Rate

BAB 4

Family Completed 426

Aku berlari ke rumah. Tak kupedulikan panggilan Bang Jaja dan Bayu. Aku hanya berpikir mungkin di kertas pembungkus paket itu ada petunjuk.
Ternyata kertas itu sudah tidak ada.
“aku membakarnya”, Bayu berkata. “jangan salahkan aku! Bang Jaja yang menyuruhku”
Aku menatap Bang Jaja dengan sorot kebencian. “Ria temanku!”
“aku melakukan ini untukmu!, Bayu, sebaiknya kau saja yang menerima uang di tanganmu itu, kau lebih membutuhkannya”
Bayu terkekeh. “kau memang punya mata yang jeli Bang, kukira tak ada seorangpun yang menyadarinya”
“aku membencimu!”, aku berteriak kepada Bang Jaja.

Malamnya aku menelepon Roi. Aku ingin tau dimana Ria tinggal.
“maaf Deni, aku nggak bisa memberi tahumu, ibuku tergantung sepenuhnya dari uang paman”
“kumohon beri tau aku”, aku mulai putus asa. Roi satu-satunya jalan keluarku.
“maaf”, dia memutuskan sambungan teleponnya. Sial.
Aku melewatkan makan malam dan mengunci diri di bilik. Aku tak peduli pada Bang Jaja lagi.
“Deni, jangan bersikap kekanakan!”, Bang Jaja menggedor pintu bilikku.
“tinggalkan aku sendiri”
Aku tak percaya Bang Jaja mendobrak pintuku.
“kau gila?” aku kaget setengah mati.
“aku ketakutan, kukira kau akan bunuh diri” Bang Jaja menyeringai.
“masalah apapun tak membuatku mampu berbuat seperti itu”, kukatakan dengan gigi terkatup.
“makan adik kecilku!”, dia menggosok rambutku sambil menyodorkan makanan. Kutepis tangannya dengan kasar. Dia hanya tertawa lalu ke luar bilik.
Aku makan sambil merasa ketakutan bahwa aku benar-benar tak bisa bertemu dengan Ria sampai kapanpun.

“dia hanya masih kecil”
Aku tak bisa tidur. Aku mendengar suara Arya dari ruang tamu. Sepertinya Bang Jaja dan Arya berbincang sampai larut malam.
“memang, makanya aku khawatir”
“kau sudah menemuinya?”
“sudah, tidak baik” Bang Jaja tertawa.
Hening. Aku ke luar bilik agar terdengar lebih jelas.
“kau butuh uang kan? Untuk biaya…” suara Arya kembali terdengar, namun ia tak menyelesaikan kalimatnya.
“semua orang butuh uang”
“kau tau maksudku”
“tak apa, aku lakukan semua ini untuk Deni”
“kau tau keadaanmu…”
“tak apa…, aku masih bisa bekerja lebih keras”
Kurasa tak ada yang perlu kudengar lagi. Aku kembali ke bilik.

Aku kembali berpikir tentang ria. Tentang rambut ikalnya. Tentang pendapatnya bahwa kami akan cocok. Tentang senyumnya. Astaga, aku tergila-gila padanya. Aku tak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Apa itu yang dimaksud Bang Jaja?. Pubertas?
Aku tau apa yang dimaksud Bang Jaja. Kami miskin. Bang Jaja tak mau mengambil resiko bermasalah dengan orang kaya seperti ayah Ria. Dari percakapannya tadi aku tahu dia mengkhawatirkan tentang biaya hidup kami. Walau aku dapat beasiswa tetap saja kami tak makan daun. Kurasa aku harus membantunya. Selama ini aku jarang memikirkan darimana uang makan. Aku akan bekerja.

Puas aku memikir semula tindakan ku tadi. Bersungguh-sungguh aku mengatakan padanya yang aku membencinya. Kurasa itu terlalu berlebihan. Aku mencuba menekan harga diriku. Sepertinya aku harus minta maaf pada Bang Jaja. Aku turun dari katil dan ke luar bilik.
Aku mendengar suara dari bilik mandi. Suara pancuran. Aku duduk menonton TV di ruang tamu sementara menunggu Bang Jaja ke luar. Arya sepertinya sudah pulang.

“Deni?, tak bisa tidur?” Bang Jaja muncul. Dia penuh keringat. Aku tersenyum.
“kau masturbasiya?”
“hush, jaga omonganmu!” dia memukul kepalaku. Kami berdua tertawa.
Keadaan tak setegang tadi siang. Kurasa ini saatnya aku minta maaf.
“maaf”
“untuk apa?”
“yang kukatakan tadi siang”
Bang Jaja menatapku. dia menjentikkan jarinya ke dahiku.
“bodoh!” Bang Jaja berlalu dari ruang tamu. “tidurlah!”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience