Completed
861
Aku berlari menyelusuri lorong yang sangat panjang di rumah sakit. Begitu sampai di ruang unit gawat darurat, aku melihat Tante Ana, Mamanya Yudha sedang duduk dan tertunduk lesu di ruang tunggu.
“Tante, bagaimana dengan keadaan Yudha?” Tanya ku sambil duduk di sampingnya.
Tante Ana memandangiku, lalu ia memelukku dengan erat sambil menangis sesegukan. Melihat keadaan Tante Ana, aku menjadi tambah bingung dan panik memikirkan kesehatan Yudha, yang sedang di tangani oleh beberapa dokter di ruang observarsi.
Tidak lama kemudian seorang dokter keluar dari ruangan tersebut, lalu ia berjalan menghampiriku dan Tante Ana.
“Maaf…, apakah kalian saudara dari bapak Yudha?” Tanya Dokter berkacamata itu.
“Iyah Dok, saya calon istrinya, dan Ibu ini orangtuanya” jawabku.
“Kalau begitu sebaiknya kalian ikut ke ruangan saya” kata Dokter itu lagi.
Aku dan Tante Ana berjalan mengikuti langkah Dokter menuju ruang kerjanya. Dokter itu mempersilahkan aku dan Tante Ana duduk di hadapannya. Detak jantungku pun berdetak sangat kencang, ketika menatap Dokter.
“Bapak Yudha mengalami penurunan kesadaran, akibat virus yang masuk ke dalam otaknya, ini bisa terjadi karena ia kecapaian dan daya tahan tubuhnya tidak stabil, akhirnya virus itu dapat masuk, bisa melalui udara atau makanan” kata Dokter.
“Maksud.. Dokter?” tanyaku.
“Bapak Yudha terkena virus yang dapat menyerang otak sarafnya. Akibat itu kesadarannya akan melemah dan sangat berbahaya jika sampai menurun. Maka dari itu Bapak Yudha harus segera di tangani serius”, jelas Dokter.
“Apakah… bisa sembuh Dok?” tanyaku terbata-bata.
“Kita usahakan yaa Bu. Mudah-mudahan Bapak Yudha kuat dan dapat melewati masa kritisnya”, jawab Dokter.
Dengan langkah lunglai, aku dan Tante Ana keluar dari ruang Dokter. Tante Ana menangis tersedu-sedu mendengar penjelasan Dokter. Apa yang terjadi dengan Yudha adalah musibah besar di dalam hidupku. Ya Tuhan, mengapa engkau memberi cobaan yang berat padaku. Minggu depan aku akan menikah dengannya. Airmataku menetes ketika melihat Yudha tidak berdaya di atas tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya terpejam. Selang kecil, oksigen dan berbagai macam peralatan Dokter di pasangkan di tubuhnya. Aku menggenggam tangannya yang dingin. Aku ingin berada terus di sampingnya. Aku ingin sewaktu Yudha membuka matanya, orang yang dia lihat adalah aku.
Saat ini aku pasrah, aku tidak memikirkan lagi rencana pernikahanku yang sudah dipersiapkan dengan sangat matang itu. Yang ada di pikiranku adalah Yudha, aku ingin kekasihku itu tersadar dari tidurnya. Ia sembuh dan bisa bersamaku lagi.
Dua hari sudah berlalu, Yudha belum tersadar juga. Akhirnya dokter menyatakan Yudha koma, karena daya tubuh dan kesadarannya terus menurun. Ya Tuhan, aku tidak tega melihat keadaan Yudha yang begitu pucat dan tidak berdaya, matanya terus saja terpejam.
“Yudha… kamu harus kuat sayang, ayo buka mata kamu, kamu harus sembuh? Dua hari lagi kita akan menikah. Aku ada disini menunggumu” bisikku sambil menatapnya.
Tidak terasa airmataku menetes dengan deras, aku tidak sanggup lagi memendung rasa sedih yang aku alami di malam itu.
Ketika aku sedang memandanginya, tiba-tiba aku merasakan jari tangan Yudha bergerak sewaktu aku menggenggamnya. Aku terkejut, lalu aku menatap wajahnya dengan jelas. Yudha meneteskan airmata, tetapi matanya masih terpejam rapat. Aku yakin Yudha bisa mendengar bisikanku dan memberi respon yang baik. Aku menggenggam tangannya erat-erat, aku ingin ia tahu, kalau tidak pernah sedetik pun aku pergi meninggalkannya.
“Aku selalu berada di sampingmu, sayang” bisikku lagi untuk meyakinkan dan membuatnya tenang.
Keesokan harinya kesehatan Yudha semakin menurun, Yudha ngedorop. Beberapa dokter menanganinya untuk membuat tubuhnya stabil. Aku berdiri di pojokan ruangan serba putih itu. Seluruh tubuh ini gemetar melihat keadaan Yudha. Seorang dokter menyuruh aku dan keluarga besar Yudha untuk berkumpul. Dokter meminta kami pasrah dan mengiklaskan jika hal yang terburuk terjadi dengan Yudha. Aku menangis tersedu-sedu, aku memeluk tubuh Yudha yang lemah tidak berdaya.
“Aku merelakan kamu sayang. Pergilah jika itu membuatmu tenang? Aku ikhlas” bisikku sambil sesegukan, menahan rasa sedih yang teramat dalam. Aku tidak tega melihat Yudha tersiksa seperti ini.
Sesaat setelah aku membisikannya, tidak lama kemudian detak jantung Yudha berhenti perlahan-lahan. Yudha meninggal di dalam pelukanku, ia meninggalkanku selamanya di malam sebelum hari pernikahan kami berdua.
Share this novel