanya sudah masuk kan?” tanyaku segera.
“Ya, sudah masuk.” Jawab Mas Dandi segera memutus hubungan telepon.
Aku menarik nafas lagi dalam dalam dan menghembuskannya kasar. Kulihat Jasmine yang menatapku sedari tadi dengan wajah polosnya. Aku kembali tersenyum melihatnya. Gugur sudah rasa kesal yang hampir saja menguasaiku. Jasmine sekali lagi adalah penyelamatku. Dia yang meredam emosiku. Sudahkah aku menjadi air bagi suamiku?
 
****

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience