Rate

BAB 2

Family Completed 427

Setelahnya kami menonton video. Aku tak terlalu suka menonton film, tapi setidaknya yang satu ini cukup bagus. Cerita tentang penyihir bernama Howl. Menurutku Howl sedikit mirip Bang Jaja. Yeah, dia tampan dan sedikit aneh. Bang Jaja sendiri tertidur. Sepertinya dia capek sekali. Lagipula dia ada shift malam ini di bengkel.
Selanjutnya, kami mengobrol tak tentu arah. Tapi, saat telingat Ria mulai memerah kami putuskan untuk menyudahinya. Sebelum Ria pergi dia menjabat tanganku.

“selamat sekali lagi atas beasiswanya ya”
“makasih”
Dia tersenyum. “sampai nanti di sekolah”
Aku terbelalak. Dia akan bersekolah di tempat yang sama denganku?. Aku tak tau apakah harus senang atau sedih. Reputasiku di sekolah tak terlalu bagus. Terlepas aku sering juara. Guru BP sudah menjadi teman baikku.

“mereka sudah pulang?”, Bang Jaja datang sambil memegang kepalanya.
“ya…, cewek yang menarik”, pipiku merona. Pasti setelah ini Bang Jaja mengejekku. Tapi ternyata tidak. “kau baik baik saja?”
“ya, ya aku baik-baik saja cuma sedikit pusing dan mual, mungkin maag” Bang Jaja mengulurkan tangannya ke rak atas P3K. Diambilnya pil aspirin lima butir lalu ditelannya sekaligus.
“aku ke luar dulu”
“jangan melewati makan malam”
“kita baru saja makan!”
“pokoknya jangan!”
“oke!”, aku memakai sepatu ketsku dan melesat pergi.

“Deni, apa yang terjadi?”
Siapa? Bang Jaja?. Kenapa Bang Jaja punya banyak wajah?. Kenapa mulutnya mengeluarkan darah? Kenapa kepalaku terasa seperti telah dihantam palu? Apa yang dikatakannya? Kenapa aku tak bisa mendengar apapun?
“Deni! Kau bisa mendengarku?”
Aku mengangguk. Akhirnya. Aku bangkit dan mulai muntah. Bang Jaja berlutut di sampingku sambil memijit tengkukku.
“demi tuhan Deni, apa kau gila?, seharusnya kau memanggilku lebih awal!, apa yang terjadi?, mereka membullymu?”
Lalu kuingat. Ria.
“Ri… ria..?”
Bang Jaja mengelus dadanya, mengatur napas. “yah… dia baik baik saja.. dia pingsan karena syok, Roi membawanya ke rumah sakit”
Kuusap telingaku. Kulihat telapak tanganku berlumuran darah segar yang berkilauan di bawah lampu jalan. “Kau menghabisi mereka?”
“sudah kuberi pelajaran, mereka tak akan mengganggu kalian lagi”
Bang Jaja menggendongku. Ia terbatuk beberapa kali.
“kau tak apa-apa?”
“ya…, mereka lumayan juga, isi perutku hampir keluar semua”, Bang Jaja tertawa.
“kau kehilangan berat badan” kurasakan tulang punggungnya yang menonjol.
“ya, aku nggak napsu makan akhir-akhir ini”

Kami tiba di rumah tepat pukul sembilan. “diam disini, kuambilkan es balok”
Aku berbaring. Tubuhku seketika gemetar. Aku mengingat kejadian tadi.
“kau tak perlu mengatakan padaku kalau belum siap”
Aku mengangguk. Bang Jaja mengusap Bangiku perlahan dengan handuk basah.
“tidurlah.. besok kau tak perlu masuk dulu”
Aku kembali mengangguk. Merasa tolol karena tak mengucapkan sepatah kata pun sejak tiba di rumah. Bang Jaja mematikan lampu bilikku. Perlahan aku terlelap.

Aku dapat mimpi buruk. Ayah datang kepadaku sambil membawa pisau, beri aku uang!, teriaknya. Roi tertawa sambil menghampiriku. Kepalanya membesar, diiikuti jari-jarinya, lengannya, perutnya dan seluruh badannya. lalu semuanya meledak bagai otak yang berceceran. Ria muncul dari tumpukan tubuh roi. Kemarilah!, ujarnya, menggodaku. lalu dia hangus terbakar. Arya berlari di hadapanku, berputar seperti gasing. Bang Jaja berada di tengahnya, kehabisan napas.
Saat aku membuka mata, tubuhku terasa banjir keringat. Bang Jaja datang membawakan sup.

“kau harus sakit untuk bangun pagi ya…”
“jam berapa sekarang?”, kepalaku masih terasa pusing.
“dua dini hari”, Bang Jaja berbaring di sampingku. “kau demam dan mengigau”
“benarkah?”, pantas saja. “kau terjaga selama aku demam?”
“iya, kukira kau akan butuh sesuatu”
Itulah Bang Jaja. Dia rela tidak tidur untuk menjagaku. Aku heran kapan dia merasa benar-benar capek.
“makanlah sedikit”
“ok”, aku benar-benar kelaparan.

Rasa supnya enak. Kalau saja Bang Jaja bukan bekerja di perusahaan konstruksi dia sudah menjadi koki sekarang. Tiba-tiba aku teringat ibu. Beliau biasa membuatkan sup ini kalau kami sedang sakit.
“kau masih belum mau memberitahuku apa yang baru saja menimpamu?”
Kugelengkan kepalaku. Benar-benar tidak ingin. Aku bertindak seperti penakut tapi segala sesuatu pasti ada waktunya.
“aku tau, kau tak perlu memberitahuku”
Aku kaget. Ternyata Bang Jaja hanya menginginkanku jujur. “bagaimana bisa?”
“kau pikir aku memukul mereka tanpa alasan? Setelah aku berhasil mematahkan gigi salah seorang dari mereka baru dia mau bicara”
Bang Jaja mematahkan gigi orang?. Itu baru buatku. Kenapa dia bertindak sejauh itu?. Lalu kuingat, bahkan mereka pantas mati.
“apa Ria baik-baik saja?” gadis malang. Seharusnya aku melindunginya.
“aku tak tahu…, Roi meneleponku saat kau tidur, mereka akan memeriksa gadis itu”
“Deni..”
“hmm?”
“jangan berbuat seperti ini lagi. Aku sendiri jika kau benar benar menghilang”

Setelah tiga hari berbaring di tempat tidur, tubuhku terasa Bangu semua. Aku heran kenapa aku sakit dengan mudah. Biasanya aku kuat seperti kuda. Saat kesadaranku mulai pulih dan tak lagi mengigau, aku mulai berpikir tentang keadaan Ria. Dia benar-benar telah mengalami malam yang buruk.

“dia nggak hamil bukan?”
Bang Jaja tertawa keras sekali sampai aku berpikir ia akan mematahkan rusuknya.
“darimana kau tau tentang itu? Aku belum memberitahumu satu kalipun tentang pubertas” Bang Jaja meletakkan bukunya di atas meja belajarku. Dia menungguiku sambil membaca.
“aku baca buku, aku tidak bodoh”
“ok, anak sok pintar…, tenang saja… mereka berkata hasilnya negatif”
“negatif?”
“ya”, Bang Jaja menggosok rambutku. “artinya tidak…, dia nggak akan punya bayi…, orang orang itu tak sampai berbuat sejauh itu…”
“tapi kalau kau tak cepat datang…”
Kami berdua terdiam.
“sudah.., tidur lagi. Kau harus istirahat cukup. Besok kau harus masuk. Aku tak mengizinkanmu ketinggalan pelajaran satu hari lagi”
Tipikal Bang Jaja. Dia tidak akan membiarkanku berleha-leha. Apalagi urusan sekolah. Sepertinya hari hariku yang membosankan akan segera dimulai. Apalagi Ria pasti belum masuk setelah kejadian yang menimpanya.

“gimana perasaanmu?, apa kau sekarang berpikir jelek tentangku?”, Ria bertanya. Aku tak tau harus menjawab apa. Dia pasti masih sedikit syok. Aku tak mau mengingatkannya pada kejadian itu.
Jadi aku hanya menutup mulutku rapat rapat.
“jangan katakan pada siapapun di sekolah”
Untuk gadis yang hampir kehilangan virginitas, dia cenderung sangat tenang. Aku bertanya tanya apakah dia pernah mengalami kejadian lebih buruk.
“bagaimana keadaan abangmu?” dia menghela napas. “aku harus berterima kasih padanya”
“dia baik baik saja, abangku kuat seperti kuda”
“bagus kalau begitu”
Ria menunduk. Sesuatu seperti mengganggunya. Dia tampak berat memutuskan untuk mengatakannya atau tidak.

“aku akan kembali besok”
“bagus, kita akan bertemu di sekolah”
“tidak, aku akan kembali ke kota asalku”
Aku terperangah
“kau bercanda kan?”, aku terlalu kaget untuk mengatakan kata-kata yang lebih pantas.
“tidak, aku sudah memutuskan. Akan buruk kalau aku masih disini. Rumor akan menyebar”
Sepertinya dia tak punya pilihan lain.
“sampai jumpa kalau gitu” aku ke luar dari ruangan.
Aku merasa sedikit kacau. Tiba-tiba terasa ada balon besar di kerongkonganku.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience