3. Gadis yang aneh

Romance Series 274

Aku segera menurunkan pandangan. Menyeruput es teh kembali. Lantas berdehem.

"Eh iya. Pintu rumahnya." Wulan, segera menuju pintu.

"Mungkin kamu harus ganjal pintu itu dengan batu atau sendal," tukasku menghentikan langkah, Wulan sebentar.

Dia membuka pintu kembali dan ke luar mencari batu. Aku memperhatikan dari dalam. Sepertinya ia tidak menemukan batu yang bisa dijadikan untuk pengganjal pintu. Aku terus memperhatikan. Dia berhenti. Aku tetap memperhatikan. Sungguh, suatu hal yang tidak kusangka terjadi. Dia benar-benar mengambil sepasang sendal jepit.

Begitu pintu sudah diganjal, ia masuk dan duduk di posisi semula.

"Kenapa kamu ganjal pakai sendal jepit?" tanyaku sambil menahan tawa.

"Oo. Ha haa haa ... Tadi aku cari batu yang besar, tapi tidak ada. Aku ingat saran Mas, untuk mengganjal pakai sendal jepit. Dan aku ambil sepasang sendal jepit punyaku untuk mengganjal pintu."

Kami saling menertawai sendal jepit yang digunakan untuk pengganjal pintu. Setidaknya kejadian barusan mampu mengurangi kecanggungan diantara kami.

"Sudahlah lupakan tentang sendal jepit. Setidaknya pintu itu tidak tertutup kembali. Soalnya di rumah hanya ada aku dan kamu. Lingkungan sekitar juga sepi. Aku tidak ingin dituduh melakukan hal buruk oleh tetangga kamu."

Wulan, mengangguk mendengar penjelasanku. Sepertinya ia tidak berpikir sejauh apa yang aku pikirkan.

"Oo iya. Aku penasaran kenapa kamu menerima pencomblangan ini?"

"Eemm ... Jadi awalnya itu Ibunya Mas Reno, sering beli sayuranku. Sejak, Ibuku sibuk di ladang, aku memang menggantikan, Bu e untuk menjual sayuran dari kebun sendiri. Suatu hari, saat aku hendak pulang sekalian mengantar pesanan sayur Ibunya, Mas Reno, dia bilang ingin mengenalkanku sama, Mas. Jujur saja aku bingung harus menjawab apa. Kemudian, Ibu penjual bawang samping tempat dagang Ibunya, Mas ikut bicara. Katanya, Mas, itu orangnya ganteng, putih, bersih, dewasa, dan orangnya baik.

"Kemudian saat aku beranikan diri untuk menanyakan usia Mas Reno, aku sangat terkejut. Dia bilang usia, Mas sudah 25 tahun. Lagian, Mas tahu sendiri aku baru saja lulus sekolah. Itu hal yang wajar saat mendengar usia, Mas sudah 25 tahun. Tapi, Ibu penjual bawang itu langsung menambahi dengan ucapan seperti ini, Dia orang yang baik. Dia dewasa. Jadi, dia bisa membimbing kamu. Apalagi jika kalian jadi sepasang suami istri. Kalian akan jadi pasangan yang serasi. Kamu gadis yang cantik, sedangkan Reno orangnya ganteng dan dewasa. Tinggi kalian juga sepertinya hampir sama."

Sontak aku tertawa mendengar proses penjomblangan ini. 25 tahun? Enak saja. Usiaku adalah 27 tahun. Aku sendiri sudah mengatakan hal ini sama, Wulan sebelumnya lewat chat.

"Kalau, Mas sendiri bagaimana?" tanya, Wulan gantian.

"Baiklah akan aku jelaskan. Dengarkan baik-baik. Jujur aku tidak ingin pencomblangan ini terjadi. Aku takut jika aku dijodohkan olehmu. Apalagi begitu mengetahui kamu baru lulus SMK. Aku adalah orang yang anti menjalin hubungan dengan anak kecil sepertimu. Apalagi aku baru saja putus dengan kekasihku. Aku benar-benar masih malas untuk menjalin hubungan."

"Terus kenapa Mas, mau menerima pencomblangan ini?"

"Aku terus ditekan oleh, Ibuku. Bukan hanya itu, aku juga mendapat masukan dari seorang, sahabat. Dia bilang: Jangan halangi jodoh dengan prinsipmu. Karena dia bilang prinsipku yang anti pencomblangan dari orang tua, maupun menjalin hubungan dengan anak kecil, adalah penghalang untuk bertemu jodoh."

"Oo ...."

"Bukan hanya itu ...," Aku sedikit memajukan tubuh agar lebih dekat dengan, Wulan. Lantas berbicara lirih, "Ibu bilang padaku. Katanya kamu itu cantik dan usianya 20an tahun. Kamu juga tinggi. Mirip seorang model."

Wulan, langsung tertawa mendengar kata-kataku barusan. Sepertinya kata-kataku membuat ia sedikit 'GR'.

"Hhmm pasti Mas kecewa setelah melihatku yang asli. Karena aslinya aku hanyalah gadis kecil yang jauh dari kata cantik."

"Aku tidak terlalu berekspektasi. Setidaknya kita sudah bertemu. Jadi, kita bisa saling sapa saat bertemu di jalan."

"Iya Mas," jawab Wulan disertai senyum.

Selepas waktu ashar, aku memutuskan untuk pulang. Lagian tujuanku hanyalah melihat secara langsung anak dari teman Ibu.

"Aku pulang dulu. Sampaikan salamku pada kedua orang tuamu. Dan ... Jangan lupakan sholatmu." Kata-kata ini aku ambil dari sahabatku yang selalu menyuruh untuk bertaubat.

"Iya Mas. Hati-hati di jalan."

Perjumpaan hari ini aku rasa cukup. Motor terus melaju pelan. Ke luar gang SMA belok kiri. Jalan umum kecamatan sendiri lebih ramai dari pada saat berangkat ke rumah Wulan. Sepertinya cuaca memang mempengaruhi seorang untuk ke luar rumah. Meskipun debu dari proyek pembuatan jalan tol tetap terbang bebas.

Di perjalanan pulang aku kembali mengingat Wulan. Gadis itu. Siapa sangka aku akan menerima pencomblangan ini. Sama sekali tidak aku sangka. Wajahnya ... Wajah gadis itu ....

Aku pelankan laju motor. Mengingat wajah Wulan. Wajah gadis itu? Seperti apa wajah gadis itu? Dia gadis kecil berwajah polos dan tidak secantik yang aku bayangkan. Tapi seperti apa wajahnya? Dia gadis kecil berhidung pesek. Suaranya kecil dan agak lucu. Tapi seperti apa wajahnya? Aku sama sekali tidak dapat mengingat jelas wajahnya. Gadis ini ... Gadis yang aneh!

Usiaku baru 27 tahun. Mana mungkin aku pikun. Aku baru saja bertemu dengannya. Tapi lupa akan wajahnya. Mencoba untuk terus mengingat, tapi tetap saja wajahmu tidak tergambar. Aku seperti pelupa yang tidak ingin lupa wajahmu.

Motor terus melaju pelan. Belok kanan masuk gang desa tempat tinggal. Suara klakson aku bunyikan untuk menyapa teman sembari tersenyum. Sampai rumah aku memarkirkan motor di halaman. Aku segera masuk rumah mengambil air wudhu untuk shalat ashar di rumah. Ingat dengan pesan sahabat yang menyuruh untuk bertaubat.

Selepas shalat dan berdoa, aku ke luar mengambil rantan untuk memanaskan air. Dengan gerak cepat aku siapkan gelas dan kopi kapal api beserta gula pasir. Satu sendok makan kopi aku taruh dalam gelas. Dilanjut memasukkan satu sendok makan penuh gula pasir. Begitu air mendidih, kompor aku matikan dan diamkan beberapa menit agar suhu air turun. Baru aku tuang air ke dalam gelas diakhiri mengaduk rata.

Aku membawa kopi ke ruang tamu. Mengambil sebatang rokok sebagai teman santai bersama secangkir kopi hitam. Aku menamainya, 'paket lengkap kehidupan'. Sebab aku perokok aktif dan pecandu kopi. Belum lama aku duduk, Ibu datang dari ruang belakang ikut duduk di depanku.

"Bu'e nggak bohongkan, gadis itu beneran cantik."

"Lumayan sih," jawabku sambil menyeruput kopi. Kopi buatanku rasanya benar-benar mantap.

"Orang tuanya di rumah nggak saat kamu ke sana."

"Di ladang semua. Kedua kakaknya juga di perantauan semua. Hanya ada aku dan Wulan tadi di rumah."

"Eemm, anak Bu'e, habis berduaan tho, sama anak, Bu Ningsih," kata, Ibu seraya menggodaku. Bikin aku tersipu malu.

"Ren, kalau kamu merasa cocok dengannya, Bu'e saranin, mending segera diungkapin. Biar kita segera melakukan proses lamaran."

Aku menyipitkan mata. Ada tanda tanya besar dalam kepala. Jangan-jangan ....

"Bu'e nggak jodohin aku dengan, Wulan kan?"

"Bu'e cuma ngenalin kalian. Tapi, kalau kalian saling suka, Bu'e pingin proses lamaran dipercepat. Agar kamu segera menikah. Ingat dengan usia kamu, Ren."

"Bu ... Wulan itu masih anak-anak. Dia baru lulus. Usianya mungkin kisaran 17 atau 18 tahun ...,"

"Halah kamu iki, Ren. Jangan jadikan usia sebagai alasan," potong, Ibu sembari menasehati.

Aku menghela napas, "Beri, Reno waktu untuk berpikir dulu, Bu."

"Kamu ini banyakan mikir. Tidak sadar dengan usia kamu?"

Sindiran, Ibu menembus uluh hati. Sedikit mengintimidasi agar aku segera menikah. Aku seruput lagi kopi hitam sambil memainkan asap rokok. Diam tanpa menjawab pertanyaan yang aku anggap kurang penting untuk dibahas. Selang beberapa menit, Ibuku yang gendut dan sudah beruban meninggalkan ruang tamu.

Tanpa terasa waktu berputar begitu cepat. Matahari semakin mendekati waktu kerjanya hari ini. Sedangkan rembulan bersiap menyambut malam dengan cahaya lembutnya yang tak menyilaukan. Tapi, ingatan akan wajah gadis itu masih stuck. Aku sama sekali lupa. Semakin aku ingat, semakin gelap jalan pikiranku. Padahal aku sudah bayangkan gadis berwajah polos dan berhidung pesek.

Tiba-tiba terbesit dalam pikiran untuk bertemu kembali dengannya. Tidak perlu menunggu seminggu. Tiga hari aku pikir cukup untuk bertemu dengannya kembali. Semoga cara ini berhasil. Aku ingin bertemu dia sekaligus kedua orang tuanya. Dengan begini aku juga lebih bisa memastikan, apa aku ini dijodohkan atau memang hanya dikenalkan saja. Jika, hanya sekedar dikenalkan, artinya aku masih bebas untuk memilih. Karena ada satu orang lagi yang saat ini aku dekati. Intan. Dia bernama lengkap, Kintania Safitri.

___bersambung___

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience