1 BALADA FOTO PANAS BOIM

Humor Completed 12578

LUPUS
KUTUKAN BINTIK MERAH

1 BALADA FOTO PANAS BOIM

-KAYAKNYA udah pada tau deh kalo persahabatan Lupus, Gusur, dan Boim itu lebih lengket dari permen karet.

Soalnya meski baru di SMU Merah Putih mereka satu sekolah, tapi segala suka dan duka sudah mereka alami bersama. Sampe-sampe pas Gusur misah kelas sendirian sesuai jurusannya dari Lupus dan Boim, secara khusus Gusur minta disatukan lagi kelasnya dengan Lupus dan Boim. Karena rengekan yang terus-menerus itu, akhirnya Kepsek menyetujui. Gimana nggak setuju, kalo saban pagi Gusur selalu baea puisi di depan ruang Kepsek, "Hidup tanpa

Lupus dan Boim, bak ikan hidup tanpa air...."

Anak-anak SMU Merah Putih emang seru-seru. Makanya Lulu sama Bule, waktu nggak betah lagi sekolah di SMU Elite gara-gara teror dari Oasa, dengan senang hati pindah ke SMU Merah Putih.

Minggu siang itu, Lupus dan Boim nampak

lagi jalan di gang yang menuju rumah Gusur. Mereka ceritanya udah janjian mau nonton bioskop. Kampung tempat Gusur tinggal memang semarak. Banyak anak singkong berkeliaran, kadang-kadang diselingi kambing dan ayam. Semua begitu membaur. Dari jauh nampak engkong Gusur berjalan terburu-buru dengan wajah berseri-seri.

Begitu lewat di dekatnya, Lupus dan Boim langsung ngagetin Engkong.

"Halo, Kong! Dari mana mau ke mana?"

Engkong sampe meloncat saking kagetnya.

"Aje gile! Eh, elo pade... kagak boleh begitu sama orang tue. Kualat lo entar," Engkong mengelus-elus dadanya sambil ngomel-ngomel.

Lupus dan Boim tergelak. "Abis Engkong jalan kayak panser begitu. Nggak ada nengak-nengoknya."

"Aye buru-buru nih. Ada yang mau ngasih warisan."

Lupus kaget. "Warisan dari siapa, Kong? Engkong setua begini masih punya orangtua? Bukannya Engkong yang udah sepantesnya bagi-bagi warisan?"

Lupus itu kalo ngomong emang suka ceplas-ceplos dan agak-agak kurang ajar. Pantesan aja Engkong jadi naik pitam. "Sembarang lo. Zaman sekarang orang tua umurnya panjang. Yang bagi warisan ini adalah encing Engkong yang tinggal di Cise' eng. Berhubung dia nggak punya anak, warisannya jatoh ke para keponakannya. Udah ah, entar kesiangan malah nggak kebagian!"

Tanpa banyak bacot lagi, Engkong langsung pergi meninggalkan Lupus dan Boim. Untung aja saking akrabnya, mereka emang udah biasa bercanda. Jadi soal ledek-ledekan begitu, nggak ngaruh sama hubungan baik mereka.

"Eh, Kong! Si Gusur ada nggak di rumah?" teriak Boim.

"Auk ah, gelap! Cari aja 'ndiri!" Engkong menjawab cuek.

Boim cuma geleng-geleng kepala, lalu ngajak Lupus ngelanjutin jalan ke rumah Gusur.

Di rumahnya, ternyata Gusur masih belum ganti pakaian. Malah dia asyik beres-beres rumah dengan kaos buntung dan celana pendek sambil nyanyi lagu India. Boim dan Lupus jelas sebel. "Gusur, udahan nyanyinya. Anak ayam tetangga udah tiga ekor yang mati."

Gusur kaget, dan menoleh. "Eh, dikau. Bikin kaget!"

"Lo gimana sih, Sur? Janjian nonton kok masih koloran begitu?" ujar Boim.

"Tenanglah dahulu, Im. Daku sudah berjanji dengan Engkong mau membereskan rumah sebelum pergi. Sebenarnya hari ini jadwal piket Engkong, tapi berhubung dia ada urusan penting yang menyangkut masa depan kami berdua, maka daku yang harus ambil alih," ujar Gusur tenang.

Boim mencibir, "Alaah... gue udah tau kok. Engkong lo kan mau dapat warisan!"

"Kok tau? Sudah nyebar ya beritanya? Itulah, Im, sebenarnya daku jadi malas nonton. Lebih baik daku di sini berdoa, agar engkong daku dapet warisan rumah mewah dan mobil BMW Kemudian.... selamat tinggal kemiskinan! Dan daku pun bisa jadi orang kaya. Jangan ngiri ya?"

Lupus mengibaskan tangannya. "Udah, nggak usah ngimpi deh, Sur. Mendingan lo mandi sana." Sambil melangkah enteng, Gusur pergi meninggalkan ruangan.

Boim dan Lupus nunggu sambil duduk di dipan. Iseng aja, Boim melihat album foto yang ada di bawah meja tamu. Itu album foto Gusur yang memuat foto-foto mereka bertiga dari zaman pertama masuk SMU dulu. Dari nyari ikan di kali sampai piknik ke Bali. Boim jadi senyum-senyum sendiri. Ia nggak nyangka kalo si Gusur selama ini suka nyimpen foto-foto mereka. Dan di album itu malah ada tulisannya, Lupus, Boim, Gusur adalah sahabat di kala senang dan sengsara.

Pada halaman terakhir, ada foto yang paling mengesankan, saat mereka naik gunung liburan taun lalu. Di puncak gunung, Lupus, Gusur, dan Boim berfoto saling mengangkat kedua tangan, membawa bendera merah-putih.

Boim langsung terkenang saat-saat menggembirakan itu. Saat Boim yang udah kecapekan, terpaksa digendong Gusur sampai ke puncak gunung.

Lupus yang semula cuek, jadi tertarik ikut-ikutan ngeliat album. "Kenapa sih lo senyum-seyum sendiri?"

"Eh, iya. Ini foto-foto kita dulu!"

Lupus merebut album itu. Gusur yang muncul sudah berpakaian rapi, juga ikut melihat album foto itu.

"Gue ada ide bagus. Bagaimana kalau kita kemping lagi?" ujar Boim.

"Kemping di mana? Emangnya kita lagi libur?" Gusur keliatan nggak begitu minat.

"Kita kemping di kebon belakang rumah Lupus aja, sambil bakar ayam. Yaa, itung-itung untuk nostalgia mengenang kejadian-kejadian lucu. Setuju? Setuju?"

Demi mengenang persahabatan mereka yang selengket permen karet, Lupus dan Gusur pun menyetujui usul Boim. Tanpa persiapan mateng, cuma ngambil ayamnya Lupus, membeli mi instan, dan nyabut beberapa buah singkong, malam harinya mereka langsung kemping di kebon belakang rumah Lupus yang kebetulan rindang. Boim dan Lupus memutar ayam di atas panggangan, sedangkan Gusur asyik mengaduk-aduk mi instan di atas panci.

Malam itu langit sangat cerah. Bintang-bintang bertebaran menghiasi gelapnya langit. Sesekali terlihat bintang jatuh. Saat yang tepat untuk make a wish, katanya. Maka sambil ngipas-ngipas kayu yang membakar ayam yang dipanggang oleh Lupus, Boim menatap ke langit. Dan terkesima.

"Duhai teman-teman, lihatlah bintang-bintang di langit. Yang terus setia menemani malam. Seperti persahabatan kita yang abadi, tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan."

Lupus dan Gusur jadi terpana mendengar kata-kata Boim yang puitis. Mereka menghentikan pekerjaan mereka dan jadi melamun.

"Mami pernah bilang, harta yang berharga di dunia ini adalah sahabat. Gue jadi merasa beruntung, punya sobat-sobat seperti kalian berdua. Biarpun suka nyusahin, tapi gue merasa lebih banyak senangnya," ujar Lupus menimpali.

Gusur mengangguk-angguk. "Daku juga, Pus. Kalau saja bisa daku hitung berapa jumlah ketawa daku dalam hidup, pasti itu karena kalian berdua. Biar kata daku miskin dan rumah daku butut, tapi dengan kalian berdua, daku merasa kaya. Karena daku bisa ngutang dan kalian berdua begitu pengertian."

Boim, yang emang paling norak di antara mereka, mulai terisak-isak terharu. "Gue juga, Sur. Dalam hidup gue, gue sebatang kara. Tidak ada siapa-siapa, hanya nyak gue seorang. Tapi kalian berdua hadir menemani gue, sehingga gue nggak ngerasa kesepian.

Gusur mengambil pisau, lalu mengacungkannya ke atas api. Cahaya api memantul dari pisau, dramatis sekali. Lupus dan Boim memandang dengan khidmat.

"Sahabatku... mari kita berjanji bahwa kita selalu akan bersahabat sampai selama-lamanya. Menjadi saudara sedarah.

Seperti Winnetou dan Old Shatterhand. Seperti Batman dan Robin. Seperti Tin Tin dan Snowy. Seperti Starky dan Hutch. Seperti Lavern dan Shirley. Seperti Gareng, Petruk, dan Bagong. Seperti the Three Musketeers, All for one, one for all!"

Gusur tiba-tiba menoreh pergelangan tangannya dengan pisau. Darah keluar dari luka tipis. Mereka berpandangan dengan tatapan berarti. Lupus mengambil pisau dari tangan Gusur, sambil takut-takut ia mengiriskan pisau ke tangannya. Darah keluar. Lupus tersenyum sukses. Lupus dan Gusur saling menempelkan pergelangan mereka yang berdarah. Kemudian berpelukan.

"All for one, one for all!"

Boim tidak sabar menunggu gilirannya. Ia mengambil pisau dan menorehkannya ke pergelangan tangannya. Tiba-tiba Boim menjerit kesakitan. Rupanya dia terlalu semangat, banyak sekali darah keluar dari lengannya.

"Aaau! Aduuuh!! Tangan gue... tangan gueee!!!" Lupus panik, langsung menolong Boim.

"Gusur, ambil lap, Sur!"

Gusur dengan cepat mengambil lap hangat di dekat ayam bakar. Mereka segera mengikat luka Boim. Boim meringisringis kesakitan.

"Brengsek lo, Sur. Ini gara-gara elo. Sok Indian lo."

"Lho... yang memotong tangan dikau kan dikau sendiri, Im...."

Lupus memeriksa luka Boim. " Gawat, Im. Kayaknya urat nadi lo ada yang kepotong. Darah lo nggak brenti. Lo bisa mati keabisan darah!"

Boim memekik, "Mampus gue!"

Lupus dan Gusur membantu Boim berdiri. Terpaksa kemping mereka batal!

***

Engkong termenung di atas dipan bututnya. Sebentar kemudian Engkong mondar-mandir melihat ke atas meja. Di atas meja ada sebuah kamera foto. Ternyata, dari warisan encingnya itu, Engkong cuma dapet kamera doang. Encingnya itu dulunya cuma wartawan miskin, yang boro-boro punya emas batangan buat disumbangin ke negara, bisa makan pas tiga kali sehari aja udah untung. Padahal tadinya Engkong udah ngebayangin dapet yang enggak-enggak. Dia udah berharap banget hidupnya bakal berubah setelah dapet warisan itu. Siapa tau, bisa beli rumah di real estate, atau minimal beli kambing. Terus-terang Engkong udah bosen banget idup di gang sempit, bertemankan kandang ayam itu.

Lagi mondar-mandir begitu, tiba-tiba Gusur pulang, abis nganterin Boim ke rumah sakit. Wajahnya nampak letih. Bajunya lusuh, dekil oleh keringat dan darah Boim semalam.

"Dari mana aja lo, Sur? Rumah lo tinggal-tinggal seenak jidat lo!" labrak Engkong.

"Dari kemping, Kong, di kebon belakang rumah si Lupus. Terus nganterin Boim ke rumah sakit."

"Macem-macem aja lo. Kagak bisa nyenengin orang tua sedikit aja."

"Lho, Engkong kok jadi nyolot begitu? Eh iya, dapat warisan apa, Kong? Kita jadi dapat rumah? Atau baby benz?"

Engkong mendengus kesal, sambil menunjuk ke atas meja. "Baby benz bau menyan! Tuh, liat apa yang gue dapet!"

Gusur melihat kamera yang ditunjuk Engkong. Dengan antusias dia meraihnya. "Ini bagus, Kong. Ini kamera antik, masih bisa dipakai, lagi. Emangnya encing Engkong itu wartawan, ya?"

Engkong mengangguk. "Wartawan zaman dulu. Miskin banget. Nggak ninggalin ape-ape. Si Sarmili lebih apes lagi, dia cuma dapat koran loakan zaman Belanda."

"Wah, itu bisa mahal kalau dijual ke Arsip Nasional, Kong!"

"Sok pinter lo. Mana ada koran bekas yang mahal. Coba deh lo pikir, apa manfaat barang begitu buat kita. Wartawan bukan, tukang potret di Kebon Raya juga bukan. Gue nggak butuh kamera! Gue pengen rumah, tanah, kolam ikan, pohon kelapa, sukur-sukur dapat kambing, sapi...," Engkong mengomel-omel.

Gusur mendekap kamera itu, sambil menepuk-nepuk engkongnya. "Udah deh, Kong, jangan mengeluh. Kamera ini bisa daku manfaatkan untuk menambah penghasilan kita sehari-hari."

Engkong menepis tangan Gusur. "Gue kagak mau tau urusan. Lo gadein aja tuh kamera. Berapa deh dapatnya.

Lumayan, buat nambah-nambahin beli beras. Beras lagi naek gila-gilaan sekarang, kita terancam puasa seumur idup!"

Engkong langsung berjalan masuk ke kamarnya. Tapi Gusur seperti nggak peduli sama omongan engkongnya. Ia malah asyik mengamati kamera itu dengan antusias. Berbagai ide muncul di benaknya.

***

Sejak punya kamera butut itu, Gusur jadi punya hobi baru. Ke mana-mana dia selalu asyik memotret-motret. Apa aja dijadiin objek. Anak kecil sampai nenek peot yang cari kutu, semua dipotret. Cita-citanya langsung berubah, mau jadi fotografer.

Di sekolah juga begitu. Ketika istirahat, Gusur langsung beraksi di kantin. Anak-anak cewek seperti Lulu, Poppi, dan Inka yang sedang ngerumpi, langsung aja dipotret.

"Cewek-ceweeek! Cheese!"

Poppi, Lulu, dan Inka langsung bengong.

"Eh, elo, Sur. Ngagetin aja.... Kamera baru, ya?" tanya Poppi.

"Foto lagi dong! Tadi Lulu lagi ngedip, Sur," ujar Lulu.

"Gue juga lagi mangap. Sekali lagi, Sur," kata Inka.

Gusur tersenyum jumawa. "Boleh-boleh saja. Ayo, bergaya."

Lulu, Inka, dan Poppi pun bergaya-gaya dengan centil di kantin itu. Sampe anak-anak lain pada ribut, ikutan minta difoto. Saat itu Lupus masuk ke kantin. Gusur pun menjepret ke arah Lupus. Persis seperti fotografer profesional.

Lupus kaget. "Lo dapat kamera dari mana Sur?"

"Punya engkong daku. Dari pembagian warisan. Sebenarnya daku disuruh menjual. Tapi sebelum daku jual, daku pengen pakai dulu. Kira-kira laku berapa, ya?"

Lupus langsung memeriksa kamera itu. Dia kan wartawan, jadi rada-rada ngerti lah! Setelah mengamati agak lama, dia menjawab, "Wah, ini sih kamera model lama, Sur. Palingan juga lima puluh ribu. Mendingan lo pake aja, Sur. Lulu rela kok jadi foto modelnya."

Lulu yang centil itu langsung mengangguk-angguk.

Gusur tercenung. "Yah, daku pikir pun begitu. Kamera ini akan mengubah jalan hidup daku. Daku akan membuat foto-foto spektakuler, foto-foto yang mengabadikan sejarah manusia, foto-foto yang indah bagaikan puisi...."

Pulang sekolah Gusur langsung berniat mamerin tustelnya ke Boim. Hari itu Boim kan emang lagi nggak masuk, akibat insiden pas kemping. Begitu sampe rumah Boim, di ruang tamu ada dua ibu-ibu penjual batik sedang menawarkan kain-kain batik. Nyak Boim lagi menjereng kain-kain batik yang diminatinya. Tanpa ba-bi-bu, langsung aja Gusur memotret mereka bertiga. Nyak Boim dan dua ibu-ibu itu langsung menjerit kaget.

"Kok pada kaget? Kan dipotret!" ujar Gusur sambil nyengir.

Begitu melihat Gusur, nyak Boim langsung manyun. "Sialan lo, Sur. Ampir copot jantung gue. Kirain ada geledek di rumah gue. Sekarang lo jadi tukang foto keliling?"

"Nggak, Nyak. Cuma lagi nyoba-nyoba aja. Boim ada, Nyak?"

"Tadi sih ada. Mungkin lagi mandi di tempat si Muin. Kamar mandi sini pompanya rusak," jawab nyak Boim cuek, sambil kembali asyik menjereng kain.

"Tangannya gimana, Nyak? Udah sembuh?"

"Udah mendingan. Makasih ya, lo ama Lupus nganterin dia ke dokter. Nyak heran, ngapain dia pakai usaha memotong urat nadi. Seperti bintang film Hollywood aja."

Gusur cuma nyengir. Lalu ia pun berjalan ke luar lagi, mencari Boim. Ternyata bener. Boim lagi di kamar mandinya Muin. Dan kamar mandi si Muin itu ternyata hanya sumur pompa yang dikelilingi dinding setinggi leher. Tangan Boim yang diperban tampak teracung ke atas. Kepala Boim nongol pas di leher. Mukanya belepotan busa sabun. Sambil mandi, Boim nyanyi keras-keras.

"Hei, Boim.... My brother, Boim!" panggil Gusur.

Boim menoleh. Begitu melihat Gusur, ia langsung cemberut. Boim masih kesel sama Gusur. "Lo lagi.... Lihat nih, apa nggak pegel mandi begini? Kayak anak sekolahan disetrap!"

Gusur seolah nggak peduli pada kekesalan sahabatnya itu. Ia malah ngomong lagi dengan riangnya, "Im, lihat nih, kamera daku yang baru. Hadiah dari Engkong."

Boim melongok sejenak, lalu tersenyum sinis. "Bagus juga rejeki lo! Eh, tunggu di rumah deh. Gue lagi konsentrasi nih. Entar kamera lo kena air, baru tahu lo."

"Gue tunggu di sini aja, Im. Banyak sekali objek foto yang menarik di sini. Kesederhanaan kampung kota Jakarta, yang kumuh namun romantis."

Tanpa setahu Boim, Gusur pun mengacungkan kameranya ke atas dan memotret Boim dari atas tembok. Jepret! Boim kaget luar biasa.

"Eh, gila lo, Sur. Gue kan lagi bugil!" pekik Boim refleks, menutup itunya.

Gusur tergelak. "Tenang, brother. Kamera ini tidak ada isinya."

"Bo' ong lo!"

"Percaya gue, brother! Gue cuma berlatih menekan tombol belaka. Sebaiknya lo teruskan mandinya. Sabun itu sudah hampir jadi kerak di muke lo."

Gusur pergi. Sebenernya Boim masih penasaran. Tapi dia nggak bisa berbuat apa-apa lagi, selain berharap sahabatnya itu nggak berbohong.

***

Ternyata Gusur emang bohong. Saat itu kameranya emang ada filmnya. Dan dengan penasaran, Gusur tadi langsung mencetak film itu. Ternyata foto bugil si Boim lagi mandi tercetak dengan jelas. Gusur sampe guling-gulingan di kasur saking gelinya ngeliat foto "syur" itu. Dalam foto, nampak si Boim lagi melongo dengan tubuh polos, hanya dihiasi beberapa busa sabun.

Tiba-tiba saja terlintas pikiran jail. Pikiran itu datang begitu aja. Gusur jadi begitu penasaran pengen masuk sekolah besok paginya. Ia sampai nggak bisa nahan ketawa ngebayangin betapa hebohnya kejadiannya nanti!

Lagi seru-serunya cekikikan sendiri, Engkong masuk ke kamar. Ia heran ngeliat Gusur geli sendiri. Tapi lebih heran lagi ketika kamera butut itu masih dipegang Gusur. "Masih ada tuh barang! Belum laku juga?"

"Yang begini susah laku, Kong. Palingan laku lima puluh ribu," Gusur berkilah sambil langsung menyembunyikan foto "syur" Boim.

"Kagak napa-napa. Daripada di tangan lo, barang itu bukannya ngasilin duit, malahan morotin duit gue. Beli film lah... cetak lah... Pokoknya jual tuh kamera. Nggak kuat gua miaranya."

Gusur mendengus kesal, "Kambing kali, dipiara. Sabar dong, Kong. Pasti ada hasilnya. Tadi aja daku sudah dapat kenalan cewek-cewek yang mau dipotret. Lama-lama kan mereka bayar. Fotografer profesional sekali motret bisa dibayar jutaan, Kong."

Engkong mengibaskan tangan. "Gue udah bosen sama teori lo. Gue bilang gadein, ya gadein. Kalo lo nggak bisa, sini biar gue yang gadein."

Engkong mau merebut kamera itu dari Gusur, Gusur mempertahankannya dengan sepenuh tenaga. Pegangan Engkong lepas, dan dia terjungkal. Engkong langsung buru-buru bangkit, sambil marah-marah, " Sur, lo lebih cinta sama barang itu dari engkong lo? Tega-teganya lo ngebanting gue."

Engkong pergi sambil merengut dan mengusap-usap pantatnya yang baru mendarat di lantai.

Besoknya, pas semua lagi ngumpul di kantin, Gusur langsung memamerkan foto bugil Boim ke anak-anak. Kontan anak-anak pada berteriak heboh dan histeris. Terutama yang cewek. Ada yang menjerit, tapi tetap melotot ngeliat, tapi ada juga yang langsung perutnya enek dan mo muntah.

Lupus geleng-geleng kepala ngeliat Gusur tega menjual sobatnya demi sebuah kehebohan. Ia langsung menarik tangan Gusur, dan berbisik, "Si Boim tau nggak foto ini?" Gusur menggeleng.

"Lo harusnya kasih foto itu buat Boim aja. Masa foto begitu lo pamerin?" saran Lupus.

Gusur tersenyum licik. "Tentu gue bakal ngasih ke Boim. Tapi setelah anak-anak ngasih tanda-tangan dan komentar di belakang foto ini. Sebagai bukti anak-anak udah melihat dengan jelas."

Gusur pun langsung menyodorkan pulpen pada Lupus. Lupus nyengir lalu menandatanganinya. "Lo jail aja!"

Lalu anak-anak lain pun mulai ikut ngasih komentar dan menandatangani. Gusur tersenyum puas.

Dan niat Gusur bikin kehebohan emang sukses. Selama Boim nggak masuk, foto "syur" itu udah beredar hampir ke semua kelas. Dan foto itu jadi topik pembicaraan di mana-mana.

Si kece Sarah dan Mini, yang jadi primadona SMU itu pun akhirnya ikut-ikutan penasaran pengen ngeliat. "Lupus, katanya ada foto panasnya Boim, ya?" sapa Sarah ketika ketemu Lupus di kantin.

"Lulu kemarin cerita, katanya lo udah liat. Memang panas ya, Pus?" tambah Mini penasaran.

Lupus cuma nyengir. " Ah, gue sih geli ngeliatnya. Tuh ada di Gusur."

Sarah dan Mini lari-lari centil mencari Gusur. "Sur, mana sih, Sur?"

Gusur tersenyum bangga. Saat ini dia emang bener-bener jadi very important person. Sampe duet kece Sarah dan Mini aja perlu-perlunya nguber dia. Gusur pun menunjukkan foto itu. Wajah Sarah dan Mini langsung berubah. Mereka saling berpandangan dan tampang mereka seperti menahan muntah.

"Iiih, geli banget! Geli, geli, geli... Gua nggak nyangka, ternyata panu Boim lebih banyak dari yang gua duga...!" jerit Sarah.

Sebaliknya Mini malah minta nambah, "Eh, liat lagi dong, Sur."

Gusur menolak, "Sori, cuma bisa sekali. Banyak yang ngantri. Mumpung Boim belum masuk. Nanti kita sambut dia dengan foto ini. Ayo, tanda tangan di belakang fotonya."

Sementara itu, Inka yang paling nggak tegaan mulai resah melihat tingkah Gusur yang makin merajalela. "Lupus, apa nggak sebaiknya lo bicara sama Gusur. Bilangin, kasian dong sama Boim. Masa dia mau nyambut Boim dengan acara ngasih foto itu? Kan malu, Pus."

Lupus cuma ngangkat alis. "Biarin aja. .Gue, Boim, dan Gusur udah biasa bercanda kayak begitu. Si Boim nggak bakalan kenapa-napa kok. Dia kan muka tembok dan rasa humornya tinggi buanget."

Inka menghela napas. Nggak yakin. Bercanda sih bercanda, tapi ini menurutnya udah keterlaluan.

Besoknya ternyata Boim udah masuk sekolah. Pergelangan tangannya masih diperban. Untuk mempercantik penampilan, Boim memakai sarung tangan sebelah, seperti Michael Jackson waktu kena luka bakar. Pas jalan di sepanjang koridor, setiap cewek yang berpapasan langsung cekikikan menahan geli sambil menegur. Jelas dong tu cewek pada geli, soalnya kan mereka udah ngeliat foto "syur" Boim.

Boim yang nggak tau duduk persoalannya, semula heran. Tapi pas dipikir-pikir, dia langsung ge-er. Dikira tu cewek pada kagum sama dia gara-gara pake sarung tangan kayak si Jacko.

Boim pun langsung membusungkan dada bangga. Jalannya dibikin tambah gagah. Bakat playboy-nya mencuat lagi. Hatinya menggumam, "Heran, makin lama gue kok makin menebar kharisma aja!"

Cewek-cewek itu makin tertawa cekikikan dan meninggalkan Boim. Boim melangkah dengan percaya diri masuk ke kelas. Saat itu kelas udah lumayan rame. Spontan aja si Boim langsung menyapa dengan wajah ceria, "Halo, semua!"

Semua menoleh, dan langsung memekik. Dengan gagah, Boim melempar tasnya di bangku, lalu berputar dengan gaya Jacko. Cewek-cewek makin terperangah. Soalnya baru aja semenit yang lalu mereka ngeliat foto bugil Boim yang dipamerin sama Gusur.

"Kenapa? Pada surprised? Pada kangen gue nggak masuk?" ujar Boim penuh percaya diri.

Anak-anak langsung pada senyum-senyum. Dada Boim serasa hendak meledak. Ia merasa bagaikan superstar. Lupus langsung nyamperin Boim. "Im, lo udah sembuh?"

"Seperti yang lo lihat. Malah dengan pake sarung tangan ini, gue merasa kharisma gue bertambah dua kali lipat. Lihat tuh cewek-cewek, dari tadi senyum sama gue. Pantesan aja si Jacko demen pake sarung tangan, ternyata emang bawa hoki."

Belum lagi Lupus sempet ngejawab, duet kece Sarah dan Mini masuk ke kelas, khusus menegur Boim. Padahal mereka berasal dari kelas sebelah.

"Boim! Lo keren, deh! Cool! Top!" Sarah mengacungkan jempolnya.

Idung Boim makin mekar. "Makasih! Makasih! Seharusnya kalian menyadari itu dari dulu." Sarah dan Mini pun keluar kelas sambil senyum-senyum. Boim tambah ge-er.

"Aduh, ngimpi apa gue ya, Pus?"

Lupus garuk-garuk kepala. "S-sebetulnya..."

Saat itulah Gusur yang baru aja menjajakan foto bugil itu ke kelas lain, masuk sambil tetap memegang foto dan membawa tustel kesayangannya. Gusur agak kaget ngeliat Boim udah masuk. Spontan, dia langsung menyapa,

"Boim, my brother! Akhirnya kita bisa bersama lagi. Gue sudah kangen sekali."

Gusur memeluk Boim hangat. Boim mah dingin-dingin aja. Perhatian Boim malah terpusat pada foto penuh coretan tanda tangan di baliknya yang dipegang Gusur. "Foto apaan tuh, Sur?"

Gusur cuma menggeleng, dan buru-buru menyembunyikannya. "Oh, bukan apa-apa. Hanya sedikit kejutan."

"Liat, dong!"

Gusur malah menggeleng dan melarikan diri. Boim penasaran dan mengejarnya. Mereka berkejar-kejaran di kelas. Anak-anak sekelas langsung pada nonton. Lupus menyuruh mereka berhenti. Gusur masih tertawa-tawa mempermainkan Boim. Akhirnya Boim berhasil menerkam Gusur di bangku belakang dan merebut foto dari tangan Gusur. Betapa kagetnya dia begitu melihat foto dirinya sedang mandi. Wajah Boim berubah. Sementara Gusur masih tertawa-tawa.

"Hehehe... jangan kaget. Di baliknya ada tanda tangan orang-brangyang sudah menyaksikannya,Im. Selamat datang,

Im. My brother!"

Anak-anak sekelas diam dengan tegang.

Mereka menunggu reaksi Boim. Tiba-tiba Boim bangkit dan ngamuk. "Lo jangan nyebut gue brother! Tega-teganya lo sama gue! Belum luka gue sembuh, lo udah mengkhianati persahabatan kita."

Gusur tercekat. Wajahnya langsung pias. Ia sama sekali nggak menduga reaksi Boim seperti itu. "Im... kok elo... begitu? Pus... Lupus..." Gusur berusaha minta bantuan Lupus.

Lupus pun masih terpana karena kaget.

"Gue nggak nyangka. Lo bo'ong sama gue. Katanya waktu itu nggak ada filmnya. Sekarang semua orang udah tahu rahasia tubuh gue!" jerit Boim.

Boim siap-siap menerkam. Gusur berusaha menenangkan, "Im, kok dikau kehilangan rasa humor? Ini kan cuma untuk meramaikan suasana."

"Lo jahat! Gue kan malu, Sur."

"Yah, daku minta maaf deh. Sori, daku tiada tau dikau bakal ngamuk begini."

"Kagak bisa. Gue nggak bisa maafin lo. Gara-gara kamera sialan." Boim menyambar kamera yang lagi dipegang Gusur. Gusur memandangi dengan waswas.

"Im... jangan apa-apain kamera gue. Itu harta gue satu-satunya," ujar Gusur memelas.

"Bodo ah. Gue harus balas perbuatan lo."

Boim mengangkat kamera itu tinggi-tinggi dan berlagak mau membantingnya. Gusur menjerit, "Jangan, Im. Gue mohon, jangaaan! Itu jualan engkong gue!"

Lupus mau menolong. Ia memegang tangan Boim, tapi Boim langsung mendorongnya. "Lo jangan ikut-ikut dulu, Pus. Gue mangkel banget nih. Coba lo yang diginiin, foto lo yang sangat pribadi, disebar-sebarkan ke mass media. Pantesan banyak paparazzi yang dipukulin selebriti. Atau dibanting kameranya!"

Bersamaan dengan kalimatnya, Boim membanting kamera Gusur ke lantai. Gusur menjerit pilu, langsung memungut kameranya yang ancur berantakan. "Kamera gueee!!! Rusaaak!" "Biar mampus lo!" kutuk Boim.

Gusur bangkit dengan marah dan mau menghajar Boim. Lupus dan anak-anak sekelas langsung melerai mereka.

Share this novel

Ciber Ara
2019-12-28 19:06:08 

bagus


NovelPlus Premium

The best ads free experience