- 2 -

Romance Completed 32409

- 2 -

Sin2x + 2sinx-1 - cos2x.

"Caraka Pamungkas , kamu mau berdiri di situ sampai kapan?" tanya Pak Anung tajam.

Raka tidak menjawab. Kepalanya sudah pusing dan keringat dingin mulai bercucuran. Perutnya mual, sepertinya tinggal menghitung mundur sampai dia benar-benar muntah di depan papan tulis.

"Sudah! Kembali ke tempat dudukmu," gerutu Pak Anung tidak sabar. "Nathan, coba kamu yang jawab."

Akhirnya... Raka menghela napas lega. Dia memang payah kalau sudah berurusan dengan angka.

"Bagaimana?" tanya Dhihan, teman sebangku Raka begitu cowok ini menyandarkan diri di kursi.

"Parah," jawab Raka sambil memelorotkan
bahu. "Aku hampir mati berdiri di depan tadi."

Dhihan terkikik pelan. "Masa depanmu
kayaknya bakal suram."

"Berisik!" dengus Raka. "Nggak usah kamu
bilang juga, aku sudah tahu!"

"Bagus sekali Nathan, seperti biasanya," kata Pak Anung sambil bertepuk tangan.

"Gila! Cuma lima menit," decak Dhihan kagum.
"Bukan manusia."

Raka menatap Nathan yang sedang berjalan ke tempat duduknya. Dia balik menatap Raka sekilas tanpa ekspresi, lalu mengalihkan tatapannya lagi. Raka mengerutkan kening lalu mencoba menerka apa yang dipikirkan cowok itu saat ini.

"Emang, batas antara genius dan gila cuma setipis kertas," kata Raka kemudian.

Dhihan meringis. "Ah, kamu cuma sirik aja."

Raka menghela napas sambil menggaruk-garuk
kepala. "Apa katamu aja, deh."

Bagi Raka, selama pelajaran sains, entah kenapa waktu berjalan begitu lambat. Dua setengah jam terasa seperti dua setengah abad. Akhirnya, bel penyelamat itu berbunyi juga.

"Baik," kata Pak Anung sambil membereskan bukunya. "Kita sudahi sampai di sini saja.
Selamat siang."
Raka menghela napas lega. Terima kasih, Tuhan.

Sebelum siswa kelas X itu sempat keluar, Nadyasang ketua kelas-maju ke depan dan memukulmukulkan penghapus papan tulis ke meja.

"Teman-teman, aku minta waktu sebentar!" katanya tegas. Seisi kelas langsung membeku mendengarkannya.

"Sebentar lagi akan diadakan perayaan ulang tahun sekolah kita," lanjut cewek itu. "Setiap kelas diminta menampilkan suatu pertunjukan dan wajib mengikuti bazar. Nggak ada ketentuan akan apa yang harus ditampilkan dan dijual, semua terserah kelas masing-masing. Jadi, ada yang punya usul tentang apa yang akan kita tampilkan?"

Tidak ada satu pun yang menjawab.

"Baik," kata Nadya lagi. "Kalau nggak ada, aku sudah membuat kuisioner untuk diisi. Tolong diisi dengan benar karena kalian jugalah yang akan melaksanakannya. Tapi, sebelumnya, kita harus terlebih dahulu memilih koordinator pelaksana. Aku minta yang bersedia menjadi koordinator mengacungkan tangan. Jangan menunjuk orang lain!"

Seisi kelas terdiam. Tak ada yang berani mengajukan diri.

Nadya mendesah kesal. "Karena nggak ada yang berani, untuk sementara aku yang menjadi koordinator pelaksana," lanjutnya. "Ada yang keberatan?" tanyanya sambil menyapukan pandangan ke seluruh kelas. Semua serempak menggeleng dengan keras.

"Baik," Nadya membagikan lembar kuisioner yang dibuatnya, "kalau ada yang ingin ditanyakan, tanyakan langsung padaku. Kuisioner ini dikumpulkan paling lambat pulang sekolah hari ini. Setelah selesai kurekap, baru
kita diskusikan bagaimana konsepnya."

Dhihan bersiul saat Nadya sudah keluar kelas.
"Well, di kelas kita ini, she is the man," ujarnya.

Raka mengangguk setuju. Kemudian, matanya beralih pada Sarah dan tanpa sengaja mendengarkan obrolan cewek itu dengan teman sebangkunya.

"Sori, aku lupa makalah sejarah kita," kata Nita, teman sebangku Sarah, dengan nada menyesal.

"Nggak apa-apa," jawab Sarah, ia kelihatan sungguh-sungguh. "Aku udah bikin tugas itu, kok."

"Atas nama kita berdua?" tanya Nita tak percaya.

Sarah mengangguk.

"Aduuuh... Sarah, kamu baik banget," pekik Nita sambil memeluk Sarah yang tampak tersenyum.

"Eh, buat tugas bahasa Inggris, kita satu kelompok, kan? Sama Angel juga, kan?" tanya Nita setelah melepaskan pelukannya.

"Iya."

"Kamu udah bikin?"

Sarah menggeleng. "Belum, kupikir kita..."

"Eh, tolong buatin ya, Sar, aku sibuk banget, nih," pinta Nita. "Kalau harus kerja bareng, kayaknya nggak bakal ada waktu yang pas. Tadi, Angel juga bilang gitu, dia sibuk banget sama cheerleader-nya. Bisa nggak kamu buatin buat
kelompok kita? Ayolah Sar, kamu kan, yang paling pintar..."

Sarah tampak bimbang. "Ta-tapi..."

"Ayolah, Sar... Ya? Ya? Ya?" desak Nita.

"I-iya, deh," jawab Sarah, akhirnya.

"Aduuuuuh... makasiiihhh...!" seru Nita. "Aku mau kasih tahu Angel dulu."

Dasar bodoh! umpat Raka dalam hati. Kemudian, perhatiannya beralih pada suara yang tiba-tiba meninggi dari dua meja di depannya.

"Ayolah, Than!"

Doni sedang membujuk Nathan untuk melakukan sesuatu, tapi Nathan tampak tidak menggubrisnya.
"Aku nggak mau," jawab Nathan dingin.

"Kita ini satu kelompok!" ujar Doni yang tampak kehilangan kesabaran. "Seharusnya, kita
kerjakan tugas ini bareng-bareng!"

Nathan meletakkan buku yang sedang dibacanya, lalu mendongak dan menatap Doni tajam. "Aku nggak mau," katanya. "Kalau kita mengerjakannya sama-sama, yang bakal terjadi: aku yang mengerjakannya dan kalian tinggal menyalinnya."

Dari ekspresi wajahnya, kelihatan sekali kalau Doni tertohok. Namun, sepertinya, memang itulah yang akan terjadi.

"Jadi, sebaiknya, masing-masing kita mengerjakannya. Lalu, pada hari yang telah ditentukan, hasilnya dikumpulkan dan dikompilasi," tandas Nathan.

Doni terdiam. Dahinya mengernyit, masih tidak setuju dengan usul Nathan.

"Kalau kamu nggak setuju dengan usulku, terserah," ujar Nathan seakan-akan bisa membaca pikiran Doni. "Kita bisa mengumpulkannya secara individu. Kurasa, Bu Husna nggak akan keberatan, soalnya tugas ini dijadikan tugas kelompok cuma biar beban kita ringan aja. Dan, mengerjakannya seorang diri
bukan masalah besar buatku."

Doni kehilangan kata-kata. Dia tidak bisa membalas, merasa kalah.

"Terserah kamu aja, aku kasih tahu yang lain," katanya dengan lunglai.

Mengerikan... batin Raka membayangkan harus menghabiskan satu tahun pertamanya di SMA dengan orang-orang seperti Nathan, Nadya, dan Sarah.

Bu Ratna pasti bercanda!

***

"Di mana Sarah?" tanya Nadya saat anggota majalah sekolah berkumpul di ruang redaksi.

"Mana aku tahu, emangnya aku baby sitternya?" jawab Raka asal.

"Seharusnya, dia sudah di sini buat rapat,"
gerutu Nadya. "Payah! Dia kan, ketuanya!"

"Sabar dan tunggu aja," ujar Nathan yang sedang sibuk di depan komputer main football manager.

Walaupun masih tampak jengkel, Nadya menurut pada Nathan. dia mengambil sebuah buku dari dalam tasnya, lalu mulai membaca. Raka seperti biasa, mengandalkan iPod untuk menemaninya.

Majalah sekolah yang mereka kerjakan itu diberi nama Veritas oleh pendirinya, bahasa latin dari "kebenaran". Seharusnya, redaksi Veritas digawangi anak-anak kelas XI. Namun, entah apa yang terjadi, sekarang, tinggal Sarah-yang jelas-jelas duduk di kelas X-yang masih tersisa. Karena itu, akhirnya, Bu Ratna mengajak paksa murid-muridnya untuk jadi anggota tambahan.

Oleh Sarah, sang editor in chief, ketiga anggota baru tersebut diberi tanggung jawab sesuai dengan kapasitas kemampuannya masingmasing. Nathan yang paling pintar di kelas bertanggung jawab atas artikel pengetahuan, baik umum maupun khusus. Nadya, si ketua kelas yang jaringan pertemanannya luas, bertanggung jawab atas artikel tentang sekolah: events, serba-serbi, sejarah, dan lain-lain. Sementara itu, Raka, yang sudah jelas tidak bisa apa-apa, membantu dalam hal-hal seperti fotocopy, membeli alat-alat, mengangkat ini, mengangkat itu-segala hal yang kalau saja ini bukan hukuman, bisa dipastikan cowok ini sudah lari.

Raka melirik jam tangannya. Pukul dua lewat, Sarah lama sekali.

"Aku mau cari Sarah," kata Raka kemudian, sambil bangkit dari duduknya. "Ini udah pukul dua lewat."

Nathan dan Nadya hanya menatapnya tanpa mengatakan apa-apa. Lalu, kembali asyik dengan apa yang sedang mereka lakukan.

Ternyata, Sarah sedang berada di kelas.

"Hoi!"
Sarah mendongak.

"Lagi ngapain?" tanya Raka. "Yang lain udah nunggu dari tadi buat rapat."

"Ya, Tuhan!" pekik Sarah. "Aku lupa!
Bagaimana, dong?"

"Ngerjain apa, sih?" tanya Raka lagi sambil duduk di meja depan mejanya.

"Tugas kimia," jawab Sarah panik sambil memasukkan alat-alat tulisnya ke dalam tas.

"Tugas kimia?" Raka mengernyitkan dahi.
"Bukannya itu tugas kelompok?"

"Iya, tapi anggota kelompokku yang lain lagi sibuk. Jadi, mereka minta tolong aku buat mengerjakannya," ujar Sarah, seakan-akan apa yang dilakukannya adalah hal wajar.

"Dan, kamu mau?" tanya Raka tak percaya.

"Emangnya kenapa?" Sarah balik bertanya dengan agak takut-takut.

"Kamu itu... bukannya sedang dimanfaatin?"

Sarah terdiam. Tampaknya, kata-kata Raka tepat kena sasaran.

"Maaf, aku akan cepat-cepat selesaikan," katanya kemudian, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Raka menghela napas. "Sudahlah, nggak perlu
buru-buru. Lagian, cuacanya lagi enak."

"Eh?" Sarah memandang Raka dengan tatapan aneh.

"Harus benar-benar dinikmatin," ujar Raka. "Soalnya, begitu kamu masuk ruang Veritas, kamu akan langsung membeku gara-gara dua orang itu. Mereka, kan, paling jago bikin
suasana berasa kayak Benua Antartika."

Sarah terkikik mendengar ucapan Raka.
"Kupikir, cuma aku yang berpikiran gitu."

Raka meringis. "Aku justru heran kalo ada yang nggak berpikiran gitu."
Kedua orang itu tertawa.

"Selesai!" kata Sarah nggak lama kemudian sambil merapikan kertas-kertas di mejanya.

"Kalo gitu, aku tunggu di luar, ya," kata Raka.

"Eh, Ka!" cegah Sarah.

"Hm?"

Sarah tampak bingung seperti sedang menimbang-nimbang hendak mengatakan sesuatu.

"Aku ini..." katanya tanpa berani menatap mata Raka.

"Apa?"

"Aku ini bodoh, ya?" tanya Sarah, sambil menunduk. "Aku tahu aku dimanfaatin, tapi aku nggak bisa nolak."

Raka mendesah, lalu menggaruk-garuk kepala, bingung harus mengatakan apa.

"Nggak," jawabnya akhirnya. "Kamu nggak
bodoh. Kamu cuma terlalu baik."

Sarah menatapnya tak percaya, kemudian tersenyum. Wajahnya bersemu.

"Udahlah! Ayo cepat!" kata Raka. "Aku nggak tahu lagi apa yang bakal terjadi kalau
meninggalkan mereka berdua lebih lama."

Sarah mengangguk. "He-eh."

***

"YOOOOO...!!!"

Raka menoleh, Dhihan langsung menendang bola ke arahnya. Sebuah umpan yang bagus.

Raka menerjang maju dengan bola di kaki. Satudua lawan berhasil dia kecoh dan tinggal selangkah lagi...

"GOOOOOOOLLLLL...!!"

"Nice," kata Dhihan sambil terengah-engah menghampirinya.

Napas Raka juga naik-turun. "Thanks, itu berkat umpanmu juga."

Dhihan meringis.

"Capeknyaaaaa..." Toni merebahkan diri di pinggir lapangan setelah permainan selesai.

"Gimana kalo lain kali kita main sepak bola aja,"
usul Virgo. "Bosan main futsal mulu."

"Aku penginnya juga gitu," ujar Raka. "Tapi, orangnya kurang."

"Kita ajak temen-temen sekelas aja." Dhihan yang dari tadi hanya diam dan mengompres mukanya dengan botol air mineral akhirnya buka suara.

"Ah... nggak! Nggak!" Leo menolak. "Orang, aku ajak nonton Ligina aja mereka nggak mau! Lagian, apa kamu nggak lihat, anak-anak yang demen olahraga di kelas kita tuh bisa diitung pake jari! Jari tangan pula! sepuluh orang, ya, kita-kita ini!"

"Eh, tapi siapa tahu, lho," kali ini Pupung angkat bicara. "Kali aja mereka nggak suka nonton, tapi main. Emangnya, kamu udah nanya mereka satu-satu?"

Doni mengangguk. "Bener! Bener! Coba aja kita ajak temen-temen. Eh, si Nathan tuh jago olahraga juga, kan?"

Raka dan Dhihan serempak menyahut. "YANG
BENER?!"

"Iya!" kata Doni. "Dia kan, tadinya di Surabaya, baru pindah ke sini waktu lulus SMP. Nah, di Surabaya itu, dia udah menang beberapa kejuaraan olahraga dari basket, sepak bola,
atletik, voli, sampai pencak silat."

"Hebaaaaat..." seru Raka kagum.

"Dia emang hebat!" Doni mengamini.

"Bukan dia," ujar Raka, "maksud aku, KAMUnya. Kok, bisa tahu sampe sedetail itu tentang Nathan. Jangan-jangan, kamu nge-fans sama dia, ya?"
Dhihan dan Virgo langsung menyeringai.

"Bu-bukan!" sergah Doni salah tingkah. "Aku cuma lihat di internet!"

"Nah! Itu dia!" seru Raka. "Kenapa kamu mesti ngebela-belain cari di internet segala kalo bukan nge-fans namanya?"

"Bukaaaaan!! Itu..." Doni benar-benar salah tingkah hingga kehabisan kata-kata. Semua tertawa melihatnya.

"Eh, tapi info itu kayaknya emang bener, lho," kata Pupung. "Inget nggak dulu, waktu Raka ngehabisin anak-anak basket? Nah, sebelum itu,
si Nathan udah ngehabisin mereka duluan."

"Oh, ya?" tanya Raka tak percaya.

"Oh, iya! Bener! Bener!" timpal Dayat. "Aku juga denger!"

"Mereka juga digebukin sama Nathan?" tanya Dhihan. "Kok, nggak kapok, sih? Udah digebukin, masih juga pake acara nantang Raka segala."

"Nathan nggak ngegebukin. Itu bedanya yang berotak dan yang nggak," jawab Dayat sambil melirik Raka.

Sialan, umpat Raka dalam hati.

"Nathan berhasil ‘ngehabisin’ mereka waktu dia ditantang tanding basket 5 lawan 1," lanjut Dayat. "Dia tiga kali three point dan masuk semua."

"Hah! Gila! Bukan manusia tuh!" sembur Virgo.

"Tapi, kalo apa yang KAMU bilang itu bener," kali ini Alfi yang angkat bicara, "kenapa aku
nggak pernah lihat dia waktu jam olahraga, ya?"

"Dia punya dispensasi khusus kali," Leo angkat bahu, "aku denger-denger sih, dia kena anemia. Lagian, ayahnya kan, orang kaya. Jadi, mungkin
di situ juga ‘pendorong’ dispensasinya."

"Hayah! Banci banget!" dengus Raka. Dia paling tidak suka dengan anak yang memanfaatkan kekayaan orangtuanya.
"Eh, tapi aku penasaran sama anak-anak basket itu," kata Dhihan. "Mereka ngapain, sih, pake
acara nantang-nantang gitu?"

"Alaaaah... kayak nggak tahu aja," cibir Leo. "Dari zaman penjajahan Belanda sampe sekarang, yang namanya klub basket SMA tuh pasti jadi idola cewek-cewek satu sekolah. Jadi, begitu dirasa ada ‘ancaman’ terhadap kepopuleran mereka, mereka pasti langsung bertindak buat meredam atau, kalau perlu,
mencabut sampai ke akar-akarnya."

"Kalo Nathan, sih, aku ngerti kenapa dianggap ancaman. Dia kan, punya tampang, duit, dan otak," timpal Septian. "Nah, kalo Raka?
Ancaman dari Hong Kong!"

"Sialan!" umpat Raka sambil pura-pura hendak memelintir leher Septian.

"Wah, jangan salah," ujar Toni. "Cewek-cewek tuh justru seneng sama muka-muka badak, tapi hati merpati kayak Raka gini."

Kontan mereka semua tertawa.

"Ntar malem, jadi ke tempatku, Ka?" tanya Dhihan sambil berjalan menuju lapangan parkir, saat mereka beranjak pulang.

Raka mengedikkan bahu. "Lihat-lihat entar, Han. Kalo males, ya, aku nonton Liga Champion-nya di rumah aja."

"Yang pasti, aku pegang Liverpool!" seru Toni.

"Sori ya, Ton, kami bertiga Milanisti. Jadi, jauhjauh deh, kalo ngomongin Liverpool." Virgo ikut menimpali.

"Sial!" gerutu Toni sambil mengeluarkan bungkusan rokok dari sakunya, lalu menawari teman-temannya satu per satu.

Dhihan dan Virgo mengambil sebatang. Ketika cowok itu menyodorkannya ke Raka, dia
menampiknya. "Sori, aku nggak ngerokok."

"Hah?" Virgo dan Toni langsung memandang Raka dengan aneh, seakan-akan dia sedang melihat singa yang tiba-tiba memutuskan jadi vegetarian.
"Iya, Raka nggak ngerokok," kata Dhihan
kemudian. "Masalah pribadi."

Mereka terdiam sejenak, tapi kemudian Toni mengangguk, begitu juga Virgo. Mereka bisa memaklumi dan berniat nggak akan mempermasalahkannya. Raka bersyukur dia nggak salah memilih teman.

Raka menoleh ke arah Dhihan lalu, mengucapkan, "Thanks" tanpa suara. Dhihan hanya mendelik sambil tersenyum. Raka dan Dhihan berteman sejak SMP. Jadi, cowok itu tahu benar alasan Raka tidak merokok adalah karena ayahnya seorang perokok berat.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience