SATU

Crime Completed 8834

SATU

Sungguh sangatsulit, apakah aku harus menyalahkan ibu dan ayahku, ataukah hamster-nya Olly.

Kau tahu, jika buku matematikaku tidak hilang pada saat yang bersamaan dengan proyek IPA-ku yang tertelan oleh makhluk itu, kami tidak akan mendapat pekerjaan rumah ekstra, kemudian kami tidak akan pernah berurusan dengan lumba-lumba.

Aku akan memulai dengan buku matematikaku. Bukuku hilang karena rumah kami adalah rumah yang paling berantakan yang pernah kau lihat. Kedua orangtuaku benar-benar kerepotan mengatur barang-barang, dan keadaan menjadi sepuluh kali lebih parah dengan memiliki enam orang anak.

Orang-orang sering berkata kepadaku, "Ah ... lima saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan! Wah, pasti sangat MENYENANGKAN, memiliki keluarga besar seperti keluargamu!"

Menyenangkan?! Uh! Mereka tidak tahu bagaimana rasanya. Seharusnya mereka mencobanya sendiri.

Mau contohnya? Tengoklah saat kami sarapan. Benar-benar kacau dan menjengkelkan! Tidak pernah ada tempat kosong di meja makan untuk meletakkan semua peralatan, dan ke mana pun matamu memandang, selalu saja ada seseorang (mereka saudara-saudaraku) yang melakukan sesuatu yang bisa menjadi sebuah kekacauan.

Seperti Jumat pagi ini, Leo dan Joe sedang berkelahi, seperti biasanya.

"Bu! Leo menendangku!"

Ibu sedang berdiri di dekat meja, mencoba mendengarkan berita di radio. "Shhh ... DIAM Joe!" teriaknya. "Luke! LUKE!!! Airnya sudah mendidih." Luke sedang membaca majalah dan memakai headphones di telinganya.

"Dia mencakarku!" jerit Leo. "Dia mencakarku padahal aku tidak melakukan apa-apa."

"Kau memuntahkan makananmu di atas rotiku! Yah! Rotiku penuh dengan kuman!" "Luke!" Ibu berjalan mendekati Luke, dan menarik headphones-nya hingga terlepas.

"Hey ... oh ... apa ?" katanya pelan.

"Ketelnya, Luke. Cepat angkat sana."

Luke beranjak dari kursinya, menurunkan ketel dari kompor, mematikannya, kemudian kembali ke kursinya. Duduk dan membaca majalahnya.

"LUKE!!! Ibu berteriak. "Setelah kau turunkan ketelnya, kau harus membuat teh! Bukannya langsung duduk lagi seperti itu!"

"Aku tidak meludah!" teriak Leo membela diri. "Aku batuk! Kau lihat! Aku, kan, tidak bisa menahan untuk tidak batuk. Memangnya kau bisa menahan batuk ketika kau akan batuk? Huh!"

"Bu! Leo memasukkan jarinya yang bau ke dalam corn flakes-ku. Iyaaaks! Aku sudah tidak berselera makan lagi sekarang. Ayah!"

"Apa?!" Ayah sedang mengerjakan tugasnya yang menggunung di hadapannya – Ayahku seorang guru. Anna sedang duduk di dekatnya, dan setiap kali ia mengetuk-ngetukkan sendoknya ke dalam mangkuk bubur, segumpal bubur muncrat dan mengenai tumpukan kertas pekerjaan Ayah. Ayah hanya bisa berkata, "Oh Anna."

Yakin, murid-murid Ayah pasti sering bertanya-tanya kenapa selalu ada ceceran Soggabix di buku mereka. Mereka pasti berpikir bahwa ayah adalah orang yang sangat jorok, makan saja sampai berlepotan dan tercecer ke mana-mana seperti itu. Hiii ....

Di seberangku, berhadap-hadapan denganku, Harriet dengan sangat genit sedang menyisir rambutnya di atas rotinya. Iyaaaks. Seakan hal itu belum cukup – padahal menurutku itu sangat menjengkelkan, ia membubuhkan sesuatu di sekitar matanya. Sesuatu berwarna hitam, pekat dan cair seperti krim. Mengerikan. Aku kemudian membangun benteng pertahanan dengan karton bekas sereal, jadi aku tidak akan melihatnya.

"Harriet?" kata Ayah tiba-tiba. "Kenapa kau memakai make up seperti itu ke sekolah? Kau tidak diperbolehkan memakainya ke sekolah.

Harriet menghela napas panjang dan melengos.

"Ayah benar. Aku akan memakainya sebelum ke sekolah."

"Lalu untuk apa kau memakainya? Lagi pula kau masih terlalu kecil untuk memakainya."

"Ini wajahku sendiri dan aku bisa melakukan apa saja pada wajahku," kata Harriet ketus. Dia memang selalu kasar.

Luke tiba-tiba menoleh, menyeringai.

"Aku tahu! Dia melakukan itu untuk seseorang di bus sekolah, benar begitu, Harry? Dia ingin menarik perhatian seseorang. Hmmm ... kira-kira orang itu siapa, ya?"

Pipi Harriet memerah. Leo berhenti mengoleskan selai ke telur Joe. "Harriet jatuh cinta!" ia berteriak gembira.

"Yaaaks!" Leo tertawa meledak, dan mereka berdua (Leo dan Joe) jatuh terguling dari kursinya, dan tertawa terbahakbahak.

"Aku tahu siapa orangnya," kata Luke. "Colin Davis, kan?" "Bukan!" jerit Harriet.

"Kau membuang waktumu. Colin bilang padaku, menurutnya kau jelek."

Harriet langsung menangis begitu mendengar ucapan Luke. "Aku benci keluarga ini!"jeritnya, kemudian ia lari ke atas.

"Luke!" tegur ibu. Ia selalu membela Harriet. "Apa yang kau katakan sungguh kejam dan tak berperasaan, Luke. Apakah benar Colin mengatakan hal itu tentang Harriet?"

Luke mengedikkan bahunya. "Ehm ... mungkin saja. Aku tidak tahu. Aku, kan, tidak pernah berbicara dengannya."

"Pergi ke atas, dan jelaskan padanya yang sebenarnya. Sekarang juga!"

"Kenapa? Itu salahnya sendiri karena ingin menarik perhatian Colin."

"Bagaimana kau bisa tahu seperti apa Colin sebenarnya jika kau tidak pernah berbicara dengannya?

Sekarang pergi ke atas dan minta maaf pada Harriet!" kata ibu dengan tegas.

"Aku bisa mengatakan bahwa dia memang bodoh hanya dengan melihat wajahnya," kata Luke membela diri. "Baiklah ... baiklah ... aku akan ke atas," katanya setelah melihat wajah ibu.

Di lantai atas, di kamarnya, Harriet menghidupkan CD playernya dengan volume maksimum dan membiarkan pintu kamarnya terbuka.

"Leo! Joe!" teriak ibu mengatasi suara ribut di ruang makan. "Cepat ambil buku-buku bacaan kalian!"

"Joe tidak menemukan bukunya," Leo tersenyum puas. "Anna membuangnya ke bak mandi."

"Buku yang dibuang Anna itu adalah bukumu. Jadi, kasihan deh kamu ..." ejek Joe. "Bukuku yang berwarna hijau dan jika Miss melihatnya, kau akan dimarahi dan kau akan ...."

"LEKAS AMBIL BUKU-BUKU KALIAN!" ibu meledak marah dan mereka berdua segera berdiri, dan pergi ke lantai atas dengan masih tetap berdebat.

Anna mulai bermain dengan boks plastik dari kursi tingginya. Ketika ia mengangkat boks itu, mangkuknya yang berisi bubur tersenggol dan tergelincir jatuh di meja, dan ia mencoba untuk meraihnya. Gedubrak! Ia terpeleset dan wajahnya terbenam ke dalam mangkuk. Ia mengangkat wajahnya, wajah dan rambutnya berlumuran bubur.

"Oh Anna ...," kata Ibu dengan gembira.

Ayah menghela napas panjang dan bangkit dari duduknya. "Tidak apa-apa. Aku akan mengurusnya." Ibu lalu membawa Anna di bawah lengannya, dan pergi ke lantai atas dengan bergegas. Lantai atas sepuluh kali lebih buruk dan berantakan.

Harriet sedang menjerit marah pada Luke. Kemudian ia membanting pintu kamarnya sehingga menimbulkan suara berdebam, tetapi kau masih bisa mendengar suara musik dari kamar Harriet. Luke pergi ke kamarnya dan memainkan gitar listriknya sekuat tenaga untuk menyaingi suara musik dari kamar Harriet. Kemudian sekonyong-konyong ada suara tangisan keras. "Leo membuang sepatu olahragaku ke dalam toilet! Bu! BUUU!"

Ayah mengambil pulpen merah dan menyilangi seluruh halaman dari kertas-kertas pekerjaannya. "Aku menyerah," ia bergumam lemah. "Aku menghabiskan waktu hampir SATU JAM untuk mengerjakan pekerjaan ini kemarin. Entahlah kenapa aku mau melakukan hal ini?"

Bagiku adalah sebuah misteri kenapa pekerjaan rumah ditemukan. Aku tahu betapa guru-guru sebenarnya membenci pekerjaan rumah karena Ayah sering kali mengeluh tentang betapa banyaknya pekerjaan rumah yang harus diperiksa dan diberi nilai. Aku tahu murid-murid membenci pekerjaan rumah karena aku adalah salah satu di antaranya. Berpikir mengenai pekerjaan rumah, tiba-tiba aku teringat bahwa aku belum mengerjakan PR-ku. Aku hanya mempunyai waktu mengerjakannya sebelum aku berangkat ke sekolah. Dan ternyata ada kejutan. Yup, kejutan, kejutan. Ketika aku mencari buku matematikaku dari rak di bawah jendela tempat aku meletakkannya, buku itu tidak ada di sana. "Yah, apakah Ayah melihat buku matematikaku?" tanyaku pada Ayah.

"Judulnya apa?"

"Fun with Maths (Bersenang-senang dengan Matematika)." Siapa pun yang menamai buku itu seharusnya berpikir dua kali bagaimana bisa bersenang-senang dengan matematika?! Bersenang-senang adalah bersenang-senang, sedangkan matematika adalah matematika–kau bisa melakukan yang satu atau yang satunya lagi, tetapi kalau keduanya sekaligus dalam waktu yang bersamaan, ehmm ... lebih baik tidak usah.

"Aku rasa Joe membawa buku itu tadi malam. Kau bisa tanya dia," saran Ayah.

Aku kemudian berlari ke atas, dan aku menemukan Joe di kamar mandi. Ia sedang mengisi tempat pensil Leo dengan pasta gigi. Joe mengatakan padaku kalau Leo memakai buku matematikaku untuk membuat slide di mobil-mobilannya.

Leo mengatakan padaku bahwa ia meletakkan buku itu di tumpukan koran, Ibu berkata bahwa Luke membersihkan tumpukan itu. Dan Luke bilang kalau ia membawa tumpukan koran itu ke garasi di sebuah kotak, tetapi ia tidak melihat buku matematikaku.

Aku segera ke garasi. Tidak ada kotak yang berisi koran. Di luar, aku bisa mendengarAyah menghidupkan mobilnya. Aku segera berlari keluar melambaikan tanganku, Ayah menurunkan kacajendela mobilnya. "Apalagi sekarang? Ayah sudah terlambat!"

"Di garasi seharusnya ada kotak penuh koran, Ayah tahu ke mana koran-koran itu?"

"Ya, aku membawanya ke tem pat daur ulang sampah di Spendo's."

"Apa?! Tidak! Buku matematikaku bersama dengan koran-koran itu! Bisakah Ayah mengantarku ke sana?" pintaku dengan sangat memelas.

"Kau bercanda rupanya, tidakkah kau lihat bahwa aku sedang bersiap berangkat kerja saat ini? Lagipula sudah tidak ada gunanya lagi kau ke sana, mereka sudah mengosongkan tempat sampahnya ketika aku tinggalkan tadi."

"Jadi, buku matematikaku sudah berubah menjadi tisu toilet sekarang? Terima kasih banyak!!"

"Ini kesalahanmu sendiri. Kau seharusnya meletakkannya di dalam ranselmu," Ayah mulai menghidupkan mobilnya.

"Ransel apa?" kataku. "Leo merobekkannya minggu lalu. Ia memakai ranselku untuk tempat peralatan renangnya, dan ia meninggalkannya di kamar mandi."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience