Pukul 18:52 wib. Cuaca malam ini sangat cerah langit hitam pekat itu dihiasi oleh bintang-bintang yang gemerlap indah dan bulan yang bersinar terang. Sangat menyenangkan jika bermain di luar rumah apalagi cuacanya mendukung sekali. Seperti yang tengah dilakukan oleh orang-orang ini.
Mobil-mobil mewah itu berhenti di depan sebuah bangunan lumayan besar yang sepertinya sangat mahal. Keluar dari dalam mobil memasuki gedung yang bertuliskan Macime Klub yang di depan pintu dijaga ketat oleh beberapa pria tinggi besar berkacamata hitam.
Macime Klub adalah nama sebuah hiburan malam yang ada di Jakarta pusat, namanya sangat tersohor di kalangan orang-orang kaya yang ada di negara ini tetapi juga sampai ke telinga orang-orang asing. Jadi tak heran bila menemui para pengusaha, selebritis lokal maupun mancanegara, dan juga orang-orang penting negara mondar mandir di sana.
Sama seperti tempat hiburan malam pada umumnya yang menyediakan alkohol, wanita penghibur dan juga identik dengan suara gaduh dan lampu kerlap kerlip pastinya. Hanya saja yang membedakannya adalah cara pelayanannya. Banyak selebritis menjadi wanita penghibur untuk pengusaha-pengusaha kaya raya di sana.
Lihat saja di tempat paling ujung. Wanita dengan wajah tak asing itu sedang duduk dipangkuan lelaki tua, kepala botak dengan perut buncit sambil cekikikan itu. Siapa lagi kalau bukan aktris yang tengah melejit pamornya di dunia hiburan itu, Arana Magdyna. Menggoda seorang Johanto Hidnatul--ketua dewan yang tentunya sudah memiliki keluarga.
Itu tidak penting! Yang penting mereka mendapatkan harta dan kepuasan.
"Cium.."seru si ketua dewan memajukkan bibirnya.
"Iiih! Malu.. jangan di sini ya. Gimana kalo di hotel aja?"
"Gak mau.. mau di sini aja.."manja si ketua dewan. Menjijikan!
"Ya udah boleh cium. Tapi.. beliin aku mobil keluaran baru, gimana?"si aktris menjulurkan tangan dengan manja.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata. Si ketua dewan lantas membalas uluran tangan sang aktris, setuju.
Dengan urat malu telah putus mereka melakukan aksi tak senonoh di hadapan orang banyak. Bermesraan tanpa peduli yang lain karena ini adalah tempat terbaik untuk memamerkan itu semua.
Rakyat menangis melihat ini.
"Uuuhhh!!"heboh ke empat pria ketika melihat pertunjukkan menakjubkan itu di depan mata telanjang mereka. Sebenarnya sedari tadi mereka memperhatikan aktris muda yang berciuman dengan pria lebih tua darinya.
"Itu aktris yang lagi naik daun, bukan?"seru Lendra bertanya pada ketiganya.
Andy--pengusaha asal Surabaya di bidang properti mengangkat bahu tinggi. Lelaki yang duduk bersebelahan dengan Hans.
"Sepertinya"sahut Hans sembari menghisap rokok lalu asapnya di semburkan ke wajah Andy yang langsung batuk-batuk.
"Gila! Dasar bedebah!"Melihatnya Lendra tertawa terbahak-bahak. "Sudah tahu aku tidak merokok masih saja usil menyemburkan asapnya. Sial!"
"Aku tidak meminta agar kau duduk di sampingku, benar kan?"
"Uhukk, uhukk, uhukk! Berhenti merokok, Hans! Atau pulang tidak dengan kaki utuh!"pekik Andy, menggeram.
"Silahkan."
Kelakuan mereka di kantor dan di luar sudah jelas sangat berbeda. Di kantor hanyalah bayangan mereka yang ingin tampil sempurna dan bukan diri sendiri sementara sifat asli mereka ya seperti itulah. Absurd, tengil dan menjengkelkan.
Akan tetapi, tidak dengan sosok yang satu ini. Di luar maupun di dalam dia tetap sama, dingin dan datar. Siapa lagi kalau bukan Presdir Alex yang duduk di singgle sofa tidak memperdulikan yang diributkan oleh teman-temannya ini. Sibuknya hanya pada ponsel. Entah apa yang tengah dilihatnya.
Hans menyenggol bahu Andy.
"Apa?"
"Lihatlah."
Pria itu lantas melihat ke arah meja bar tender yang dimaksud Hans. Hanya ada satu orang di sana itupun seorang perempuan bergaun merah darah dengan belahan di sebelah kiri sampai paha sehingga memperlihatkan kulit mulusnya, duduk termenung dengan ditemani segelas wine.
Rambutnya terurai indah dengan sedikit gelombang dikibaskan manja membuat Andy langsung terhipnotis melihatnya.
"Astaga..."lelaki dengan wajah lumayan tampan dan manis itu, bedecak kagum.
"Cepat temui gadis itu sebelum diambil orang lain, An"saran Lendra diangguki oleh Hans.
"Kau yakin dia masih lajang?"
"Sangat"
"Baiklah"lantas Andy beranjak dari sofa. Wajah playboy kembali berkibar. Merapihkan dasi dan sebagainya. "Bagaimana? Sudah rapi belum?"
"Cepat jalan."sentak Hans memukul bokongnya.
"Iya iya! Do'ain ya"
Penuh wibawa dan percaya diri, dua poin yang dimiliki oleh seorang Andyan Gunawirna. Langkah koboinya membuat Hans tak bisa berhenti menahan tawa perutnya seperti dikocok melihat anak satu ini.
"Astaga.. ya ampun. Lihatlah bagaimana cara dia berjalan.. hahah! Perutku sakit dibuatnya"tawa Hans pecah. "Langkahnya seperti seekor bebek, hahaha!"
Lendra tersenyum tipis.
"Kita lihat bagaimana cara dia meluluhkan wanita itu."
Sesampainya di meja bar tender dengan sengaja Andy batuk menyadarkan wanita itu akan kehadirannya. Si gadis manis, menoleh.
"Hai?"
"Hai juga"
Andy meleleh dibuatnya saat sang wanita tersenyum padanya. Ini kesempatan bagus untuknya mengenal siapa wanita di sampingnya ini. Ia celingak celinguk ke berbagai arah memastikan jika si wanita tak memiliki pasangan.
"Sepertinya dia masih lajang"batin Andy merasa yakin.
Pertama si wanita tak memperdulikan lelaki di sebelahnya dengan menatap ke tempat lain. Andy langsung bertindak.
"Boleh aku duduk di sini?"
"Sorry.. kau bilang apa barusan?"memang dia tak mendengar jelas sebab suara gaduh di sini.
"Aku boleh duduk di sini?"
"Ha? Tentu saja. Tidak ada yang menempati kok"jawab si wanita, lembut.
Cepat-cepat Andy menduduki kursi kosong yang bertepatkan di samping si perempuan. Tanpa banyak acara langsung saja Andy tancap gas.
"Sendiri aja?"
Si wanita tersenyum.
"Seperti yang kau lihat."
"Hahaha.. mana mungkin? Wanita secantik dirimu datang kemari sendiri. Aku tak percaya.. jangan bercanda dong"seru Andy tertawa renyah.
Tiba-tiba air wajah si wanita berubah sesaat mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut lelaki di sampingnya. Tatapannya menjadi sendu. Melihat itu lantas Andy berhenti tertawa.
"Sepertinya malam ini akan turun hujan deh"ujar Andy mencairkan suasana.
Si wanita menoleh.
"Mengapa menatapku begitu? Kau tidak percaya dengan yang kuucapkan?..."si wanita mengangguk. "Aiss! Astaga.. aku peramal hebat masih saja ada orang yang tak mengakui kehebatanku"
Bibir si wanita melengkung. Ia tersenyum melihat ekspresi yang diberikan lelaki itu yang menurutnya lucu. Si pria kembali melemparkan kalimat-kalimat aneh yang semakin membuatnya tertawa bebas.
Kehadiran laki-laki asing itu membuat seorang Nadia merasakan kebahagian walaupun belum satu jam ia menganal lelaki di sampingnya ini. Nadia sangat menyukainya. Habisnya dia lucu, pikirnya.
Melihat keakraban antara Andy dengan wanita barunya itu membuat Hans melotot tak percaya. Bagaimana ia tidak terkejut! Belum sampai satu jam-an buaya darat itu langsung mengibaskan ekornya pada korban.
Sementara Andy dengan sengaja memamerkan mainan barunya pada tiga pria yang notabenenya adalah seorang jomblo.
"Pakai acara pegang-pegang tangan segala. Sial."celetuk Hans kesal.
Lendra sontak terkekeh.
"Kenapa? Kau cemburu tak bisa seperti yang Andy lakukan?"
"Mana ada aku cemburu melihat predator wanita seperti dia itu!"
Presdir Alex menengok sekilas kemudian melanjutkan memainkan ponsel.
"Kalau gak cemburu terus kenapa nada bicaramu tinggi seperti tidak suka begitu?"ledek Lendra membuat Hans melemparkan tatapan sinis.
"Kata siapa?!"
"Wajahmu itu lho"
Hans kembali merapatkan bibirnya kala presdir Alex tiba-tiba beranjak dari kursi.
"Aku harus pergi, ada urusan. Pesanan kalian akan masuk ke tagihanku"
Habis kata-katanya presdir Alex melangkah meninggalkan tempat tersebut. Hans dan Lendra hanya bisa memandang dengan wajah cengo. Mereka tak habis pikir dengan sikap lelaki itu itu, selain dingin dia juga misterius.
"Urusan? Urusan apa kakak pergi jam segini tidak seperti biasanya."gumam Lendra heran.
"Benar-bebar gunung es. Kira-kira presdir Alex mau ke mana ya?"Hans menoleh pada Lendra menanyakan kepergian lelaki itu.
"Mana kutahu."
"Bagaimana sih? Kau adiknya. Masa tak tau dia pergi ke mana?"cibir Hans.
Sontak Lendra lengsung mendelik tajam.
"Kau sendiri sekertaris sekaligus asisten presdir tapi masih bertanya dia mau pergi ke mana?"suara lantang itu hampir mencetak urat-urat leher.
Lantas Hans diam. Kata-kata Lendra ibarat tinjuan maut yang mematikan. Dia jatuh luluh lantak tak berdaya. Tak bisa menyanggah kalimat tersebut. Dan, hanya bisa diam dengan hati menggerutu.
Share this novel