Rate

BAB 2

Horror & Thriller Completed 126

“Tragedi? Benarkah?” seorang pemuda yang Jemima tanyai sepertinya tidak tahu banyak mengenai kereta tua itu. Bahkan, meski pemuda itu sudah berkali-kali naik kertea tua itu, ia belum tahu bahwa ada sebuah cerita terpendam yang dirahasiakan.
“Aku tidak tahu banyak. Mungkin kau bisa tanya orang lain?
Jemima memutuskan untuk makan di sebuah kedai. Disaat kesempatan datang, ia mencoba bertanya lagi mengenai legenda kereta tua itu pada sang pemilik kedai. Tapi seperti yang telah ia duga,
“Aku tidak tahu.” Ucap sang pemilik kedai. Seorang wanita tambun dengan wajah maskulin, potongan rambut pendek, dan sepertinya bukan tipe wanita yang enak untuk diajak bicara. Jemima memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut.
Hari sudah benar-benar gelap begitu ia keluar dari kedai. Stasiun tua itu kini sepenuhnya telah diselimuti dengan kegelapan. Anehnya, disaat yang bersamaan, kabut mulai muncul di sekitar area itu. Yang membuat barisan pepohonan yang ada di hutan sekitar stasiun menjadi tidak terlihat, kabur dan tak jelas.
Jemima merasakan sebuah aura tak menyenangkan saat ia melihat sekelompok orang berdiri tegak tak bergerak di depan salah satu gerbong. Seolah mereka tengah mengantre untuk naik, meski kereta belum mau berangkat. Anehnya, kerumunan orang-orang itu saling diam dan tak membuat gerakan sama sekali. Terlihat seperti sekumpulan patung semen yang sengaja dijejer disana.
Jemima duduk kembali di bangku peron. Ia lirik jam tangannya, dan ia sadari bahwa keretanya akan segera berangkat.
Pukul 8.15 adalah waktu keberangkatan kereta itu, yang akan membawanya ke Greenville . Dan dari sana nanti ia akan naik bus menuju Arcadia. Rumahnya.
Jemima tengah menenggak isi botol minumannya saat tiba-tiba saja ada sesuatu yang menyentuh lehernya dari arah samping. Sesuatu yang terasa bbegiu dingin, sedingin es. Seketika ia putar kepalanya, namun ia tidak menemukan siapapun berdiri di belakangnya.
Ia berharap Jeff akan muncul dengan tawa konyolnya. Ia berharap Jeff akan mengatakan, ‘Maaf mengangetkanmu!’.
Tapi nyatanya, tidak ada siapapun yang berdiri di belakangnya. Yang ia lihat hanyalah segerombolan orang-orang yang keluar masuk stasiun, tanpa ada yang aneh kecuali sederet orang yang berdiri kaku di depan gerbong itu. Lalu benda apa yang menyentuh lehernya tadi?
Jemima bergidik, menghempaskan pikiran konyol dari kepalanya. Ia katakan pada dirinya sendiri, bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan. Mungkin pikirannya menjadi sedikit kacau karena selama tujuh hari terkahir ia selalu mendengar cerita-cerita mistis. Mungkin ia mulai terpengaruh. Namun ia tetap katakan pada dirinya sendiri, bahwa ada penjelasan untuk setiap hal yang dianggap abnormal. Dan ia yakini akan hal itu.
Peluit berbunyi beberapa detik kemudian, menandakan bahwa kereta itu akan segera berangkat. Jemima segera mengangkut tasnya, dan bergerak ke arah gerbong keempat. Ia sadari sedetik kemudian bahwa segerombolan orang yang berdiri kaku tadi sudah tidak ada lagi. Mungkin mereka sudah naik ke dalam gerbong?
Jemima disambut oleh seorang petugas dalam seragam berwarna biru saat naik ke gerbong. Pria itu kemudian mengantar Jemima masuk ke dalam kompartemen yang berada di bagian tengah gerbong. Tidak ada yang aneh dengan kompartemen itu, selain satu fakta bahwa kompartemennya terlihat begitu tua, begitu klasik, dan remang. Petugas dalam seragam biru itu segera meninggalkan Jemima begitu Jemima duduk.
Apa ada yang aneh dengan kereta yang ia tumpangi? Jemima tersenyum, menertawai kekhawatirannya itu. Kenapa ia kini selalu berpikir negatif? Apakah karena ucapan pria tua tadi mengenai sebuah tragedi itu?
Selalu ada sebuah cerita. Itu yang Jemima katakan pada dirinya sendiri. Kereta tua yang ia tumpangi ini mungkin memiliki cerita yang unik, mistik, mengerikan, namun tidak akan menghilangkan kenyataan bahwa inilah kereta yang akan membawanya pulang.
Tidak ada yang perlu ia takuti.
Dengan hentakan yang cukup terasa, kereta tua itu akhirnya berjalan. Perlahan, meninggalkan stasiun Redwitch yang mulai tenggelam oleh kabut kelabu. Jemima menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, dan tiba-tiba saja merasakan sebuah rasa kantuk yang luar biasa. Mungkin ia kelelahan karena selama seharian tadi ia tidak pernah berhenti mengotari Redwitch untuk mencari cerita.
Jemima menguap, lalu memasang earphone pada kedua telinganya untuk mendengarkan musik dari mp3 playernya. Dengan lagu mengalun pelan, Jemima pun seperti dibuai ke dalam alam mimpi. Perlahan, ia pun jatuh ke dalam alam tidurnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience