Rate

BAB 3

Horror & Thriller Completed 126

Sebuah guncangan pada kereta membangunkan Jemima . Jemima membuka kedua matanya, dan menemukan dirinya sudah berada dalam kegelapan total. Lampu di kompartemennya padam. Dan satu-satunya cahaya adalah cahaya keperakan dari bulan yang bersinar di luar.
Earphone mp3 playernya telah jatuh entah kemana. Jemima menegakkan posisi tubuhnya, dan mulai mereka-reka dimana sebenarnya kereta itu berada. Apakah ia sudah sampai dekat dengan Greenville ?
Tidak. Greenville adalah sebuah kawasan pertanian. Namun ketika Jemima melihat keluar kereta melalui jendela, yang dapat ia lihat hanyalah sederet pepohonan yang berlarian cepat melewati gerbongnya. Kereta itu mungkin sedang dalam tengah perjalanan menuju Greenville .
Jemima merasakan hawa dingin yang tidak biasa. Aneh, mengingat kereta yang ia tumpangi adalah sebuah kereta lama dimana tidak ada satu pun pendingin udara. Kemampuan otak Jemima untuk berpikir mengatakan bahwa mungkin angin masuk dari arah luar kereta melalui sebuah celah.
Hawa dingin bukanlah satu-satunya hal yang mengganggu ketenangan wanita itu. Tapi juga dengan kegelapan yang terjadi di kereta itu. Bukan berarti ia takut dengan gelap. Hanya saja ia merasa aneh dengan lampu kereta yang padam.
Ia bangkit dari tempat duduknya dan membuka pintu kompartemen yang menghubungkan ruangannya dengan lorong gerbong. Lagi-lagi, memang aneh. Keadaan begitu gelap dan tak normal. Apakah kereta tua itu memang selalu mematikan lampu ketika sudah berjalan?
Jemima memutuskan untuk keluar dari kompartemennya dan bergerak di sepanjang lorong gerbong. Ternyata semakin jauh ia melangkah, hal-hal janggal lainnya pun ia temukan.
Ternyata yang menempati gerbong keempat hanya ia seorang. Komparteman-kompartemen yang ia lewati sama sekali tak berpenghuni. Oh! Itukah sebabnya gerbong miliknya berada dalam kegelapan? Mungkin petugas tidak sadar bahwa ada penumpang di gerbong itu dan mematikan lampunya?
Jemima sepertinya setuju dengan pemikiran tersebut. Ia berniat untuk memberi tahu petugas yang mungkin ada di gerbong lain untuk menyalakan kembali lampu di kompartemennya.
Jemima bergerak melewati sekat di antara gerbong, lalu masuk ke gerbong tiga. Keadaan di gerbong itu ternyata sama dengan gerbong miliknya. Gelap, dan sepi. Hanya suara mesin dan derak roda kereta yang ia dengar. Sama sekali tidak ada aktivitas yang terjadi. Kenapa?
Langkah Jemima tiba-tiba saja terhenti saat telinganya menangkap sebuah suara yang aneh keluar dari kegelapan. Seperti suara geraman rendah, yang berasal dari salah satu kompartemen. Apa yang terjadi? Mungkin ada sesorang yang membutuhkan pertolongan?
Jemima mengikuti arah suara geraman, atau rintih kesakitan itu. Berasal dari sebuah kompartemen di ujung koridor. Pintu kompartemen itu terbuka, dan memperlihatkan seorang pria tengah duduk sambil membungkuk. Suara geraman, dan rintih itu terus keluar dari arah pria itu. Jemima yang merasa khawatir bergerak mendekat.
“Permisi, Tuan?” ucap Jemima . Ia tidak mendapatkan jawaban dari pria itu.
Tubuh pria itu berguncang kedepan dan kebelakang, seolah tengah menahan rasa sakit.
“Tuan, Anda baik-baik saja?”
“Pergi…”
“Maaf?”
Jemima tersentak kaget saat wajah pria itu menoleh ke arahnya. Sebuah wajah yang pucat pasi, dengan dua mata memerah seperti baru menangis menatapnya. Mulut pria itu bergerak lambat, mengeluarkan kata yang sama setiap kalinya.
“Pergi…, pergi…”
“Anda sakit?” tanya Jemima lagi. Ia semakin khawatir, dan disaat yang bersamaan merasa takut. Keanehan yang terjadi pada pria itu benar-benar tidak normal.
“Aku akan memanggil petugas, oke?” ucap Jemima .
Jemima bergerak pergi sambil bergidik. Ia tidak tahu apa yang tengah terjadi pada pria itu, namun ia yakin bahwa pria itu sedang tidak sehat. Jemima bergerak maju ke gerbong dua, dimana keadaannya tidak berbeda jauh dengan gerbong-gerbong yang sudah ia lewati.
“Halo!” teriak Jemima . Suaranya menggema di sepanjang koridor, tanpa ada balasan.
“Permisi! Ada seseorang? Aku butuh pertolongan!”
Keanehan-keanehan yang tidak wajar itu mulai membuat Jemima berpikir bahwa memang ada yang tidak beres. Tapi apa? Selain kegelapan dan tidak adanya orang, apa lagi yang bisa terjadi?
Jemima melonjak kaget saat ia bergerak melewati sebeuah kompartemen yang terbuka. Di dalam kompartemen itu terdepat beberapa orang yang berdiri, kaku, seperti yang pernah ia lihat di peron stasiun. Keempat orang yang ada di dalam kompartemen itu terlihat sama persis dengan sebuah patung. Berdiri tak bergerak, pucat, dan sama sekali tidak berbicara. Jemima tahu bahwa mereka bukan orang-orang biasa. Dan anehnya, pakaian yang dikenakan oleh orang-orang itu seperti bukan dari jamannya berada saat itu.
Jemima nyaris berteriak histeris saat keempat orang itu memutar kepala mereka ke arahnya. Wajah yang pucat pasi, dengan mata memerah, dan mereka berucap dalam waktu yang bersaman,
“Pergi…”
Jemima kini benar-benar kehilangan kepercayaan dirinya. Ia merasa terlalu takut untuk dapat berpikir normal. Ia berlari di sepanajng koridor, melewati kompartemen-kompartemen yang terbuka dengan orang-orang yang pucat pasi di dalamnya dengan kata-kata yang sama.
“Pergi…, pergi…”
Jemima terus berlari. Gerbong dua, lalu gerbong pertama. Sama sekali tidak ada tanda-tanda adanya petugas di kedua gerbang itu.
“Seseorang!” teriaknya. “Tolong, kumohon!”
Jemima berteriak keras saat suara geraman dengan kata ‘pergi’ itu terdengar di seisi gerbong yang ia tempati. Ketakutan mulai merayapi tubuhnya, jantungnya, dan segala yang ia punya. Tubuhnya bergetar, dengan kedua telapak tangan menutupi telinga. Suara-suara itu terdengar semakin keras, semakin jelas, hingga ia tidak tahan lagi. Jemima berteriak meminta tolong sambil menutup matanya. Namun ketika ia buka kedua matanya, di depannya telah hadir puluhan wajah pucat pasi dengan mata merah, dengan tajam menatapnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience