Saat kami tengah berjalan menyusuri tepi-tepi pasar, kami menemukan sebungkus sisa es kolak pisang. Dahaga sudah menyerang hingga ujung tenggorokanku, dan kutahu, kedua adikku juga merasakan hal yang sama. Enggan awalnya aku mengambil sisa minuman nikmat itu. Tapi kurasakan cengkeraman erat tangan adik-adikku pada kedua tanganku yang mereka genggam. Maka tanpa berlama lagi, sambil melihat sekeliling, cepat-cepat kupungut bungkusan itu. Kubersihkan plastik luarnya dari butir-butir pasir yang menempel dan kubersihkan ujung sedotannya dengan tanganku.
“Ini, udah kakak bersihkan. Bagi-bagi ya.” Aku memberikan es itu bergantian pada Natanael dan Rahel.
“Kakak gak mau?” Natanael menyodorkan es itu.
“Enggak. Untuk kalian aja. Nanti, kalau kakak punya tabungan sedikit, kakak belikan es yang baru ya.” Miris hatiku harus memberikan es itu. Tuhan, aku ingin jadi orang berhasil, supaya nanti aku bisa membelikan es kolak pisang yang baru untuk adek-adek, itu doa dan harapan yang kulantunkan ketika itu.
Setelah itu, kami kembali ke kios Emak . Emak menyambut kami dengan wajah ceria, namun aku menemukan sembab pada kantung matanya.
“Sini nak.” Kami mendekat dan Emak mengeluarkan tiga bungkus es kolak pisang dari dalam kantong plastik hitam. Ia membagikannya kepada kami. “Jangan ngutip-ngutip makanan bekas lagi ya boru, ya mang[2], pudan[3].” Saat itu juga Emak meraih kami bertiga dalam pelukannya dan kurasakan hangat di pundakku terkena tetes air matanya.
Mak, ingatkah? Letih dan tetes keringat yang kau tumpahkan demi menghidupi dan menyekolahkan kami.
Emak tak pernah bosan untuk selalu mengajak kami berdoa malam bersama. Menceritakan pada Tuhan segala susah dan jatuh bangun yang kami hadapi saat itu. Hanya Tuhan yang mengetahui, seberapa hebat Emak berjuang waktu itu. Ia berjuang dan selalu penuh semangat ketika membuka kiosnya. Tahun-tahun awal usaha baju Emak mengalami jatuh bangun. Tapi tak pernah ia mengeluh dan menyalahkan Tuhan. Ia yakin akan janji tingkap-tingkap rejeki yang akan dibukakan Tuhan bagi anak-anak-Nya yang taat. Dan benar, kesetiaan pada Tuhan serta semangat Emak perlahan membuahkan hasil dalam usahanya. Kami mendapat banyak kepercayaan dari pemasok untuk menjual baju-baju mereka, dengan pelunasan di belakang. Mulai saat itu, usaha dagang baju Emak mulai berkembang dan semakin maju. Ia dapat menyekolahkan kami di sekolah-sekolah bagus dan mengkuliahkan kami.
Kini kami bertiga telah bekerja dengan penghasilan yang cukup untuk membeli sebidang tanah luas tepat di sebelah rumah lama kami dan kami membangun sebuah hunian indah untuk Emak . Sedang rumah lama kami biarkan berdiri kokoh sebagai pengingat akan perjuangan Emak dan seluruh cerita-cerita kehidupan kami.
Share this novel