TIGA

Crime Completed 8834

TIGA

Attila pastilah sudah merazia semua balok-balok kayu yang ada di toko selama waktu istirahat, karena ketika kami datang ia sedang berada di atas tangga, badannya bergoyang-goyang. Ia sedang memaku karya murid-murid di dinding sambil bergumam sendirian.

Loopy Lewis, guru kelas satu, berjalan bergegas melewati kelas kami. Kedua tangannya memegang kotak kardus. "Ya Tuhan, Mr. Pringle!" tegurnya. Suaranya seperti burung yang berkicau. "Apa yang sedang Anda lakukan? Bukankah lebih baik jika menempelkannya dengan Blu-Tack, bukan begitu, Anak-anak? Anda harus datang ke kelas satu. Kami mempunyai banyak sekali Blu-Tack di kelas karena kami selalu MENYIMPANnya di tempat khusus. KOTAK BLUTACK bukankah begitu anak-anak?"

Attila memukul jarinya dengan palu dan berteriak.

"Oh, bukankah itu kata yang nakal, Anak-anak? Palu dan paku sungguh BERBAHAYA. Lain kali, kalian harus mengingatkan Mr. Pringle untuk menggunakan paku payung! Bisakah aku mengganggu sebentar? Aku membawa berita yang sangat menggembirakan."

Mengajar anak-anak telah membuat Miss Lewis sedikit terobsesi. Ia pikir semua orang berusia empat tahun, meskipun sebenarnya tidak apa-apa jika kau memang berusia empat tahun, tetapi tetap saja aneh menurutku.

Loopy Lewis membuka kotak kardus yang dibawanya dan mengeluarkan sebuah benda: berwarna perak berbentuk ikan. Entah ikan apa. "Akhirnya, sampai juga piala ini. Piala St. Ethelred. Bukankah benda ini sangat BAGUS?" "Maaf Miss, benda apakah itu?"

Miss Lewis tersenyum lebar. "Ini adalah lumba-lumba! Bendaini akan dihadiahkan kepada anak yang telah berusaha keras. Ehm ... sangat keras untuk membantu perjuangan kita menyelamatkan lingkungan.

Aku tahu beberapa di antara kalian, anak-anak dari kelas yang lebih tinggi, telah bekerja SANGAT KERAS untuk menolong PLANET KITA YANG SANGAT INDAH ini. Bukankah begitu Mr. Pringle?"

"Benar," angguk Attila seraya menatap tajam ke arahku dan Olly. "Ada beberapa anak di sini yang telah membuat usaha yang LUAR BIASA untuk menyelamatkan lingkungan."

"Yang kita butuhkan sekarang adalah mengukir patung lumba-lumba ini," lanjut Loopy. "Kita bisa MEMAjANGNYA saat konser sekolah Rabu nanti. Bukankah ini sangat MENARIK? Kami di kelas satu SANGAT SENANG dengan segala hal ini."

"Apa maksudnya mengukir lumba-lumba itu, Miss?"

"Seseorang dengan PENA KHUSUS akan menulis di atas logam seperti ini, dan akan mengukir semua pesan yang ingin kita sampaikan di atas patung ini. Bukankah itu sungguh MENYENANGKAN? Aku akan mengedarkan patung ini berkeliling agar kalian bisa memerhatikannya baik-baik."

Ketika lumba-lumba itu sampal di meja kami, bagiku lumba-lumba itu mempunyai senyum yang sama dengan senyum Anna ketika ia terjerembab di atas Soggabix dan seluruh rambutnya penuh dengan bubur itu. Aku tahu bahwa itu, sama artinya dengan masalah. Aku mengembalikan lumba-lumba itu kepada Loopy.

Ia memasukkan kembali lumba-lumba itu ke kotak kardus dan memandang ke arah Attila yang telah menyelesaikan pekerjaannya, memasang display. "Ya ampun!" celotehnya ribut. "Mr. Pringle berpikir kalau ia ada di Australia, benar begitu, Anak-anak? Ia menempelkan gambar-gambar itu TERBALIK. Sungguh aneh!" Loopy Lewis tersenyum ceria dan bergegas kembali ke kelas satu.

Kami menghabiskan sisa hari itu dengan membaca.

Sepulang sekolah, Olly dan aku berjalan menuju rumahnya. Kami biasa pergi ke sana karena makanan di sana sungguh enak. Semuanya terasa lebih baik. Ayah dan ibu Olly benar-benar orangtua yang mengerti kebutuhan anaknya. Ia mempunyai kamar sendiri, mainan yang tak terhitung jumlahnya dan lima macam snack yang berbeda setiap hari.

Aku yakin, ibu dan ayahku akan menjadi orangtua yang baik, tetapi aku rasa mereka tidak punya cukup waktu. Mereka terlalu sibuk mengurus anak.

Ibu Olly seorang koki yang sangat hebat, ia membuat banyak sekali kue dan biskuit. Dan juga, ia sangat senang ketika orang memakan kue buatannya. Tidak seperti di rumahku, satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan biskuit adalah dengan merangkak di bawah kursi Anna dan menangkapi biskuit yang ia lemparkan ke samping kiri kanannya.

"Apakah kau yakin untuk tidak menambah tehmu lagi, Jack?" tanya ibu Olly sambil mengulurkan padaku potongan kue cokelat ketiga.

"Ini sudah cukup Mrs. Jacobs," kataku meyakinkannya. "Aku sungguh selalu berselera ketika makan."

"Ayo kita pergi ke rumahmu sekarang," kata Olly ketika kami sudah selesai makan sebanyak yang kami mampu. Kurasa Olly aneh. Ia tidak sadar betapa beruntung dirinya memiiiki rumah yang tenang, damai seperti ini – ia selalu ingin pergi ke rumahku.

"Kau diperbolehkan meloncat-loncat di atas tempat tidur dan membuat gua di dalam kamarmu," jelasnya. "Dan kau tidak selalu ditanyai orang-orang tentang bagaimana sekolahmu, dan menyuruhmu minum vitamin setiap hari. Ibu dan ayahku tidak pernah membiarkanku sendirian!"

Sudah jelas apa maksudnya. Di rumahnya, ada dua orangtua untuk satu anak. Di rumahku, dua orang tua dan enam orang anak. Jadi, satu orangtua untuk tiga orang anak. Lalu kami bertanya pada ibu Olly apakah Olly bisa pergi ke rumahku.

"Baiklah, Sayang," ujarnya setuju. "Asalkan kau sudah kembali di rumah pukul setengah tujuh untuk mengerjakan PRmu.

Ketika kami sudah berada di luar rumah, Olly terlihat sedang berpikir. "PR," katanya. "Bukan masalah serius. Buku matematikaku ketinggalan di sekolah lagi, jika ayahku sampai mendapatkan surat dari Attila, berarti selamat tinggal uang saku."

"Kau gila, ya?!!" kataku marah. "Aku sudah mengingatkanmu untuk mengambil buku matematika itu ketika kita berada di kamar mandi tadi."

"Ya aku tahu, tetapi kemudian tadi aku bertengkar dengan Simon Miller tentang game komputer, dan tiba-tiba saja aku lupa. Mungkin ini seperti kehilangan ingatan sementara karena kaget."

"Oh bagus!! Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?"

"Jangan khawatir. Kita akan ke sana, dan mengambilnya kembali. Penjaga sekolah biasanya masih ada di sekolah jika kita cepat. Hanya butuh waktu sepuluh menit menuju sekolah."

"Apakah kau benar-benar yakin kalau penjaga sekolah masih ada di sana, dan mengizinkan kita masuk?" tanyaku ragu-ragu.

"Tentu saja! Aku pernah masuk ke sekolah malam-malam untuk mengambil barang-barangku yang ketinggalan. Dia selalu mengizinkan aku masuk. Tidak masalah."

"Baiklah. Memang lebih baik kita mencobanya," aku setuju, tetapi dengan penuh keraguan. Dan kami pun berjalan menuju sekolah. Ketika kami sampai di sana, tidak ada tanda-tanda keberadaan mobil penjaga sekolah, dan pintu depan sudah dikunci.

Ini adalah ciri khas rencana Olly yang sangat terkenal itu. Kelihatannya bagus ketika diucapkan, tetapi ketika rencana tersebut dilaksanakan, selalu saja ada sesuatu yang salah dan tidak beres. "Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanyaku padanya.

"Tenang. Jendela kelas satu terbuka. Kita bisa membukanya dan masuk lewat jendela."

Aku tidak terlalu senang mendengar rencananya itu. "Kita tidak bisa melakukannya! Itu seperti pencuri. Merusak jendela dan masuk ke dalam tanpa izin. Itu melanggar peraturan."

"Tentu saja tidak. Kita tidak melanggar apa pun dan tidak merusak apa pun."

"Ya, tapi kita tidak bisa masuk begitu saja. Ini melanggar hukum."

Olly menatapku dengan penuh keheranan. "Kau gila! Masuk ke dalam sekolahmu sendiri TIDAK melanggar hukum!"

"Ya aku tahu, tapi itu di siang hari pada saat jam sekolah. Tapi sekarang jam berapa?! Sekarang sudah lebih dari pukul setengah empat!"

"Omong kosong. Sudahlah jangan bicara macam-macam!" tegas Olly keberatan. "Kau tidak bisa memberlakukan hukum bergantung dari jam berapa sekolah tutup. Bisa kau bayangkan itu?" lalu ia berpura-pura meniru polisi, lengkap dengan suara dan aksennya. "Hmmm ... ada apa ini? Oh, ada perampokan. Apa kau bilang? Ini pukul setengah sepuluh? Baguslah kalau begitu. Teruskan saja, gasak semua barang yang ada," Olly memperagakannya dengan mimik muka lucu, dan memang lucu.

"Baiklah," akhirnya aku setuju, meski dengan berat hati. "Tapi kau yang masuk pertama."

Olly menarik tubuhnya ke atas ambang jendela dan memutar tubuhnya masuk melalui jendela. "Ayo!" panggilnya.

"Tidak ada orang di sini."

Agak lebih susah bagiku untuk melewati jendela karena aku cukup besar untuk anak laki-laki seumurku, dan Olly cukup kecil sehingga bisa dengan mudah masuk melalui jendela. Tetapi akhirnya aku membulatkan tekad, dan kami berada di dalam kelas satu.

Olly menatap pohon yang terbuat dari kardus dan sulur-suluran yang menjalar yang terbuat dari kertas krep. "Lumayan bagus juga di sini, benar, kan?" katanya. "Jika kau memejamkan matamu, kau hampir bisa merasakan bahwa kau benar-benar berada di hutan."

"Jika kau datang ke sini saat mereka bermain air, maka kau BERADA di hutan yang sesungguhnya!" kataku dengan gemas. "Aku pernah datang ke sini untuk mengantarkan pesan buat Loopy, akhirnya aku bisa keluar hidup-hidup.

Beberapa anak sungguh ganas!"

Olly sedang tidak mendengarkan kata-kataku. Dia sedang memeriksa beberapa gambar yang tertempel di papan. "Taruhan, kau tidak akan bisa menebak apa ini!" teriaknya gernbira dengan lengan menutupi gambar paling bawah di papan itu.

Aku terbelalak. Gambar itu menampilkan orang-orang berwajah oranye cerah yang sedang menyeringai, dengan dua helai rambut dan sekumpulan jari-jari berukuran raksasa.

"Dokter bedah untuk alien?" tebakku. "Mimpi buruk di Elm Street?"

Olly menyingkirkan tangannya dari gambar itu. "My Famlee buy Joe Harisson (Keluargaku membeli Joe Harisson)" tertulis dengan huruf besar yang miring ke sana-kemari di bawah gambar.

"Lihat dirimu! Mirip sekali denganmu!" Olly sampai tidak bisa bernapas karena tertawa terbahak-bahak, ia menunjuk pada salah satu gambar orang yang ada di situ.

"Apa yang bisa kau harapkan dari seseorang yang bahkan tidak mampu mengeja namanya sendiri?" kataku membela diri. "Bukankah kita di sini seharusnya mencari buku matematikamu itu, dan bukan melakukan pemeriksaan seperti ini."

"Baiklah," kata Olly. "Kau tetap di sini untuk berjaga-jaga selagi aku mengambil bukuku. Bersiul jika melihat seseorang datang."

Olly keluar sesaat sebelum aku ingat bahwa aku tidak bisa bersiul. Aku menatap keluar jendela dengan khawatir. Bagaimana jika salah seorang guru tiba-tiba muncul? Aku mendengar gema suara langkah kaki Olly di koridor ketika kulihat van putih masuk ke halaman sekolah dan berhenti di sana. Dua orang laki-laki keluar dan membuka pintu depan.

"Cepat!" desisku kepada Olly ketika ia kembali masuk. "Ada van di luar. Aku rasa seseorang masuk ke sekolah!"

Satu hal yang berguna dari hutan hujan, adalah di sana banyak sekali tempat untuk bersembunyi. Kami berlutut di belakang monyet dari kardus, dan mengawasi dari balik kerimbunan daun-daun dan sulursuluran dari kertas krep hijau.

Dua orang laki-laki masuk ke dalam ruangan dan berjalan ke meja Loopy. Laki-laki yang lebih tua mengambil kotak kardus yang berisi lumba-lumba itu dan membukanya. "Ini dia," kemudian ditutupnya kembali kotak itu dan memandang ke seluruh ruangan, tersenyum.

"Semua sudah berubah sejak hari-hariku di sini," katanya pada laki-laki yang lebih muda. "Kami tidak memiliki halhal seperti ini. Tunggu sebentar, aku penasaran apakah ruang kelasku masih tetap sama. Lucu, bukan? Kita akan mengambil piala itu nanti."

Mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu. Aku dan Olly hanya saling menatap, terbelalak.

"Piala itu!" teriak Olly. "Mereka pasti perampok dan mereka akan mencuri lumba-lumba itu!"

"Mereka tidak tampak seperti perampok," aku keberatan. "Aku rasa, seharusnya perampok memakai kaos bergaris dan penutup kepala."

"Tapi mereka sedang menyamar!"

"Tapi mereka memakai pakaian biasa!"

"Itu namanya MENYAMAR. Mereka mungkin memakai penutup kepala saat berada di rumah, tapi ketika pergi keluar rumah untuk merampok, mereka harus menyamar sebagai orang biasa. Lagi pula, sudah jelas bahwa mereka adalah perampok."

"Benar sekali," kataku setuju. "Mereka mungkin tampak normal, tapi bagaimana jika mereka bersenjata? Ayo, pergi dari sini."

"Kau bercanda, ya?!" Olly menatapku tidak suka. "Kita tidak bisa hanya melarikan diri, dan membiarkan mereka pergi begitu saja dengan membawa lumba-lumba itu. Ini sebuah tindakan yang tercela, mencuri piala untuk anak-anak!"

"Baiklah, lalu apa yang akan kau lakukan? Membuat surat penahanan?"

"Tidak. Itu terlalu membosankan," tukas Olly. "Begini, aku punya rencana. Rencana pertama, selamatkan lumba-lumba itu," ia lalu berjalan menuju kotak kardus itu, membukanya dan menyelipkan lumba-lumba itu di bawah kaosnya. Kemudian ia melihat ke sekeiiling ruangan. "Sekarang aku memerlukan sesuatu yang beratnya sama dengan benda ini ... aha ... sudah kudapatkan!" ia mengambil burung beo dari plastis di atas kandang tikus, memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Tikus-tikus yang berada di dalam kandang tampak lega. Olly menyeringai.

"Beres. Rencana hebat nomor dua, kita pergi dari sini!"

"Ayo cepat!" kataku bersemangat, gembira karena rencana nomor dua sepertinya adalah pulang. Ini bukan karena aku pengecut, ini hanya .... ehm..., baiklah ... aku memang pengecut. Tapi Olly ternyata belum selesai dengan rencana nomor dua itu. Ia berlari menuju van, dan mencoba membuka pintu belakang. Ternyata terbuka. Keberuntungan yang membawa celaka.

"Ayo!" katanya sambil.menyambar lenganku. "Naik cepat!"

"Kau gila!!!" protesku. "Aku tidak akan naik."

Tidak bisa, aku tidak akan mendekat .... Awgggh!! Itu adalah suaraku ketika Olly menarik kepala dan bahuku masuk ke dalam van dan kakiku setelahnya.

Ia melompat masuk di sebelahku dan menutup pintu. Ada seperti dinding pemisah antara kami dan bagian sopir, jadi di sini benar-benar gelap. Kami mendengar pintu mobil depan dibuka, kemudian terdengar bunyi pintu ditutup dan suara mesin dihidupkan. Kami pergi meninggalkan tempat itu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience