"Kakek, aku pulang."
Ara masuk rumah. Meletakkan sepatu ke rak sepatu. Sepasang matanya ia edarkan ke sekeliling rumah, tapi tidak mendapati sosok kakek. Mungkin kakek berada di kamar makanya nggak jawab ucapan Ara. Lantas dia berjalan untuk mencarinya. Derap langkah Ara berhenti di depan pintu kamar kakek.
Tokk! Tokk! Tokk! Ara mengetuk pintunya.
"Kek? Kakek? Ada di dalam, ya?"Akan tetapi tidak ada sahutan dari dalam. Ia mengerutkan kening, biasanya kakek selalu menjawab. Pasti orang tua itu sedang tidur. Ara mengangguk pelan. "Kakek nggak jawab, aku masuk nih. Masuk ya..? Yaudahlh masuk."
Saat sudah dibuka pintunya Ara tidak melihat kakek di kamar, kamar itu kosong melompong kayak kartu rekening Ara sekarang.
"Ke mana perginya kakek? Di kamar nggak ada. Ah...!"
Ara langsung keluar. Kini dia berjalan menuju halaman belakang dan sialnya kakek tidak ada, begitu juga di ruang lainnya. Ara menggaruk pipi, bingung mencari kakek. Tiba-tiba matanya melotot sempurna.
"Jangan-jangan.. kakek keluar rumah dan tersesat..?! Akh!"
Ara menepuk dahi. Kakeknya ini kalo sudah pergi keluar rumah dan berjalan-jalan di sekitar pasti tidak balik lagi dikarenakan penyakit pikun yang sudah menjamur mengingat usianya sudah tua yang akibatnya lupa jalan pulang. Nah, sekarang Ara harus mencarinya dan tidak ingin sesuatu terjadi padanya.
Ara keliling sekitar kompleks. Kadangkala dia bertanya pada orang yang ditemuinya siapa tahu saja melihat kakek.
"Maaf, Tante, lihat kakek aku tidak?"
"Pak Rachmat? Tante nggak liat tuh. Emang nggak bilang mau pergi kemana?"ujar wanita paruh baya itu.
"Nah, justru itu! Ara nggak tau soalnya Ara baru pulang."keluh Ara.
"Oh, begitu ya."
"Ya, sudah, Tante aku mau cari kakek dulu. Terimakasih."
"Iya, iya, kalo Tante melihat kakekmu nanti Tante kasih tau kamu."
"Makasih, Tante!"
Wanita paruh baya itu menatap punggung Ara yang semakin menjauh. Dia tersenyum perlahan-lahan menggelengkan kepala pelan, lalu pergi. Komplek tempat tinggalnya ini banyak sekali gang bisa membuat orang kebingungan. Bahkan orang lama pun kadang kali suka tersesat, dia cemas kakek tersesat. Syukur-syukur bertemu orang baik yang mau mengantarkan kakek. Ara berhenti. Nafasnya terengah-engah. Dia menghirup udara guna menetralkan nafasnya.
"Udah sejauh ini masih juga belum bertemu kakek. Sebenarnya kakek dimana sih. Semoga saja kakek baik-baik saja."
Ara menengok ke arah barat. Ia berkerut kening. Tujuan meter didepan ada lelaki tua sedang duduk di kursi taman melihat kearah lain. Bola mata Ara melebar sempurna.
"Sepertinya itu kakek! KAKEKKK!"
Ara berlari menghampiri lelaki tua tersebut dan langsung memegang bahunya. Dia menoleh. Ternyata benar lelaki tua itu adalah Kakeknya.
"Kakek sedang apa disini? Aku dari tadi nyariin Kakek. Kakek tau seberapa khawatirnya aku mengetahui kakek tidak ada di rumah. Aku sampai keliling dan bertanya kepada orang-orang, aku takut kakek kenapa-kenapa,"ucap Ara cemas. Menatap kakek dari atas sampai bawah.
Kakek terkekeh. "Kakek baik-baik saja jangan khawatir."
Ara mendengus. "Bagaimana aku tidak khawatir, kakek pergi dari rumah tanpa mengabari aku. Untungnya aku pulang cepat."
Kakek terbengong melihat Ara mengomelinya.
"Pokoknya aku nggak mau tahu lagi kakek pergi dari rumah tanpa memberi tahu aku.. aku takut terjadi sesuatu sama kakek. Nanti kakek diculik gimana coba? Terus penculiknya minta tebusan gimana? Kan aku pusing sendiri nantinya."Oceh Ara panjang lebar ditambah ekspresi menggemaskan membuat siapa saja mungkin akan tertawa melihatnya.
"Iya, iya, Ara memang terbaik. Lihatlah kakek baik-baik saja kan? Tidak ada yang terluka sama sekali."ujar kakek meyakinkan Ara.
"Pokoknya Ara marah."Ara merajuk.
Kakek menggeleng sambil tersenyum lembut. Lalu mengelus rambut Ara dan berucap; "Kakek minta maaf, jangan marah lagi ya?"
Ara mengerucutkan bibir. Apabila kakeknya sudah membujuknya dia tidak bisa apa-apa selain tidak marah lagi.
"Kali ini Ara maafin kakek, tapi lain kali jangan harap."
"Baiklah, baiklah."
Saking sibuk mengomeli kakek Ara sampai tidak sadar ada orang lain yang berdiri tepat di sebelah Kakek yang sedari diam-diam tertawa pelan melihat cara dia memarahi kakek seperti seorang ibu mengetahui anaknya main hujan-hujanan. Lelaki jangkung itu berdehem. Mereka tergugah. Ara menyipitkan mata. Pemuda ganteng darimana ini? Tampaknya usianya masih muda. Pakaian rapi, jam tangan mahal, serta gesture wibawa tampaknya orang ini bukan sembarang orang. Jika Ara tidak salah menduga dia pasti seorang pengusaha atau selebritis. Ara mengangguk-angguk pelan. Inilah kelebihan Ara menilai sesuatu begitu melihatnya.
"Kau siapa?"
Kakek menengahi. "Oh ya, Ara, kakek sampai lupa memberitahumu siapa pemuda ini. Habisnya kau tidak memberikan kakek kesempatan untuk bicara sih."
Ara mendelik. "Itu salah kakek."
"Sudahlah. Nak Arkan, ini Ara, cucu kakek."kakek memperkenalkan Ara kepada lelaki yang bernama Arkan ini. Lelaki itu tersenyum tipis. "Untunglah kakek bertemu nak Arkan yang baik ini. Jika tidak, mungkin beda ceritanya."
"Ah, kakek tidak perlu memuji. Aku kebetulan lewat saja."
Ara memberi tatapan intensif. Dari cara dia bicara dan tertawa? Umm, sangat mencurigakan. Aku harus berhati-hati.
"Ahahaha, nak Arkan terlalu merendah. Memang benar nak Arkan ini pemuda yang sangat baik dan juga tampan benar tidak Ara?"Kakek menoleh ke arah Ara.
Ara tertegun. Nah! Nah! Ada apa ini. Kenapa harus meminta jawaban padanya. Semua orang yang melihat juga pasti akan mengatakan dia tampan, tampan dan ganteng. Kakek menyenggol lengan Ara lalu tertawa garing.
"Ah, iya.. tampan."
"Hahaha, kakek dan nona Ara bisa saja memujinya. Tapi terimakasih lho."
Ara terdiam sambil membatin sedangkan kakek sudah seperti penjilat saja dengan mengangkat-ngangkatnya menggunakan pujian super pupuk.
"O...ya, kakek tadi aku membelikan mu minum."Pemuda ini memberikan kantong berisi minuman.
"Ah! Tidak perlu repot-repot. Tapi nak Arkan sudah membelikannya sudah sepatutnya kakek menerimanya."Sahut kakek tidak tahu malu. Saat hendak mengambil bungkusan minuman tersebut tiba-tiba suara Ara terdengar.
"Tunggu dulu. Minuman apa ini?!"Ara merebutnya dan langsung mengeceknya. Minuman dengan pemanis buatan.
"Ara!"
"Tidak boleh. Kakek tidak boleh meminum minuman dengan pemanis buatan karena tidak baik untuk kesehatannya. Tolong ambil lagi."Ara menyerahkan. Pemuda itu terdiam.
"Ah, maaf, aku tidak tahu."
"Ara jangan terlalu kasar."ucap Kakek menegurnya tapi sayang Ara tidak menggubrisnya.
"Aku akan membawa kakek pulang, terimakasih kasih kau sudah menjaganya. Selamat tinggal."Kata Ara berterimakasih. "Ayo, kakek."
"Nak Arkan jangan diambil hati perkataan Ara barusan ya. Dia sebenarnya wanita baik, itu semua karena terlalu khawatir padaku."Kakek Memberi pengertian kepada sang pemuda.
"Tidak apa-apa. Wajah nona Ara mengatakan itu. Aku yang terlalu gegabah."
"Kau lelaki baik. Ya sudah, kami pulang. Selamat tinggal."
Arkan mengangguk. Kakek segera menyusul Ara tiga meter didepan.
"Apa yang kakek bicarakan?"
"Bukan apa-apa."ucap Kakek dingin.
"Mengapa ucapan kakek terdengar seperti sedang marah padaku?"gumam Ara. Dia menghela nafas, mengejar langkah kakek lalu menuntunnya meskipun kakek kadang menolak.
Sementara pemuda itu belum mengalihkan pandangan matanya pada mereka berdua. Tiba-tiba dia tersenyum aneh.
"Menarik."
Share this novel