2 PERANG SAUS

Humor Completed 12578

2 PERANG SAUS

DARI sejak jadi cewek Lupus, sampe pulang dari luar negeri karena ikut program pertukaran pelajar, Poppi memang selalu terpilih jadi ketua. Kini cewek jangkung yang berwajah tegas itu pagi-pagi udah masuk kelas dan sedang mengatur jadwal piket bulanan di kelasnya. Poppi memang terkenal tegas dan keras. Disiplinnya tinggi, ditambah otak yang encer. Ada yang nuduh, Lupus putus sama Poppi karena Lupus-nya minder sama kepinteran Poppi. Padahal sebetulnya Poppi seneng sama kepolosan Lupus yang kadang bikin dia ketawa itu.

Karena kelebihan Poppi itu, makanya dia dipilih terus oleh guru wali kelas untuk jadi ketua kelas. Nggak peduli cowok atau cewek, kalo salah pasti kena damprat. Lupus juga sering kena.

Dan Anto yang pagi itu baru melangkah masuk ke kelas, langsung aja dipanggil, "Anto! Ini jadwal piket buat besok.

Kamu piket bareng Kevin besok, jadi jangan kabur seusai pelajaran. Bersihin kelas sebelum dan seusai pelajaran. Datang sebelum anak-anak yang lain datang, dan jangan lupa bawa taplak meja guru plus vas kembang. Kembangnya harus yang asli, jangan plastik. Bilang juga, lusanya Boim dan Gusur yang piket. Suruh datang pagi-pagi banget! Bawa taplak meja guru dan kembang!"

Anto meneliti jadwal piket itu, lalu mengernyitkan dahi. " Pop, apa lo nggak salah? Boim dan Gusur kenapa dibarengin?"

"Lho, apa yang salah? Mereka kan selalu bareng?" tukas Poppi.

"Apa lo nggak lihat mereka berantem kemarin? Mereka kan lagi musuhan!"

"Musuhan? Masa sih? Berantem gara-gara foto si Boim yang amit-amit itu... terus musuhan? Lo gosip aja kali! Pus...

Lupus! Sini deh!"

Lupus yang sejak tadi udah ada di pojok lagi bikin pe-er matematika, meletakkan pulpen dan menghampiri mereka. Saat itu Utari datang bersamaan dengan Kevin.

"Idih, masa nggak percaya sama gue? Gue denger sendiri, Boim bilang, seumur idup dia nggak akan ngomongan lagi sama Gusur. Bener kan, Pus?" ujar Anto ngotot.

Lupus mengangguk-angguk. "Iya, gue denger. Tapi gue nggak yakin. Boim kan memang bacotnya gede. Dia kalo emosi, selalu asal ngomong. Tapi si Gusur sendiri..."

Kevin yang ngikutin pembicaraan tiba-tiba nyela-dari kantongnya nongol kepala dan antena handphone (sebenernya handphone mainan), yang sengaja banget ditongol-tongolin-,

"Pop, gue kapan piketnya? Lo sekarang harus kasih jadwal minimal seminggu sebelumnya. Karena sejak gue jadi finalis coverbay, gue banyak kegiatan foto atau syuting." .

"Uh belagu amat. Jangan motong cerita dong. Lagi rame nih. Terus, Pus, gimana.... Mereka bener-bener musuhan?" tukas Utari.

Kevin dicuekin. Yang lain tetap bergosip tentang Boim dan Gusur.

"Mana mungkin musuhan? Sekarang kan bukan zaman kayak waktu kita SD dulu," tandas Poppi.

"Eh, siapa tahu? Amerika dan Irak aja bisa musuhan. Padahal mereka kan bukan anak SD?" ujar Utari.

"Itu mah perang... beda! Ada politik-politik-nya, ini kan Boim ama Gusur!" .

"Udah analisa lo berdua ngaco. Kita denger Lupus, dong! Dia kan sobat kentel mereka."

Lupus mendehem, lalu mulai bicara lagi, "Gue kenal sama Boim dan Gusur sebelum elo-elo nongol di dunia ini. Soal mereka, jangan ditanya lagi. Mereka memang begitu. Sering banget berantem. Tapi selalu baekan lagi. Kami bertiga sudah berjanji dengan darah, akan selalu bersahabat sampai dunia kiamat!" Semua anak langsung mengangguk-angguk. Paham.

"Jadi soal Boim dan Gusur jangan kuatir, Pop. Mereka pasti udah baekan. Udah lah, masalah begini aja diributin. Pe-er gue belum kelar, tuh!" Lupus siap-siap balik ke mejanya.

Begitu mereka mau bubar, dari pintu datanglah Gusur dan Boim bersamaan.

"Nah! Lihat, kan? Percaya kan lo semua sekarang?" cetus Lupus tersenyum penuh kemenangan sambil menunjuk ke pintu. Semua anak menoleh ke pintu. Tapi Lupus ternyata salah. Sebab saat itu juga Gusur dan Boim saling berpandangan, dan itulah awal pertengkaran lanjutan mereka.

"Apa lo liat-liat?" bentak Boim.

"Siapa yang liat dikau? Daku tiada melihat!" balas Gusur.

"Jangan nantang lo. Lo mau gue banting kayak kamera butut lo itu?" tantang Boim.

Gusur langsung panas. "Dikau cari perkara sama daku? Tau diri dong! Bilamana badan dikau yang kurus en penuh panu itu bisa membanting daku yang gemuk ini? Kalau body dikau seperti Ade Rai sih boleh."

"Pokoknya gue empet ngeliat lo! Pengkhianat!"

Selagi Boim dan Gusur bertengkar dengan tidak habis-habisnya, semua anak memandang Lupus yang ucapannya 100% salah. Sementara wajah Anto penuh kemenangan, Lupus cengengesan.

***

Pas pulang sekolah, Boim langsung negosiasi ke Poppi soal jadwal piket. Wajahnya serius, kayak pembantu mau pamit pulang kampung.

"Poppi, please... gue mohon. Gue nggak mau piket bareng si Gusur. Gue bisa emosi. Gue masih kesel banget sama dia. Masa tega-teganya dia menyebarkan foto gue dalam keadaan tidak utuh begitu...."

"Im, Gusur kan bercanda. Ke mana sih rasa humor lo?" Poppi meneoba mendamaikan.

"Itu bercanda yang keterlaluan, Pop. Soalnya ini menyangkut reputasi gue. Yang paling gue nggak terima, dia ngeliatin foto itu ke cewek-cewek satu sekolahan ini. Padahal... siapa tahu di antara mereka ada cewek yang seharusnya jadi jodoh gue. Begitu ngeliat foto itu, dia batalin niat. Iya, nggak?"

Poppi tersenyum geli. "Lo futuristis amat, Im. Tapi boleh deh. Gue juga nggak mau kelas gue berantakan gara-gara elo berdua berkelahi. Sementara lo cooling down dulu, lo piket bareng Kevin, ya?" Boim diem bentar. Nggak langsung ngejawab.

"Kevin? Sebenemya gue juga rada empet sama itu anak. Sejak masuk finalis coverboy, jadi banyak lagunya. Padahal cuma finalis doang. Tapi nggak apa deh, daripada sama Gusur." Poppi mengangguk-angguk. "Oke Thanks, Im. Next!"

Ternyata pas Boim meninggalkan Poppi, Gusur yang udah dari tadi nungguin waktunya untuk curhat ke ketua kelasnya itu, langsung datang menghadap.

"Lo pasti nggak mau piket bareng Boim, kan?" tebak Poppi.

"Apa pun daku lakukan. Asal pisahkan diriku dari pangeran kegelapan itu. Daku bisa stres, konsentrasi daku pecah, dan prestasi daku menurun."

"Atau biar beres, gimana kalo masalah lo gue laporin ke wali kelas?"

Gusur langsung kaget. "Wah, jangan kejam begttu, Poppi. Daku masih betah sekolah di sini. Bagaimana kalo Boim aja yang dikau laporkan?"

Boim yang sedari tadi ikut nguping, langsung protes, "Jangan, jangan, Pop. Mendingan dia aja yang dilaporin! Orangnya males, tukang nyontek! Suka bawa pulang kapur berwarna! Gue janji bakal rajin, Pop!"

Gusur langsung naik pitam. "Enak saja dikau ngomong. Justru dikau yang orangnya histeris. Kamera daku saja bisa dikau banting, apalagi gelas minum Bu Guru!!!"

Poppi langsung melerai, "Udah! Udah! Udah! Nggak ada yang gue laporin! pokoknya lo berdua tetap piket, dan gue pisahin. Oke? Pokoknya, gue nggak mau kelas gue ancur gara-gara lo berdua. Janji?" .

Sambil mengangguk, Gusur dan Boim berpandangan penuh kebencian.

Dan permusuhan di antara Boim dan Gusur pun sudah mulai masuk ke taraf gawat....

Duduk mereka pun udah nggak sebangku lagi. Boim pindah ke bangkunya Kevin, dan Anto ngungsi ke bangku Gusur. Kalo berpapasan, mereka saling buang muka. Pas udah jauh, baru dipungut lagi tu muka. Semua anak kelas itu nggak menyangka, Gusur dan Boim yang dulunya lengket terus, ternyata bisa musuhan juga. Kalo udah gini, yang paling pusing adalah Lupus. Soalnya dia salah satu anggota dari three musketeers tu. Dan dia yang diarepin anak-anak untuk bisa mendamaikan dua anak yang berseteru itu. Kalo nggak, apa dong gunanya bersumpah, all for one, one for all?

Makanya pas sekolah udah bubaran, Lupus mencoba melobi ke Boim, untuk segera mengadakan gencatan senjata. Lupus bagai Bill Clinton yang merasa harus mendamaikan Israel dan Palestina. Untuk itu, Lupus terpaksa keluar modal nraktir Boim makan bakso di kantin. "Im, coba lo pikirin lagi. Apa gunanya sih musuhan? Kita jadi nggak bisa jalan bareng lagi kayak dulu."

Sambil makan bakso, Boim menyahut, "Kali ini beda, Pus. Ini menyangkut harga diri, reputasi, dan masa depan gue." "Apanya yang beda? Biasanya juga lo berantem, tapi baekan lagi," desak Lupus.

"Yah, gue sih mau aja baekan, asal si Gusur minta maaf duluan," ujar Boim sambil mengusap mulutnya.

"Dia udah minta maaf, tapi kameranya malah lo banting. Kan dia jadi ngamuk dong."

"Emang sih, gue juga nyesel nggak bisa nahan emosi...." Tiba-tiba Boim bangkit. "Eh, Pus, bentar ya. Gue mau nelepon encing gue. Ada pesen nyak gue yang perlu gue sampein!" Lupus mengangguk. Menghela napas. Lalu ngabisin baksonya.

Sepeninggal Boim, tak dinyana si Gusur lewat dan melihat Lupus di kantin. Gusur nyamperin Lupus. "Pus! Ngapain dikau sendirian di kantin?"

"Gue nggak sendirian, gue sama si Boim."

Wajah Gusur langsung berubah. "Boim? Mana dia ?" Lupus menunjuk ke arah telepon umum.

"Kalau begitu, daku cabut dulu ah. Daku malas bertemu dengan anak brutal itu." "Eh, bentar, Sur. Dia mau minta maaf, dia pengen baekan," tahan Lupus.

Gusur menahan langkahnya. "Ah, yang benar? Daku tiada pernah melihat penyesalan dalam wajahnya."

Saat itu Boim nggak jadi nelepon, karena semua telepon umum di dekat situ mati. Boim balik lagi ke kantin. Tapi demi melihat ada Gusur, Boim bersembunyi mencuri dengar percakapan mereka.

"Sur, lo masa sih nggak kenal sama Boim? Dia kan memang anaknya rada norak. Suka beringasan. Seneng cari perhatian. Suka ngejailin orang, tapi marah kalo dijailin...," ujar Lupus.

"Betul, Pus, Boim orangnya nggak fair. Dan omongannya suka gombal...," tambah Gusur.

Boim jelas geram mendengar omongan Lupus dan Gusur itu. Dia mengepalkan tinju dan langsung pergi dari situ. "Sialan, gue dikata-katain!"

Padahal Lupus sedang berusaha mendamaikan mereka. "Tapi hati si Boim itu sebenarnya lembut dan baik hati. Dia juga setia kawan luar biasa. Kalau kita butuh sesuatu, dia pasti siap menolong. Mana ada teman sebaik si Boim?"

Gusur mengangguk-angguk setuju. Gusur sebetulnya udah mau baekan, tapi saat itu Boim udah keburu pergi dan nggak mendengar lanjutan percakapan mereka yang penuh pujian terhadapnya. Boim malah panas hatinya, dan berjalan cepat di trotoar. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. Boim menoleh. Kevin tersenyum lebar, melebihi lebar wajahnya. Handphone nongol di kantongnya.

"Hai, Boim! Apa kabar, man?"

Boim ketemu Kevin, bak musafir di gurun ketemu oasis. Langsung bisa untuk memuaskan dahaga. "Gue lagi suntuk, Vin. Gue nggak percaya, ternyata Lupus dan Gusur bersekongkol ngata-ngatain gue. Apa itu yang namanya sobat? All for one, one for all?"

"Mereka ngata-ngatain lo? Itu bukan sobat sejati namanya. Tapi lo kalem aja, Im. Sekarang, lo ikut gue aja. Lo akan gue ajak bergaul dengan para selebriti."

Boim langsung tertarik. "Beneran?"

"Yo-i! Kalo bergaul sama kelasnya Gusur dan Lupus, mana bisa lo berkembang? Gue baru aja ditelepon Nadya." "Nadya mana?" tanya Boim bloon.

"Nadya mana lagi... Nadya Hutagalung, so pasti! Dia mau ngajak gue jadi VJ di MTV." Boim terperangah. Mulutnya sampe menganga.

"Yo-i, man. Asoi coi geboi, man!" gaya Kevin makin nyebelin.

"Wah, asyik banget ya.... Suer deh, gue mau ikut lo. Kenal-kenalin gue sama mereka, ya?" pinta Boim.

"Itu sih kecil. Lo baru tau kalo kebanyakan temen-temen gue sele semua?"

"Sele? Sele apa? Sele pisang?"

"Ah, dogol. Sele tuh selebriti, tau!"

"Oooo..." Boim manggut-manggut. Lalu ia melihat handphone yang nongol di kantong belakang Kevin. "Eh, Vin. Ngomong-ngomong, gue pinjem handphone lo dong. Tadi semua telepon umum rusak. Gue mo nelepon sodara nyak gue."

Kevin langsung panik, soalnya itu kan handphone mainan. Buat gaya-gayaan doang. Langsung aja dia berkilah, "Sori, Im. Baterenya abis. Abis Nadya tadi nelepon dari Singapore. Lama banget. Maklum, udah lama nggak ngobrol." Boim manggut-manggut.

Saat itu Lupus dan Gusur muncul. Lupus langsung nyamperin, tapi Gusur menahan diri. Akhirnya tangan Gusur ditarik-tarik sama Lupus. "Boim...lo ke mana aja sih? Cepet ngomong sama Gusur.... Nih, mumpung Gusurnya ada."

Boim menoleh sinis ke Gusur. "Ngomong? Ngomong apa? Mulai sekarang gue nggak mau lagi bergaul sama elo-elo. Gue sekarang udah punya sobat yang lebih baek dari lo berdua." Boim merangkul pundak Kevin. Kevin hanya senyum-senyum.

Lupus bengong, sedang Gusur jelas sebal. "Gimana sih, Pus? Kenapa dia jadi makin sok?"

Boim memandang Gusur dengan sinis, lalu berkata ketus, "Eh, jelek! Jangan harap gue mau minta maaf sama elo! Gue suka banget kamera lo rusak, sukurin! Dan elo, Pus, gue minta lo jangan memihak antara Gusur atau gue."

Wajah Gusur langsung merah. Tangannya udah gatel mau mukul Boim. Lupus buru-buru menahan. "Im, lo kenapa jadi gitu? Katanya elo mau..."

"Udah deh, gue dan Kevin masih banyak urusan."

Boim dan Kevin meninggalkan Lupus yang masih bengong melihat tingkah Boim.

Sedang Gusur belingsatan sendiri.

***

Siang masih bolong, tapi Gusur udah nangis bombai, bersimpuh dengan bercucuran air mata buaya di kaki engkongnya, agar Engkong mau mengucurkan dana untuk perbaikan kameranya. Terus-terang sejak kameranya ancur dibanting si Boim, hati Gusur pun ikutan ancur. Ia sudah menaruh harapan besar untuk masa depannya pada kamera itu. Gusur sudah bulat bercita-cita ingin menjadi fotografer. Tapi cita-citanya itu kandas di tangan Boim. Tak ada jalan lain, selain minta uang untuk ongkos mereparasi kamera itu.

Meski tadi udah dibilang kameranya ancur, tapi sebetulnya itu cuma gaya bahasa yang dilebih-lebihin aja. Hiperbola.

Karena setelah nanya ke tukang servis, tukang itu sanggup membetulkan kamera Gusur dengan imbalan hanya Rp 50.000,- Jadi, nggak terlalu parah rusaknya. Makanya saat ini Gusur mengemis ke Engkong. Tapi dari tadi Engkong lempeng aja wajahnya. Ia cuma melirik ke kamera antik itu dengan kesal.

"Please... please, Kong.... Daku ingin memperbaiki kamera itu. Hanya lima puluh ribu saja, Kong."

"Lo pikir gue pohon duit, ape? Dulu lo bilang kameranya bakal laku lima puluh ribu, sekarang lo minta ongkos reparasi lima puluh ribu. Malah gue jadi tekor!" tolak Engkong.

"Ini kan kecelakaan, Kong. Mana belum sempat diasuransikan, lagi...." .

"Asuransi? Lo aja yang segede dosa begitu kagak gue asuransikan, gue yang udah bangkot begini juga kagak pake yang namenye asuransi... apalagi kamera!"

Gusur mulai menarik-narik sarung Engkong. "Ayolah, Kong. Daku ingin merintis karier jadi fotografer. Daku in gin mengembangkan bakat daku yang selama ini terpendam...." Engkong memandang Gusur dengan sinis.?

"Ngembang apaan? Gue liat badan lo aja yang makin berkembang!"

"Kong, ini bukan forum untuk mencela daku. Tapi daku rela dicela, asal dana itu mengucur. Please..., Kong. Please!"

Melihat sarungnya udah makin melorot ditarik-tarik Gusur, Engkong makin sebel dan pengen segera menyudahi drama menyedihkan ini. Dengan dongkol setengah mati, Ia merogoh kantongnya dan mengeluarkan selembar uang Senyum Presiden. Gusur langsung mencelat kegirangan, ia meloncat-loncat bahagia. Gusur mencium pipi Engkong, tapi Engkong berkelit jijay.

***

-Pagi-pagi sekali, Gusur udah masuk kelas. Ia giliran piket bareng Anto. Tapi berhubung Anto lagi sakit, terpaksa Gusur piket sendirian. Melap-lap meja, nyapu, masangin taplak meja dan vas bunga. Lagi sibuk-sibuknya dia nyapu lantai, tiba-tiba aja datang Boim dan Kevin.

Boim sepertinya sudah ketularan gaya Kevin yang sok selebriti. Kevin melenggang kangkung, sementara Boim membawakan tas Kevin. Resmilah Boim jadi asisten pribadi Kevin. Boim juga bawa sekantong plastik kacang kulit.

"Jadi kapan pemotretannya, Vin?" tanya Boim sambil tak melirik sedikit pun ke arah Gusur yang sedang menyapu sudut kelas.

"Rabu sore. Iklan kaus kaki. Dari ratusan orang yang ikut casting, hanya gue yang kepilih. Asyik nggak, tuh?" jawab Kevin jumawa.

"Asyik banget. Gue kapan-kapan ikutan casting dong, Vin."

"Makanya, lo ikut gue aja. Biar lo terbiasa dulu dengan pergaulan dunia selebriti. Jadinya nggak canggung, Im."

Boim memekik, "Bener juga. Sekarang gue baru sadar, kalo selama ini pergaulan gue sempit sekali." Boim melirik Gusur, Gusur melengos buang muka.

Lalu Boim dan Kevin duduk di kursi sambil mengangkat kaki ke atas meja. Sambil makan kacang kulit, mereka ngobrol. Kurang ajarnya, mereka seenaknya aja membuang kulit kacang di lantai yang udah disapu Gusur. Gusur jelas belingsatan. Tapi baru aja dia mau marah, Boim udah ngomong keras, "Hei, ini lantainya kotor! Siapa ya yang piket?"

Gusur menahan amarah. Karena dia emang lagi piket. Dengan wajah kesal, Gusur mendekat dan menyapu lantai. Tapi Boim semakin menjadi-jadi. Ia melempar-lempar kulit kacang ke seluruh ruangan kelas. Kevin ikut-ikutan.

Beberapa murid yang baru datang ikut kena lempar. Anak-anak itu sebel dan membalas lemparan kacang Boim. Seluruh ruang kelas pun akhirnya penuh dengan dengan lemparan kacang-kacang di udara. Gusur memandang semuanya dengan putus asa. "Heh, berhenti... berhenti... Gue bisa kena marah si Poppi, nih!!!"

Poppi yang saat itu baru datang bareng Lupus, langsung kaget setengah mati melihat kelas dalam keadaan berantakan. "Hei, hei! Kalian apa-apaan, sih? Bentar lagi kan masuk. Gusur? Gimana bisa begini? Lo piketnya yang bener, dong!" Semua anak berhenti sambit-menyambit. Terakhir sebuah kulit kaeang jatuh tepat di rambut Poppi.

"Gue udah ngebersihin, tapi tu si jelek yang buang-buang kulit kacang!" Gusur menuding ke arah Boim.

"Yeee, kan bukan cuma gue. Anak-anak yang lain juga ikutan nyambit!" balas Boim.

"Tapi kan lo duluan yang mulai!" Gusur ngotot.

"Udah, udah! Gusur, pokoknya lo cepet bersihin. Lo kan piket! Lo mau dipanggil ke ruang wali kelas?" tandas Poppi.

Dengan penuh dendam, Gusur pun menyapu kelas yang kotor. Boim dan Kevin tersenyum penuh kemenangan. Lupus cuma geleng-geleng kepala, dan nyamperin Boim di bangkunya. "Im, kenapa sih lo kemaren? Kok lo malah pergi? Gue nggak ngerti deh. Lo mau masalah lo beres nggak?"

Boim tersenyum sinis. "Masalah? Gue punya masalah apa?"

"Nggak usah berlagak bodo. Kita lagi ngomongin masalah lo dengan Gusur," ujar Lupus kesal.

"Yaelah.... itu sih bukan masalah. Gue nggak mikirin lagi. Ya, nggak, Kevin?" Boim melirik ke Kevin.

Kevin mengangguk-angguk. "Boim sekarang gue ajak-ajak ngeliat pemotretan iklan, majalah... Biar buka wawasan dikit. Siapa tahu bisa di-casting...."

"Boim? Lo mau jadi foto model?" Lupus seakan tak percaya.

"Lusa gue ikut Kevin pemotretan iklan kaos kaki. Dan sori aja, kalo entar gue lebih ngetop. Pus, sementara ini gue bakalan sibuk. Gue mau buka wawasan. Mau memperluas pergaulan. Kevin bakal ngenalin gue ke kaum sele."

Lupus merasa sahabatnya ini udah jauh berbeda. Udah mulai keluar jalur, nggak sadar diri. Lupus pun menghela napas dan berlalu.

"Terserah deh. Moga-moga lo sukses."

Belum jauh Lupus melangkah, Boim udah teriak lagi, "Kalo lo mau minta tanda tangan gue, mendingan sekarang, Pus.

Mungkin entaran gue nggak punya waktu."

Boim dan Kevin ketawa-ketawa berdua, lalu ber-gimme five.

***

Perang antara Boim dan Gusur emang udah makin nggak bisa ditolerir lagi. Kayak Irak sama Amerika, tinggal nunggu bisul meletus aja. Lupus sampai putus asa, nggak tau lagi gimana bisa mendamaikan dua pihak yang bertikai itu. Lupus merasa persahabatan mereka bertiga sudah berakhir. Foto-foto mereka bertiga yang dipajang di cermin di kamar, malah bikin Lupus makin sedih aja. Tapi bukan Lupus namanya, kalo nggak pantang mundur. Lupus terus mengupayakan berbagai cara agar kedua sohibnya itu bisa berdamai. Demi untuk kebaikan bersama, Lupus pun datang ke rumah Poppi mengutarakan niatnya.

"Lo kan selama ini kita anggap sebagai pemimpin. Lo ketua kelas. Semua anak kelas kita segen sama lo. Jadi cuma lo harapan gue...," ujar Lupus setelah membeberkan reneananya.

"Tapi, gimana sih maksud lo? Gue harus ngadain pesta perdamaian di rumah gue, gitu? Trus gue undang semua anak kelas kita untuk mendamaikan Boim dan Gusur, gitu?"

Lupus mengangguk. "Tepat! Seperti Clinton mengundang Netanyahu dan Arafat. Lo jadi sponsor. Soalnya, rumah lo kan paling gede. Lo kan paling kaya. Dan lo adalah ketua kelas. Jadi lo bertanggung jawab dong ama masalah anak buah!"

Poppi menimbang-nimbang. Untuk ngadain pesta, apa pun alasannya, kayaknya buat dia emang nggak masalah. Mama-papanya pasti setuju aja. Mereka kan sering pergi ke Singapore, ngurusin bisnis hotelnya Papa. Dan sekalisekali berkorban untuk anak buah emang nggak ada salahnya, sih. Akhirnya Poppi menyanggupi.

"Ya udah. Tapi lo atur semua rencana. Lo undang semua anak-anak. Gue cuma nyediain tempat dan konsumsi!"

"Sip, deh!!!" Lupus langsung melonjak girang, dan mencium pipi Poppi.

Poppi tercekat, lalu memegang pipinya. Udah lama dia nggak disun pipi sama Lupus. Poppi jadi nostalgia lagi.

Begitulah, Lupus segera menghubungi semua anak-anak kelasnya untuk datang malam Minggu di pestanya Poppi.

Yang pertama dikontak adalah Gusur dan Boim.

"Gusur, lo harus datang malam Minggu nanti di pestanya Poppi, ya? Ada makan-makannya. Soalnya Poppi mau ngadain selametan terpilihnya dia jadi ketua kelas teladan!"

"Pasti, Pus. Daku pasti datang. Di mana ada makanan, di sana ada daku," jawab Gusur.

Di tempat terpisah, Lupus juga mengundang Boim.

"Im, lo kudu dateng, ya?"

"Sebentar, gue liat jadwal gue dulu. Hm, malem Minggu ini kayaknya sih kosong...," ujar Boim.

Lupus mengangguk puas. Lalu mengundang anak-anak yang lain.

Inka yang heran sama acara yang terkesan mendadak itu, berbisik pada Lupus, "Sebetulnya ada acara apa sih, Pus?

Emang ada pemilihan ketua kelas teladan?"

"Nggak. Sebetulnya ini acara perdamaian Gusur dan Boim. Lo sama Lulu boleh dateng, kok!" undang Lupus. "Bule juga diajak ya, Pus?" Lupus mengangguk.

Sementara saat itu Boim langsung pergi nganterin Kevin pemotretan buat iklan kaos kaki. Di studio foto yang mereka datangi itu ada layar besar, ada payung-payung, dan ada kursi panjang. Kamera sudah mejeng, lampu-lampu sudah berdiri. Beberapa teknisi mengatur pemotretan. Ada yang menyiapkan properti berupa kaus kaki. Seorang cewek, nama-nya Metha, yang menjadi koordinator pemotretan, melihat kedatangan Boim dan Kevin.

Boim masih bengong melihat suasana sekitarnya.

"Ssst..., Im. Tuh, Mbak Metha datang," bisik Kevin.

"Siapa?" Boim nggak paham.

Tapi Metha keburu menghampiri. "Halo, Kevin, ya? Tunggu sebentar, kita masih ngeset dulu."

"Ya, Mbak Metha. Kenalin nih teman Kevin, Boim."

Boim menyalami Metha dengan mantap. Metha cuma tersenyum sekilas, lalu sibuk lagi mengatur anak buahnya.

Kevin dengan langkah lebar mengejar Metha. "Eh, Mbak... apa saya nggak di-make up?"

"Make up? Oh, nggak perlu tuh."

Kevin heran. "Kok nggak make up? Nanti kalau kulit saya kelihatan berminyak gimana? Image saya kan bisa rusak,

Mbak?"

Mbak Metha hanya tersenyum saja. "Nanti yang dipotret cuma kaki kamu doang kok. Mukanya nggak keliatan. Kan iklan kaos kaki!"

Kevin melongo. Boim terbengong.

***

Pas malam Minggu, semua anak satu kelas itu ngumpul di rumah Poppi. Boim dan Gusur sudah dikonfirmasi dan menyatakan kesediaan mereka untuk datang. Tapi sampe jam delapan malam itu, belum keliatan batang idung Gusur dan Boim. Padahal kedua anak itulah yang paling ditunggu. Lupus jadi gelisah, takut kedua sobatnya itu tau rencana rahasianya dan membatalkan datang. Sementara Poppi, Lulu, Inka, Bule, Kevin, dan beberapa anak lainnya sudah asyik makan kue sambil ngobrol.

"Gue nggak yakin mereka bakal baekan. Soalnya, yang namanya memaafkan itu harus berasal dari hati mereka masing-masing," ujar Inka sambil makan risoles pake saos.

Lupus menggeleng, meski hatinya kurang yakin. "Gue kenal mereka udah lama banget. Gue tau, sebenarnya mereka dua-duanya pengen baekan. Tapi dua-duanya sama-sama gengsi."

"Ah, kalo gue jadi Boim, gue sampai sekarang masih marah. Abis, Gusur kali ini jailnya keterlaluan," Lulu mulai membela Boim.

Pendapat Lulu langsung ditentang oleh Bule, "Menurut gue, si Boim yang kelewat melebih-lebihkan. Dia sendiri biasanya bisa lebih jail dari itu, kenapa harus marah kalo sekali-sekali dijailin orang?"

Inka yang emang naksir Bule itu segera berpindah ke dekat Bule. "Gue setuju sama Bule. Ini bukan salah Gusur. Malah Gusur yang jadi korban. Harusnya si Boim yang ngebetulin kameranya Gusur. Soalnya kan Gusur anak miskin, dan kamera itu adalah satu-satunya warisan dari encing engkongnya. Boim rugi secara moril, tapi Gusur rugi moril dan materiil."

Lulu mulai panas sama Inka. Dia langsung nyolot membela Boim lagi, "Ah, elo, Nka. Nggak punya pendirian. Kemarin lo ikutan gue, sekarang Lo ikutan Bule. Apa sih mau lo?" Inka malah memegang lengan Bule dengan mesra.

Kevin bangkit, lalu mendekati Lulu. "Iya, gue sebenernya setuju sama Lulu. Yang cari gara-gara duluan kan si Gusur.

Coba dia nggak iseng motret. Kan nggak bakal begini."

Melihat teman-temannya pada panas semua, Lupus langsung menengahi, "Eh, gue jadi bingung, nih. Kok kita jadi ikutan ribut."

"Kita nggak ribut, Pus. Kita kah lagi adu argumen!" cetus Lulu.

Dan saat itu Gusur datang. Bule dan Inka langsung menyambut Gusur. Sedetik kemudian, Boim datang. Lulu dan Kevin langsung menyambut Boim.

Boim dan Gusur jelas bingung langsung disambut pengikut masing-masing. "Apa-apaan, sih?" "Boim, lo harus minta maaf sama Gusur!" ujar Inka.

Lulu langsung melarang, "Jangan, Im. Si Gusur yang harus minta maaf dulu. Eh, Gusur. Lo kan yang cari gara-gara duluan."

Gusur mendengus, "Daku sudah minta maaf, tapi dia malah merusak kamera daku. Berarti dia yang harus minta maaf, bahkan maaf tidak cukup. Dia harus bayar kerugian daku, lima puluh ribu rupiah!"

"Jangan mau, Im. Jangan. Ingat, kerugian lo gara-gara foto itu, adalah kerugian moril. Lady Di almarhumah aja pernah nuntut ganti rugi satu juta poundsterling, gara-gara ulah paparazzi jail kayak Gusur, yang motret Lady Di yang lagi berjemur di pantai. Berarti, elo yang seharusnya menuntut Gusur," ujar Lulu berapi-api.

"Tapi Boim kan bukan Lady Di...," kilah Bule.

"Bener, lo bukan orang ngetop!" tambah Inka.

Lupus dan Poppi berpandangan. Mereka heran, yang bertengkar jadi banyak. "Halo... halo... kok semua jadi ikutan ribut? Eh, dengerin dong. Ini kan malam perdamaian."

Poppi dan Lupus dicuekin. Semua tetap ngotot ngomong dan saling membalas.

"Biar bukan Lady Di juga, Boim kan manusia.... Coba foto bugil lo beredar, lo kan pasti marah."

"Nggak, gue nggak marah. Gue bangga."

"Dasar, norak lo!"

Suasana pesta itu jadi gaduh. Semua saling ejek. Boim, didampingi Lulu dan Kevin, beradu mulut dengan Gusur, yang didampingi Inka dan Bule. Perdebatan berlangsung panas dan semua anak jadi pada teriak-teriak. Suasana tambah panas, ketika Boim menyambar botol saus plastik di meja dan menyemprotkannya ke kaus Gusur.

"Nih, biar mampus!"

Gusur menjerit dan mengambil botol saus yang lain, membalasnya pada Boim. "Rasakan, jelek!"

Mereka berdua perang saus. Yang lain ikut-ikutan, suasana makin gaduh. Lupus dan Poppi merangkak keluar dari kegaduhan itu.

Mereka berpandangan putus asa, sementara kelompok Gusur makin seru berperang saus lawan kelompok Boim.

"Pus, kok bisa jadi begini?" keluh Poppi putus asa.

"Gue juga nggak ngerti, Pop."

Keduanya mengembuskan napas panjang bersamaan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience