4. Malam bersama keluarga Wulan

Romance Series 274

Tiga hari terasa seminggu bagiku. Rasa penasaran akan wajah, Wulan terus menghantui alam bawah sadar. Entah memang dia gadis yang aneh atau aku sudah pikun. Tapi, aku tidak setuju bila diusia 27 tahun ini sudah pikun. Dan malam ini, bisa dibilang malam keberuntunganku. Sebab, kami bisa saling bertemu kembali. Rencanaku sukses.

Selepas shalat maghrib di masjid, aku bersiap untuk ke rumah, Wulan. Aku mengenakan kaos warna biru muda dan celana jeans warna biru. Rambut sudah aku poles sampai klimis. Tidak lupa aku membawa dompet untuk jaga-jaga. Persiapan selesai. Aku ke luar kamar dengan ekspresi ceria. Dengan langkah penuh semangat aku menuntun motor ke luar rumah. Ah! Sialan. Saking semangatnya sampai lupa tidak bawa kontak montor. Aku masuk lagi ke dalam rumah ambil kontak.

Sebelum melajukan motor, aku berpikir sejenak. Sepertinya ada yang ketinggalan. Ponsel? Ah sudah ada di saku samping kiri. Helm? Untuk apa malam-malam harus bawah helm. Ah, benar jaket hitam kesayangan. Bagaimana bisa aku lupa untuk tidak mengikut sertakan jaket hitam kesayangan. Terpaksa untuk kedua kalinya aku kembali masuk ke dalam rumah mengambil jaket kesayangan.

"Ngapain sih, Mas. Bolak balik dari tadi?" tanya adikku, Novi yang sedang nonton teve di ruang tengah bareng Ibu dan Arief.

"Iya. Kamu nyari apaan sih, Ren?" Ibu ikut bertanya.

"Nyari sisa-sisa kebahagiaan kali Bu, Mas Reno," celetuk adikku, Arief. Ikut menambahi obrolan. Namun, aku cuekin semuanya. Tidak ada waktu untuk menjawab pertanyaan. Yang terpenting jaket sudah aku pakai dan segera ke rumah, Wulan.

****

Sesampainya di rumah Wulan, pintu rumah nampak sudah siap menyambut kedatanganku. Aku perhatikan wajah sendiri lewat kaca sepion sebelah kanan sebelum masuk. Sip! Rambut masih tertata rapi dan klimis.

Aku mulai melangkah menuju pintu rumah yang sudah terbuka lebar. Suara tembang kenangan mengalun merdu menyapa telinga. Ini lagu bukit berbunga, tapi aku lupa siapa nama penyanyinya.

"Assalammu alaikum ...."

"Wa alaikum salam ...."

Terdengar lirih suara kecil nan lembut dari dalam. Itu suara, Wulan. Aku masih ingat seperti apa suaranya, tapi tidak dengan wajahnya.

Begitu Wulan keluar, aku perhatikan baik-baik bentuk wajahnya. Wajah polosnya. Hidungnya yang pesek. Bibirnya yang rada tipis. Kali ini aku tidak boleh lupa. Harus tersimpan baik di memori otak.

"Sendirian, Mas?"

"Iya."

"Mari masuk."

"Tunggu dulu ...," Aku menghentikan langkah, Wulan. "Pintunya tidak diganjal sendal jepit lagi?" lanjutku melihat pintu.

"He hee hee ... Pintunya sudah diperbaiki, Mas," timpal Wulan sambil tersenyum.

"Oo, syukurlah."

"Masih ingat saja, Mas kejadian kemarin. He hee hee ...."

Kami saling menertawai kejadian kemarin. Setidaknya kejadian itu bisa aku jadikan obrolan pembuka yang terkesan ringan.

"Sepertinya ada yang ketinggalan?" Aku menghentikan langkah begitu memasuki ruang tamu. Wulan menengok ke arahku dengan sebaris tanda tanya di tatapan matanya.

"Astaghfirullah ... Ternyata kontak motorku masih tertinggal di motor. Ma'af aku ambil sebentar."

Benar-benar malam yang merepotkan. Harusnya masuk langsung duduk malah harus ke luar lagi ambil kontak motor. Tidak jauh beda saat di rumah.

Aku duduk di tempat kemarin setelah mengambil kontak. Begitupun dengan, Wulan. Kami membuka obrolan dengan tema santai. Aku bercerita bahwa tadi di rumah juga sempat bolak balik dua kali, gara-gara lupa ambil kontak motor dan memakai jaket hitam kesayangan. Lima menit barlalu, kami saling bertukar cerita dengan obrolan ringan. Tapi, aku belum melihat kedua orang tua, Wulan.

"Orang tua kamu belum pulang dari ladang?"

"Mas Reno ini lucu. Masa iya, Mas, di ladang sampai lepas waktu Maghrib. Tadi sebelum maghrib sudah pulang. Sebelum Mas ke sini, Ibu pergi kewarung. Katanya mau beli sayuran sekalian beli obat nyamuk. Kalau, Bapak mungkin di belakang. Tadi sih mau shalat."

"Kamu sudah sholat?"

"Alhamdulillah sudah."

"Eng, apa kamu sudah beri tahu orang tua kamu kalau aku akan datang ke sini?"

"Iya, Mas sudah. Bentar lagi mungkin Bu'e pulang ...," Wulan melihat ke arah luar. "Nha tuh, Bu'e pulang."

Aku ikut menengok ke arah luar. Seorang, Ibu dengan wajah tampak lelah sedang memarkirkan sepeda. Ia terlihat menenteng plastik kresek warna hitam. Begitu, Ibu Ningsih masuk rumah, aku segera bangun dari tempat duduk dan bersalaman dengannya.

"Dia Mas Reno, Bu," Wulan memberi tahu siapa aku pada Ibunya.

"Oo, Nak Reno anaknya, Bu Martinah."

"Nggeh, Bu. Kulo Reno, larene Ibu Martinah, (Iya, Bu. Saya Reno anaknya Ibu Martinah)" ucapku seraya tersenyum padanya.

"Nak, Reno sudah lama di sini?"

"Belum lima menit," jawabku sedikit gerogi dengan jantung berdebar.

"Kok kamu nggak buatin minum, Nduk?"

Aku menatap Wulan yang hanya membalas pertanyaan dari, Ibu dengan senyuman.

"Bu'e baru beli sayur sama obat nyamuk di warung. Wulan, sih tadi sudah kasih tahu, kalau kamu katanya mau datang."

Aku hanya mengangguk sembari tersenyum mendengarkan ucapan, Bu Ningsih. Dari arah ruang belakang aku melihat seorang lelaki berambut putih, dengan tinggi badan lebih pendek dariku. Ia tersenyum padaku. Pasti dia, Ayah Wulan. Dia masih mengenakan baju kokoh warna putih dan sarung kotak-kotak. Kami pun saling berjabat tangan.

"Dia Nak Reno, anaknya Bu Martinah, Pak," ucap Bu ningsih setengah berbisik. Membuat jantung ini semakin berdegup tak beraturan. Sambutan mereka terlalu hangat bagiku.

"Oo iya, silakan duduk."

Aku kembali ke tempat duduk dengan tubuh bergemetar. Ayah Wulan, duduk di kursi samping kananku. Kursi yang hanya untuk satu orang.

"Nduk, buatin minum, gih," suruh, Ibu Wulan dengan nada lirih.

"Bapak buatkan kopi yo, Nduk."

"Mas Reno mau kopi apa teh?"

"Kalau stok kopinya masih ada, aku ingin kopi."

Wulan ke belakang ditemani Ibunya. Sedang aku di ruang tamu bersama Ayahnya. Ada rasa canggung yang teramat sangat dalam diri. Pikiranku sampai meraba-meraba hal yang paling kutakutkan. Perjodohan.

Suara tembang kenangan masih mengalun merdu. Kalau didengar dari suaranya, itu lagu milik Ebiet G. Ade. Aku tidak tahu apa judulnya, tapi, mendengarkan lagunya memberi sentuhan klasik yang menenangkan. Bagiku, lagu kenangan memang memiliki sentuhan magis tersendiri.

Aku jadi teringat masa kebersamaan dengan, Ayah dulu. Saat ia di rumah sering sekali memutar lagu kenangan. Baik itu bergenre pop maupun dangdut. Bahkan saat berlibur bersama, musik yang diputar adalah lagu kenangan. Dan itu membuatku tertidur nyeyak disepanjang perjalanan. Mungkin dengan mendengar lagu-lagu kenangan, Ayahku bisa menyetir mobil dengan tenang dan santai.

Dimasa-masa mengenang, Ayah Wulan menanyakan aku berkerja di mana. Membuatku terkesiap dan segera menata diri.

"Saya kerja disebuah pabrik textil, Pak. Dan hanya seorang karyawan kontrak."

Ayah Wulan nampak tersenyum padaku. Ia lalu mengeluarkan sebungkus rokok kretek di saku baju kokohnya. Ia mengambil satu batang. Rokok itu sedikit ia pilin. Ini merupakan cara yang biasa orang lakukan ketika merokok kretek. Ayah Wulan meraba-raba saku, sepertinya dia lupa membawa korek. Dengan sigap aku mengeluarkan korek di saku celana. Aku memang terbiasa membawa sebungkus rokok bersama pasangannya. Korek api.

"Kamu sudah berapa tahun kerja di pabrik textil?"

"Dua tahun."

"Selama itu belum jadi karyawan tetap?" Ayah Wulan tampak sedikit terkejut.

"Mayoritas perusahaan sekarang memang seperti itu, Pak. Persentase pengangkatan karyawannya sangat sedikit."

Wulan datang dengan membawa penampan isi dua kopi dan dua teh hangat. Sedangkan Ibunya membawa satu keler roti wafer.

Wulan kembali lagi ke belakang. Sementara Ibunya duduk dan mempersilakan jamuannya. Ayah Wulan yang pertama mencicipi kopi dan roti wafer. Ia juga menyuruhku untuk jangan malu-malu mencicipi. Dengan membaca basmallah, aku menyeruput kopi dan ikut mencicipi roti. Tidak lama kemudian, Wulan kembali sambil membawa piring isi pisang. Dia lantas duduk di samping Ibunya. Sesaat kami saling beradu kontak mata dan melepas senyum.

"Dulu saat, Bapak masih muda, saya adalah seorang petualang. Saya bertualang sampai ke pulau sumatra, kalimantan, dan sulawesi. Di sana saya berkerja jadi kuli bangunan. Bapak ini bukan orang berpendidikan. SD saja tidak lulus ...," Ayah Wulan tersenyum padaku. Ia menghisap asap rokok kembali dan mengeluarkan perlahan. "Saya juga pernah jadi penjual mie ayam di jakarta. Mie ayamku sangatlah laris. Kemudian saya pulang ke kampung halaman. Saya membeli sawah dari uang tabunganku selama bertualang. Sebagiannya buat menikahi Ibunya Wulan. He hee hee ...."

Aku mendengarkan cerita Ayah Wulan, tanpa berani memotong. Aku hanya jadi pendengar yang baik. Sesekali aku dan Wulan juga saling curi pandang sambil melepas senyum. Anak, Bu Ningsih ini benar-benar manis saat ia tersenyum. Andai saja hidungnya mancung seperti punyaku, ia pasti jadi gadis yang sangat cantik.

Bu Ningsih sendiri sesekali terlihat berbisik dengan, Wulan. Kadang Wulan membalas dengan senyuman. Kadang juga berbisik pada Ibunya. Dan aku, mendengarkan cerita Ayah Wulan.

"Setelah bosan bertualang, saya jadi petani dan membangun rumah sederhana ini. Waktu itu batu batanya, Bapak buat sendiri. He hee heee ...." lanjut Ayah Wulan bercerita.

"Wah Bapak benar-benar orang hebat. Kalau aku tidak berani jauh-jauh dari kampung halaman, Pak. Saya hanya berani merantau ke jakarta. Dan sekali merantau ke jepang selama dua tahun."

"Kamu pernah pergi ke jepang?" Ayah Wulan sedikit terkejut.

"He hee ... Iya, Pak, sekali."

Aku dan Wulan saling curi pandang kembali dan melepas senyum. Hatiku berdesir.

"Oh iya, katanya, Wulan ingin pergi merantau, Pak?" celetukku begitu ingat, Wulan pernah bercerita keinginannya untuk merantau.

"Bapak sih inginnya dia kerja di sini saja. Tidak perlu merantau."

"Iya. Bu'e juga inginnya seperti itu. Tapi, dia tetap saja susah untuk dibilangin. Wulan ini memang sedari kecil rada bandel."

"Dengarkan kata, Bapak dan Ibu kamu dengan baik yo, Nduk," kataku disertai mengembangkan senyum.

"Soalnya kalau kerja di sini itu gajinya kecil, Mas, tidak seperti di perantauan. Di sana gajinya gede." Aku sedikit terkejut dengan jawaban masuk akal Wulan.

"Tapi, kalau di sini dekat rumah, Nduk. Tidak perlu ngeluarin biaya untuk ngontrak maupun makan sehari-hari," jawab Bu Ningsih tidak kalah cerdasnya dengan sang anak. Wulan sendiri nampak diam tidak bisa menjawab. Ada sedikit ketidak setujuan dengan jawaban, Ibunya yang tergambar di wajahnya.

Adzan Isya terdengar menggema. Suaranya memang tidak terdengar jelas, sebab jarak masjid maupun mushola lumayan jauh. Jarak ke mushola sendiri sekitar 200 meter. Sementara untuk ke masjid lebih jauh lagi. Mungkin sekitar 500an meter. Ingat dengan kata sahabat. Kamu harus taubat! Kata-kata sederhana itu layaknya sebuah alarm yang tertanam dalam jiwa. Aku minta izin untuk ke mushola yang jaraknya memang dekat. Ayah Wulan ikut. Kami pergi ke mushola menggunakan motor matic punyaku. Sementara Wulan dan Ibunya, katanya ingin shalat di rumah.

____bersambung___

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience