Rate

BAB 1

Horror & Thriller Completed 126

Jika bukan karena pekerjaannya, maka Jemima tidak perlu menghabiskan waktu tujuh hari untuk berdiam di sebuah kota kecil di tengah antah berantah itu. Redwitch .
Ya. Siapapun yang mendengar nama kota itu akan bergidik ngeri, dikarenakan sejarah dan julukan yang diberikan pada kota tua di sebelah selatan Sherland itu.
Redwitch terkenal sebagai rumah dari berbagai hal spiritual yang tak dapat dijelaskan oleh akal orang yang normal. Sudah banyak kejadian yang terjadi, kematian-kematian aneh, dan hal-hal ganjil lain yang terus saja mengundang seriau pada penduduk dari kota lain. Jemima adalah salah seorang darinya.
Jemima adalah seorang penulis untuk sebuah majalah misteri di kotanya, Arcadia, dan kali ini ia ditugaskan untuk menulis kejadian-kejadian aneh yang ada di Redwitch . Tidak mudah.
Jemima sudah tak dapat menghitung lagi berapa banyak tetua yang ia wawancara di kota kecil itu. Namun satu dari mereka tidak pernah ada yang mengatakan sesuatu yang rasional. Semuanya diambang imajinasi dan takhayul.
Bagaimana dengan dirinya sendiri? Apakah Jemima sudah mengalami hal-hal aneh selama ia tinggal tujuh hari di Redwitch . Jawabannya, tidak. Ia bukanlah wanita penakut. Dan ia sudah bersiap seandainya ada hal-hal gaib yang terjadi di sekitarnya. Namun selama tujuh hari, ia tidak mendapatkan apapun.
Di hari terakhirnya, Jemima menyimpulkan bahwa memang ada begitu banyak misteri yang melingkupi Redwitch . Ada yang terjelaskan, ada pula yang tidak. Semuanya cerita yang berkembang di Redwitch berakar pada kehidupan masyarakat Redwitch di masa lampau. Ritual-ritual aneh, adanya ajaran sesat di kota itu, dan hal-hal lain yang kadang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Jemima telah mendapatkan cerita yang ia inginkan, meski rasa tidak begitu memuaskan. Tapi ia lega bahwasanya ia akan sgera meninggalkan kota yang selalu terlihat suram itu. Matahari memang bersinar. Namun seolah kehidupan di kota ini terselimuti oleh sesuatu hal. Sesuatu yang jahat dan diluar nalar.
“Kau yakin tidak ingin tinggal lebih lama?” tanya seorang pria, pemilik penginapan, pada Jemima yang mengembalikan kunci.
“Kurasa tidak.” Jawab Jemima .
“Sebenarnya…, masih ada banyak hal yang ingin kulihat. Tapi jadwal pekerjaanku mengharuskanku kembali hari Senin.”
“Aku mengerti.” Balas pria di balik meja reception sambil tersenyum.
“Terimakasih atas segala bantuanmu selama aku disini, Jeff.” Ucap Jemima .
“Tanpa panduanmu, aku buta dengan tempat ini.”
“Ada banyak cerita aneh jika kau mau tinggal lebih lama.” Balas Jeff sambil tertawa kecil. “Oh! Atau kau kini sudah mulai ketakutan?”
“Aku banyak mendapat cerita yang menarik.” Jawab Jemima . “Kau tahu? Aku besar di kota besar, dimana pengetahuan tentang hal-hal gaib masih dalam skala minim. Dengan kata lain, aku tidak terlalu menaruh kepercayaan pada hal-hal seperti itu. Aku menuliskannya, hanya untuk mengisi lembaran kosong di edisi misteri bulan depan.”
“Bersiaplah, Jemima .” Ucap Jeff.
“Mereka mengawasinya.”
Jemima hanya dapat tertawa mendengar ucapan Jeff yang terkahir, yang menurutnya terlalu dibuat dramatis. Jeff pun tak bisa menahan tawa atas leluconnya sendiri.
“Jika suatu saat kau kembali…” ucap Jeff sebelum Jemima pergi. “Mungkin aku bisa lebih banyak membantu.”
“Terima kasih.” Jemima memberikan satu senyum terakhirnya, lalu melangkah pergi dari motel kecil itu.
Hari sudah mulai senja saat Jemima keluar dari motel. Ia menghentikan satu taksi, dan meminta sang supir untuk mengantarkannya ke Redwitch Station, dimana ia akan naik kereta untuk pulang.
Ya. Kereta. Seandainya saja ia bawa mobil, mungkin ia tidak harus menaiki kereta tua itu. Redwitch , selain terkenal dengan cerita misterinya, juga terkenal dengan satu-satunya kota yang masih mengoperasikan kereta uap dari jalam lampau. Tapi kereta itu malah menjadi daya tarik tersendiri bagi turis yang tidak pernah naik kereta uap. Itu pula yang Jemima ingin rasakan. Ia harus menolak tawaran jemputan oleh kawannya, karena ia ingin naik kereta itu.
Taksi yang ia tumpangi membawanya sampai ke depan stasiun tua itu. Stasiun Redwitch , berdasarkan cerita yang ia dengar, telah berdiri sejak akhir abad 19. Dahulu stasiun ini hanya digunakan oleh para pedagang untuk mengantarkan barang-barang dagangan mereka dari kota ini, menuju Greenville , sebuah kota di timur Redwitch . Kereta tua itu menjadi kereta komersil saat perang dunia dua berakhir. Sekitar tahun 1950, kereta uap sempat berhenti beroperasi. Namun kembali dijalankan saat ulang tahun kota Redwitch lima tahun kemudian. Hingga detik ini, kereta itu masih terlihal begitu kokoh.
Dengan gerak santai dan tak terburu-buru, Jemima masuk ke peron stasiun yang tidak begitu banyak dipadati para calon penumpang. Kedua matanya langsung melihat begitu banyak hal yang menunjukkan usia sebenarnya dari stasiun itu.
Rel selusur tangan yang ada di peron terlihat sudah berkarat dan tak terurus, meski bagian lain dari stasiun terlihat bersih. Bangunan stasiunnya sendiri pun sudah terlihat begitu tua dengan cat putih kusam, dengan bekas tambalan disana-sini.
Kereta yang akan menjadi alat transportasinya nampak di depan mata. Lokomotif hitam yang mengepulkan asap dari cerobongnya itu terlihat seperti monster dari jaman batu. Besar, kokoh, dan terlihat begitu menantang.
Lokomotif itu memiliki empat bauh gerbang di belakangnya. Yang anehnya, terlihat lebih baru dari usia lokomotifnya.
“Memang baru.” Ucap salah seorang pria tua yang duduk di samping Jemima saat
Jemima menanyakan tentang usia gerbong-gerbong itu.
“Kenapa dengan gerbong yang lama?” tanya Jemima . “Rusak? Seharusnya mereka tetap menggunakan…”
“Ya. Rusak.” Jawab pria tua itu.
“Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi. Atau seseorang terlalu pintar memutar cerita mengenai apa yang terjadi.”
“Apa masksud Anda?”
“Tragedi, nak. Tragedi.”
Jemima , untuk sesaat, merasakan rasa dingin sedingin es mengalir uturn di tulang belakangnya. Sebuah perasaan aneh, yang membuat bulu kuduknya meremang terjadi. Tapi Jemima tidak tahu apa penyebabnya. Apakah karena ucapan pria tua itu?
“Tragedi?” Jemima mencoba untuk mengorek keterangan lebih lanjut. Namun ia mendapat tatapan serius dari pria tua itu.
“Tragedi, tentang apa?”
“Bukan sesuatu yang perlu kuceritakan, kurasa.”
“Tapi Anda yang memulainya.
“Maafkan aku!” ucap pria tua itu seraya bangkit dari tempat duduknya. “Kurasa aku sudah terlalu banyak bicara. Tidak seharusnya aku…, lupakan saja, oke?”
“Tapi…”
Sia-sia saja Jemima memaksa. Pria tua itu benar-benar tidak mau membuka mulutnya atas apa yang terjadi. Atas ‘Tragedi’ yang ia sebutkan tadi. Ada apa sebenarnya dibalik kereta uap tua itu? Adakah cerita lain yang tabu untuk dibicarakan?
Jemima melirik jam tangannya, yang menunjukkan bahwa masih ada jeda sekitar satu jam sebelum keretanya berangkat. Masih ada waktu untuk berkeliaran di peron, menemui seseorang yang mungkin mau bercerita mengenai legenda kereta tua itu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience