Sore ini aku duduk di samping Emak , di bangku yang dulu dikerjakan oleh Bapa dengan tangannya sendiri. Bangku yang ia letakkan di bawah pohon mangga di pekarangan belakang rumah kami. Dulu setiap sore mereka berdua sering duduk bersama di bangku ini. Berteduh dan bercengkerama. Aku dan dua orang adikku, Natanael dan Rahel, bermain masak-masakan di sana.
Mak, ingatkah? Hari itu kau menangis melihat lebam di tubuh Bapa .
Keluarga kami bukan keluarga kaya raya yang bergelimang harta dan tanah di mana-mana. Kami hanya keluarga kecil yang berjuang mencari nilai rupiah untuk mencukupi kehidupan makan sehari-hari dan biaya sekolah. Bapa hanya seorang pekerja kasar bangunan. Sudah beberapa kali ia jatuh saat menukangi bangunan. Tetapi ia enggan bercerita kepada kami tentang lebam dan nyeri yang menggigiti sendi-sendinya. Pernah sekali Emak mendapati Bapa tengah memijat kakinya. Saat didekati diam-diam, ternyata kaki Bapa membengkak dan biru lebam. Saat itu juga Emak menangis sambil mendekati Bapa dan meraih minyak alun itu dari tangannya kemudian mulai memijat kaki Bapa .
“Angkat bajumu, Pak,” kata Emak .
“Gak usah. Cuma kakiku ini ajanya yang sakit.” Bapa berdalih.
Dengan paksa Emak mengangkat naik baju Bapa dan menemukan lebam lain di sana. Air matanya semakin mengalir.
“Jangan suka nyembunyikan sakitmu. Apa gunanya keluarga, kalau nggak bisa saling merawat.”
Bapa hanya diam. Sesekali ia merintih saat Emak memijat lebam itu.
Aku melihat itu semua dari dapur. Air mataku ikut menitik. Segera kuseduh kopi dan kubawakan ke ruang depan untuk Bapa .
“Ini Pak, kopi.”
“Makasih, boru.[1]”
Ketika usiaku genap sepuluh tahun, Bapa meninggalkan kami semua. Berpulang ke tangan Tuhan dan melepas sakit yang ternyata sudah menggerogoti badannya sekian lama. Tapi yang begitu kami sesali, entah kenapa Bapa tak pernah bercerita apa pun. Jika saja ia bercerita, mungkin kami dapat mengusahakan pengobatan untuknya. Tapi semua telah percuma.
Seminggu selepas pemergian Bapa , Emak menemukan sesuatu di almari pakaian mereka. Ada sebuah bag sekolah kumel yang diselipkan Bapa di bagian belakang. Tertutup oleh tumpukan baju-baju. Emak mengambil tas itu dan membukanya. Saat itu juga emak menangis semahu-mahunya. Aku yang pada masa itu tengah mencuci terdengar tangisan Emak, cepat-cepat tinggalkan baju cucianku dan berlari masuk ke bilik melihat keadaan emak.
Aku mendekatinya dengan panik.
“Kenapa Mak?!”
Tanpa berkata apa pun, Emak segera memelukku dan masih terus menangis. Kulihat tas itu di sebelah Emak . Dan kutemukan gulungan-gulungan uang yang cukup banyak di dalamnya. Tak perlu dijelaskan, aku mengerti, itu uang yang dikumpulkan Bapa dari hasil kerjanya. Untuk ini ternyata ia rela banting tulang bertahun-tahun lamanya.
Mak, ingatkah? Hari itu kita hanya makan dengan kecap dan kerupuk.
Share this novel