- 3 -

Romance Completed 32409

- 3 -

Gara-gara percakapan kemarin, tanpa disadari, hari ini, mata Raka tidak bisa beralih dari Nathan. Raka-mungkin juga orang lain-tidak akan menyangka kalau di balik kulit putih pucat dan tubuh kurus tinggi Nathan itu terdapat bakat olahraga yang demikian besar.

Kalau nggak dibuktiin sendiri, aku nggak akan percaya, kata Raka dalam hati.

"Berhenti menatapku seperti itu!" kata Nathan dingin.

Raka terkejut seakan-akan disadarkan dari lamunan. "Ma-maksudmu?" tanyanya purapura tidak mengerti.

Nathan menutup bukunya. "Nggak perlu mengelak, soalnya aku bisa merasakannya. Tatapanmu itu membuat bahu kananku kesemutan."

Raka kehilangan kata-kata. Berbohong juga sepertinya percuma.

Nathan menoleh. "Kalau kamu diam-diam
menyukaiku, bilang saja."

"Hah?"

"Jangan takut, aku ini orang yang berpikiran terbuka," lanjut cowok berkulit putih itu kalem.
"Aku tahu rasa suka itu nggak bisa dilawan.
Tapi, maaf, aku masih normal. Jadi, tolong kamu cari cowok lain saja."

Raka langsung mendelik.

APA? jeritnya dalam hati. Dapat pikiran sinting dari mana dia!

Raka bangkit. "Hei! Aku..." Belum sempat cowok itu meneruskan ucapannya, Nadya berteriak sambil memukul papan tulis dengan penggaris kayu. Nathan pun membalikkan badannya lagi, tak memedulikan Raka.

"Teman-teman! Pak Guru lagi ada keperluan. Beliau memberi tugas yang harus dikumpulkan sepulang sekolah!" kata sang ketua kelas itu. "Kerjakan soal halaman 41 Task 4-17 dan 4-18 di kertas folio."

Seisi kelas langsung mengerang, tetapi Nadya tidak menggubrisnya.

"Terus, setelah ini, saat jam olahraga, kita diminta langsung berkumpul di lapangan voli," lanjutnya. "Hari ini, ada penilaian melalui pertandingan."

Kali ini, yang terdengar paling banyak mengerang adalah para cewek. Tentu saja, tidak banyak cewek yang benar-benar suka olahraga.

"Itu saja!" kata Nadya, lalu kembali ke tempat duduknya.

"Fuuuh..." Dhihan mengeluh.

"Huah! Males!" kata Raka sambil meregangkan otot.

"Sama! Tapi, kalo itu jadi alasanmu nggak ngerjain tugas, bisa-bisa, kamu di-smack down sama Nadya nanti," ujar Dhihan sambil mengeluarkan buku dari dalam tasnya.

Raka menatap Dhihan dengan tatapan tidak percaya.

"Serius!" lanjut Dhihan, seperti mengerti maksud tatapan teman sebangkunya itu. "Dia itu kan, juara judo. Nah, kamu pikir, kenapa dia yang dipilih jadi ketua kelas? Soalnya, cewek maupun cowok nggak akan ada yang berani ngelawan dia."
Raka manggut-manggut. "Tapi, kayaknya,
emang dia yang paling cocok."

"Iyalah... masa kamu!" Dhihan memutar bola matanya. "Bu Ratna mesti mikir seribu kali kalo mau memilihmu. Eh, jangan-jangan, dalam pikiran Bu Ratna, malah nggak pernah ada namamu."

"Kalau kamu ngomong lagi, gantian kamu yang aku smack down!" geram Raka jengkel.

Dhihan hanya meringis. "Sekali-sekali, kata-kata bales pake kata-kata dong, jangan pake otot
mulu!"

"Aku juga penginnya begitu, tolol!" gerutu Raka.

Dhihan tertawa.

***

"Tuh! Tuh lihat! Nathan nggak ikut olahraga lagi," kata Doni sambil menunjuk Nathan yang sedang duduk di pinggir lapangan dengan pandangan matanya.

"Lagi datang bulan kali," komentar Alfi asal.

"Mungkin amnesianya kumat," kata Leo.

"Anemia, bukan amnesia dodol!" ralat Dhihan.

"Terserah apalah itu namanya!" kilah Leo.

Raka melihat Nathan beberapa kali mencuri pandang ke arah mereka.

"Wah! Lihat tuh!" Tiba-tiba, ada yang berseru. Raka menoleh dan melihat teman-temannya sedang menatap kagum ke arah para cewek yang sedang melakukan pertandingan voli. Sekali melihat, dia langsung tahu siapa yang membuat mereka kagum. Nadya.

"Gila! Lihat nggak tadi smash-nya?" Dhihan
sampai bersiul. "Tajam banget!"

"Nadya emang cewek favoritku di kelas," timpal Doni yang langsung dijawab anggukan oleh yang lain.

"Udah cantik, pinter, serbabisa pula." Virgo ikut menambahi.

Raka hanya diam, tetapi dalam hati, dia setuju dengan pendapat teman-temannya. Nadya memang termasuk salah satu murid paling cantik di kelas satu, atau, bahkan, di antara ?
cewek-cewek seangkatannya. Kulitnya putih, rambutnya hitam panjang, dan tubuhnya tinggi langsing. Dia paling pintar di kelas-setelah Nathan-dan salah satu murid kepercayaan guruguru di sekolah ini. Selain andalan klub judo, dia juga pengurus OSIS dan aktif berbagai perkumpulan lain. Begitu melihatnya, siapa pun akan langsung tahu Nadya bukan cewek sembarangan.

"Eh, tapi ngomong-ngomong, ada nggak dari kalian yang pernah nyoba nembak dia?" celetuk Leo tiba-tiba. Semua langsung terdiam.

"Ngg-, iya sih, dia cewek favoritku, tapi kalo buat jadi pacar kayaknya nggak, deh," kata
Doni. "Lagian, dia agak menakutkan."

Alfi mengangguk. "Iya, kalo buat pacar, aku akan lebih milih yang biasa-biasa aja. Kalo bisa, malah yang agak rapuh dan manja gitu biar aku dibutuhin. Kalo sama cewek yang serbabisa
kayak Nadya, kapan aku dibutuhinnya?"

"Bener! Bener!" timpal Dhihan. "Kita emang seneng lihat cewek mandiri, tapi kalo semua bisa dia lakuin sendiri, kayaknya nggak, deh.
Kesannya kita nggak dibutuhin banget!"

"Setuju!" Septian ikut angkat bicara. "Kalo aku, mendingan yang kayak Sarah gitu, deh! Manis banget! Hehehe."

Beberapa orang mengangguk.

"Jadi, intinya, belum pernah ada yang nembak Nadya?" tanya Raka akhirnya. Teman-temannya menggeleng.

"HOI! KALIAN YANG DI SANA! JANGAN BICARA
SENDIRI! SEKARANG, GILIRAN KALIAN!" bentak
Pak Tono, guru olahraga.

Raka menoleh sekali lagi ke arah Nadya sebelum siap-siap bertanding. Cewek itu sedang duduk melemaskan otot, pertandingan grup cewek sudah selesai. Ketika Raka sedang menatapnya seperti itu, tiba-tiba Nadya menoleh tepat ke arahnya hingga tatapan mereka bertemu. Anehnya, Raka tidak berniat mengalihkan pandangan secepatnya layaknya orang yang sudah tertangkap basah. Malah Nadya yang memalingkan wajahnya.

"Raka!!!" panggilan Dhihan-lah yang mengharuskan Raka berpaling.

***

Begitu jam olahraga selesai, hampir semua anak menghambur kembali ke dalam kelas. Namun, Raka masih terduduk di pinggir lapangan melepas lelah. Ternyata, bukan hanya cowok ini yang ada di lapangan. Di lapangan, Nadya tampak sedang memunguti bola-bola voli yang berserakan. Dia kelihatan kesulitan membawa bola-bola itu kembali ke gudang.

"Mau aku bantu?" tanya Raka menawarkan diri.

"Nggak usah, aku bisa sendiri," jawab Nadya tegas walaupun ucapannya itu berbeda dengan keadaan yang terlihat. Tanpa bicara lebih lanjut, Raka langsung mengambil bola-bola yang ada di tangan Nadya dan hanya menyisakan dua buah untuk cewek itu.

"HEEEEIII!!!!" protes Nadya.

Raka tidak menggubrisnya dan berjalan cepat menuju gudang. Nadya hanya mengikutinya sambil menggerutu.

"Bukannya udah kubilang aku nggak butuh bantuan?!"

Raka hanya diam sambil memasukkan bola-bola itu ke dalam keranjang.

"Kamu pikir, aku nggak bisa melakukannya sendiri?" Nadya masih melancarkan protesnya. "Kamu tipe cowok yang merendahkan kemampuan cewek ya? Kamu itu... bla... bla...
nya... nyaa... myu... myu..."

Entah kenapa, suara Nadya jadi terdengar seperti itu di telinga Raka.

Cewek ini benar-benar berisik! gerutu Raka.

Raka tetap diam dan justru mengambil bola di tangan Nadya, lalu memasukkannya ke dalam keranjang.

"Hei! Kamu belum menjawab pertanyaanku!" sahut Nadya.

Raka membersihkan tangannya, lalu menatap cewek di depannya dengan dingin. Nadya tampak terkejut dan langsung terdiam.

"Terima kasih kembali," kata Raka, kemudian pergi. Nadya melongo.

Tidak jauh dari tempatnya berjalan, Raka melihat Nathan keluar dari kamar mandi dekat lapangan. Mukanya pucat dan tampak kepayahan. Raka langsung berlari menghampiri cowok itu.

"Hei! Hei!" Raka mencengkeram bahunya.
"Kamu nggak apa-apa?"

Nathan menatapnya setengah sadar. "Kamu siapa?"

Waduh! Berarti, bener nih anak kena amnesia bukan anemia, pikir Raka.

"Aku Raka, Caraka," kata Raka panik.

"Oh... kamu, Ka..." kata Nathan lirih, dan tampaknya sudah bicara sekuat tenaganya.

"Kamu kenapa?"

"Nggak apa-apa," jawab cowok itu, tetapi kemudian dia melorot dan jatuh terduduk. "Aku cuma lapar."

"Hah!!" Raka langsung mendelik. "Lapar sampai kayak gini? Emang kamu berapa tahun nggak makan?" Raka bercanda. "Eh, sudah minum obat?"

"Kamu pikir aku kayak gini gara-gara apa?" Nathan balik bertanya dengan napas tersengalsengal.

"Hah? Gara-gara minum obat?" Raka mengerutkan kening. "Obatmu kedaluwarsa
pasti! Aku anter ke UKS, Than!"

"BERISIK!" Nathan tiba-tiba berteriak.

Raka terdiam beberapa saat. Tak lama, ia segera
bangkit. "Terserah apa maumu!"

"Tunggu!" cegah Nathan sambil mencengkeram kaki Raka tepat saat dia hendak melangkah.
"Temani aku di sini sebentar."

Raka menatap temannya itu dingin.

Nathan balas menatapnya. "Aku mohon."

Raka masih bergeming, mencari tahu apakah cowok itu sungguh-sungguh mengatakan permohonan itu. Dan, setelah sadar bahwa Nathan tidak sedang berbohong, Raka menyerah, lalu duduk di sampingnya.

"Oke, apa kata kamu aja." Raka menghela napas. Nathan hanya diam sambil memejamkan mata, berusaha mengumpulkan tenaganya lagi.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience