2. Pertemuan pertama

Romance Series 274

3 agustus 2018, selepas shalat jumat. Teriknya matahari terasa membakar kulit. Debu-debu jalan terbang di terpa angin. Aku segera menutup kaca helm. Resleting jaket hitam berkerah, aku naikkan sampai mentok. Dua jemari tangan sudah dilapisi sarung tangan untuk mencegah kulit belang. Setelahnya, aku nyalakan mesin motor matic warna hijau putih. Hari ini, tujuanku adalah rumah seorang wanita kenalan Ibuku.

"Arep ngendi Mas panas-panas ngene iki. Rapi bener (mau ke mana mas panas-panas seperti ini. Rapi benar)," sapa seorang teman melintas depan rumah. Aku menimpalinya dengan senyum saja. Sepertinya ia hendak ke toko dekat rumahku, beli rokok atau kopi.

Perlahan aku jalankan motor turun dari halaman rumah. Melaju pelan di jalan umum pedesaan. Biar ini jalan pedesaan, namun, jalan ini sudah beraspal halus. Hanya saja, banyak polisi tidur di sepanjang jalan desa sampai menuju gang ke luar.

Asal kalian tahu, ini merupakan kali pertamanya aku menerima pencomblangan dari orang tua. Sebelumnya aku sangat anti. Takut kalau aku sebenarnya sedang dijodohkan oleh wanita kenalan Ibu. Dan orang yang akan aku temui adalah seorang gadis remaja baru lulus sekolah menengah kejuruan tahun ini. Sebelumnya aku juga sangat anti menjalin hubungan dengan gadis remaja yang terpaut jauh dariku. Dua prinsip tersebut terpaksa aku abaikan demi Ibu. Sebenarnya, saran dari seorang teman juga mempengaruhi dalam mengambil keputusan. Mengabaikan dua prinsip hidup yang sebelumnya terjaga dengan baik.

Ke luar dari gang tempat tinggal, motor belok kiri menuju jalan umum kecamatan. Melewati ruko-ruko milik pribumi dan orang cina. Pertigaan kecamatan belok kanan. Motor terus melaju kencang menerjang panasnya cuaca serta debu-debu jalanan. Sampai gang SMA belok kanan. Masuk ke pemukiman warga. Jalannya lumayan banyak pertigaan dan perempatan.

Motor terus melaju kecepatan sedang. Sampai di gang dekat jembatan perbatasan desa, aku berhenti. Setelah melewati jembatan tersebut ada persawahan milik warga di kanan kiri jalan yang sangat luas. Untuk sampai ke desa berikutnya, harus melewati persawahan tersebut, kurang lebih 3 km baru sampai rumah milik warga desa sebelah. Sesuai dengan alamat rumahnya yang ia berikan tadi pagi.

Aku memajukan sedikit motor dan berhenti di sebelah pohon rindang pinggir jalan setelah melewati jembatan. Aku ingin memastikan dengan menghubungi, Wulan. Ibu bilang dia orangnya cantik dan tinggi. Ibu juga menambahi kata "cocok", andai kata kami jadi sepasang suami istri.

"Hallo assalamualaikum .... Emm Wulan aku sudah sampai di jembatan pembatas desa. Sebelum jembatan ada gang kecil. Apa benar itu gang ke rumah kamu .... Oo baiklah. Tapi, rumah kamu sudah tidak jauh lagi kan? .... Baik .. baik .. aku segera meluncur ke rumah kamu. Assalamualaikum ...."

Segera aku menyalakan motor dan berbelok masuk gang kecil. Sampai di pertigaan ambil jalan kanan. Sesuai petunjuk, Wulan barusan. Di rumah paling ujung berwarna krem, aku menghentikan motor. Aku majukan sedikit agar posisinya di bawah pohon jambu klutuk yang rindang. Helm aku taruh di sepion sebelah kiri.

Aku ragu dengan rumah yang sangat sederhana bercat krem ini. Sepi. Pintunya juga tertutup rapat. Aku tengok sebelah utara, banyak pohon bambu di kanan kiri jalan yang tidak beraspal. Sebelah selatannya banyak rumah yang berjajar, tapi, sepi. Dengan langkah tenang, kaki ini menuju rumah berwarna krem yang tertutup rapat.

"Assalammualikum ...." Aku ucap salam dan mengetuk pintu rumah. Tidak ada jawaban. Tiga kali aku ketuk serta mengucap salam baru ada jawaban. Suaranya sangat lirih.

Jantung ini rasanya berdebar semakin cepat. Aku mengedarkan pandangan, perhatikan lingkungan yang sepi. Mungkin karena desa ini yang terletak jauh dari pusat keramaian.

Pintu rumah terbuka perlahan. Berderit. Kedua bola mataku tertuju pada seorang gadis remaja yang berdiri dengan tatapan meneduhkan. Alisnya tebal. Postur tubuhnya tinggi. Hampir sama denganku. Kulitnya putih bersih. Ia mengenakan kerudung biru dongker. Baju lengan panjangnya berwarna hitam dan celana training warna hitam bertuliskan nama sekolah. Sesaat kami saling beradu pandang dengan seutas senyum menghias wajah.

"Benar ini rumah Wulan Triasih?" tanyaku malu-malu.

"Iya, Mas. Saya sendiri."

"Oo."

"Silakan masuk."

"Ah, iya. Assalammualaikum."

Aku ucapkan salam kembali begitu hendak masuk ke dalam rumah.

"Wa alaikum salam."

Kami saling beradu kontak mata kembali. Segera aku alihkan pandangan ke tempat duduk. Ada satu kursi panjang dan dua kursi yang hanya untuk satu orang. Aku duduk di kursi yang hanya untuk seorang. Letaknya sebelah kanan kursi panjang. Belakangnya ada dua jendela yang tertutup rapat. Wulan sendiri duduk di kursi panjang. Aku menghadap, Wulan. Dan Wulan, harus sedikit memiringkan posisinya ke kanan agar bisa saling bertatap denganku. Kami sendiri tidak saling berjabat tangan.

"Eng ... Barusan, Mas kesasar nggak?" tanya Wulan setelah beberapa saat kami saling diam.

"Nggak sih," jawabku santai. "Dulu sekali aku pernah lewat daerah ini. Dulu jalannya belum teraspal halus seperti sekarang. Eng, kira-kira tujuh tahun yang lalu."

"Kalau dulu memang iya Mas. Lagian jalan ini baru diaspal ... Eng, kira-kira dua tahun lalu."

"Oo."

"Eng, aku tinggal bentar ya, Mas. Aku buatin minum dulu."

Wulan bangkit dari tempat duduknya. Dia berhenti setelah berjalan beberapa langkah.

"Mau es atau anget?" tawar Wulan.

"Es kalau ada," jawabku sambil memberi seutas senyum.

Wulan mengangguk. Melanjutkan langkah kakinya ke belakang. Sementara aku di ruang tamu seorang diri. Menatap suasana luar yang sangat sepi.

Derit suara pintu membuyarkan lamunan sesaat. Pintu itu tertutup kembali. Aku turunkan resleting jaket hitam kesayanganku. Aku lepas dan letakkan dipangkuan. Setidaknya untuk menutupi tangan kurusku. Suhu udara siang ini sendiri capai 33° celcius. Bisa cek di ponsel.

Aku memandang beberapa foto yang terpampang di dinding belakang tempat aku duduk. Ada beberapa foto Wulan di sana. Dia nampak imut dan manis. Mungkin itu foto waktu ia SMP. Di sebelanya lagi ada foto kelulusan. Ia berfoto dengan Ibunya mengenakan baju adat jawa tengah. Ia nampak dewasa dan sangat cantik. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri memandangi foto tersebut.

Tidak lama kemudian, Wulan datang membawa penampan isi es teh dan sepiring roti bolu.

"Monggo Mas dicicip,(silakan mas dicicipi)" Wulan, mempersilakan dengan suara kecil dan lembutnya. Sesaat kami beradu pandang kembali.

"Terimakasih," jawabku sambil meraih es teh. Cuaca panas seperti ini membuat kerongkongan cepat kering.

"Ah ma'af aku buka lagi pintunya."

Wulan, melangkah membuka pintu kembali. Setelahnya duduk kembali di tempat semula.

"Oh iya. Di mana orang tua kamu. Aku tidak melihat mereka?"

"Mereka berdua pergi ke sawah Mas. Ini kan musim panen? Jadi, kedua orang tuaku sibuk memanen hasil sawah."

"Oo ... Tapi, kamu sudah bilang aku akan datang ke sini."

"Iya."

"Kira-kira jam berapa mereka pulang?" tanyaku lagi sambil mengambil roti bolu.

"Menjelang maghrib."

"Sampaikan salamku nanti pada kedua orang tua kamu. Aku sendiri tidak lama-lama di sini."

Ibu Wulan dan Ibuku sendiri sudah saling kenal. Dan inilah alasan kenapa aku sedikit takut dengan pencomblangan ini. Takut aku sedang dijodohkan dengan, Wulan.

"Kakak kamu sendiri di mana?"

"Kedua kakakku ada di tanah rantau. Dan saat ini aku jaga rumah sendirian."

Hampir saja aku tersedak mendengar jawaban, Wulan barusan. Aku segera meminum es teh. Segera kendalikan diri. Mengambil napas dalam-dalam. Ternyata di rumah sederhana ini hanya ada aku dan dia. Gadis remaja yang baru saja lulus SMK. Suasana di luar sendiri sangat sepi. Kepala ini terasa berputar dengan cepat. Begitu juga dengan detak jantungku.

Suara derit pintu terdengar di telinga kembali. Aku melihat ke arah pintu. Benar saja pintu tertutup rapat kembali. Tidak ada respon dari Wulan untuk segera membuka pintu. Dia masih diam diposisi duduknya. Kami justru saling menjalin kontak mata kembali. Hati ini berdesir. Matanya yang bening itu ... Wajah polosnya ... Aku laki-laki normal. Aku juga bukan orang baik-baik. Hanya orang yang sedang berusaha memperbaiki diri.

___bersambung__

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience