3 SEKANTONG JENGKOL & GIGI PALSU

Humor Completed 12578

3 SEKANTONG JENGKOL & GIGI PALSU

MALAM telah larut. Suasana di rumah Poppi asli berantakan setelah perang saus berakhir. Kebanyakan anak-anak udah pada balik. Sofa, lantai, meja, dan dinding rumah Poppi penuh tumpahan saus. Poppi nggak tau, gimana harus ngejelasin ke mama-papanya kalo besok pagi mereka pulang. Maka malam itu Inka dan Lulu membantu

membersihkan. Mereka berdua nyesel banget udah kebawa emosi dan ribut-ribut. Sedang Poppi keliatan begitu putus asa.

"Pop, sori ya. Gue jadi ikutan ngotorin rumah elo," ujar Lulu.

"Gue juga, Pop. Gue nyesel banget, harusnya gue nggak ikut panas," ujar Inka.

Poppi diam saja. Lulu dan Inka memandangi Poppi dengan penuh harapan.

"Ayo, Pop. Kita kan nggak akan musuhan kayak Boim dan Gusur?"

Poppi pelan-pelan mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Iya, gue maafin lo berdua. Tapi jangan sekali-kali lagi lo berdua kayak gitu. Itu namanya menyiram bensin pada api. Ya apinya makin besar. Si Boim dan Gusur malah akan makin seru musuhannya, bukannya baekan." Inka dan Lulu mengangguk-angguk.

"Eh, Pop. Hari Kamis depan kan gue ulang tahun...," ujar Inka tiba-tiba.

"Iya, ya.... Tanggal tujuh, kan? Lo mau rayain di mana?"

"Di ballroom Hilton. Nyokap kan dapet complimentary di situ. Elo-elo pada datang, ya? Besok gue bagiin undangannya."

Semua mengangguk. Lalu mulai kerja lagi, dibantuin pembantu Poppi.

***

Sementara itu Gusur makin asyik dengan kameranya yang udah direparasi. Gusur terus-terusan hunting foto di kampung-kampung. Kamera tergantung di lehernya. Dia nggak peduli lagi sama Boim. Kadang magrib baru pulang kandang. Engkong jadi suka sebel.

"Ke mana aja sih lo? Gue kira lu udah kesamber geledek. Tiap ari pergi lama amat."

"Daku kan hunting, Kong. Lagi, ngapain sih nyariin terus? Tumben."

"Gue mo nyuruh lo. Sekarang lo mandi dulu biar seger. Udah begitu, lo pergi ke tukang gigi langganan gue yang di pasar Cengkareng. Bilang lo cucunye Engkong, mau ngambil gigi palsu pesenan gue."

Gusur takjub. "Gigi palsu? Sejak kapan Engkong pakai gigi palsu?"

"Tuh, kan. Engkong lo pake gigi palsu lo nggak tau. Gigi belakang gue kan palsu semua. Emangnya selama ini gue masih bisa makan gimana caranya? Nih, lihat!" Engkong membuka mulutnya lebar-lebar. Gusur melongokkan kepalanya ke arah mulut Engkong sambil tutup hidung.

"Wah... wah..., Kong. Pantesan Engkong sanggup makan daging alot bagai karet setiap hari. Ternyata itu rahasianya.

Kirain pake Pepsodent!"

"Sekarang lo udah tau rahasia gue, terus mau apa? Minggat lo sono! Biar cepet. Gue malam ini mau makan daging semur. Bosen, udah seminggu makan tahu melulu."

Gusur menyimpan kameranya, lalu menyambar handuk dan pergi.

Malam harinya, Boim iseng main ke rumah Lupus. Lupus yang udah putus asa sama sobatnya ini, menyambut dingin. Malah sibuk bikin pe-er. Boim pun duduk di samping Lupus sambil meletakkan kantong plastik item yang sejak tadi ia bawa.

"Bikin pe-er, Pus?"

Lupus mengangguk. "Masih musuhan sama Gusur?"

"Lupus, please deh.... Jangan lo sebut-sebut nama itu. Gue alergi."

Lupus mendengus. "Sejak lo main sama Kevin, lo jadi aneh, Im. Eh, Im, bawa apa lo? Bau banget." Idung Lupus mengendus-endus.

Boim melirik ke arah plastik hitam yang diletakkannya di atas meja. "Oh, itu... pesenan jengkol nyak gue." "Bukannya elo yang doyan jengkol?"

"Dulu iya, Pus. Sekarang enggak. Setelah gue sadar, gimana dalam pergaulan dengan selebriti, penampilan itu penting. Juga napas, harus selalu segar. Seperti ini, Pus." Boim mengeluarkan semprotan pengharum mulut. Lalu menyemprotkan ke mulutnya, banyak-banyak. Lupus bergidik.

"Lo pasti ikut sekolah kepribadian bareng si Kevin, ya?"

"Ah, nggak juga. Kepribadian gue udah oke begini, ngapain lagi sekolah? Eh, gue balik dulu, ya? Ditungguin Nyak!"

Boim ngeloyor begitu aja meninggalkan Lupus. Bungkusan jengkol Boim ketinggalan di meja dekat Lupus. Lupus yang mau ngelanjutin bikin pe-er, mencium sesuatu. Lalu ia melihat bungkusan jengkol Boim yang ketinggalan. Lupus mau memanggil Boim, tapi tu anak udah ilang cepet banget. Lupus males ngejar, soalnya pe-ernya masih banyak yang belum diselesaiin. Akhirnya dia cuma mindahin bungkusan jengkol itu ke sudut meja. Pasti si Boim bakal balik lagi. Kan deket ini rumahnya.

Tak dinyana, nggak lama berselang, malah Gusur yang datang. Ia juga membawa kantong plastik hitam.

"Hai, sobat. Udara di luar cerah sekali. Ngapain dikau meringkuk di sini?"

Lupus menoleh. "Eh, elo, Sur. Gue kirain Boim. Barusan tu anak dari sini."

"Boim? Untung daku nggak ketemu!" sahut Gusur dengan ekspresi jijik. "Eh, bikin apaan, sih?"

"Pe-er, Sur. Gue paling bego matematika. Jadi gue kudu kerja keras. Lo dari mana, keringatan kayak begitu?"

"Dari pasar Cengkareng, mengambil pesanan engkong gue."

Gusur meletakkan bungkusan itu di dekat Lupus. Dia melihat sesuatu di dekat buku Lupus. Ternyata itu undangan ulang tahun Inka. Gusur membacanya.

"Pus, si Inka ulang tahun? Kenapa gue belum dapat undangannya, ya? Apa dia nitipin ke elo?"

"Nggak tuh. Coba lo tanya aja sama Inka."

"Ya udah, gue ke rumah Inka dulu, ya."

Gusur bangkit dan pergi. Kantong plastiknya ketinggalan. Baru sedetik, ia kembali lagi karena teringat kantong plastiknya. Tapi Gusur salah ambil. Ia mengambil kantong plastik Boim, yang sejak tadi nangkring di sudut meja. Gusur terburu-buru, takut malam keburu larut. Nanti Inka udah tidur, lagi! Ia sempat mengendus bau jengkol, tapi Gusur malah mencium kedua belah ketiaknya. Ngecek apa bau atau tidak.

Pas sampe di pagar rumah Lupus, dia bertemu dengan Boim yang mau masuk ngambil plastik bungkusan jengkolnya. Mereka otomatis memalingkan wajah, dan memasang wajah bete. Sekilas Boim melihat bungkusan hitam yang dibawa Gusur. Boim buru-buru masuk ke rumah Lupus.

"Ngapain tuh si ember kemari?" tukas Boim pada Lupus.

Lupus menghela napas, menoleh ke Boim. "Im, gue nggak mau denger lo ngomongin si Gusur dan gue juga udah nggak mau denger si Gusur ngomongin lo. Gue sekarang kehilangan sobat gue, dua-duanya sekaligus."

Boim terdiam melihat Lupus yang ngomong serius begitu. Ia mengambil kantong plastik hitam yang tersisa di meja itu dan pergi.

***

Dengan kesal nyak Boim membanting kantong plastik item yang dibawa anaknya. Padahal saat itu di depannya sudah tersedia nasi yang hangat mengepul. Rupanya nyak Boim sudah mempersiapkan segalanya, tinggal menunggu main menu, yakni jengkol kesayangannya. Boim mengkeret di pojokan.

"Kamu nyuruh Enyak makan gigi palsu, Im?" ujar nyak Boim marah-marah.

"Boim nggak tau, Nyak. Tadi bener isinya jengkol. Si Lupus tuh saksinya. Baunya tadi nyebar ke mana-mana. Sampai si Lupus marah-marah," sahut Boim memelas.

"Enyak nggak mau tau. Ini liat, semua udah siap. Tinggal makan. Kamu datang bawa gigi palsu. Gimana ceritanya?" "Boim bener-bener nggak ngerti, Nyak. Suer."

Boim membuka-buka kantong plastiknya lagi, seperti nggak percaya apa yang diIihat.. "Duh, gigi palsu siapa nih, ya?

Datengnya dan mana gue nggak tau!"

Nyak Boim ngambek. Ia langsung berdiri. "Udah, buang aja ke kali!"

Boim mencegah, "Jangan, Nyak. Pasti ada yang punya. Dan siapa tahu, kalo Enyak udah peot, gigi palsu ini kan bisa kepake."

Mendengar penuturan Boim itu, nyak Boim makin naik pitam. "Sekarang Enyak belum peot, dan Enyak pengen jengkol! Sebelum matahari terbit, jengkol Enyak harus ada. Jangan balik, kalo nggak ada jengkol," usir Nyak Boim galak.

Boim memandang Enyak dengan ngeri. Dia mengambil gigi palsu dan memasukkannya kembali ke kantong plastik, lalu beringsut pelan-pelan keluar dari situ.

Sementara itu di rumah Gusur juga terjadi kehebohan serupa. Engkong uring-uringan sekali mendapatkan cucunya datang dengan membawa jengkol. Padahal ia udah pengen banget melahap semur daging dengan gigi palsunya. Dari tadi air liurnya sudah menetes. Makanya dia kesal sekali. Sementara itu, Gusur bengong memandang jengkol-jengkol di depannya.

"Gusur... Gusur.... Masa lo nggak bisa bedain tukang gigi dan tukang jengkol? Kan tempatnya juga beda, orangnya beda, barang dagangannya beda.... Dasar lo, badan lo gede, tapi otak lo... wah gue nggak tega ngomongnya."

Gusur garuk-garuk kepala. "Ini bukan salah daku, Kong. Daku saja heran kenapa bisa begini. Jin mana yang mengubah gigi menjadi jengkol? Iseng sekali...."

Engkong naik pitam. "Lo nggak usah bawa-bawa jin segala. Lo nggak suka ya kalo engkong lo makan semur daging?" "Bagaimana kalau kita bikin semur jengkol saja, Kong?"

"Jangan ngawur. Gigi palsu gue ke mana, Sur? Kalo lo bilang lo udah ambil, itu barang kan pasti kececer. Masa gue harus bikin gigi lagi. Kan mahal, Sur!"

Gusur juga makin bingung. "Gimana dong, Kong?"

"Cari sono! Sampe ketemu. Kalo nggak ketemu, lu jangan balik deh. Bisanya nyusahin orang tua melulu," usir Engkong galak.

Gusur dengan sedih mengumpulkan jengkol-jengkol itu dan memasukkannya kembali ke kantong plastik. Ia pun berjalan menelusuri gang sempit di depan rumahnya. Tiba-tiba Gusur inget sesuatu. Waktu meninggalkan rumah Lupus, dia ngeliat ada kantong plastik item lain di meja Lupus. Jangan-jangan...

Gusur pun buru-buru menuju rumah Lupus.

Saat itu Lupus lagi ngobrol di teras rumahnya, dekat mobil Bule. Bule baru aja selesai nganterin Inka ngebagi-bagiin undangan ke anak-anak, dan nyempetin marnpir di rumah Lupus.

"Kamu harus datang ya... jangan lupa bawa kado. Kalo nggak, bawa angpaw aja deh...," ujar Inka ke Lupus. "Iya, gue dateng. Tapi tadi si Gusur nanya, kok undangan buat dia nggak lo kasih? Lo sengaja atau lupa sih?" Inka memandang Bule. Bule mengisyaratkan untuk terus-terang aja.

"Sebenernya gue sengaja, Pus. Gue jadi takut ngundang mereka. Gue inget kejadian waktu perang saus itu. Lo kebayang nggak sih, kalo di pesta ulang tahun gue, ada keributan gara-gara mereka?" jelas Inka.

Lupus manggut-manggut mafhum.

"Memang mereka berdua sekarang dieman. Tapi siapa tahu meledak lagi. Maka Inka nggak mau ambil risiko, Pus, soalnya bokap-nyokapnya Inka mau dateng juga, kan repot kalo ada huru-hara. Bisa-bisa kita-kita di-blacklist semua!" tambah Bule.

"Kasian juga sih si Boim ama Gusur. Eh, si Kevin lo undang nggak?" tanya Lupus.

"Nah, itu yang gue bingung. Dia pasti ngajak Boim. Gimana caranya, ya?"

"Ya, diem-diem aja ngasihnya. Bilang ke Kevin, jangan ngajak Boim, gitu!" saran Bule.

Lagi ngobrol-ngobrol, tiba-tiba Gusur datang sambil membawa kantong plastik hitam berisi jengkol. Semua langsung menutup hidung, ketika harum jengkol yang semerbak mengisi ruang-ruang idung mereka.

"Gusur... ngapain sih bawa jengkol?" umpat Inka sambil tutup idung.

"Punya hobi yang bikin orang lain seneng dong! Jangan egois. Baunya nggak nahan, nih," tambah Bule ikut-ikutan tutup idung.

Gusur melihat ke Inka. "Eh, daku tadi ke rumah dikau, dikaunya tiada ada. Kok daku tiada diundang ke ultah dikau sih?"

Inka terdiarn. Bingung mau jawab. Untung aja saat itu Boim datang dad kejauhan. Gusur langsung buang muka melihat musuhnya itu.

"Sialan, si kutu kupret dateng lagi!"

Boim langsung bicara sama Lupus, "Pus, bungkusan jengkol gue ke mana, ya? Gue heran, tiba-tiba isi bungkusan gue berubah jadi gigi palsu. Geli, kan?"

Gusur terkejut. Dia langsung memandang plastik yang dibawa Boim. Lupus juga langung melihat ke arah plastik yang dibawa Gusur.

"Tuh, ketuker sama Gusur," jawab Lupus enteng.

Boim pun kaget, tapi sama sekali nggak sudi ngeliat ke wajah Gusur. Dia sama sekali nggak nganggep ada Gusur di situ.

"Hah? Tolongin ambilin dong, Pus. Gue nggak mau berurusan sama dia," ujar Boim lagi.

Gusur pun ikut-ikutan buang muka. "Ih, dikira daku sudi, apa? Tak lah!"

Lupus angkat bicara, "He, denger. La berdua udah ngerepotin gue banget, hanya gara-gara lo musuhan. Jadi tuker aja sendiri!"

"Tolonglah, Pus. Enyak marah sekali, gue tidak boleh pulang kalau tidak bawa jengkol buat doi. Duit gue udah abis nih, Pus."

Gusur pun ngomong dengan nada sinis, "Hmmm, jadi gigi palsu engkong daku ada di tangan si busuk itu? Tolong ambilin, Pus. Daku pun tiada sudi bersentuhan dengan dia, apalagi harus menatap matanya... ah, daku nggak ku-ku, kawan-kawan."

Lupus diem aja. Nggak meduliin permintaan temen-temennya itu.

Akhirnya dengan sebal, kedua anak itu saling melempar bungkusan. Lupus cuma geleng-geleng kepala. "Buat apa sih lo-lo kayak begitu? Apa lo-lo lupa, All for one, one for all?"

Kedua anak itu cuek aja, langsung pada minggat ke rumah masing-masing.

***

Besok paginya Gusur sudah mencegat Inka di kantin sekolah. Inka biasa sarapan bakwan di situ. Gusur menanyakan kembali pertanyaan yang kemaren sempet tertunda gara-gara Boim dateng. Soal undangan ulang tahunnya.

"Pokoknya, nggak. Gue nggak mau ambil risiko," putus Inka tegas.

"Dikau tiada adil, Nka. Itu namanya dikau tiada menganut asas praduga tak bersalah!" ujar Gusur.

"Duh, gue nggak ngerti tuh...." Inka cuek melahap bakwannya, tanpa menawari Gusur sepotong pun. Padahal pandangan mata Gusur sudah ke bakwan Inka terus.

"Daku jamin, daku tiada akan rnembuat keributan. Begini saja, kurung saja daku di dapur, ikat tubuh daku agar tiada bisa keluar. Asalkan dekat dengan persediaan makanan, daku rela tidak ikut acara pesta," saran Gusur..

Inka menggeleng. " Andai kata gue ngundang lo, gue pengen lo ikut pesta, ikut gembira. Tapi berhubung lo dengan Boim selalu ribut, lo berdua kita blacklist. Sebelum lo berdua baekan jangan harap ikut acara bareng kita-kita."

Gusur nampak putus asa. Ia kesel banget. Lalu sambil geleng-geleng kepala, ia berkata dengan nada tertekan, "Inka, ini tawaran daku terakhir. Dikau boleh sandera engkong daku, asal daku bisa ikut pesta...!" Inka mencibir lalu meninggalkan Gusur di kantin. Gusur bingung.

Sementara di koridor kelas, Poppi sedang mengejar Kevin yang berjalan eepat ke arah kelas. "Vin, ini ada undangan dari Inka buat lo. Dia ulang tahun hari Kamis besok."

Kevin menghentikan langkah, menoleh.

"Inka ulang tahun?"

Kevin mengulurkan tangannya mau mengambil undangan. Poppi menariknya kembali.

"Tapi dengan syarat... lo jangan bawa si Boim. Soalnya Boim dan Gusur di-blacklist untuk acara-acara pesta. Karena mereka bisa ngundang perkelahian masal."

Dengan senyum enteng, Kevin merebut undangan dari tangan Pappi. "Kalo soal itu sih gampang. Daripada gue bawa Boim, mendingan gue bawa temen-temen selebriti gue."

Kevin lalu membaca undangan Inka. Dia terkagum-kagum. "Wow! Di ballroom Hilton. Pesta yang hebat, gue pasti datang!"

Poppi pergi meninggalkan Kevin. Belum nyampe kelas, Boim muncul dari belakang memanggil Poppi, " Pop, gue denger-denger Inka ulang tahun, ya? Gue kok belum dapet undangan? Inka-nya mana?"

Poppi menggeleng. "Cari aja sendiri. Gue juga nggak tau apa-apa kok soal undangan!"

Boim yang hendak pergi lagi mencari Inka, saat itu melihat Inka yang baru dari kantin, berjalan bergegas ke kelas. Boim langsung menghadang. "Hai, Inka. Lo ultah, ya? Kok gue nggak diundang, sih?"

Inka berjalan lurus aja. "Lo dan Gusur nggak boleh datang ke pesta gue. No way!"

Boim menjajari langkah Inka. "Kok gitu, sih? Jahat lo, Nka."

Inka berhenti, bertolak-pinggang dan memandang ke arah Boim tajam. "Lebih jahat mana daripada lo dengan Gusur ntar berkelahi di pesta gue?"

Boim kaget. Lalu berusaha meyakinkan Inka, "Suer, Nka. Gue nggak akan ribut. Soalnya pas Kamis itu kebetulan nyak gue pergi ke Ciamis, nginep di rumah kakak iparnya yang bikin pesta kawinan. Jadi gue di rumah sendirian! Kan daripada kesepian, mending gue dateng ke ultah lo!" "Enggak bisa!!!" Inka euek aja meninggalkan Boim.

Boim naik pitam. "Dasar pada jahat lo semua!!!!"

Saat itu Kevin kebetulan baru keluar dari kelas, mau minum di kantin. Begitu ngeliat Boim, Kevin mau menghindar, tapi keburu udah diseret sama Boim. "Vin, Kamis malam entar lo temenin gue di rumah, ya? Nyak gue ke Ciamis, gue sendirian jaga rumah. Gue ngeri. Itu kan pas malem Jumat kliwon. Daerah rumah gue kan bekas kuburan. Jadi lo temenin gue, ya? Lo kan temen gue."

Kevin hanya senyum, dan menyembunyikan undangan pesta Inka yang ada di tangannya, "Beres. Kita kan friends." Boim tersenyum puas.

***

Hari yang dinanti anak-anak SMU Merah Putih pun datang. Kamis malam, saat pesta ultah Inka yang meriah di Hilton. Bule yang baru jadian sama Inka, berdandan paling heboh. Pake acara nyewa tuksedo pesta segala. Dan pesta itu emang diramalkan bakal jadi pesta paling meriah sepanjang tahun ini di mata anak-anak SMU Merah Putih. Hampir semua cowok-cewek keren di SMU itu diundang. Nggak ketinggalan si duet kece Sarah dan Mini. Tamara Bleszynski yang katanya masih sodara jauh sama Inka dikabarkan bakal datang juga. Aduh, siapa yang nggak pengen ikutan pesta, tuh?

Tapi di malam yang sama, Kevin si selebriti kapiran itu malah sedang menemani Boim di rumahnya yang agak-agak reyot. Kevin datang membawakan Boim buku-buku cerita untuk dibaca-baca. Tapi bukannya buku humor yang segar, ini malah buku-buku horor koleksi Kevin. Dari cerita tentang Vampire sampe Spawn. Padahal saat itu malam Jumat Kliwon.

"Lo harus baca yang ini, Im. Ini paling serem. Kuntilanak di Malam Jumat Kliwon. Eh, sekarang kan malam Jumat? Pas nih," saran Kevin.

"Lo jangan nakut-nakutin gue dong." Boim bergidik.

"Justru suasana begini yang paling pas buat baea buku horor. Seru, lagi! Apalagi rumah lo kan bekas kuburan, ya?" "Ah, gue bo’ong, kok!" Boim berusaha menghibur diri.

"Nggak, bener. Gue udah cek kok ke orang yang sejak dulu tinggal di daerah sini. Makanya, dulu harganya agak murah. Kalo nggak, mana mungkin kebeli sama nyak lo? Dulu waktu zaman Jepang, di sini katanya tempat pembantaian," ungkap Kevin.

"Ngaco lo. Gosip!" Boim mulai lirik kanan-kiri.

"Eh, nggak percaya ya udah!"

Saat itu petir menggelegar. Boim langsung meloncat kaget. Sebentar lagi ujan.

Beberapa meter dari situ, di jalanan, nampak Gusur sedang melenggang di sepanjang gang sempit. Ia melangkah tak tau tujuan, ke mana kaki membawanya pergi. Terus terang ia ngerasa suntuk banget di rumah. Mana Engkong lagi rapat pemilihan RT di kelurahan. Lama banget, lagi. Ditambah lagi sakit hatinya nggak diundang ke pesta meriahnya Inka, yang mungkin nggak bakal terulang setiap sepuluh tahun sekali di sejarah idupnya yang pas-pasan itu. Kapan lagi bisa makan enak, kalo bukan di pesta hotel berbintang?

Gusur makin suntuk, hatinya kosong, kesepian, dan makin berjalan tak tentu arah! Dalam hatinya ia bernyanyi, "Jangan ditanya, ke mana aku pergi..."

***

Hujan mulai turun rintik-rintik. Boim memandang ke luar jendela. Ke jalan depan rumahnya yang pas-pasan buat lewat satu mobil. Saat itu, di tengah rinai hujan, ia melihat ada sosok gendut yang berlari-lari kecil ke gardu hansip kosong dekat rumahnya, untuk berteduh. Tapi karena di luar gelap, Boim tak mengenali siapa yang berlari-Iari itu. Dan hujan pun turun makin lebat.

Kevin masih menemani. Boim dengan membaca cerita-cerita horor, sambil sesekali menengok jam.

"Sukurin, ujan! Baru tau rasa! Moga-moga aja pestanya sepi. Ya, nggak, Vin?" maki Boim penuh kesirikan.

Tak ada jawaban.

Boim berbalik, dan ternyata Kevin sudah tidak ada di situ. Boim jadi rada takut. Bunyi petir menggelegar. Boim langsung berteriak. Di saat yang sama, sosok yang tadi dilihat Boim sedang berteduh di pos hansip kosong, yang ternyata adalah Gusur itu, juga berteriak ngeri. Kaget oleh bunyi petir. Dia baru sadar kalo saat itu ia berada di dekat rumah Boim.

Gusur melihat bayangan Boim di balik gorden rumahnya. Boim ada di rumahnya! Tapi Gusur tak mau menghampiri.

Di dalam rumahnya, Boim masih mencari-cari Kevin. Ia mulai ketakutan. "Kevin! Kevin!"

Saat kilat menyambar sesosok tubuh muncul dari pintu dapur. Blar!!! Boim menutup matanya karena silau. Ternyata, Kevin sudah muncul dengan baju pesta lengkap dan trendy, rambut disisir rapi, pokoknya top. Undangan di tangan kanan, handphone di tangan kiri.

Boim kaget. Ia tak menyangka tas yang tadi dibawa Kevin ternyata berisi baju pesta yang udah dia siapin!

"Lo... lo mau ke mana?" tanya Boim.

"Mau ke pestanya Inka," jawab Kevin tenang.

Boim melongo. "Terus, gue...?"

"Lo nggak bisa ikut. Soalnya, syarat dari Inka, gue boleh pesta asal nggak bawa elo. Jadi nanti teman gue yang sesama model itu nyamperin ke sini pake mobil." "Terus, gue...?" Boim makin memelas.

"Lo jaga rumah sendirian. Tuh, gue udah bawain buku baeaan horor, hehehe...."

Sementara di pos hansip, demi melihat ada sosok lain di rumah Boim, Gusur jadi penasaran. Ia pun berlari kecil ke teras rumah Boim, ingin tau ada siapa di rumah Boim, dan berusaha menguping pembicaraan. Ia pun bersembunyi di bawah jendela, lalu mengintip ke dalam. Dilihatnya Boim lagi adu argumen dengan Kevin. "Lo ninggalin gue sendirian? Lo tega, Vin? Katanya lo temen gue. Gue udah nemenin lo ke mana-mana... potret iklan-lah... dan gue nggak kasih tau ke anak-anak bahwa lo cuma dipotret kakinya doang! Tapi masa sekarang lo nggak mau nemenin gue?"

Kevin tersenyum tenang, lalu berujar, "Sori, Im. Sebagai kaum selebriti, gue nggak bisa dong tinggal di sini, sementara di sana ada pesta.... Kaum selebriti itu tempatnya di pesta-pesta hotel, bukan bermalam Jumat di tanah bekas kuburan ini."

Boim makin gusar. "Ih, tega amat lo! Pakai acara nakut-nakutin, lagi!"

Gusur yang masih menguping pembicaraan dua anak itu, tiba-tiba terkejut mendengar ada mobil berhenti di depan rumah Boim dan mengklakson keras. Gusur buru-buru ngumpet di balik semak-semak, bak garong kepergok hansip. Ternyata yang datang itu mobil teman Kevin yang hendak menjemput. Tak lama kemudian nampak Kevin bergegas keluar dari rumah Boim, hendak pergi ke pesta. Boim menahan sambil menyusul keluar dan memegang tangan Kevin,

"Vin... jangan pergi, dong. Gue takut!"

Kevin tetap ngotot pergi, Boim menariknya. Handphone Kevin jatuh. Boim memungut, dan memperhatikan handphone itu. Barulah Boim tahu, bahwa handphone itu palsu. Mainan yang dijual di lampu merah. Boim langsung berujar sinis, "Ih, ini kan handphone mainan. Jadi selama ini, lo bawa-bawa handphone mainan?"

Dengan marah campur malu, Kevin merebut handphone dari tangan Boim. "Awas kalo lo cerita-cerita. Ini kan salah satu gaya hidup selebriti. Sementara nunggu duit buat beli yang asli, gue pake ini dulu."

Boim langsung kesal. "Lo emang palsu, Vin. Persahabatan lo juga palsu. Jauh mendingan si Gusur daripada elo. Dia miskin, tapi dia baik. Nggak sok kaya kayak lo. Si Gusur itu solider, nggak akan pernah ninggalin gue seperti ini." Di semak-semak, Gusur kaget mendengar pengakuan Boim. Gusur terharu.

"Tapi gue nggak pernah nyebarin potret bugil temen gue...," ujar Kevin membela diri.

"Dia kan bereanda. Gue percaya, dia nggak ada maksud jahat ke gue," bela Boim.

"Nah, sekarang lo belain dia. Gimana sih? Katanya musuhan...."

"Sebenernya gue nggak pernah benci sama si Gusur. Dia kan sobat gue... hampir separuh umur gue, gue abisin sama si Lupus, sama Gusur. Gue selalu bareng sama mereka. Mancing di Kali Kepa, sampai piknik ke Bali. Kami udah sepakat dengan darah, one for all, all for one... Kayak three musketeers!" Temen Kevin yang di mobil nglakson lagi.

"Vin, buruan, udah malem nih! Ntar ketinggalan pesta, lagi! Mana mobil gue susah banget masuk gang sempit begini. Lo sih minta dijemput di sini! Gue yang susah! Punya temen milih-milih dong, yang bonafide dikit, kek! Rumah kok di gang sempit!" seru teman Kevin dari mobil dengan sengaknya.

Boim tersinggung, langsung mengusir Kevin, "Pergi lo sono! Gue benci sama lo. Sok borju! Nggak setia kawan! Bilang sama temen lo, kalo ngomong di kampung orang ati-ati!"

Kevin langsung ngacir menuju mobil temennya. Dan mereka langsung pergi.

Sepeninggal Kevin, Boim mengkeret lagi melihat sepinya suasana. Dia melihat ke kiri-ke kanan. Takut kalau ada hantu. Boim langsung masuk ke rumahnya. Buku-buku horor dilemparkannya jauh-jauh.

Sementara di semak-semak, Gusur menangis terharu. Ia baru merasakan kembali tulusnya persahabatan Boim.

Saat itu petir kembali menyambar. Gusur meloncat kaget dan tanpa sadar langsung ikutan masuk ke rumah Boim. Boim jelas kaget ngeliat Gusur tiba-tiba muneul di belakangnya.

Dikira ada setan. Baru Boim mau buka mulut, tiba-tiba petir menggelegar lagi. Gusur dan Boim kaget setengah mati, mereka langsung berpelukan.

"Boim..., my brother!!!" pekik Gusur.

"Oh, Gusur, sobat gue!" pekik Boim.

Gusur dan Boim berpelukan sambil menangis terharu.

***

Pesta telah usai. Lupus yang semobil bareng temen-temennya minta diantar dulu ke rumah Boim dan Gusur. Soalnya tadi Lupus sempet ngebungkusin makanan buat kedua sobatnya itu. Di samping itu, terus

terang dia pengen tau nasib Boim yang Home Alone itu. Nyaknya kan lagi ke Ciamis. Poppi dan Lulu yang juga ikut di mobil Bule itu juga iseng pengen nengokin si Boim.

Mobil Bule memasuki gang sempit rumah Boim. Hujan sudah reda. Halaman rumah Boim masih basah karena hujan. Pas sampai depan rumah, mereka langsung pada turun.

"Jangan-jangan si Boim udah mati ketakutan," ujar Lupus.

"Eh, tapi lampu rumahnya nyala, tuh! Jendelanya juga masih terbuka...," ujar Bule.

Mereka buru-buru mau mengintip. Dari dalam terdengar tawa dua orang sahabat, Boim dan Gusur. Lupus kaget, lalu mengintip. Di dalam, Boim dan Gusur sedang asyik main kartu remi. Mereka tampak akrab, penuh canda. Boim lagi dijepit idungnya pake jepitan jemuran, sedang Gusur lagi jongkok sambil cekakak-cekikik. Lupus, Poppi, Lulu, dan Bule saling berpandangan, bengong. Apa yang telah terjadi?

Saat itu dari radio Boim terdengar lagu Queen, Friends Will Be Friends....

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience