- 1 -

Romance Completed 32409

- 1 -

"Raka."

"APA?" jawab Raka dengan suara bass-nya yang berat dan keras (tuing -,-).

Sarah tampak kaget dan spontan mundur selangkah. Wajahnya memucat dan matanya mulai berkaca-kaca. "Nggak perlu
membentakku, aku cuma..."

"Aku nggak membentakmu," jelas Raka sambil menunjukkan wajah capek. "Berapa kali aku harus bilang kalau suaraku..." Cowok itu menghentikan kalimatnya, merasa percuma karena sudah melakukannya berkali-kali tanpa hasil.

"Ah! Sudahlah! Ada perlu apa?"

"Aku cuma mau minta tolong..." Sarah terhenti sejenak untuk menelan ludah. "Mintakan persetujuan artikel ini sama Bu Ratna." Dia menyodorkan beberapa lembar artikel kepada Raka dan langsung buru-buru kembali ke depan komputer tanpa berani menatap mata cowok itu.

Raka langsung mengernyit. "Cewek aneh."

"Bukan dia yang aneh, tapi kau!" komentar Nathan yang berada di sebelahnya. "Kau yang aneh karena nggak juga sadar, suaramu itu
menakutkan."

"Suaraku? Tapi, dari dulu, suaraku emang begini." Raka melirik Nathan tajam dengan tatapan aku-akan-membunuhmu-kalau-kaungomong-lagi.

Nathan malah balas meliriknya. "Uuuu...
takuuut..."

"KAU!!!" Raka mulai kehilangan kesabaran. Tepat saat tangannya akan berbicara, Nadya yang duduk di depan mereka menggebrak meja.

"DIAM!" katanya. "Bisa nggak, sih, kalian meneruskan pertengkaran anak SD kalian itu di
luar? Aku jadi nggak bisa konsentrasi baca."

"Kamu bisa baca di perpustakaan," balas Nathan.

"Maunya sih begitu, tapi jam segini perpustakaan sudah tutup dan baru buka besok pukul 8." Nadya tersenyum, merasa menang.

"Kalau begitu, lakukan besok pagi," balas Nathan dingin. Kali ini, sepertinya dia yang menang.

Nadya menatap marah ke arah Nathan yang tampak tak peduli. Suasana berubah menjadi panas di antara mereka berdua dan percikan api terasa lebih banyak dari Nadya.

Raka menelan ludah, merasa sudah waktunya dia pergi dari tempat itu.

"Aku... mau ke tempat Bu Ratna dulu, ya," katanya kemudian sambil mengacungkan lembaran artikel yang tadi diberikan Sarah. Tak ada seorang pun yang menjawab. Nadya dan Nathan mungkin tidak mendengarnya.
Sementara, Sarah, dia terlalu takut untuk mengeluarkan suara sedikit pun.

***

"Bu Ratna! Saya protes!" teriak Raka begitu sampai di meja kerjanya. "Saya lebih baik diskorsing dua tahun daripada dihukum kerja paksa kayak gini."

"Skorsing dua tahun?" Bu Ratna tersenyum geli.
"Enak di kamu kalau begitu."

"Tapi, sungguh! Saya sudah nggak tahan lagi," desah Raka sambil menjatuhkan diri di kursi depan mejanya.

"Ya ampun, Raka, kamu baru sebulan di situ."

"Tapi, rasanya sudah seperti seabad, Bu!" protesnya. "Satu ruangan dengan Zombie berlidah tajam, Ratu Salju, dan si cengeng penakut itu, entah kenapa bikin jarum jam
terasa nggak bergerak ke mana pun."

Bu Ratna malah tertawa. "Hebat, bahkan, kamu sudah punya julukan buat mereka, Ibu nggak
menyangka kalian sudah sedekat itu."

"Berapa lama lagi saya harus membantu, ah... maksud saya, kerja rodi di redaksi majalah sekolah?" Raka memasang tampang memelas.

"Mmmm..." Bu Ratna pura-pura berpikir. "Nggak lama kok, Raka, paling-paling sampai
kenaikan kelas."

"HAH?!!" teriak Raka spontan. Untung saja, saat itu, ruang guru sudah sepi.

"Raka," kali ini Bu Ratna memasang muka serius, "kamu masih kelas X, tapi dalam waktu sebulan kamu sudah berkelahi dua kali. Jadi, saran Ibu, supaya kamu tidak di-DO, jalani
hukumanmu sekarang, oke?"

Raka mengangguk lemas. Tak ada pilihan lain.

Bu Ratna menghela napas. "Jadi, kamu datang ke tempat saya hanya untuk mengatakan hal itu?"

"Ah!" Raka langsung teringat artikel yang diberikan Sarah. "Tadi, Sarah menitipkan ini
buat minta approve dari Ibu."

"Oh..." ujar Bu Ratna sambil memperhatikan lembaran-lembaran artikel yang baru saja disodorkan padanya.

"Bu, kalau saya boleh tanya," kata Raka kemudian.

"Apa?"

"Sebenarnya, ke mana anggota redaksi yang lain?" tanyanya penasaran. "Setahu saya, Nathan dan Nadya, kan, bukan anggota redaksi. Tapi, kenapa mereka yang mengerjakan majalah sekolah?"

Ekspresi Bu Ratna tiba-tiba berubah, lalu ia mengangkat wajahnya dan menatap Raka. "Karena saya sebagai pembina majalah sekolah membutuhkan bantuan mereka." Bu Ratna memandang matanya lekat-lekat. "Dan, bantuanmu."

Raka terlihat bingung.

"Sarah pun sebenarnya bukan pemimpin redaksi," lanjut Bu Ratna. "Dia cuma ketiban sial sebagai satu-satunya murid kelas X di redaksi majalah sekolah. Senior-seniornya memanfaatkan dia dan membebankan semua pekerjaan kepada anak itu. Sementara, mereka menghilang dengan alasan sibuk menghadapi ujian. Suatu hari, Sarah datang kepada saya sambil menangis. Dia tak sanggup lagi mengerjakan semuanya sendirian. Itulah sebabnya saya langsung minta bantuan Nathan
dan Nadya sebagai yang terpintar di kelas."

"Kenapa Sarah nggak protes saja sama seniorseniornya?" tanya Raka tak habis pikir.

"Jangan samakan semua orang dengan dirimu."

"Tapi, Ibu membuat sebuah kombinasi tim yang aneh," protes cowok itu. "Si Penakut, si Sinis, dan si Keras Kepala sampai kapan pun nggak akan bisa jadi tim yang kompak."

Mendengar kritikan Raka, anehnya Bu Ratna
malah tersenyum. "Itulah sebabnya saya memasukkanmu."

Raka mengerutkan dahi. "Memasukkan? Bukannya saya dihukum? Oleh Kepala Sekolah
pula."

Bu Ratna menghela napas.

"Bukan," sahut Bu Ratna. "Maafkan Ibu tidak jujur padamu. Sebenarnya, Ibu yang memaksa Pak Kepala Sekolah memasukkanmu di redaksi majalah sekolah."

Kepala Raka terasa dipukul palu mendengar
pengakuan Bu Ratna. "Kenapa?"

Bu Ratna terdiam sejenak sambil menatap mata murid di hadapannya itu.

"Kenapa?" Bu Ratna mengulangi pertanyaan Raka. "Karena, Ibu pikir, kamu pasti bisa membuat keajaiban."

Hah? Raka langsung melongo.

***

"Malam ini kita makan apa?" tanya mama Raka sesampainya perempuan itu di rumah.

"Nasi goreng," jawab Raka sambil menyiapkan piring.

"Lagi?" Mama pura-pura terkejut.

"Sudahlah, Ma, hanya ini masakan yang bisa kubikin," sahut Raka tidak ingin meladeni mamanya.

"Tapi, Raka, ini nggak sehat," timpal Mama. "Kamu masih dalam taraf pertumbuhan, harus
banyak makan makanan yang bergizi."

Raka memutar bola matanya. "Ma, tinggiku sudah 180 sentimeter (?!#$@#$%). Sudah cukup. Kalau tumbuh lagi, bisa-bisa, aku dikira
mengidap gigantisme."

"Lho, bukannya masih ada satu lagi yang perlu
tumbuh dari kamu?"

"Apa?"

"Otak! Hahahaha." Mama tertawa terbahakbahak.

Raka menyipitkan mata, tidak senang, tapi melihat reaksi Raka, Mama malah mengusapusap rambut anaknya itu.

"Tampang merajukmu itu nggak berubah dari kecil," kata Mama sambil tersenyum. "Ah, kalau begitu, Mama mandi dulu ya, baru kita makan sama-sama," katanya, lalu menghilang ke dalam kamar.

Sejak kepergian papanya dua tahun lalu, Raka hanya hidup berdua dengan mamanya. Untuk memenuhi kebutuhan mereka-terutama, pendidikan Raka-Mama bekerja lagi sebagai konsultan di Kantor Akuntan Publik. Jadi, dia sering pulang sampai larut saking sibuknya. Sebelumnya, Mama memang sudah pernah bekerja, tapi setelah Raka lahir, dia memutuskan untuk berhenti dan memilih menjadi ibu rumah tangga agar bisa mengurus keluarganya. Hal itu membuat Raka tidak pernah kekurangan kasih sayang.

Mama menikah ketika berumur 23 tahun, lalu setahun kemudian, Raka lahir. Hebatnya, selama menjadi ibu rumah tangga, sang Mama masih terus berusaha meng-update pengetahuannya dan memutuskan mengambil S2 saat Raka masuk SD. Kini, keputusankeputusannya itu terlihat sangat tepat, terutama saat dia harus bekerja lagi.

Di usianya yang ke-40, Mama masih terlihat cantik. Dia juga energik, memiliki selera humor yang tinggi, pengetahuan dan wawasannya luas. Dan, yang paling membuat Raka merasa beruntung memiliki mama seperti dia adalah karena wanita itu punya pemikiran yang terbuka dan maju. Itulah sebabnya, Raka sangat membenci papanya yang sudah sangat tega meninggalkan Mama seorang diri.

"Lain kali, makan duluan saja, kamu nggak perlu nunggu Mama," kata Mama begitu selesai
mandi. "Kalau Mama pulang larut gimana?"

"Tadi, aku belum lapar, Ma," jawab Raka singkat.

Mama tersenyum mendengar jawaban Raka, dia tahu anaknya itu berbohong. Raka memang sengaja menunggu dan akan selalu menunggunya.

"Yah sudahlah, apa katamu saja," desah Mama. "Tapi, jangan nasi goreng terus, dong!" rajuknya.

"Jadi Mama maunya apa?" tanya Raka.

"Mmm... Mama mau sop buntut, capcay, soto ayam..." jawab Mama, "eh, emangnya beneran
kamu mau bikinin kalau Mama mau itu?"

"Mau, aku mau beliin, bukan bikinin."

"Dasar!" Mama tertawa. "Mana piringnya, Mama sudah lapar. Kamu nggak bikin masalah lagi di sekolah, kan?" tanya sang Mama sambil menyendok nasi goreng ke piringnya.

Raka menggeleng. "Nggak."

"Belum," ralat Mama sambil tersenyum.

"Tapi, kalau iya, emangnya kenapa?"

Mama mengangkat bahu. "Nggak apa-apa, soalnya yang penting bagi Mama kamu masih hidup."

Raka terdiam.

"Jangan ge-er dulu, soalnya kalau kamu mati, Mama mesti ngeluarin duit menggaji pembantu buat masakin Mama dan bersih-bersih rumah," kata Mama sambil tertawa terbahak-bahak.

DASAAAR! umpat Raka dalam hati.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience