EMPAT

Crime Completed 8834

EMPAT

Van yang kami tumpangi tidak pergi terlalu jauh. Meski demikian, tetap saja tidak nyaman terguncang-guncang di dalamnya di tengah kegelapan seperti sepasang tulang belulang. Setelah kira-kira lima menit, kami merasa van yang kami tumpangi melambat dan terayun dengan pelan mengitari sebuah bundaran lalu mesin mobil dimatikan. Kemudian kami mendengar suara pintu depan dibuka dan ditutup kembali.

"Kurasa kita baik-baik saja," bisik Olly. "Aku akan keluar sebentar untuk memeriksa keadaan. Pegang ini," ia memasukkan lumba-lumba itu ke dalam genggaman tanganku, kemudian melorotkan tubuhnya keluar dari van. Sedetik kemudian, ia sudah menghilang di sebelah van. Beberapa saat kemudian, ia sudah muncul kembali–masih lengkap dengan kedua tangan dan kakinya–, ia terlihat kesal.

"Itu seperti rumah biasa!" katanya dengan nada marah. "Sungguh jujur saja, rumah itu mirip seperti rumahku. Ya ... tidak mirip benar sih. Warna pintunya berbeda dan di sana sepertinya ada bagian seperti teras."

"Apa yang kau harapkan?" tanyaku. "Mereka harus hidup di gua, begitu maksudmu?"

"Nggak, sih," ujarnya. "Tapi, sekarangaku tanya kepadamu! Pertama, mereka berpakaian seperti orang biasa, kemudian mereka ternyata pulang ke sebuah rumah yang nyata-nyata bahwa rumah itu adalah rumah orang normal. Bagaimana bisa polisi menangkap mereka? Perampok zaman sekarang!" ia menggeleng-gelengkan kepala, marah.

"Cukup sampai di sini 'kuliah pencegahan terhadap kejahatan'," potongku dengan gusar. "Kita harus segera pergi dari sini sebelum mereka menemukan beo dari plastis itu."

Kami mengendap-endap keluar dari van dan merangkak menuju gerombolan tanaman di dekat pagar di sebelah jalan masuk. Lumba-lumba itu masih berada di balik kaosku.

"Halo, Anak-anak!"

Aku kaget setengah mati. Jantungku nyaris copot. Seorang perempuan berdiri di luar garasi yang ada di samping rumah. Wajahnya tidak menampakkan ekspresi kemarahan atau keterkejutan karena melihat kami mengendap-endap seperti itu. Malah sebaliknya, ia tersenyum ramah kepada kami. "Kalian pasti anak-anak pramuka yang datang untuk mengambil barang-barang bekas untuk dijual di bazar amal. Benar begitu?" tanyanya. "Kebetulan sekali, aku baru saja selesai memilih barang-barang yang bisa kalian bawa. Barang-barang itu sekarang ada di garasi." Olly dan aku hanya berdiri di tempat semula. Terbengong seperti sepasang pisang yang terlalu masak.

Perempuan itu menarik pintu garasi. "Ayo, sini. Silakan saja ambil," ia tersenyum.

Kami mengikutinya masuk ke garasi. Tempat itu seperti toko perhiasan. Penuh dengan jam dinding, medali, piala, jam tangan, mangkuk perak dan peralatan makan berbagai bentuk dan berbagai macam benda-benda berharga lainnya. Istri si perampok ini–atau siapa pun dia–menunjuk ke arah sebuah troli. Troli itu hampir penuh dengan baju-baju tua, bukubuku dan barang-barang bekas yang biasa dijual di pasar murah, tetapi di tumpukan paling atas terdapat beberapa barang curian – mangkuk kaca, sebuah jam tangan dan sepasang cangkir perak. Istri si perampok ini bahkan tidak menunjukkan rasa malu ketika ia memperlihatkan barang-barang curian itu kepada kami.

"Ada beberapa benda berharga di sini –aku memilihkan benda-benda terbaik untuk koleksi kalian," katanya sambil tersenyum lebar. "Kalian berdua tampaknya anak yang kuat," tambahnya bersemangat. "Aku yakin kalian bisa membawa benda-benda ini sampai ke aula gereja. Jangan khawatir tentang trolinya. Besok aku bisa mengambilnya di sana. Tinggalkan saja di sana. Setuju? Kalian kuat mendorongnya sampai ke gereja, kan?"

"Kau hanya perlu mendorong troli ini," bisikku pada Olly. "Aku sudah mendapatkan lumba-lumba itu."

Olly menarik troli itu dan mendorongnya dengan gontai melalui trotoar. Aku mengikutinya dari belakang.

"Anak-anak, sungguh kalian bisa membawanya? Apakah barang-barang itu terlalu berat untuk kalian?" panggil istri si perampok itu.

"Tidak apa-apa. Kami kuat membawanya. Terima kasih! Selamat tinggal!" sahut Olly terengah-engah.

"Aku tidak mengerti soal ini," kataku ketika kami sudah cukup jauh dari rumah itu. "Kenapa bersusah payah mencuri barang-barang seperti itu, tapi kemudian memberikan separuh dari barang curian itu kepada orang lain begitu saja?

Gila! Mereka gila!"

"Jangan tanya aku," kata Olly sambil mengedikkan bahu dan melepaskan pegangan troli itu dan menghapus keringatdari dahinya. "Mungkin mereka seperti Robin Hood. Mereka mencuri sesuatu dari orang kaya, kemudian memberikannya kepada orang-orang miskin melalui pasar murah."

"Kalau begitu, mereka sedikit bingung!" kataku. "Sekolah, kan, tidak benar-benar kaya. Kenapa mereka mencuri barang di sekolah? Seharusnya mereka mendengar bagaimana ayahku mengeluh tentang sekolah yang bahkan tidak mampu membeli pensil."

"Oh ... itu ... hanya beberapa guru yang mengatakan demikian agar mereka bisa menghabiskan seluruh uang tersebut untuk diri sendiri. Maksudku, apakah kau pernah masuk ke ruang guru di sekolah kita?"

"Tentu saja tidak! Kita, kan, tidak diperbolehkan masuk ke sana."

"Tepat sekali!" kata Olly penuh kemenangan. "Dan kau tahu kenapa kita tidak boleh masuk ke ruang guru? Karena di sana memang diperuntukkan bagi guru-guru dan penuh dengan barang-barang mewah. Aku bisa membayangkannya. Sofa besar, perapian, berkotak-kotak cokelat. Lethal Ruler bahkan tidak mau membelikan komputer untuk kita, tapi aku berani bertaruh, setiap guru memiliki komputer pribadi di mejanya. Terbuat dari emas barangkali."

"Aku rasa komputer yang terbuat dari emas tidak akan bekerja dengan baik," kataku keberatan. "Listrik harus melaluinya dan menurutku sepertinya itu tidak mungkin."

"Berhentilah sok pintar!" potong Olly. "Kau bisa mengeluarkan lumba-lumba itu sekarang dan kau bisa mulai mendorong benda ini. Berat sekali ternyata."

Aku mengeluarkan lumba-lumba itu dari balik kaosku dan menyelipkannya di bawah sepasang jeans di dasar troli.

Sekarang aku mengerti apa yang dimaksudkan Olly dengan 'berat' itu. "Di mana gereja yang seharusnya kita tuju itu?"

Olly menatapku dengan penuh keheranan. "Kau tidak berpikir bahwa kita akan membawa barang-barang ini ke sana, kan?"

"Kenapa tidak?" tanyaku. "Kita bisa menaruh barang-barang ini di sana kemudian mengembalikan lumba-lumba itu ke sekolah."

"Benar-benar khas dirimu!" ujar Olly kesal. "Kita telah menangkap basah dua orang penjahat ketika mereka sedang menjalankan aksinya, mengikuti mereka sampai ke tempat persembunyian mereka, dan coba tebak apa yang ingin Jack lakukan? Pulang ke rumah dan minum secangkir teh!! Tidak peduli dengan semua orang yang mungkin saja telah menjadi korban perampokan atau bahkan terbunuh! Jujur saja Jack, kau menyedihkan!!"

"Menurutku mereka tidak tampak berbahaya. Paling tidak bagiku," gumamku membela diri. "Aku lebih khawatir dengan apa yang kita lakukan dengan barang-barang ini. Aku tidak mampu lagi mendorong benda ini lebih dari beberapa meter, kita bahkan tidak tahu ke mana kita harus pergi!"

"Dorong saja troli iitu mengelilingi bundaran sebelah sana itu," perintah Olly. "Aku akan mencari telepon umum. Aku selalu ingin menelepon 999!"

Aku mendorong troli yang sangat berat itu dengan terengah-engah, sementara itu Olly berlari dengan bergegas mencari telepon umum. Tak lama setelah ia pergi dan lenyap dari pandangan, aku mendengar suara mengerikan yang tidak asing lagi di telingaku.

"Ya Tuhan! Jack Harrison! Dengan troli besar di dekatnya! Kau benar-benar anak yang sangat KUAT!"

Loopy Lewis!! Apa yang ia lakukan di sini? Aku beringsut pelan mendekat ke arah troli untuk memastikan lumbalumba itu tidak terlihat olehnya.

"Sepertinya kau baru saja dari rumah Mr. Roberts." cerocosnya. "Kalau aku boleh menebak, kau sedang mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual di bazar amal. Benar, kan?" "Ehm ... er ... ya, Miss," jawabku ragu.

Loopy melihat ke arah troli dan mengangguk-anggukkan kepala, "Sungguh sangat mengherankan betapa banyak orang ingin mengukirkan barang-barang mereka, tapi kemudian meninggalkannya begitu saja. Tapi tak apa, ini adalah bendabenda yang layak untuk pasar murah."

"Diukir?" tanyaku. Aku tidak memiliki petunjuk apa pun mengenai apa yang dibicarakannya, tetapi ia adalah seorang guru, jadi tidak ada yang baru dengan hal itu.

"Ya. Mr. Roberts adalah seorang pemahat. Aku kan, sudah menceritakan pada kalian tadi pagi. Aku meminjaminya kunci cadangan sekolah. Ia akan mengambil lumba-lumba itu setelah sekolah usai. Jadi kupikir aku akan meneleponnya untuk memastikan bahwa ia menemukan lumba-lumba itu."

Otakku tiba-tiba seperti tersambar petir, dan kembali bekerja. Aku tersadar dengan apa yang sedang kami lakukan. Pemahat. Bukan perampok seperti yang kami sangka. Pergi ke sekolah untuk mengambil lumba-lumba. Mencoba mengukir lumba-lumba itu. Menemukan beo dari plastis di dalam kotak. WHOOPS!!!

"Semua beres Miss. Mr. Roberts sudah pergi ke sekolah," kataku cepat.

"Oh ... baguslah kalau begitu. Jadi, aku tidak perlu mengganggunya."

Loopy memasukkan kunci mobilnya dan bersiap untuk pergi. "Ngomong-ngomong ..." panggilnya. "Aku SANGAT senang melihatmu membantu pasar murah. Apakah yang kau lakukan ini untuk sebuah ALASAN YANG SANGAT BAGUS, benar begitu? Pengumpulan dana untuk perlindungan satwa liar di taman! Aku selalu bersemangat jika memikirkan tentang proyek perlindungan satwa liar! Kami semua di kelas satu SANGAT MENYUKAI satwa liar!" Kalian semua penghuni kelas satu memang satwa liar gumamku dalam hati, tetapi aku tidak mengatakan nya.

"Sampai jumpa, Jack!" Loopy Lewis melambaikan tangannya dari dalam mobil, dan meluncur pergi.

"Sampai jumpa, Miss Lewis."

Aku bersandar lemah di troli. Sekarang apa yang akan kami lakukan? Bagaimana kami bisa mengembalikan lumbalumba itu kepada Mr. Roberts tanpa harus mengatakan bahwa kami telah mengambilnya tanpa izin, menyelinap masuk ke dalam mobilnya? Ia akan sangat marah jika ia tahu kami berpikir bahwa ia adalah seorang perampok, tetapi jika kami tidak mengatakan yang sebenarnya kepadanya, bagaimana kami tidak mencuri lumba-lumba itu? Aku sedang merasa putus asa memikirkan jalan keluar dari masalah ini ketika sesosok tubuh muncul dari tikungan jalan, melambailambaikan tangannya.

"Olly!" panggilku. "Kau tidak menelepon 999, kan?"

"Tidak." Jawab Olly. "Aku tidak jadi menelepon 999 karena

"Ada masalah besar," potongku. "Aku baru saja bertemu dengan Loopy Lewis. Lumba-lumba itu tidak dicuri. Lakilaki itu bukanlah perampok. Dia adalah Mr. Roberts, seorang pemahat. Itulah mengapa semua barang-barang itu ada di garasinya. Ia seharusnya membawa lumba-lumba itu supaya bisa diukirnya."

"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Apa yang dilakukan Loopy di sini?"

"Aku baru saja memberitahumu. Kau ingat, kan, tadi pagi ia sudah memberitahu kelas kita bahwa ia akan meminta orang untuk mengukir lumba-lumba itu? Kau ingat, tadi pagi ia mengedarkan lumba-lumba itu di kelas agar kita bisa melihatnya."

"Ya, tapi apa hubungannya dengan

"Dengarkan aku! Laki-laki itu seorang pemahat. Loopy memintanya pergi ke sekolah untuk mengambil lumba-lumba itu. Dia baru saja datang untuk meyakinkan Mr. Roberts apakah ia menemukan lumba-lumba itu!!"

"Maksudmu ... ya ampun! Oh, tidak!" Olly menutup mulutnya dengan tanganny,:'. "Di mana Loopy sekarang?"

"Tenang ... dia sudah pergi. Ia tidak melihat lumba-lumba itu, aku tidak membiarkannya melihat ke dalam trolil. Syukurlah kau tidak menelepon 999. Polisi akan mengira kita gila!"

"Sebenarnya ... alasanku tidak menelepon 999 karena memangtidak perlu, ... aku menemukan polisi yang sedang berpatroli di jalan sana, dan – di sinilah dia sekarang."

Sesosok laki-laki tinggi berseragam biru muncul dari kegelapan. "Ya Tuhan, Nak. Kau seharusnya ikut London

Marathon! Aku kira kehilangan jejakmu di sana. Nah, apakah semua ini berkaitan dengan perampok?"

"Perampok? Perampok?" ulang Olly. Ia seperti baru tersadar. Ekspresinya seperti orang yang telah mendengar hal itu sebelumnya, tetapi tidak terlalu mengerti apa artinya.

"Ya ... kau baru saja mendatangiku, dan berteriak memberitahuku mengenai perampok yang tinggal di daerah sekitar sini.

Tiba-tiba aku mendapatkan sebuah ide cemerlang.

"Bukan!" ucapku tiba-tiba. "Ia tidak mengatakan perampok. Ia mengatakan 'ROBERTS. Mr. ROBERTS tinggal di sekitar sini.

"Benar" kata Olly bersemangat. "Aku tadi mengatakan 'Mr. Roberts tinggal di sekitar sini.' Di sana, tepatnya," ia menudingkan jarinya ke arah sebuah rumah.

Polisi itu menoleh mengikuti arah yang ditunjuk Olly. "Benar. Dia dan putranya memiliki usaha pemahatan dan pengukiran," katanya. "Tapi aku tidak terlalu mengerti apakah ini ada kaitannya dengan urusan polisi?"

"Ah ..." Olly sedang menjalankan rencananya sekarang. "Anda tahu, kami baru saja dari sana, dan ia mempunyai banyak sekali barang berharga di garasinya. Banyak sekali dan semuanya hanya berserakan begitu saja. Ia bisa saja dirampok kapan saja!"

"Memang benar, saat ini kejahatan meningkat," kata polisi itu setuju.

"Jadi kupikir mungkin Anda bersedia untuk... umm menyediakan sepasukan polisi untuk menjaga toko Mr. Roberts atau apalah," Olly meneruskan rencananya.

"Kau sungguh bijaksana, Nak," ucap polisi itu sungguh-sungguh. "Tapi aku rasa Mr. Roberts sudah memiliki alarm dan sistem keamanan sendiri. Lagi pula lingkungan dan tetangga-tetangganya sudah cukup untuk mengamankannya saat ini." Ia melihat dengan saksama ke dalam troli. "Kau sepertinya harus pergi dengan benda ini." "Maaf?"

"Kalian sepertinya melarikan diri dengan barang-barang rampokan kalian. Mobil kalian sudah menunggu," polisi itu menyentuh troli dan tertawa karena leluconnya. "Barang-barang ini pasti akan dijual di bazar amal."

"Benar. Ngomong-ngomong, bisakah Anda menunjukkan pada kami arah ke aula gereja? Saya rasa kami sedikit tersesat."

"Tentu saja. Aku akan mengantar kalian ke sana – aula gereja searah dengan kantor polisi. Sini aku saja yangmendorong trolinya!"

Polisi itu bergumam sendiri dengan gembira ketika ia melangkahkan kakinya menyusuri jalan sambil mendorong troli yang berat itu.

"Apa yang bisa kita lakukan sekarang?" bisikku pada Olly. "Meminta pengawalan polisi! – kita tidak bisa mendapatkan lumba-lumba itu selagi ia bersama kita!"

"Shhh ... jangan panik!" Olly balas berbisik kepadaku. "Ketika kita sampai di aula gereja, ia akan kembali ke kantor polisi dan kita bisa mengambil lumba-lumba itu."

Tetapi ternyata polisi itu punya ide lain. Aula gereja itu ternyata mempunyai beberapa anak tangga dan ia bersikeras membantu kami menaikkan troli sampai di depan pintu dan mengetuk keras pintu.

Seorang perempuan bertubuh besar dan berwajah ceria membuka pintu dan melongokkan kepalanya. "Oh! Constable (Sebutan untuk perwira polisi yang berpangkat rendah.) Johnson! Bertambah lagi barang-barang untuk bazar amal – cantik sekali. Anda bisa meletakkan troli itu di sini – kami akan memilah-milahnya nanti."

"Ini dari Mr. Roberts." jelas Constable Johnson. Saya baru saja menolong anak-anak ini. Sekarang kalian sudah sampai ke tujuan kalian, aku akan kembali ke posku kalau begitu. Semoga berhasil dengan bazar amalnya besok. Selamat tinggal."

"Selamat tinggal," perempuan itu lalu berbalik ke arah kami. "Kami tidak terlalu membutuhkan bantuan saat ini. Terima kasih telah membawakan barang-barang ini ke sini."

"Tidak apa-apa," kata Olly. "Hanya saja ... umm ... ada sesuatu di dalam troli yang kami inginkan." "Di dalam troli? Apakah itu?"

Olly memasukkan tangannya ke dalam troli dan menarik keluar lumba-lumba itu. "Ini dia! Kami harus memilikinya!"

"Aku tahu, Nak ..., aku tidak menyalahkan kalian jika kalian menginginkan benda itu. Benda itu sangat bagus, kan? Bagaimana jika aku memesankan benda itu untuk kalian. Kalian datang ke sini besok kapan saja setelah jam sepuluh dan bilang saja kalian mencari Mrs. Humbert. Aku akan memastikan benda ini untuk kalian – bagaimana jika satu pound?"

"Satu pound?" ulang Olly.

"Aku bertaruh lumba-lumba itu berharga lebih dari itu. Jika aku membiarkan kalian memilikinya tanpa harus membayar, Mrs. Evans akan sangat marah dan menghukumku!"

"Ya, aku tahu. Maksudku, tidak ada masalah dengan satu pound. Terima kasih banyak," kata Olly.

Ketika kami sudah berada di luar, aku marah sekali dan memakinya. "Kau dan rencana-rencanamu! Kau sungguh bodoh! Kau memang tidak boleh dibiarkan berkeliaran!" "Ada masalah?" tanya Olly tidak mengerti.

"Ada masalah?!!!" ulangku penuh keheranan akan sikapnya, juga jengkel. "Kita terjebak di sini tanpa tahu bagaimana caranya pulang, kita harus kembali lagi ke sini besok dan menghabiskan uang satu pound membeli lumba-lumba bodoh itu hanya untuk membawanya kembali ke sekolah dimana benda itu seharusnya berada jika ini semua bukan karena dirimu!"

"Ya ... ya ... aku tahu. Pertama-tama yang akan kukatakan adalah, kita tidak tersesat. Lihat, gedung bioskop ada di sana. Kita pasti sudah dekat dengan taman. Kita hanya membutuhkan dua puluh menit jalan kaki untuk sampai ke rumah."

"Baiklah. Lalu bagaimana dengan uang satu pound itu? Aku tidak memiliki uang bahkan jika aku memiliki uang yang tidak kumiliki karena aku berutang pada Luke dan aku harus membayarnya untuk uang yang kupinjam yang kemudian kuberikan padamu ketika kau lupa membawa uang sakumu dan sampai sekarang belum kau kembalikan."

"Jangan panik. Aku akan mendapatkan uang sakuku kembali segera setelah aku mengerjakan PR-ku," kata Olly marah. "Oh! Tidak!"

"Ada apa?"

"Aku tidak bisa mengerjakan PR-ku."

"Kenapa?"

"Karena aku belum menemukan buku matematika itu."

"Tapi itu alasan kita yang utama pergi ke sekolah!"

Olly berpikir keras. "Aku tahu. Masalahnya adalah aku merasa telah meletakkannya di suatu tempat ketika sedang berusaha menyelamatkan lumba-lumba itu."

"Kau letakkan di mana?"

"Di suatu tempat di sekolah. Maukah kau ke sana, melihat apakah buku matematikaku masih ada di sana?" "Kau bercanda, ya?!"

Kami kembali berjalan, dalam diam.

Olly menghilang di balik pintu depan rumahnya dan aku meneruskan langkahku kembali ke rumah.

"Halo, Jack," kata ibuku ketika aku masuk ke dalam rumah. "Ada apa denganmu?"

"Kami punya PR matematika dan Olly sudah pergi, ia kehilangan bukunya jadi sekarang kami tidak dapat mengerjakannya dan kami akan menerima hukuman dari Attila jika tidak mengerjakannya.

"Mengapa kau tidak menggunakan bukumu sendiri?"

"Nah masalahnya di situ. Aku tidak bisa. Bukuku hilang. Tadi pagi, ayah membuangnya di tempat sampah di Spendo's."

"Buku matematikamu? Tentu saja ia tidak membuangnya di tempat sampah. Leo meletakkannya di atas tumpukan koran tadi malam lalu aku mengambilnya untukmu. Ini bukumu."

Aku tidak percaya hal ini. Buku matematikaku ternyata ada di rumah selama ini. Jadi kami tidak perlu kembali lagi ke sekolah untuk mencari buku matematika milik Olly. Petualangan bersama lumba-lumba sungguh sangat membuang waktu.

"Menurutku, kau sebaiknya mengucapkan terima kasih," kata Ibu.

"Terima kasih, Bu," kataku. Aku berpikir apakah aku harus menelepon Olly segera bahwa aku mendapatkan buku matematikaku kembali. Akhirnya aku memutuskan untuk menelepon Olly, tetapi sebelum itu aku merebahkan tubuhku sebentar di sofa. Aku butuh istirahat sejenak sebelum aku melihat Olly lagi.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience