Rate

BAB 1

Family Completed 427

Aku punya abang. Dia tinggi dan tampan. Dia segalanya bagiku. Sejak orangtuaku meninggal, aku hanya bergantung padanya. Dia selalu melakukan hal yang benar. Dia sempurna.
Kadang, jika aku punya masalah, kukatakan padanya. Dia selalu punya jawaban untuk semua persoalanku. Umurnya baru 18 tahun tapi dia bertindak seperti pria dewasa. Dia bagai ayah yang tak pernah kumiliki. Setiap hari aku membantunya bekerja sebagai buruh. Kami miskin tapi tetap bersyukur. Masih banyak orang yang lebih tidak beruntung dari kami. Abangku tidak bodoh. Tapi dia terpaksa bekerja dan putus sekolah. Empat tahun lalu, ayah dan ibu meninggal dalam kecelakaan motor. Kami kehilangan semuanya. Uang, cinta dan harapan. Satu satunya yang kami miliki adalah satu sama lain. Hubungan persaudaraan kami lebih erat dari apapun.

Sebenarnya aku tidak terima dengan semua yang menimpaku. Ayah dan Ibu tak seharusnya meninggal. Kami seharusnya hidup bahagia. Abang tak perlu kerja membanting tulang. Tapi kemudian aku sadar dunia tak selamanya adil. Selalu ada yang harus direlakan.

Ibuku dahulunya bekerja sebagai penjahit. Sedang ayah asyik keluyuran dibanding memperhatikan kami. Tapi ibu bersikap bijak dengan mengatakan ayah mencari uang untuk kami. Memang beberapa bulan sekali ayah mengirim uang dalam jumlah besar tapi perhatiannya padaku tak sebanyak yang kuharapkan. Karena itu aku merasa seperti tak punya seorang ayah. Waktu orangtuaku meninggal umurku masih lima tahun. Tak banyak alasan bagiku untuk merasa sangat kehilangan. Ingatanku akan ayah dan ibu hanya sekilas saja. Selama empat tahun ini abang yang mengurusku. Dia baik, tidak memperalatku dan selalu mengingatkanku untuk makan teratur. Dia sebaik baiknya abang. Kadang aku berpikir apa dia pernah memikirkan dirinya sendiri.

Abangku punya sifat unik. Dia pintar berbohong. Setidaknya itu yang kutahu. Tapi aku merasa hal itulah yang ingin ditunjukkannya. Bisa dikatakan dia tak mau aku tahu apakah dia sedang jujur atau bohong. Kau taulah intinya. Tidak ada yang tau apakah seseorang berbohong. Tapi itu malah membuatku merasa buruk. Aku tak pernah bisa membedakan apa dia sedang berbohong atau tidak. Dia selalu menunjukkan wajah itu. Datar, kadang dihiasi senyum. Aku rasa dia sedikit seperti cyborg.

Sore ini, seperti biasa aku merok*k sambil menunggu abang selesai kerja. Dia akan membunuhku jika tau. Tapi aku bisa mengatasinya. Aku sudah sering melakukannya. Aku selamat sampai saat ini. Tapi abang bisa datang kapan saja di hadapanku, merampas rok*kku dan menghukumku. Jika itu benar terjadi. Yah.. mau bagaimana lagi.

“brrr dingin”, abang datang sambil menggosok tangannya. Dia terlihat kotor dan berantakan. Kulempar botol minuman padanya. “yah.., anginnya kencang sekali, ayo pulang”
Oh ya aku lupa memberi tahu nama abangku, namanya…
“Jaja!”
Bang Jaja menoleh. Dia tersenyum lebar. Seorang berbadan tambun mendatanginya. Orang itu masih lengkap dengan baju kerja. Bang Jaja bercakap-cakap dengannya beberapa saat. Aku menunggu.
“Aku dipromosikan!”, Bang Jaja merangkul pundakku. “mereka akan membayarku lebih tinggi sekarang!”
“bagus”
Aku memikirkan hal lain. Tapi sepertinya Bang Jaja tak memperhatikan. Dia masih senang dengan keberhasilannya. Selanjutnya, kuputuskan untuk jujur padanya.
“aku dapat beasiswa”
Kami berhenti berjalan. Bang Jaja menghentikan siulannya dan menatapku dengan mata melebar. “serius?”
Aku mengangguk. Kepala sekolah memberitahuku tadi siang.
“hebat Deni, aku tau kau punya masa depan yang cerah!”, Bang Jaja tersenyum. “tak sia-sia aku membiayaimu”
“aku rasa begitu”

Kami tiba di rumah. Sebelum aku masuk bilik Bang Jaja memanggilku. “Deni!”
“ya?”
Bang Jaja menunjukkan ekspresi yang hanya bisa kulihat beberapa kali dalam hidupku.
“jangan merok*k seperti itu lagi di hadapanku”
Aku nyengir. Sudah kubilang, Abang pintar berbohong. Dia tau sejak tadi. Aku telah kalah.

Tentang beasiswa itu, tak kukira aku mendapatkannya. Tapi nasib ternyata berkehendak. Aku dapat juara satu dan keringanan biaya. Bang Jaja menerimanya sebagai sebuah berkah. Dia selalu berpikir aku perubah garis ekonomi keluarga. Kami merayakannya. Makan besar untuk berdua. Namun kemudian kami memutuskan untuk mengundang beberapa teman. Saat itulah aku bertemu seorang gadis paling cantik yang pernah ada.

“Ria…”, aku bersalaman dengannya. Telapak tangannya sehalus satin. Seketika, rongga kepalaku dipenuhi namanya. Dalam benakku, senyum manisnya mengganda.
“dia sepupuku… Ria”, Roi, teman SD Bang Jaja membuyarkan fantasiku. “dia tinggal di rumahku sementara ini”
“salam kenal…”, gadis itu tersenyum simpul. Aku terpana. Dia manis sekali.
“kau menyihirnya… hati-hati” Arya, teman satu kerja Bang Jaja menyahut. Aku meninjunya pelan.
Bang Jaja datang membawa makanan. Aku lega karena sudah kelaparan.
“kau terlihat pucat sekali Bang” benar. Bang Jaja bagai baru saja melihat hantu.
“Cuma sedikit capek” dia kembali ke dapur.
“abangmu terlalu senang sampai pucat begitu”, Bang Arya berkelakar. Dia terbahak.
Aku di sisi lain merasa tak enak. Seharusnya Bang Jaja istirahat bukannya memasak untuk kami.
Gadis itu memandang sekeliling. Dia terlihat santai dan menawan. Sesekali tertawa mendengar lelucon kami. Aku ingin mengenalnya lebih jauh.

“jadi, dari mana asalmu?” aku memberanikan diri untuk bertanya. Gadis itu tersenyum dan menyebutkan nama salah satu kota besar. Bang Jaja datang dari dapur membawa softdrink.
“sepertinya adikku tertarik denganmu”, Bang Jaja mengambil sebuah softdrink lalu meneguknya. Ia tersedak. Aku tertawa. Tau rasa dia.
“yeah, adik kecil kita sudah besar”, Roi berkata. Di antara mereka aku memang yang paling muda. Mereka suka mengejekku dan menjadikanku bantal tinju.
Pipiku merona. Semoga gadis itu tak memandang rendah diriku.

“pergi malam ini?”, Arya bertanya. Ah ya…, pesta billiar.
“entahlah…” Bang Jaja menunduk murung. “aku harus kerja… mungkin lain kali”.
“aku ikut”, aku tak punya kerjaan lain. Pekerjaan rumah bisa kuselesaikan di pagi hari.
“oke, kau, Roi, siapa lagi?”, Arya bermaksud mengundang Ria. Gadis itu mengangguk. Yes.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience